Pada mulanya, manusia terlahir tak berdaya.
Pada awalnya, manusia menjalani hidupnya melalui seorang ibu. Untuk hitungan
setahun-dua tahun, kehidupan ibu-anak ini, oleh para ahli, dibilangkan berada
di dunia abjektif, yaitu dunia yang menghubungkan antara pengasuh dan yang
diasuh. Dan, karena itu, dunia seperti ini nirkekerasan. Oleh sebagian orang,
dunia seperti ini disebut sebagai dunia yang membahagiakan, terutama bagi sang
ibu.
Di dunia abjektif, kemampuan manusiawi
anak-anak disusun secara sepotong demi sepotong, sedikit demi sedikit, sembari
menunggu waktu agar sang anak siap memasuki realitas kehidupan sosial yang
berserakan di luar sana. Dengan begitu, segalanya berjalan dan berlangsung
dengan kesediaan berempati dan bersabar bagi sang ibu di atas ketakberdayaan
pada diri sang anak. Inilah dunia yang alamiah di babak awal kehidupan. Dunia
seperti ini, oleh sebagian ahli, disebutnya sebagai “nature”, yang menjadi penanda awal kehidupan.
Selepas dari dunia abjektif, anak-anak akan
berpindah ke dunia sosial. Dunia sosial biasanya diawali di sekolah-sekolah.
Sekolah lalu menjadi jembatan emas yang membawa anak-anak dari dunia yang
diasuh oleh ibunya sendiri ke dunia “lain” yang kita bilangkan sebagai
institusi sekolah. Dunia ini kemudian kita sebut “dunia yang terstruktur secara
rasional”, dunia objektif. Para ahli bilang inilah “culture”.
***
Tapi, sekolah di luar sana, di luar dunia
abjektif, tak serta-merta bersahabat dengan anak-anak. Wajah tulus dunia
abjektif bisa berubah menjadi wajah beringas di dunia objektif. Kepengasuhan
anak-anak yang begitu kuat di rumah dapat menjelma menjadi pembencian tiada
tara terhadap anak-anak. Simaklah pemberitaan kekerasan seksual terhadap
anak-anak lelaki di sekolah yang menyebut dirinya sekolah internasional di
negeri ini. Atau dengarkan dan baca berita dari berbagai media tentang tewasnya
seorang taruna di salah satu akademi. Kejadiannya juga di negeri ini.
Matinya kultur kepengasuhan di
institusi-institusi sekolah malah menjungkirbalikkan anggapan umum, dan juga
anggapan sebagian ahli, bahwa tubuh perempuanlah yang sering dijadikan arena
kekerasan simbolik sebagai akibat kontestasi di antara lelaki. Kini, kekerasan
di sekolah menampakkan wajah dasamuka. Tubuh lelaki pun menjelma menjadi bagian
dari arena kekerasan. Akal yang tak sakit nyaris tak bisa percaya bahwa
anak-anak lelaki pun diperdaya secara menjijikkan oleh lelaki dewasa.
Seorang scholar
tentang kekerasan, Irigaray, membilangkan bahwa kekerasan senantiasa muncul di
ranah sosial dan di ranah simbol. Di sini, persepsi kekerasan dan perilaku
menyimpang dipungut lewat pembelajaran sosial dan mungkin juga melalui
pembelajaran kebudayaan. Dunia sosial yang membenarkan kekerasan dan permisif
terhadap perilaku menyimpang akan merampas habis kualitas tulus dunia abjektif.
Lalu, kekerasan di dunia sosial sering dikukuhkan ke dalam dunia simbol, tanpa
banyak disadari. Makanya, sang taruna tewas melalui simbol sang senior dan
anak-anak dilecehkan melalui persekongkolan para lelaki dewasa penyimpang.
Di ranah sosial ini, konflik dan kekerasan
serta perilaku menyimpang dimanifestasikan dan diekspresikan dengan bermacam
aspeknya dan modusnya. Di sini, mekanisme “pengingkaran” dijalankan, dan
mekanisme “pembencian” difungsikan. Faktanya, di akademi itu, sang senior
mengingkari bahwa sang junior memiliki hak yang sama untuk diperlakukan secara
manusiawi, dan lelaki dewasa di sekolah internasional itu secara sadis membenci
anak-anak.
***
Adalah benar bahwa sekolah bukan
satu-satunya. Kekerasan serupa juga bermunculan di luar sekolah, di masyarakat.
Tapi, bagaimanapun juga, sekolah tetap saja diidolakan sebagai tempat
pembudidayaan manusia, sejak anak-anak, sejak berusia muda. Sekolah, dengan
demikian, menjadi wadah untuk membiasakan dan meneladani apa saja yang baik dan
pantas. Kebaikan dunia abjektif sang ibu sejatinya tak hancur lebur oleh lelaki
di sekolah, di dunia objektif.
Perilaku menyimpang yang ditonton
anak-anak, apalagi yang dialaminya, akan menjadi “pembelajaran sosial”. Kesaksian
anak-anak terhadap kekerasan akan membekas pada perilaku dan sikap mereka
kelak. Lalu, jangan heran jika kekerasan pun menjadi kultur dan sekaligus
dikultuskan. Lihatlah anak-anak di beberapa negara di kawasan Afrika dan
Balkan. Di sana, anak-anak cenderung mengunggulkan nilai-nilai “kemenangan”,
“kekuatan”, dan “kekuasaan” untuk menghadirkan rasa takut pada lawan. Begitu
pendakuan Fuad Hasan, mantan Menteri Pendidikan di Republik ini.
Mari kita hentikan lingkar tak bermoral
kekerasan. Mari kita jadikan dunia sekolah yang objektif rasional sebagai
tempat berlanjutnya dunia abjektif.
Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, 6 Mei 2014