SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Monday, November 23, 2015

Orang-Orang Lapar

Alwy Rachman

“Jika Engkau lapar, telanlah pil baruku.
Pil yang bercitarasa diam.”
                                                     Jarod Kintz
  
Saya lapar, maka saya hidup”, begitu pernyataan singkat dari sosok yang tak dikenal dan tak terkenal. Para pemburu pemikiran-pemikiran filsafat hanya menyebutnya dengan julukan Sinistar. Sang sosok ini dibilangkan sebagai filsuf minimalis, karena tak ada pembahasan panjang lebar terhadap pernyataannya. Saking penuh misteri, warisan pemikirannya hanya dikenali melalui tujuh pernyataan. Satu di antaranya adalah, “Saya lapar, maka saya hidup”.

“Saya lapar”, dalam pernyataan Sinistar, adalah rasa yang memberi tahu “adanya kebutuhan”. Lapar membawa seseorang untuk percaya perlunya “konsumsi”. Lapar, dengan demikian,  adalah rasa yang menangkap loncatan dari apa yang dipercayai. Dalam bahasa agama, lapar adalah cara merasa dan mencerna yang memungkinkan terjadinya lompatan iman. Sayang sekali, penjelasan tentang Sinistar cuma seringkas ini. Benar-benar minimalis. Selebihnya, di jagat raya internet,  Sinistar tak lebih dari sebagai permainan di ragam gadget, perangkat game. 

Tapi, lapar tak hanya soal rasa yang dialami setiap individu. Lapar secara massal kadang memunculkan dirinya sebagai drama kemanusiaan yang tak sederhana untuk dijelaskan. Kalau toh mau sederhana, lapar bisa dibilangkan “tak ada yang bisa dikonsumsi”. Lapar bisa juga disebutkan sebagai “hilangnya akses ke sumber-sumber pangan”. Ketiadaan konsumsi dan hilangnya akses juga macam-macam. Dari kemiskinan dan kekayaan yang melebar secara absolut hingga kekeringan dan perang berkepanjangan. Dari keterpinggiran orang-orang lapar hingga kuasa atas pangan oleh orang-orang berpunya.

Simon Weil, perempuan filsuf kontemporer berkebangsaan Perancis, membilangkan bahwa orang-orang lapar dengan orang-orang yang menguasai pangan diikat oleh hubungan kewajiban yang paling benderang, yaitu “wajib memberi makan orang-orang lapar”.  Simon Weil menambahkan, jauh di masa lampau, di era Mesir Kuno, kewajiban memberi makan pada yang lapar telah menjadi aksi peradaban. Di sana, manusia-manusia masa lalu percaya, mengatasi kelaparan sama artinya menyelamatkan diri sendiri setelah kehidupan, begitu bahasa kepercayaannya.

Lepas dari kebaikan penjelasan Simon Weil, debat etik di antara hubungan negara kaya-miskin tak terhindarkan di masa-masa modern. Di dalam tulisannya yang bertajuk “World Hunger: A Moral Response”, Claire Andre dan Manuel Velasquez menulis bahwa para ahli etika memiliki pandangan yang berbeda atas “kewajiban”:  tak wajib membantu negara- miskin di satu pihak, dan wajib secara moral bagi negara kaya membantu negara miskin di lain pihak.

Negara-negara kaya yang tak berkewajiban membantu membilangkan, “Moral kami adalah bertindak sedemikian rupa memaksimalkan kebahagiaan dan mengurangi penderitaan umat manusia. Dalam jangka panjang, membantu negara-negara miskin akan menghasilkan derita yang lebih besar ketimbang yang sedang dialaminya. Negara miskin seharusnya memperbaiki kebijakan pemerintahnya.

Negara-negara kaya yang merasa berkewajiban membantu membilangkan, “Warga negara-negara kaya berkewajiban secara moral membantu negara-negara miskin. Setiap orang berkewajiban secara moral menghindari kerusakan yang membahayakan meski pun tidak di negerinya sendiri. Derita dan kematian akibat kelaparan sesungguhnya adalah pengrusakan.”  Amartya Kumar Sen, ekonom dan filsuf berkebangsaan India ini, malah bilang kelaparan bukan disebabkan tidak tersedianya pangan. Penerima hadiah Nobel tahun 1998, mendalilkan bahwa kelaparan lebih disebabkan oleh distribusi pangan yang tak adil di antara hubungan negara-negara kaya-miskin.

Kisah tentang kelaparan yang menimbulkan kematian massal bukan kisah baru. Kawasan Afrika selalu menjadi contoh peradaban kemanusiaan yang menjelang mati akibat kelaparan. Kematian akibat kelaparan seperti ini tak lain adalah kematian yang nyaris tak disadari. Kematian yang sepi. Saking sepinya, Jarod Kintz mengibaratkannya sebagai menelan pil sepi. Pil yang membuat korban hanya merasa sepi. Sepi…diam…lalu mati.

Bulan ini masih Ramadhan. Berhari-hari ke depan, mereka yang beragama Islam diwajibkan berpuasa. Tentu saja, puasa di sini tak melulu berlapar-lapar tanpa lompatan ke apa yang terbawa oleh keyakinan. Orang-orang yang berpuasa tidak dimaksudkan menghadirkan kelaparan. Orang-orang yang berpuasa, dengan demikian, bukanlah orang-orang lapar. Pun bukan orang-orang kelaparan.
Puasa adalah rasa. Di sini, empati didekatkan, hedonisme dijauhkan. Puasa adalah cara merasa dan mencerna dunia lapar yang sepi, dunia yang di peradaban lain menimbulkan korban. Puasa menjauhkan hedonisme menjelang magrib.

Pada akhirnya, puasa adalah aksi untuk melompat ke moral filosofis. Pun puasa adalah tangga untuk mendaki ke moral agama.


 
Alwy Rachman.