SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Wednesday, June 22, 2016

Bunuh Diri Kelas dan Sang Pemaaf

Alwy Rachman

Bulan Ramadan semakin tua. Sehari-dua hari mendatang, bulan yang dibilang sebagai bulan suci akan pergi. Tapi, aktivitas menjelang kepergiannya membuka apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini. Satu di antaranya adalah tradisi mudik.

Tradisi mudik tidak hanya mempertontonkan fenomena perkotaan, tapi sekaligus memperlihatkan ketakadilan yang tersembunyi bagi kampung. Ibarat ritus raksasa, jutaan orang segera saja bergerak dari kota-kota besar ke kampung-kampung. Kota-kota yang gemerlap, penuh dengan fasilitas, tak serta-merta membuat orang tak akan meninggalkannya. Apalagi bagi mereka yang memang sejak awal tumbuh dengan identitas kampung. Pasti bukan kebencian pada kota, bukan juga keinginan kembali ke kampung untuk selamanya. Yang paling mungkin adalah kerinduan akan identitas masa lalu di kampung.

Tak ada duanya tempat untuk menyaksikan jutaan manusia bergerak dari kota ke kampung, kecuali di Indonesia. Manusia yang jutaan ini, setahun lamanya, secara sosial bisa dibilangkan melakukan “bunuh diri kelas”(class suicide), memilih meninggalkan struktur sosial kampung menuju kota-kota besar. Tujuannya sederhana, mencari hidup di tengah berbagai macam paradoks dan kekerasan sebagaimana yang menjadi ciri kota besar.

Mengikuti analogi almarhum Profesor Mattulada, “Kampung ibarat hulu dan kota sebagai hilir. Semakin ke hulu, air semakin bening. Semakin ke hilir, air semakin buram.” “Bunuh diri kelas” di wilayah-wilayah berair bening tampaknya tak terhindarkan. Kesantunan dan kesederhanaan kampung sebagai kualitas yang dibilangkan “bening” telanjur dikalahkan melalui kekuatan-kekuatan agresif modernitas yang menciptakan kota yang memunculkan kualitas “buram”.

Pun kesahajaan kampung menjadi korban kebijakan politik. Akses yang serba miskin dan terbatas, ekonomi pas-pasan, dan penyelenggaraan pendidikan asal-asalan menyebabkan kampung menjelma menjadi etalase kemiskinan. Orang-orang kampung akhirnya tiba pada pilihan: lebih baik “bunuh diri kelas” daripada “bunuh diri ramai-ramai”. Mari kita mengepung kota.

Jadi, tradisi mudik ibarat “hidup kembali” dari reruntuhan “tradisi primordial kampung”. Atau, bisa juga dibalik, dengan mengatakan tradisi mudik adalah pelarian besar-besaran dari suasana dan aroma kota yang impersonal, paradoks, dan meletihkan.

“Bunuh diri kelas” adalah kisah lama. Gejalanya mulai terlihat di seputar Revolusi Industri di Prancis. Kemajuan dan perkembangan industri yang sedemikian pesat di kota-kota pada masa itu menjadikan para petani dan peternak sebagai pihak yang kalah dalam gerak peradaban. Petani dan peternak yang semula bekerja secara mandiri dan mampu menghidupi dirinya sendiri, pada akhirnya menyerahkan diri ke kota sebagai pekerja yang diupah oleh majikan. Etos kerja yang dikelola secara mandiri berubah menjadi etos kerja yang tergadai ke majikan-majikan di kota-kota. Petani dan peternak tak lagi menjadi majikan atas kerjanya sendiri.

Bulan Ramadan semakin tua. Sebentar lagi kita akan mengakhiri bulan ini dengan momentum “saling memaafkan”. Sikap memaafkan memang adalah bagian dari kualitas pemimpin. Tak ada gunanya menjadi atau mencari pemimpin yang pendendam. Apalagi kalau yang didendami adalah bagian dari bangsa sendiri. Pemimpin yang pemaaf adalah pemimpin yang dapat menjaga rasa keadilan di kota dan di kampung.

Nelson Mandela, negarawan Afrika Selatan, penerima Nobel perdamaian, adalah tokoh pemaaf yang paling dekat dilihat dari sisi waktu peradaban. Perlakuan kasar terhadapnya tiada tara. Ia dipenjara selama lebih 20 tahun oleh lawan-lawan politik yang berkulit putih.
Tapi, ketika momentum kemenangan politik tiba, ia berpidato di hadapan bangsanya, “Saya akan memerdekakan dua pihak. Pihak pertama adalah mereka yang tertindas karena harkat dan martabatnya telah dirampas oleh para penindas. Dan, pihak kedua yang akan saya merdekakan adalah para penindas karena harkat dan martabatnya telah terampas oleh hati nuraninya sendiri.”

Kisah tentang sang pemaaf tentu saja tidak hanya milik Mandela. Lebih jauh ke belakang, kisah tentang sang pemaaf juga bagian dari atribut para nabi. Jadi, pantas pula memaafkan menjadi bagian akhir dari babak kepergian sang bulan suci.

Ramadan sejatinya adalah bulan yang ujung-ujungnya menghasilkan pemimpin yang pemaaf, bukan pemimpin yang gemar menebar bom di tempat-tempat ibadah lain atau menyukai teror sembari teriak-teriak mengacung-acungkan pentungan. Atau sebaliknya, bukan pemimpin yang bersikap narsistik, bermewah-mewah, sembari membiarkan jutaan rakyatnya melakukan “bunuh diri kelas”.

Mereka yang tak mampu memaafkan pihak lain pada dasarnya adalah mereka yang tak bisa berdamai dengan dirinya sendiri. Dengarkan kitab-kitab suci, pun Tuhan menjaminkan dirinya di hadapan manusia sebagai pengampun dan pemaaf. 


Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, 6 Agustus 2013


 
Alwy Rachman.