“Kehadiran anak-anak
di dunia adalah pertanda bahwa
Tuhan masih
mengizinkan dunia agar tetap berlanjut”
Carl Sandburg
Ideologi
dan utopia adalah soal cara pikir, ibarat berpikir di atas permainan teka-teki “serupa
tapi tak sama”, genre yang pertama kali muncul di media cetak New York World pada tahun 1913, edisi
hari Minggu. Ideologi bukan utopia. Ideologi adalah “cita-cita bersama” tentang
masa depan berdasarkan pengalaman, sementara utopia adalah “cita-cita bersama”,
juga di masa depan, tapi tak didasarkan pada pengalaman.
Imagine adalah genre yang tak lagi percaya
bahwa manusia masih menaruh hormat pada pengalaman manusiawi. Di sini, manusia didakukan
telah tersungkur dari “pengalaman hidup bersama”, kehilangan kapasitasnya
sendiri sebagai makhluk yang berpotensi sebagai manusia. Imagine adalah cermin retak, tempat manusia bisa memandang dirinya
yang hadir sebagai makhluk lain yang “biadab” terhadap sesama.
***
Hari-hari
ini, di ragam pemberitaan media, kekerasan menjadi produksi untuk bacaan utama.
Di negeri sendiri, produksi bacaan atas kekerasan antar orang dewasa, antar lelaki-perempuan, antar orang
dewasa-anak, dan antar anak-anak, semakin deras. Wujud kekerasan pun beragam:
dari penculikan, penganiayaan, pemerasan, begal, pelecehan seksual, hingga
perkelahian. Di negeri sana, kekerasan pun diproduksi lewat berita perang dan
pemboman di bangsa yang sama.
Produksi
bacaan atas kekerasan kini ibarat hidangan di meja “sarapan pagi”. Kekerasan dihidangkan di meja “real time”, dikonsumsi lewat piring,
garpu, dan sendok gadget telpon
pintar. Dengan satu ambilan telunjuk, kekerasan sebagai hidangan segera dipilih,
dikonsumsi satu per satu, pelan tapi pasti, hingga tuntas. Setiap pagi, kita kenyang dengan hidangan kekerasan, dan
besok kita yakin masih ada “sarapan pagi”.
Pagi
ini, di meja “sarapan pagi”, hidangan yang tersedia adalah kekerasan seksual dan
pembunuhan terhadap gadis sembilan tahun di Kalideres, Jakarta Barat. “Sarapan
pagi” yang sama, pernah terhidang di pagi-pagi kemarin, beberapa saat lalu.
Pelakunya orang dewasa, ibu angkat, guru, teman, dan orang-orang terdekat. Para
pelaku ini “menyantap anak-anak secara keji”, kemudian “dihidangkan” sebagai
“sarapan pagi” bagi mereka yang leluasa mengakses “meja makan”.
Meja
“sarapan pagi” tak lagi punya ideologi, apalagi utopia. Berita “sarapan pagi”
nyatanya tak menggerakkan masyarakat luas untuk bertindak sebagaimana mestinya.
Masyarakat telah kehilangan cita-cita dan pengalaman terbaik tentang cara
mengasuh dan mengasihi anak-anak. Di meja yang sama, masyarakat kehilangan
utopia, kehilangan imajinasi tentang pengalaman
baru setelah kehilangan pengalaman ideologi.
***
Di
meja “sarapan pagi”, nasib malang anak-anak tak lebih dari “bacaan” dan
“tontonan”. Drama yang menyakiti anak-anak, hanya berakhir pada “pengetahuan”, tak
lebih dari itu. Drama ini tak lagi mampu mendidik orang-orang dewasa untuk kembali ke
“budaya kepengasuhan”, kosong dari orang-orang dewasa yang mampu mengimajinasikan
utopia anak-anak. “Sarapan pagi” akhirnya berlangsung di meja yang meranggas,
kerontang dari mata batin manusiawi.
Anak-anak
mungkin, karena tak paham, tak hidup
dalam dunia “ideologi”, tetapi menyukai “utopia”. Sayangnya, mereka hadir dan
berada di sekitar orang-orang dewasa yang telah kehilangan ideologi dan kosong utopia.
Padahal, dengan ideologi, anak-anak bisa terselamatkan, dan dengan utopia,
anak-anak tetap bisa berimajinasi atas masa depan.
Mari
tak terburu-buru marah ke John Lenon, cuma karena ia menyindir agama-agama dan
menyentil negara-negara pelaku kekerasan. Darinya kita bisa tahu bahwa di atas
pengalaman ada pengalaman, di atas ideologi ada utopia. Dari sang seniman yang
hidupnya berakhir melalui kekerasan oleh penggemarnya, kita sepatutnya
tercerahkan, “kita tak perlu kehilangan ideologi, tak pantas kekosongan utopia.”
Kehilangan keduanya menjadikan kita makhluk
bukan pemimpi: hewan.
Ideologi
dan utopia memang ibarat teka-teki “serupa tapi tak sama”. Hidangan kekerasan
di meja “sarapan pagi” yang dari hari ke hari, tahun ke tahun, itu-itu lagi,
seringkali membuat kita takluk tak berdaya. Akhirnya, “serupa tapi tak sama”
memaksa kita hanya duduk, membaca, atau sekadar menonton. Kita adalah
mayat-mayat yang sedang menyantap “sarapan pagi”.