Alwy Rachman
Kedudukan
sebagai politikus mengundang banyak julukan. Dari
julukan berwajah manis, cantik, serta gagah, hingga sebutan berwajah pahit dan
buruk. Di
percakapan sehari-hari, ada yang bilang secara terburu-buru bahwa politikus
sama dengan negarawan. Tanpa politikus, tidak akan ada demokrasi. Pun politikus
bilang, “Suara rakyat itu suara Tuhan.” Slogan
ini bisa diterima kalau rakyat dan
politikus memang bertuhan, demikian pendapat seorang sahabat pada satu diskusi.
Ada juga yang tergesa-gesa mengatakan tidak sedikit
politikus itu adalah pembohong. The Art of
Possibility,
sebagaimana sering didalilkan dalam berpolitik, juga mencakup seni berbohong.
Ada lagi yang berpendapat fatalistik, saking kecewanya terhadap perilaku
politikus di negeri ini. “Mari kita berdemokrasi tanpa
politikus,” katanya.
Di negeri sendiri, terutama pada pertemuan-pertemuan
resmi, para pembaca pidato sering menyapa politikus dengan julukan “anggota
Dewan yang terhormat”. Julukan “terhormat” menjadi pemanis bahasa resmi, meski
sehari-hari kita juga dijejali dengan berita tentang korupsi oleh politikus di
berbagai lembaga demokrasi.
Demikian
“terhormatnya”, banyak politikus diajak dan dilibatkan sebagai pengurus di
berbagai organisasi sosial dan agama.
Jadilah politikus berkaki banyak. Mereka ada di mana-mana. Ujungnya,
berbagai organisasi masyarakat sipil tak lagi mampu bersikap kritis terhadap
orang-orang yang dibilang “terhormat” ini. Tak ada lagi diferensiasi peran
antara politikus dan pemimpin organisasi masyarakat.
Julukan
“anggota Dewan yang terhormat” adalah hal yang wajar. Malah, di berbagai
tulisan akademis tentang politik, politikus dipersamakan dengan The Kingly Man, yaitu orang-orang yang
dirajakan. Diperlakukan bagaikan raja, tapi bukan raja, kira-kira begitu bahasa
persamaannya.
Politikus
juga disetarakan sekaligus dibedakan dengan pangeran. Persamaannya adalah
sama-sama disapa “Your honor”,
“Engkau yang Terhormat”. Perbedaannya, politikus berurusan
dengan demokrasi, sementara pangeran berurusan dengan monarki. Politikus diberi
kehormatan di atas kekuasaan rakyat.
Itu
sebabnya, politikus berkewajiban menemu-kenali seluk-beluk demokrasi dan mahir
menjalankan mesin demokrasi untuk dan atas nama hak-hak politik orang banyak.
Sedangkan pangeran mewarisi kehormatan secara otomatis berdasarkan kekuasaan
keluarga.
Dengan
kewajiban seperti itu, para politikus diyakini sebagai orang-orang yang
berkemampuan untuk melembagakan masalah orang banyak. Mereka sejatinya adalah
pribadi-pribadi yang sanggup mentransformasikan rakyat menjadi satu bangsa.
Mereka
dijuluki “anggota Dewan yang terhormat” karena diberi kewajiban demokrasi,
yaitu mengubah konstitusi manusia untuk tujuan penguatan peradaban kemanusiaan.
Malah, para politikus berkewajiban moral memperkuat peradaban demokratis. Bukan
peradaban sebagaimana disindir oleh Lord Acton, “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely. Great
men are almost always bad men.” Kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan
absolut akan korup secara absolut pula. Orang-orang besar hampir selalu
merupakan orang-orang buruk.
Ego
orang-orang “terhormat” tak mudah diketahui. Tapi, rumusan Carl Golden tentang
arketipe (archetype, wajah pola dasar
ego) manusia dapat dipakai. Konsep dan analisis tentang wajah ego pada mulanya
dipelopori oleh psikiater berkebangsaan Swiss, yaitu Carl Gustav Jung. Gustav
Jung percaya bahwa arketipe adalah bawaan yang bersifat universal dan
turun-temurun. Arketipe memandu manusia untuk mengatur dan bertindak. Arketipe
adalah ketidaksadaran kolektif yang berwujud pada perilaku atau kepribadian.
Di
antara 12 macam arketipe yang diturunkan oleh Carl Golden, kualitas seorang
pemimpin diurai dalam dua wajah ego. Ego yang berwajah The Magician dan bermuka The
Ruler (ego Pemimpin yang Pesulap dan Pemimpin yang Penguasa). Ego Pemimpin
yang Pesulap dianggap memahami hukum-hukum alam, memiliki cakrawala dan cara
pandang yang visioner, bercitra karismatik, dan mampu mengubah keadaan
(mengubah dunia). Sedangkan ego Pemimpin yang Penguasa selalu menganggap
dirinya, dan meminta orang banyak memperlakukannya, sebagai bos, raja, atau
ratu. Pemimpin seperti ini rajin mencitrakan dirinya sebagai bangsawan.
Tapi,
jangan mengartikan pesulap di sini sama dengan orang yang memiliki keterampilan
seperti sosok Deddy Corbuzier, Romy Rafael, atau Demian Aditya, yang semuanya
berkiprah di panggung entertainment.
Mereka adalah pesulap sejati, bukan politikus.
Kita,
sekarang, mencari pemimpin yang dapat menyulap kalangan elite yang memiliki
tabiat korupsi menjadi elite yang bersih. Kita, sekarang, menanti pemimpin yang
dapat mengubah rakyat yang gemar menggadaikan suara politiknya menjadi rakyat
yang mandiri dan tahu apa artinya hak politik. Jika tidak, pemimpin dan rakyat
akan berada di lingkar setan tak bermoral, yaitu pemimpin yang suka membeli dan
rakyat yang gemar menggadaikan.
Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, 27 Agustus 2017