Alwy Rachman
Lidahku adalah bahasaku. Bahasaku adalah
identitasku. Identitasku adalah rumahku. Kira-kira begitulah refleksi Gloria
Evangelina Anzaldua terhadap apa yang disebutnya sebagai identitas diri. Dengan
penuh keyakinan, Gloria mengajak semua pihak agar tak melarang orang lain
berbicara, menulis, atau berekspresi dengan bahasa lidahnya sendiri. “Jika
engkau melakukannya, engkau sebenarnya telah melakukan kekerasan.” Gloria pun menambahkan,
“Jika engkau memakai bahasaku dengan cara buruk ketika engkau berbicara
kepadaku, engkau sesungguhnya sedang menyakitiku.”
Gloria adalah seorang penyair, novelis, esais,
sekaligus penulis akademis tentang ruang hidup yang disebutnya sebagai “tapal
batas” (borderlands). “Tapal batas”
yang dimaksud Gloria adalah ruang yang tercipta dari susunan-susunan makna
sebagai akibat dari kepenguasaan atas berbagai identitas: identitas bahasa,
identitas etnik, dan identitas budaya. Bagi Gloria, di “tapal batas”, antara
bahasa baku dan bahasa sehari-hari, antara bahasa tinggi dan bahasa rendah,
antara bahasa bangsawan dan bahasa orang kebanyakan, antara satu bahasa etnik
dan bahasa etnik lainnya, identitas diri seseorang berpeluang tercuri secara
sepihak melalui bahasa. Mereka yang berkemampuan berbicara dan menulis dalam
berbagai bahasa (multiple language)
dilihatnya sebagai pihak yang berpotensi menjadi pencuri bahasa dan untuk
selanjutnya sebagai pencuri identitas.
Pada dirinya sendiri, Gloria adalah perempuan
yang mengalami menstruasi justru saat masih berusia tiga bulan. Menstruasi
sejak masih bayi—karena simtom kelenjar endokrin—membuat pertumbuhan fisiknya
berhenti pada usia 12 tahun. Deritanya tak teratasi karena ia dilahirkan di
keluarga buruh tani. Kalau toh ada keberuntungan mungil untuknya, hal itu tak
lain karena Gloria-lah satu-satunya di keluarga yang bisa menggapai pendidikan
universitas di Texas.
Gloria berpulang ke penciptanya di California
pada 15 Mei 2004, tepat ketika ia berusia 61 tahun. Semasa hidupnya, dengan
derita yang menyertainya dan dengan bekal pendidikan tinggi, Gloria berkelana
di ruang kreatif yang penuh dengan kejutan dan di ruang reflektif yang senyap.
Gloria mengaku takut menulis, tapi lebih takut kalau tak menulis.
Kembara yang liar dan refleksi yang menukik
kemudian membawanya ke dunia literasi yang sarat akan pemikiran filosofis
tentang “tapal batas”. “Tapal batas” yang dimaksudkan di sini adalah ruang yang
tercipta dari kontestasi bahasa, eksistensi, dan identitas diri. Di “tapal
batas” ini, Gloria menemukan lidahnya sendiri sebagai lidah yang binal dan
liar. Ia menyadari bahwa lidahnya tak terkendali ketika menuliskan karyanya ke
dalam bahasa Inggris baku. Lidahnya selalu berontak untuk tetap berekspresi
dalam bahasa ibunya, bahasa Spanyol.
Dalam esainya Mengatasi Lidah yang Liar (How
to Tame Wild Tongue), dengan
penulisan bergaya hibrida, Gloria menyindir bahwa lidah liar tak dapat
dijinakkan, kecuali kalian memotongnya. Gaya ungkap Gloria tanpa tedeng
aling-aling. Secara merdeka, ekspresi bahasa Spanyol dipaparkannya ke dalam
karyanya yang justru, secara keseluruhan, ditulis dalam bahasa Inggris baku,
tanpa merasa perlu menerjemahkannya atau memberi catatan kaki sebagai penjelas
bagi para pembaca bahasa Inggris.
Gloria pun menyebut dirinya sebagai sastrawan
pemakai bahasa Spanglish—gaya hibrida yang mencampur antara bahasa Spanyol dan
bahasa Inggris baku. Baginya, bahasa dominan, bahasa baku, apalagi bahasa asing
adalah wilayah perjuangan yang tak seharusnya menenggelamkan eksistensi dan
identitas diri. Eksistensi dan identitas diri seharusnya memunculkan diri lewat
lidah yang kita pakai untuk bertutur dan lewat pena yang kita pakai untuk
menulis.
Bahasa, dalam filsafat Gloria, adalah kulit kembar
dari identitas diri. Karenanya, penting menyadari dan memastikan bahwa bahasa
yang kita tuturkan atau bahasa yang dipakai oleh orang lain memang adalah milik
diri sendiri atau kepunyaan orang lain. Kalau tidak, kita sedang bertutur atau
kita sedang menulis justru ketika kita sedang mencuri bahasa dan identitas
orang lain. Atau, kita sedang dicuri oleh orang lain tanpa pernah menyadarinya.
Melalui bahasa, kita mungkin kehilangan
eksistensi dan jati diri. Dan, melalui bahasa pula kita dapat menerkam dan
melumat habis eksistensi dan jati diri orang lain. Mulutmu harimaumu. (*)
Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, 5 Maret 2013