Alwy Rachman
“Begitu rakyat membiarkan dirinya
diwakili
secara instan, ia sesungguhnya
telah
meniadakan kebebasannya.”
Jean J.
Rousseau
Angan-angan mencari pemimpin
untuk kebebasan dan pembebasan manusia di tatanan yang dibilangkan ”demokrasi”
bukanlah hal baru. Di ranah pemikiran filsafat, para pemikir senyatanya telah
membilangkan dan meneguhkan sang pemimpin sebagai sentrum di atas semua praktek
kekuasaan. Karena itu, pemimpin semestinya dicari, lalu dikukuhkan melalui
seperangkat perintah moral demokrasi.
Di kalangan filsuf Barat, sang pemimpin dipilih, tentu saja, berdasarkan kerangka perintah moral demokrasi (moral imperative of democracy). John Locke, misalnya, mengidentifikasi tiga hakikat demokrasi (states of democracy) sebagai bagian dari kewajiban sang pemimpin. Hakikat pertama disebutnya sebagai state of liberty (hakikat kebebasan).
State of liberty dibilangkan sebagai kebebasan untuk menyusun tindakan-tindakan yang terikat oleh hukum-hukum alam. State of liberty mengandaikan bahwa seseorang harus merawat kebebasannya sendiri sembari merawat kebebasan orang lain. Hakikat ini mendalilkan bahwa individu yang dapat merawat kebebasannya adalah individu yang berkemampuan menghormati kebebasan orang lain. Sang pemimpin sejatinya sekuat mungkin merawat kebebasan kelompok-kelompok masyarakat yang dipimpinnya.
Hakikat kedua, oleh Locke, dibilangkan sebagai state of equality (hakikat kesetaraan). State of equality menghubungkan secara timbal balik antara keperluan kekuasaan dan rakyat dalam jurisdiksi kekuasaan sang pemimpin. State of equality mendalilkan bahwa semua manusia berasal dari spesies yang sama dan dilahirkan berdasarkan kemurahan alam yang sama. Tak ada manusia yang istimewa atau diberi hak berlebih di hadapan kemurahan alam. Sang pemimpin sekuat mungkin memenuhi kebutuhan kelompok-kelompok masyarakatnya secara setara.
Hakikat ketiga adalah apa yang dibilangkan sebagai state of licence. Hakikat ini menyangkut lisensi (mandat) bagi sang pemimpin untuk menyelenggarakan kedua hakikat demokrasi di atas. Pelembagaan konflik dan aspirasi di antara segenap kepentingan kelompok-kelompok masyarakat bisa juga diartikan sebagai penyelenggaraan state of licence. Sang pemimpin, berdasarkan mandat sosialnya, melayani kelompok-kelompok masyarakatnya tanpa memihak.
Di kalangan filsuf Barat, sang pemimpin dipilih, tentu saja, berdasarkan kerangka perintah moral demokrasi (moral imperative of democracy). John Locke, misalnya, mengidentifikasi tiga hakikat demokrasi (states of democracy) sebagai bagian dari kewajiban sang pemimpin. Hakikat pertama disebutnya sebagai state of liberty (hakikat kebebasan).
State of liberty dibilangkan sebagai kebebasan untuk menyusun tindakan-tindakan yang terikat oleh hukum-hukum alam. State of liberty mengandaikan bahwa seseorang harus merawat kebebasannya sendiri sembari merawat kebebasan orang lain. Hakikat ini mendalilkan bahwa individu yang dapat merawat kebebasannya adalah individu yang berkemampuan menghormati kebebasan orang lain. Sang pemimpin sejatinya sekuat mungkin merawat kebebasan kelompok-kelompok masyarakat yang dipimpinnya.
Hakikat kedua, oleh Locke, dibilangkan sebagai state of equality (hakikat kesetaraan). State of equality menghubungkan secara timbal balik antara keperluan kekuasaan dan rakyat dalam jurisdiksi kekuasaan sang pemimpin. State of equality mendalilkan bahwa semua manusia berasal dari spesies yang sama dan dilahirkan berdasarkan kemurahan alam yang sama. Tak ada manusia yang istimewa atau diberi hak berlebih di hadapan kemurahan alam. Sang pemimpin sekuat mungkin memenuhi kebutuhan kelompok-kelompok masyarakatnya secara setara.
Hakikat ketiga adalah apa yang dibilangkan sebagai state of licence. Hakikat ini menyangkut lisensi (mandat) bagi sang pemimpin untuk menyelenggarakan kedua hakikat demokrasi di atas. Pelembagaan konflik dan aspirasi di antara segenap kepentingan kelompok-kelompok masyarakat bisa juga diartikan sebagai penyelenggaraan state of licence. Sang pemimpin, berdasarkan mandat sosialnya, melayani kelompok-kelompok masyarakatnya tanpa memihak.
***
Mirip dengan para pemikiran
filsafat, dalil bahwa sang pemimpin adalah sentrum di atas praktek kekuasaan
juga tercitra dari apa yang dibilangkan sebagai kearifan politik lokal Sulawesi
Selatan. Jauh di masa lampau, secara politik, seorang pemimpin didudukkan dalam
tiga ranah keistimewaan.
