“Jika Engkau lapar, telanlah pil
baruku.
Pil yang bercitarasa diam.”
Jarod Kintz
“Saya lapar, maka
saya hidup”, begitu pernyataan singkat dari sosok yang tak dikenal dan tak
terkenal. Para pemburu pemikiran-pemikiran filsafat hanya menyebutnya dengan
julukan Sinistar. Sang sosok ini dibilangkan sebagai filsuf minimalis, karena
tak ada pembahasan panjang lebar terhadap pernyataannya. Saking penuh misteri,
warisan pemikirannya hanya dikenali melalui tujuh pernyataan. Satu di antaranya
adalah, “Saya lapar, maka saya hidup”.
“Saya lapar”, dalam pernyataan Sinistar, adalah rasa yang
memberi tahu “adanya kebutuhan”. Lapar membawa seseorang untuk percaya perlunya
“konsumsi”. Lapar, dengan demikian, adalah rasa yang menangkap loncatan dari apa
yang dipercayai. Dalam bahasa agama, lapar adalah cara merasa dan mencerna yang
memungkinkan terjadinya lompatan iman. Sayang sekali, penjelasan tentang
Sinistar cuma seringkas ini. Benar-benar minimalis. Selebihnya, di jagat raya
internet, Sinistar tak lebih dari
sebagai permainan di ragam gadget, perangkat
game.
Tapi, lapar tak hanya soal rasa yang dialami setiap individu.
Lapar secara massal kadang memunculkan dirinya sebagai drama kemanusiaan yang tak
sederhana untuk dijelaskan. Kalau toh mau sederhana, lapar bisa dibilangkan “tak
ada yang bisa dikonsumsi”. Lapar bisa juga disebutkan sebagai “hilangnya akses
ke sumber-sumber pangan”. Ketiadaan konsumsi dan hilangnya akses juga
macam-macam. Dari kemiskinan dan kekayaan yang melebar secara absolut hingga kekeringan
dan perang berkepanjangan. Dari keterpinggiran orang-orang lapar hingga kuasa atas
pangan oleh orang-orang berpunya.
Simon Weil, perempuan filsuf kontemporer berkebangsaan
Perancis, membilangkan bahwa orang-orang lapar dengan orang-orang yang
menguasai pangan diikat oleh hubungan kewajiban yang paling benderang, yaitu
“wajib memberi makan orang-orang lapar”. Simon Weil menambahkan, jauh di masa lampau,
di era Mesir Kuno, kewajiban memberi makan pada yang lapar telah menjadi aksi
peradaban. Di sana, manusia-manusia masa lalu percaya, mengatasi kelaparan sama
artinya menyelamatkan diri sendiri setelah kehidupan, begitu bahasa
kepercayaannya.
Lepas dari kebaikan penjelasan Simon Weil, debat etik di
antara hubungan negara kaya-miskin tak terhindarkan di masa-masa modern. Di
dalam tulisannya yang bertajuk “World
Hunger: A Moral Response”, Claire Andre dan Manuel Velasquez menulis bahwa
para ahli etika memiliki pandangan yang berbeda atas “kewajiban”: tak wajib membantu negara- miskin di satu
pihak, dan wajib secara moral bagi negara kaya membantu negara miskin di lain
pihak.
Negara-negara kaya yang tak berkewajiban membantu
membilangkan, “Moral kami adalah bertindak sedemikian rupa memaksimalkan
kebahagiaan dan mengurangi penderitaan umat manusia. Dalam jangka panjang,
membantu negara-negara miskin akan menghasilkan derita yang lebih besar ketimbang
yang sedang dialaminya. Negara miskin seharusnya memperbaiki kebijakan
pemerintahnya.
Negara-negara kaya yang merasa berkewajiban membantu
membilangkan, “Warga negara-negara kaya berkewajiban secara moral membantu
negara-negara miskin. Setiap orang berkewajiban secara moral menghindari
kerusakan yang membahayakan meski pun tidak di negerinya sendiri. Derita dan
kematian akibat kelaparan sesungguhnya adalah pengrusakan.” Amartya Kumar Sen, ekonom dan filsuf
berkebangsaan India ini, malah bilang kelaparan bukan disebabkan tidak
tersedianya pangan. Penerima hadiah Nobel tahun 1998, mendalilkan bahwa kelaparan
lebih disebabkan oleh distribusi pangan yang tak adil di antara hubungan
negara-negara kaya-miskin.
Kisah tentang kelaparan yang menimbulkan kematian massal
bukan kisah baru. Kawasan Afrika selalu menjadi contoh peradaban kemanusiaan yang
menjelang mati akibat kelaparan. Kematian akibat kelaparan seperti ini tak lain
adalah kematian yang nyaris tak disadari. Kematian yang sepi. Saking sepinya,
Jarod Kintz mengibaratkannya sebagai menelan pil sepi. Pil yang membuat korban
hanya merasa sepi. Sepi…diam…lalu mati.
Bulan ini masih Ramadhan. Berhari-hari ke depan, mereka yang
beragama Islam diwajibkan berpuasa. Tentu saja, puasa di sini tak melulu
berlapar-lapar tanpa lompatan ke apa yang terbawa oleh keyakinan. Orang-orang
yang berpuasa tidak dimaksudkan menghadirkan kelaparan. Orang-orang yang
berpuasa, dengan demikian, bukanlah orang-orang lapar. Pun bukan orang-orang
kelaparan.
Puasa adalah rasa. Di sini, empati didekatkan, hedonisme
dijauhkan. Puasa adalah cara merasa dan mencerna dunia lapar yang sepi, dunia
yang di peradaban lain menimbulkan korban. Puasa menjauhkan hedonisme menjelang
magrib.
Pada akhirnya, puasa adalah aksi untuk melompat ke moral
filosofis. Pun puasa adalah tangga untuk mendaki ke moral agama.