Alwy Rachman
“War is peace. Freedom is slavery. Ignorance is strength”
George Orwell dalam 1984
“Perang adalah perdamaian. Kebebasan adalah perbudakan. Ketidak-pedulian adalah kekuatan”, begitu pernyataan paradoks Orwel yang banyak dibincangkan oleh kritikus sastra dan kritikus bahasa. Orwel, didakukan sebagai sebagai novelis satiris yang karya-karya besarnya mengolok-olok, mengejek-ejek para politikus yang gemar perang. Gaya olok dan gaya ejeknya tak kepalang. Gaya ungkapnya dibilangkan sebagai laku sastra binatangisme.
Di novel 1984, Orwel memutasi kualitas manusia politikus ke kualitas binatang politik. Di sini, kehadiran manusia politikus dengan “binatang politik” menjadi paradoks. Dibilangkan begitu, karena manusia politikus bukan binatang, demikian sebaliknya. Itu sebabnya, novel Orwel yang memunculkan manusia politikus dinilai sarat paradoks, penuh kontradiksi. Melalui cara itu, penulis sekaliber Orwel telah “memenjarakan” para pembacanya ke dalam satu persetujuan, yaitu “manusia politikus adalah binatang politik”.
Oligarki penguasa bisa saja tak menyukai gaya ungkap paradoks. Gaya ini menyakitkan dan membanting “citra” kelompok. Tapi, lewat gaya ini, orang lain dapat mengerti “kemungkinan lain”, meskipun makna yang terbawa tak kompatibel dengan makna yang dipercaya banyak orang. Novel satiris 1984 Orwel, misalnya, dianggap “memukul” secara telak para tiran di Rusia selama berlangsungya perang dingin. Novel ini sekaligus didudukkan sebagai refleksi Orwell atas bahaya kekuasaan otoriter.
Paradoks adalah “pikiran yang ingkar” terhadap satu kenyataan. Apalagi, kalau kenyataan itu berada di luar dirinya dan di luar pikirannya. Paradoks, dengan demikian, tak lain adalah penolakan manusia atas “pikiran lain”. Jauh di masa lampau, di sekitar 2500 sebelum Masehi, Plato telah berkisah dalam The Republic. Isinya tak lain paradoks manusia narapidana. Kisah itu dikenang sebagai Allegory of The Cave. Disebut juga sebagai Parable of The Plato’s Cave, “Pengibaratan Gua Plato.”
Di gua Plato ini, tiga orang tertawan di hampir seluruh hidupnya. Mereka terpenjara jauh di kedalaman gua. Di sepanjang peristiwa, ketiganya hanya menerima gambar bayang-bayang di dinding gua yang terpancar dari nyala api yang ditempatkan di belakang mereka. Bayang-bayang ini kemudian diindra oleh ketiganya sebagai “kebenaran mutlak”. Walhasil, satu diantaranya berhasil melepaskan diri dan keluar gua. Tapi, realitas sungguhan di luar gua dianggapnya sebagai paradoks.
Bagi Plato, paradoks akan dialami oleh mereka yang terpenjara oleh “pikiran sendiri” ketika bertemu dengan kenyataan lain. Sama dengan peringatan sekaligus sindiran susulan Jean Paul Sartre, seorang filsuf berkebangsaan Perancis, “Engkau adalah narapidana oleh pikiranmu sendiri”. Atau, seperti gambaran Tim Hurson dalam Think Better, dipublikasi tahun 2008, tentang pendakuan para pertapa Budha, “engkau berpikir seperti seekor monyet” (monkey mind) , melompat dari satu pohon ke pohon lain, untuk mencari buah. Di mana ada buah, ke sana engkau melompat.
Paradoks adalah ajakan keluar dari “cara pikir itu-itu saja”. Karena berada di luar pengalaman indrawi, paradoks yang dinyatakan ke dalam bahasa sering dihukum sebagai “violence”, semacam perusakan terhadap bahasa umum. “Semua binatang setara, tapi beberapa binatang lebih setara”, begitu contoh paradoks Orwel. Mana mungkin ada binatang yang setara? Ataubinatang mana yang punya insting kesetaraan? Di sini, paradoks Orwel bukan soal benar atau salah.
Paradoks dipakai untuk “memenjara” perhatian pembaca atau pendengar. Di negeri sendiri, paradoks tak hanya dipakai oleh kalangan seniman dan sastrawan. Tak sedikit rakyat di republik ini gemar memakai paradoks untuk menyindir sang pemimpin. Ada yang bilang, “Republik ini adalah Republik Auto Pilot”. Tak sedikit yang pernah menyebut, “presiden republik ini adalah presiden pesolek”.
Pada akhirnya, hari-hari ini muncul pula paradoks yang memindahkan kualitas sang pemimpin menjadi petugas. Sang presiden dihadiahi paradoks baru sebagai “petugas partai”. Selain ungkapan paradoks, laku politikus di negeri ini mendekati refleksi para pertapa Budha, “meloncat dari satu pohon ke pohon lain, untuk mendapatkan buah”. Refleksi ini setara dengan ungkapan, “berpindah dari satu partai ke partai lain, untuk mendapatkan kuasa”.
Loncat dari pohon ke pohon dan pindah dari partai ke partai pasti bukan paradoks. Keduanya adalah realitas politik yang hadir. Para “pencari buah” yang meloncat dari pohon ke pohon, disindir oleh pertapa Budha sebagai “orang-orang yang berpikir monyet”. Politikus yang meloncat dari partai ke partai, dalam ekspresi paradoks nusantara, dibilangkan sebagai “kutu loncat”. Kalau sudah begini, ada benarnya paradoks kalimat akhir Orwel, “Ignorance is strength”, “ketidak-pedulian adalah kekuatan”.