Pertama, secara sederhana, kearifan politik lokal Sulawesi Selatan mendalilkan bahwa pemimpin sejatinya adalah pribadi istimewa. Pribadi yang istimewa dianggap berkemampuan menciptakan tata tertib, menyelenggarakan perlindungan, dan membawa kesejahteraan bagi rakyatnya.
Pertama, secara sederhana, kearifan politik lokal Sulawesi Selatan mendalilkan bahwa pemimpin sejatinya adalah pribadi istimewa. Pribadi yang istimewa dianggap berkemampuan menciptakan tata tertib, menyelenggarakan perlindungan, dan membawa kesejahteraan bagi rakyatnya.
Kedua, karena pemimpin adalah pribadi istimewa, ia harus diperlakukan secara
istimewa. Kearifan politik lokal Sulawesi Selatan tak mengizinkan sang pemimpin
diperlakukan sebagaimana orang-orang kebanyakan. Jika sang pemimpin
menyalahgunakan kekuasaan, eksekusi terhadapnya tak serta-merta menghalalkan
tetesan darah sang pemimpin.
Ketiga, pemimpin yang istimewa ini diberi hak untuk mewakilkan kepentingan atas rakyatnya kepada pribadi-pribadi lain yang dipercayainya. Sang pemimpin diberi kesempatan menunjuk orang-orang yang dipercayainya, bukan orang-orang yang disodorkan kepadanya.
Sang pemimpin tak bersumpah atas nama jabatan kekuasaan. Justru rakyatlah yang mengangkat sumpah untuk mengukuhkan kedudukan seorang pemimpin. Isi sumpahnya sederhana: ”belanjakanlah yang pantas engkau belanjakan, ambillah yang engkau pantas ambil, dan mintalah yang pantas engkau minta.” Jadi, kearifan sumpah politik lokal ini tak juga berkehendak membiarkan rakyat mewakilkan dirinya secara serta-merta.
Ketiga, pemimpin yang istimewa ini diberi hak untuk mewakilkan kepentingan atas rakyatnya kepada pribadi-pribadi lain yang dipercayainya. Sang pemimpin diberi kesempatan menunjuk orang-orang yang dipercayainya, bukan orang-orang yang disodorkan kepadanya.
Sang pemimpin tak bersumpah atas nama jabatan kekuasaan. Justru rakyatlah yang mengangkat sumpah untuk mengukuhkan kedudukan seorang pemimpin. Isi sumpahnya sederhana: ”belanjakanlah yang pantas engkau belanjakan, ambillah yang engkau pantas ambil, dan mintalah yang pantas engkau minta.” Jadi, kearifan sumpah politik lokal ini tak juga berkehendak membiarkan rakyat mewakilkan dirinya secara serta-merta.
***
Di luar pemikiran filsafat dan
kearifan politik lokal Sulawesi Selatan, eksistensi sang pemimpin diukur
berdasarkan sistem lain yang berfungsi di masyarakatnya. Bourdieu, misalnya,
melihat bahwa sang pemimpin juga manusia sebagaimana yang lain. Di dalam sebuah
sistem, manusia sesungguhnya tak lebih dari ”manusia plastik”, man is a plastic man.
Pendakuan Bourdieu mengisyaratkan sebuah peringatan, yaitu manusia tak bisa dibilangkan sebagai makhluk bermoral di atas kekuasaan. Bagi Bourdieu, manusia adalah wahana yang mengekspresikan kualitas sistem. Kalau sistem politiknya bermoral, manusia bisa menjadi pemimpin yang baik. Tapi, jika sistem politiknya jahat, manusia teradaptasi menjadi pemimpin jahat. Karena itu, moral kekuasaan semestinya terpasang pada sistem yang berkualitas.
Jadi, kita tinggal memilih cakrawala dalam memandang kedudukan sang pemimpin. Mau menerimanya sebagaimana manusia yang pada dirinya dibilang istimewa, atau justru mencarinya dan mendudukkannya di atas sistem politik yang bermoral.
Pendakuan Bourdieu mengisyaratkan sebuah peringatan, yaitu manusia tak bisa dibilangkan sebagai makhluk bermoral di atas kekuasaan. Bagi Bourdieu, manusia adalah wahana yang mengekspresikan kualitas sistem. Kalau sistem politiknya bermoral, manusia bisa menjadi pemimpin yang baik. Tapi, jika sistem politiknya jahat, manusia teradaptasi menjadi pemimpin jahat. Karena itu, moral kekuasaan semestinya terpasang pada sistem yang berkualitas.
Jadi, kita tinggal memilih cakrawala dalam memandang kedudukan sang pemimpin. Mau menerimanya sebagaimana manusia yang pada dirinya dibilang istimewa, atau justru mencarinya dan mendudukkannya di atas sistem politik yang bermoral.
Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, 9 Juli 2013