Alwy Rachman
“Dunia akan penuh dengan orang-orang buta dan orang-orang ompong”,
begitu pendakuan Mahatma Gandhi tentang motivasi manusia untuk bertindak “mata
bayar mata” dan “ gigi bayar gigi” dalam konflik dan peperangan. Sindiran
reflektif sang Mahatma atas laku manusia, ibarat panggilan kembali atas manusia
yang tak bisa keluar dari budaya perang. Budaya perang ibarat “budaya tua” yang
mendudukkan manusia sebagai “tawanan”.
Perang dan konflik politik kini berlangsung keras di
wilayah-wilayah Arab. Getarannya menjalar kemana-mana, termasuk di negeri
sendiri. Getarannya dimunculkan lewat berbagai julukan: “fundamentalisme”,
“terorisme”, dan “Isis”. Di media televisi, perang di wilayah-wilayah Arab lebih
mirip tontonan, mirip permainan perang di ragam gadget. Peliputan perang di wilayah-wilayah ini, oleh kalangan
ilmuan, malah dipindahkan ke metafor romantik. Mereka bilang, “ini adalah Arab
Spring”, “musim semi Arab.” Bayangkan, “saling bunuh” di antara manusia Arab,
masih saja dibilangkan sebagai “musim semi”.
“Arab Spring” beraroma
jamak, mulai dari soal perebutan kuasa politik hingga benturan di antara aliran-aliran
agama, mulai dari pembantaian jurnalis televisi hingga eksploitasi seksual
perempuan. Di arena “Arab Spring”, para jurnalis televisi yang menjadi korban adalah
orang-orang yang di tempatkan sebagai bagian dari lawan. Mereka adalah
apparatus ideologi “negara-negara kapitalis”. Itu sebabnya, pembantaian para jurnalis mestinya
dibaca sebagai propaganda perang “melawan kapitalisme”.
Tapi, para jurnalis adalah “korban-korban” yang dikenali dan
telah direspon oleh negara-negara asalnya. Yang masih sayup dan tersamar adalah
perempuan-perempuan yang “dijadikan pemuas seks tentara”. Arena perang mirip arena budaya yang
mendudukkan tubuh perempuan sebagai arena simbolik. Arena ini tak lebih dari
“arena pemindahan rasa sakit”, “arena penaklukan atas lawan”, “arena untuk
keluar dari rutinitas perang”, atau “arena kebanggaan simbolik”.
Di banyak budaya masa lalu, tubuh perempuan nyaris menjadi
permainan lambang. Laku budaya ini dimunculkan kembali di arena perang. Arena
perang menempatkan tubuh perempuan sebagai sasaran “sexual abuse” atau “sexual
violence”. Dengan bahasa benderang,
tubuh perempuan menjadi sasaran perkosaan dan pengrusakan. Motivasinya, tentu
saja, untuk mempermalukan lawan. Para
analis membilangkan laku ini bersandar pada dalil, “lawan yang
perempuan-perempuannya di perkosa tak akan kembali ke wilayah peperangan. Mereka
merasa malu.”
Bukan cuma itu. Pemerkosaan
perempuan adalah sebagai bagian dari cara keluar dari rutinitas perang.
Komandan-komandan pasukan yang berwatak penjahat perang akan membiarkan hal itu
terjadi. Laku ini dianggap sebagai “memberi hiburan seks” pada pasukan-pasukannya.
Satu lagi nasib perempuan korban, yaitu “menjadi terhina” di masyarakatnya
sendiri. Jadi, arena perang berdampak panjang terhadap perempuan.
Kisah perempuan sebagai korban perang ada di mana-mana.
Arena perang Bosnia, misalnya, memunculkan korban pemerkosaan
perempuan-perempuan muslim. Atau, paling mutakhir, beberapa perempuan muda dari
beberapa negara yang semula tertarik pada Isis, akhirnya terperangkap sebagai
“penghibur seks”. Di jagat raya
pemberitaan, muncul pula istilah baru, “jihad seks”. Sayang, pemimpin
negara-negara, tempat perempuan itu berasal, tak merespon isu seperti ini
secara politik. Pembantaian jurnalis media televisi rupanya lebih utama
ketimbang nasib perempuan.
Perang menyisakan rasa sakit berkepanjangan dan
menghempaskan harga diri perempuan dalam waktu lama. Sedikitnya, begitu
pengalaman negeri ini dalam perang kemerdekaan. Duka perempuan Indonesia yang
dipaksa sebagai “penghibur seks” telah dikisahkan oleh A. Budi Hartono dan
Dadang Juliantoro. Publikasi yang bertajuk Derita
Paksa Perempuan pada tahun 1977 ini, berisi kesaksian atas kesakitan 249
perempuan Indonesia yang menjadi “penghibur-penghibur seks” tentara Jepang.
Perempuan-perempuan ini dibilangkan sebagai “Jugun
Ianfu.”
Di publikasi Jugun
Ianfu, Budi dan Dadang bilang, pengisahan kembali perempuan korban, “bukan soal
membuka luka lama. Ini soal moral kemanusiaan. Soal tanggung jawab Jepang
terhadap apa yang dilakukannya tempo dulu.” Mari kita berdialog secara imajiner dengan sang
Mahatma. Ia akan bilang, “jika perang senantiasa memerkosa perempuan, dunia
akan penuh lelaki tak bermartabat”. Mari kita merefleksi tutur sang rasul, Muhammad,
yang bilang, “Ibumu…, ibumu…, ibumu…”, ketika ditanya siapa yang paling pantas
dihormati. Atau, ketika sang nabi mendakukan putrinya sendiri sebagai
ibunya.
Catatan:
Pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, Selasa 14 April 2015