Seppuku, seperut dan sesarung adalah kisah
kebudayaan. Yang pertama berakar di negeri Matahari, Jepang. Dua terakhir
tertanam di negeri Ayam Jantan dari Timur: Sulawesi Selatan. Yang pertama dan
dua terakhir punya kesamaan, pun punya perbedaan. Kesamaannya adalah
persahabatan dan perbedaannya pada soal fungsi senjata di atas persahabatan. Yang
pertama dibilangkan sebagai tradisi Bushido, sementara dua terakhir disebut
sebagai tradisi siri’.
Tradisi Bushido dipandu oleh tujuh nilai: Gi, Yuu, Jin, Rei, Makoto, Meiyou, dan Chuugi. Sementara tradisi siri’ dikawal
empat nilai: Siri na Pesse, Lempu na Getteng. Jika diterjemahkan, kualitas Bushido
tak lain adalah integritas, keberanian, kecintaan antar sesama, kesantunan,
keikhlasan, kemuliaan, dan loyalitas. Jika dirinci, kualitas siri’ tak lain
adalah kehormatan, empati yang dalam, jujur dan tegar. Keseluruhan kualitas ---
Jepang dan Sulawesi Selatan --- adalah nilai-nilai yang berdiam di ruang sadar,
ruang paling senyap, paling religius, dan tersimpan paling jauh dan paling
dalam pada diri manusia Jepang dan manusia Bugis Makassar.
Namanya juga nilai-nilai, keseluruhan
kualitas ini menjadi semacam “ideologi kebudayaan”, itu pun kalau “ideologi
kebudayaan”, dengan sangat terpaksa, diterjemahkan sebagai “cita-cita bersama
dari satu kaum”. Kumpulan kualitas ini semacam “batu cadas” yang mengakar dan
menjadi jalan bagi dua manusia dari dua kawasan. Jalan yang tak lain bertujuan
menegakkan negeri, menghidupi budaya, mengayomi masyarakatnya, memelihara
keluarganya. Tentu saja, untuk merawat sahabat dan persahabatan.
***
Tanpa nilai-nilai, persahabatan adalah
dunia yang licin. Tanpa nilai-nilai, sisi manusiawi sang sahabat menjelma
menjadi animal. Di dalam keadaan tak
terelakkan, dalam situasi tak ada pintu keluar, tujuh nilai-nilai Jepang dan 4
nilai Bugis Makassar akan menyatakan dirinya ke simbolisme “senjata”. Fungsi
budaya senjata inilah yang kemudian dipindahkan ke dalam lambang budaya:
Samurai bagi Jepang, Badik bagi Bugis-Makassar.
Tapi, jangan sekali-kali salah
paham. Samurai dan Badik bukan untuk kekejaman, bukan untuk “membunuh” tanpa
alasan, pun bukan untuk ingkar dan hianat pada sang sahabat. Samurai dan Badik
adalah wajah terdepan dari integritas diri.
Seppuku di para samurai boleh dibilangkan
sebagai “spirit persahabatan”. Tradisi Badik juga tak lain adalah “semangat persaudaraan”.
Seorang samurai akan melakukan upacara Seppuku --- biasanya kita dengan lancang
menyebutnya “bunuh diri” --- jika eksistensi “Yang tahu” dan “Yang Jiwa” dalam
dirinya membisikkan pada “Yang Sadar”: “engkau bersalah”. Tak ada alasan bagi seorang
Samurai merusak persahabatan dengan negara dan negerinya, dengan masyarakatnya,
dengan keluarganya, dan dengan sahabat-sahabatnya. Maka, senjata segera
berfungsi dan paling pantas diarahkan ke perut --- bagian terlemah pada tubuh.
Senjata untuk memerdekakan “Yang Tahu” dan “Yang Jiwa”.
Dalam beberapa peristiwa, badik juga adalah
“semangat persaudaraan”. Sekeras apa pun konflik yang dihadapi oleh dua
sahabat, persaudaraan “tak bisa digadaikan”. Badik yang bekerja dari
sahabat-sahabat di dalam “satu sarung” tak bermaksud “ingkar pada sahabat”. Di
“satu sarung”, “Yang Tahu” dan “Yang
Jiwa” akan membisik ke “Yang Sadar” dari mereka yang bersahabat: “engkau
bersaudara”.
Persaudaraan dalam bahasa
Bugis-Makassar disebut sebagai “saribbattang”,
“silissureng” yang membawa pesan sama
“dari dan berasal dari perut yang satu”. Pasti yang dimaksud di sini “perut
ibu”, lelaki tak pernah memiliki kualitas religius perut sebagaimana “perut
ibu”. Jadi, badik adalah wajah paling kasat mata dari kualitas kasih paling
mengharukan: perut ibu. Itu alasannya, jika persaudaraan dan persahabatan tiba
di titik ekstrim, “para sahabat” biasanya memilih “satu sarung”, ketimbang
membawa aib sang sahabat ke mana-mana.
***
Di seppuku, sang samurai “tak bunuh diri”. Orang
luar yang latah lah menyebutnya demikian. Di “satu sarung”, dua sahabat “tak
saling bunuh”. Orang luar pula yang membilangkan “kejam”. Seppuku dan satu
sarung akan melenyapkan sang tubuh, wadah pembawa aib. Di situ, aib sang
sahabat akan pergi bersama sang tubuh. Sampai di situ. Aib sang sahabat tak
dijalarkan dan tak digelincirkan. Di ritus seppuku, Sang Samurai “tak
menyalahkan” ihwal di luar dirinya. Di “satu sarung”, sang Bugis dan Sang
Makassar tak menggadai aib sahabatnya ke mana-mana.
Di peristiwa seppuku dan “satu sarung”, “Yang
Tahu” dan “Yang Jiwa” dalam diri manusia lepas tanpa retak. Sang samurai tak
kehilangan masyarakat, tak kehilangan keluarga, dan tak kehilangan sahabat. Di
“satu sarung”, Sang Bugis-Makasssar tak kehilangan sahabat, tak kehilangan
individu seperut. Di keduanya, kita bisa merefleksi dan belajar tentang
kehadiran sahabat dan belajar mengenali budaya persahabatan. Sayang sekali, kini kita kehilangan “ideologi
sahabat”. Sayang, “budaya sahabat” kini meredup padam.
Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tribun Makassar