Bulan Ramadan semakin tua. Sehari-dua hari
mendatang, bulan yang dibilang sebagai bulan suci akan pergi. Tapi, aktivitas
menjelang kepergiannya membuka apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini. Satu
di antaranya adalah tradisi mudik.
Tradisi mudik tidak hanya mempertontonkan
fenomena perkotaan, tapi sekaligus memperlihatkan ketakadilan yang tersembunyi
bagi kampung. Ibarat ritus raksasa, jutaan orang segera saja bergerak dari
kota-kota besar ke kampung-kampung. Kota-kota yang gemerlap, penuh dengan
fasilitas, tak serta-merta membuat orang tak akan meninggalkannya. Apalagi bagi
mereka yang memang sejak awal tumbuh dengan identitas kampung. Pasti bukan
kebencian pada kota, bukan juga keinginan kembali ke kampung untuk selamanya.
Yang paling mungkin adalah kerinduan akan identitas masa lalu di kampung.
Tak ada duanya tempat untuk menyaksikan
jutaan manusia bergerak dari kota ke kampung, kecuali di Indonesia. Manusia
yang jutaan ini, setahun lamanya, secara sosial bisa dibilangkan melakukan
“bunuh diri kelas”(class suicide),
memilih meninggalkan struktur sosial kampung menuju kota-kota besar. Tujuannya
sederhana, mencari hidup di tengah berbagai macam paradoks dan kekerasan
sebagaimana yang menjadi ciri kota besar.
Mengikuti analogi almarhum Profesor
Mattulada, “Kampung ibarat hulu dan kota sebagai hilir. Semakin ke hulu, air
semakin bening. Semakin ke hilir, air semakin buram.” “Bunuh diri kelas” di wilayah-wilayah
berair bening tampaknya tak terhindarkan. Kesantunan dan kesederhanaan kampung
sebagai kualitas yang dibilangkan “bening” telanjur dikalahkan melalui
kekuatan-kekuatan agresif modernitas yang menciptakan kota yang memunculkan
kualitas “buram”.
Pun kesahajaan kampung menjadi korban
kebijakan politik. Akses yang serba miskin dan terbatas, ekonomi pas-pasan, dan
penyelenggaraan pendidikan asal-asalan menyebabkan kampung menjelma menjadi
etalase kemiskinan. Orang-orang kampung akhirnya tiba pada pilihan: lebih baik
“bunuh diri kelas” daripada “bunuh diri ramai-ramai”. Mari kita mengepung kota.
Jadi, tradisi mudik ibarat “hidup kembali”
dari reruntuhan “tradisi primordial kampung”. Atau, bisa juga dibalik, dengan
mengatakan tradisi mudik adalah pelarian besar-besaran dari suasana dan aroma
kota yang impersonal, paradoks, dan meletihkan.
“Bunuh diri kelas” adalah kisah lama.
Gejalanya mulai terlihat di seputar Revolusi Industri di Prancis. Kemajuan dan
perkembangan industri yang sedemikian pesat di kota-kota pada masa itu
menjadikan para petani dan peternak sebagai pihak yang kalah dalam gerak
peradaban. Petani dan peternak yang semula bekerja secara mandiri dan mampu
menghidupi dirinya sendiri, pada akhirnya menyerahkan diri ke kota sebagai
pekerja yang diupah oleh majikan. Etos kerja yang dikelola secara mandiri
berubah menjadi etos kerja yang tergadai ke majikan-majikan di kota-kota.
Petani dan peternak tak lagi menjadi majikan atas kerjanya sendiri.
Bulan Ramadan semakin tua. Sebentar lagi
kita akan mengakhiri bulan ini dengan momentum “saling memaafkan”. Sikap
memaafkan memang adalah bagian dari kualitas pemimpin. Tak ada gunanya menjadi
atau mencari pemimpin yang pendendam. Apalagi kalau yang didendami adalah
bagian dari bangsa sendiri. Pemimpin yang pemaaf adalah pemimpin yang dapat
menjaga rasa keadilan di kota dan di kampung.
Nelson Mandela, negarawan Afrika Selatan,
penerima Nobel perdamaian, adalah tokoh pemaaf yang paling dekat dilihat dari
sisi waktu peradaban. Perlakuan kasar terhadapnya tiada tara. Ia dipenjara
selama lebih 20 tahun oleh lawan-lawan politik yang berkulit putih.
Tapi, ketika momentum kemenangan politik
tiba, ia berpidato di hadapan bangsanya, “Saya akan memerdekakan dua pihak.
Pihak pertama adalah mereka yang tertindas karena harkat dan martabatnya telah
dirampas oleh para penindas. Dan, pihak kedua yang akan saya merdekakan adalah
para penindas karena harkat dan martabatnya telah terampas oleh hati nuraninya
sendiri.”
Kisah tentang sang pemaaf tentu saja tidak
hanya milik Mandela. Lebih jauh ke belakang, kisah tentang sang pemaaf juga
bagian dari atribut para nabi. Jadi, pantas pula memaafkan menjadi bagian akhir
dari babak kepergian sang bulan suci.
Ramadan sejatinya adalah bulan yang
ujung-ujungnya menghasilkan pemimpin yang pemaaf, bukan pemimpin yang gemar
menebar bom di tempat-tempat ibadah lain atau menyukai teror sembari
teriak-teriak mengacung-acungkan pentungan. Atau sebaliknya, bukan pemimpin
yang bersikap narsistik, bermewah-mewah, sembari membiarkan jutaan rakyatnya
melakukan “bunuh diri kelas”.
Mereka yang tak mampu memaafkan pihak lain
pada dasarnya adalah mereka yang tak bisa berdamai dengan dirinya sendiri.
Dengarkan kitab-kitab suci, pun Tuhan menjaminkan dirinya di hadapan manusia
sebagai pengampun dan pemaaf.
Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, 6 Agustus 2013