SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Sunday, November 29, 2015

Ingat yang Pernah Engkau Ucapkan!

Alwy Rachman

And mind the words that thou and I said”, “dan ingatlah kata-kata yang pernah engkau dan aku ucapkan”, begitu kalimat berulang yang ditemukan dalam cerita rakyat Jerman. Penemu sekaligus penulis kisah ini dikenal sebagai Grimm Bersaudara. Dua scholar yang sedarah ini tak lain adalah Wilhelm Grimm dan Jacob Grimm. Keduanya sebagai linguis, leksikograf, dan penulis folklor (cerita rakyat) ternama pada abad ke-19.

Dua pribadi sekandung ini juga dianggap sebagai penulis Cinderella yang kisahnya populer di kalangan anak-anak sedunia. Malah, oleh ilmuwan politik, kisah ini dipakai sebagai satire rujukan untuk mengolok-olok laku para politikus menjelang turun dari takhta kekuasaan. Lebih spesifik, kisah Cinderella dipindahkan sebagai sindrom Cinderella, yaitu sindrom bagi-bagi kekuasaan sebelum sang master turun takhta.

“Dan ingatlah kata-kata yang pernah engkau dan aku ucapkan” adalah sindiran keras yang dilayangkan ke perempuan berpengaruh di istana. Dalam kisah yang berjulukan The Frog Prince, hiduplah seorang putri yang menangis sedih kehilangan bola emas yang jatuh ke dalam sumur. Lalu datanglah kodok berparas buruk yang bersedia membantu mengambilkan bola emas itu. Kodok bermuka buruk itu mengajukan satu syarat: jika berhasil, putri mesti makan sepiring dan tidur seranjang dengannya.

Semula sang putri mengiyakan, tapi kemudian ragu dan mengadu kepada sang ayah. Ayahnya mengatakan, “Keep your word”, “penuhi apa yang engkau telah ucapkan”. Merasa tak didukung, sang putri terpaksa meladeni sang kodok makan sepiring. Jijik bukan kepalang, tapi apa mau dibilang. Lebih sesak lagi, sang kodok meminta tidur seranjang. Dengan amarah membara, sang putri mengajak sang kodok ke kamar. Di sana, sang kodok dicengkeram, lalu diempaskan ke tembok. Maka jadilah sang kodok sebagai pangeran tampan, lepas dari kutukan dan sihir.
***
Adalah kodok, satu di antara hewan, yang dijadikan inspirasi ketika manusia mencari atau kehilangan moral. Di masa lalu, manusia tahu apa arti jika manusia kehilangan moral. Pun manusia, di masa lalu, tahu makna kekuasaan. Moral di kekuasaan adalah hal yang fragile, gampang retak, mudah berkeping, yang dengan gampang membuat manusia tersungkur dan jatuh. Pesona kodok sebagai hewan metafor masih terbenam di bayangan mental manusia.

Di kisah lain, The Parable of the Boiled Frog, kodok adalah metafor simbolik yang dipakai untuk menyindir manusia yang tak suka perubahan. Manusia pembenci perubahan dipersonifikasi sebagai kodok yang enggan meloncat dari air yang mendekati titik didih. Manusia, sesuai dengan pesan literasi hikayat ini, adalah makhluk kepala batu. Saking dalamnya, manusia enggan berhijrah ke wilayah perubahan, meski ia terpanggang di wilayah lama.

Hewan ternyata adalah jembatan utopia. Hewan, dengan demikian, tak sama dan tak serupa dengan binatang. Kualitas hewani suatu makhluk dicerna sebagai sisi metafor potensial untuk menegaskan kualitas manusiawi. Itu sebabnya, khotbah tentang moral disimpan dalam kisah-kisah yang menghubungkan antara manusia dan hewan. Lalu, prinsip-prinsip moral disebar lewat cerita rakyat. Dan, cerita rakyat tak lain adalah rakyat yang bercerita, bukan dan beda dengan penguasa yang bercerita.

Hari-hari ini adalah benderang dari kisah para pencari kuasa. Pencari kuasa gemar cerita yang terjungkir-balik. Hari ini cerita tentang satu hal, besok cerita itu dibelokkan ke hal lain. Hari ini disebar boikot atas pelantikan pemimpin, besoknya rakyat menjadi tertuduh dan sebagai pihak yang salah paham. Kemarin, rakyat datang berbondong, membangun cerita di jalan-jalan raya. Cerita mereka berjulukan, “pesta rakyat mengawal pelantikan sang pemimpin”.

Rakyat datang berbondong mengokupasi dan menduduki ruang politik. Julukan “pesta rakyat” tak lain adalah “parlemen jalanan”. Itu sebabnya, kemarin, ruang politik menjadi tak utuh, terbelah ke dalam dua segregasi. Para politikus di dalam parlemen adalah segregasi elite yang kisah-kisahnya saling memotong, saling salib, dan saling ambil untung. Segregasi di jalanan adalah rakyat yang merasa kisahnya tak sama dengan kelompok elit.

Segregasi rakyat beda sekaligus sama dengan refleksi atas kisah The Frog Prince. Beda, karena rakyat tak mengancam makan sepiring dan tidur seranjang dengan para politikus Senayan. Sama, karena segregasi rakyat ibarat mengatakan, “engkau harus ingat kata-kata yang pernah engkau ucapkan”.


Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, 21 Oktober 2014


 
Alwy Rachman.