SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Wednesday, December 2, 2015

Anak-anak di Meja “Sarapan Pagi”

Alwy Rachman
 
“Kehadiran anak-anak di dunia adalah pertanda bahwa
Tuhan masih mengizinkan dunia agar tetap berlanjut”
                                                                 Carl Sandburg

Adakah dunia tanpa kekerasan? Pertanyaan ini pasti utopis, sama utopisnya dengan senandung John Lenon dalam Imagine, senandung yang berkehendak mengeritik agama-agama dan negara-negara pelaku kekerasan. Imagine bukan lagi mimpi tentang manusia yang setia pada ideologi. Ia adalah suara lirih utopis yang berkehendak menarik manusia keluar dari kekerasan.

Ideologi dan utopia adalah soal cara pikir, ibarat berpikir di atas permainan teka-teki “serupa tapi tak sama”, genre yang pertama kali muncul di media cetak New York World pada tahun 1913, edisi hari Minggu. Ideologi bukan utopia. Ideologi adalah “cita-cita bersama” tentang masa depan berdasarkan pengalaman, sementara utopia adalah “cita-cita bersama”, juga di masa depan, tapi tak didasarkan pada pengalaman.

Imagine adalah genre yang tak lagi percaya bahwa manusia masih menaruh hormat pada pengalaman manusiawi. Di sini, manusia didakukan telah tersungkur dari “pengalaman hidup bersama”, kehilangan kapasitasnya sendiri sebagai makhluk yang berpotensi sebagai manusia. Imagine adalah cermin retak, tempat manusia bisa memandang dirinya yang hadir sebagai makhluk lain yang “biadab” terhadap sesama.
***
Hari-hari ini, di ragam pemberitaan media, kekerasan menjadi produksi untuk bacaan utama. Di negeri sendiri, produksi bacaan atas kekerasan antar orang  dewasa, antar lelaki-perempuan, antar orang dewasa-anak, dan antar anak-anak, semakin deras. Wujud kekerasan pun beragam: dari penculikan, penganiayaan, pemerasan, begal, pelecehan seksual, hingga perkelahian. Di negeri sana, kekerasan pun diproduksi lewat berita perang dan pemboman di bangsa yang sama.

Produksi bacaan atas kekerasan kini ibarat hidangan di meja “sarapan pagi”.  Kekerasan dihidangkan di meja “real time”, dikonsumsi lewat piring, garpu, dan sendok gadget telpon pintar. Dengan satu ambilan telunjuk, kekerasan sebagai hidangan segera dipilih, dikonsumsi satu per satu, pelan tapi pasti, hingga tuntas. Setiap pagi,  kita kenyang dengan hidangan kekerasan, dan besok kita yakin masih ada “sarapan pagi”.

Pagi ini, di meja “sarapan pagi”, hidangan yang tersedia adalah kekerasan seksual dan pembunuhan terhadap gadis sembilan tahun di Kalideres, Jakarta Barat. “Sarapan pagi” yang sama, pernah terhidang di pagi-pagi kemarin, beberapa saat lalu. Pelakunya orang dewasa, ibu angkat, guru, teman, dan orang-orang terdekat. Para pelaku ini “menyantap anak-anak secara keji”, kemudian “dihidangkan” sebagai “sarapan pagi” bagi mereka yang leluasa mengakses “meja makan”.

Meja “sarapan pagi” tak lagi punya ideologi, apalagi utopia. Berita “sarapan pagi” nyatanya tak menggerakkan masyarakat luas untuk bertindak sebagaimana mestinya. Masyarakat telah kehilangan cita-cita dan pengalaman terbaik tentang cara mengasuh dan mengasihi anak-anak. Di meja yang sama, masyarakat kehilangan utopia, kehilangan imajinasi tentang pengalaman  baru setelah kehilangan pengalaman ideologi.
***
Di meja “sarapan pagi”, nasib malang anak-anak tak lebih dari “bacaan” dan “tontonan”. Drama yang menyakiti anak-anak, hanya berakhir pada “pengetahuan”, tak lebih dari itu. Drama ini tak lagi mampu  mendidik orang-orang dewasa untuk kembali ke “budaya kepengasuhan”, kosong dari orang-orang dewasa yang mampu mengimajinasikan utopia anak-anak. “Sarapan pagi” akhirnya berlangsung di meja yang meranggas, kerontang dari mata batin manusiawi.

Anak-anak mungkin, karena tak paham, tak hidup dalam dunia “ideologi”, tetapi menyukai “utopia”. Sayangnya, mereka hadir dan berada di sekitar orang-orang dewasa yang telah kehilangan ideologi dan kosong utopia. Padahal, dengan ideologi, anak-anak bisa terselamatkan, dan dengan utopia, anak-anak tetap bisa berimajinasi atas masa depan.

Mari tak terburu-buru marah ke John Lenon, cuma karena ia menyindir agama-agama dan menyentil negara-negara pelaku kekerasan. Darinya kita bisa tahu bahwa di atas pengalaman ada pengalaman, di atas ideologi ada utopia. Dari sang seniman yang hidupnya berakhir melalui kekerasan oleh penggemarnya, kita sepatutnya tercerahkan, “kita tak perlu kehilangan ideologi, tak pantas kekosongan utopia.”  Kehilangan keduanya menjadikan kita makhluk bukan pemimpi: hewan.

Ideologi dan utopia memang ibarat teka-teki “serupa tapi tak sama”. Hidangan kekerasan di meja “sarapan pagi” yang dari hari ke hari, tahun ke tahun, itu-itu lagi, seringkali membuat kita takluk tak berdaya. Akhirnya, “serupa tapi tak sama” memaksa kita hanya duduk, membaca, atau sekadar menonton. Kita adalah mayat-mayat yang sedang menyantap “sarapan pagi”.

 
 
Alwy Rachman.