“Persoalan kemanusiaan sekarang adalah kebalikan dari
kemanusiaan yang dipandu oleh mitologi.”
Joseph Campbell
Adalah Joseph Campbell, seorang scholar mitologi, yang bersikap kritis terhadap kualitas manusia modern. Campbell mendaku, manusia modern telah kehilangan kisah, manusia tanpa mitos. Karenanya, manusia modern tak lebih dari kerumunan manusia tak berkisah. Di Nusantara, idola tentang si Kancil yang cerdik berhadapan dengan si Buaya yang suka menipu juga pergi. Si ibu yang mesti mengutuk si Malin Kundang yang durhaka juga menghilang. Si Pitung, tokoh legendaris dalam menghadapi segala kejahatan, entah ke mana. Legenda tokoh baik dan tokoh pecundang serta fabel kebajikan dan kemunafikan telah pergi.
Idola telah mati. Hero dan kebajikan ikut terkubur. Idola dan hero tak lagi hadir menyediakan misteri. “Engkau telah membunuh semua dewa-dewi,” kira-kira begitu sindir Nietzsche yang, oleh banyak kalangan, dibilangkan sebagai pemikir kafir. Kini, manusia mengidolakan diri sendiri, merasa bisa menentukan nasib sendiri. Manusia modern telah menarik diri dari kelompoknya, dari komunitasnya, bahkan dari masyarakatnya. Idola dan hero manusia modern tak lain adalah dirinya sendiri.
Manusia-diri-sendiri adalah psyche manusia—biasa dibilangkan sebagai jiwa—yang terlepas dari kelompok, begitu pendakuan Joseph Campbell. Manusia-diri-sendiri adalah kumpulan psyche individu yang menarik diri keluar dari kolektivitasnya, terempas dari komunitas dan masyarakatnya. Lalu, setiap individu teralienasi, terasing dari kumpulan. Psyche individu mirip yang dibilangkan Chairil Anwar, sang penyair, “binatang jalang yang terbuang dari kumpulannya”.
Mitos adalah soal makna. Fabel dan legenda adalah soal kebajikan. Makna dan kebajikan dialirkan dan mengalir melalui kelompok dan kumpulan individu. Kadang-kadang, makna dan kebajikan dihadirkan melalui tokoh atau tokoh simbolik. Sering kali sang tokoh hadir secara anonim. Tapi justru status anonimitas sang tokoh yang menjadi pagar bagi setiap individu untuk tidak leluasa mengekspresikan dirinya sendiri, apalagi untuk bebas mengalahkan dan meniadakan individu lain dalam kelompok. Sensasi misteri sang tokoh lalu menjadi pengikat psyche kelompok.
Melalui mitos, individu dalam kelompok lalu terikat dan bergerak secara bersama. Psyche individu terpelihara dan terhubung dengan psyche individu lain. Lalu jadilah psyche kelompok. Psyche kelompok menjelma sebagai arena kehidupan bersama. Psyche individu saling menjaga agar kelompok tak buyar. Psyche “sipatuwo sipatokkong”, “saling menghidupi, saling menegakkan”, begitu ungkapan pepatah Bugis. Atau, psyche “saribbattang sipaenteng siri”, “bersaudara, saling meninggikan harga diri”, begitu petitih Makassar yang mendudukkan psyche antar-individu sebagai yang berasal dari satu perut: rahim ibu.
Tapi psyche kelompok sekarang mengalami krisis. Tak ada lagi kesadaran kelompok, kata Campbell. Psyche kelompok kini terhambur ke psyche individu yang teralienasi satu sama lain. Idola, makna, dan kebajikan kelompok ikut berantakan. Di sini, individu tak lagi mengenali individu lain, dan tak lagi bergerak bersama. Yang satu ke kiri, lainnya ke kanan. Komunikasi antara kesadaran dan ketaksadaran psyche manusia menciptakan zona yang berkeping dan terbelah. Di situ, kata Campbell, kesadaran sosial manusia modern terempas menjadi ketidaksadaran.
Maka, masyarakat dan komunitas kini mengalami degradasi sedemikian rupa hingga menjadi tak lebih dari sekadar kerumunan. Panggung kerumunan tak mampu menghadirkan hierarchical pantomime, yaitu psyche individu untuk menjadi peniru yang baik secara hierarki. Manusia tak lagi berkemampuan belajar kebajikan secara berjenjang: dari komunitas, ke masyarakat, hingga ke kebangsaan.
Itu sebabnya manusia modern tak lagi hidup di masyarakat yang berfungsi sebagai pembawa spiritualitas, ujar Campbell. Atau, manusia modern adalah wujud kematian semua dewa-dewi, sebagaimana penilaian Nietzsche. Di situ, tak ada lagi misteri, tak ada utopia. Misteri tokoh dan kebajikan redup secara misterius. “Utopia hidup bersama” lenyap begitu saja.
Bagaimana bisa tiba pada “misterium tremendum at fascinans”, “misteri dari segala pesona”, sebagaimana dibilangkan Rudolf Otto, jika psyche manusia tak belajar dari rangkaian dan susunan misteri kecil yang tersedia di rahim kebudayaan? Kalau tak bersedia menjadi pantomim, psyche individu hanya jatuh cinta kepada benda dan kuasa.
Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, 28 Agustus 2014