“Jika engkau punya dua lidah, punya dua bahasa,
Aku ingin bertanya, apa yang engkau akan lakukan,
jika engkau kehilangan lidah pertama, kehilangan bahasa ibu,
Padahal engkau tak tahu betul lidah kedua, bahasa asing, …..”
Sujata Bhatt
Baris-baris kalimat di atas diambil dari puisi seorang penyair India, Sujata Bhatt. Syair yang menginspirasi banyak kalangan ini, nyatanya tak hanya mempersoalkan keselamatan bahasa ibu, tapi bukan juga pada kebencian pada dominasi bahasa asing. Syair Sujata dianggap sebagai ekspresi sastra yang berkelana menyoal berbagai ancaman terhadap kekayaan lokal, termasuk pengetahuan lokal (local knowledge), dari dominasi pengetahuan perusahaan-perusahaan global (global knowledge).
Sujata Bhatt lahir pada 6 Mei 1956 di Ahmedabad. Ia seorang perempuan penyair yang memenangi penghargaan bergengsi seperti Commonwealth Poetry Prize pada 1988, Commonwealth Prize Award pada 1991, dan Tratti Prize pada 2000. Literasi puisi Sujata dianggap sebagai produk seorang seniman yang peka luar biasa, khususnya terhadap ketimpangan yang menganga di antara konflik budaya lokal dan peradaban global. Kumpulan puisi Sujata, oleh kalangan penyair, didudukkan sebagai cara kritis dalam menyoal rasisme di antara budaya Asia, Eropa, dan Amerika Utara.
Di kalangan ilmuwan keanekaragaman hayati, syair-syair Sujata dilihat sebagai kritik terhadap globalisasi dan westernisasi yang berkecenderungan menyeragamkan. Susan Hawthorne, seorang penyair sekaligus aktivis feminis, misalnya, mengaitkan literasi Sujata dengan kerakusan peradaban Barat atas keanekaragaman hayati di semua kawasan suku kecil, kawasan yang dibilangkan oleh Dunia Barat sebagai kawasan liar.
Retorika Barat mengatakan, “Semua pengetahuan dapat diakses oleh semua orang.” Dunia Barat yang memotori peradaban global, lambat atau cepat, akan menggeser habis teknologi manusia-manusia lokal. Peradaban Internet, misalnya, telah membuktikan adagium ini. Mesin Internet, selain nyaris menyeragamkan sistem aksara bangsa-bangsa, mengindividualisasi sistem pengetahuan sedunia. Lalu, “akses teknologi sejagat” ini diterima sebagai bagian dari demokratisasi pengetahuan.
Tapi, seperti kata Susan Hawthorne, demokratisasi di atas sistem pengetahuan ini penuh masalah. Selain terjadinya individualisasi pengetahuan, demokratisasi pengetahuan melalui teknologi cyber tak bisa menyelesaikan keadilan dan kesetaraan. Keadilan di Internet tak bisa dicapai, kalau saja kelaparan, diare, epidemi, serta penyakit-penyakit lainnya masih saja menimpa banyak orang di dunia. Individualisasi pengetahuan tidak menolong peradaban-peradaban kecil.
Susan menambahkan, di beberapa kebudayaan, akses ke sistem pengetahuan diperlakukan secara ketat dari pencurian publik. Susan mencontohkan, di Brasil, masyarakat lokal menyusun Akta Perlindungan Pengetahuan Lokal pada 1994. Meski belum diproklamasikan, Akta Perlindungan itu memuat “hak untuk melindungi pengetahuan lokal dan menolak akses bagi lembaga perlindungan hak intelektual”. Masyarakat lokal menganggap pengetahuan lokal tidak untuk diperjualbelikan dan tak dapat dipindahkan sebagai milik individu. Tak ada jalan bagi individualisasi sistem pengetahuan. Sistem pengetahuan lokal adalah tanggung jawab komunitas lokal.
Kisah-kisah penculikan pengetahuan lokal dan pencurian kekayaan lokal bukan khayalan. Di negeri sendiri, pengetahuan lokal tentang kerja-kerja pertanian telah tercuri dan terampas secara canggih. Belum jauh di masa lampau, jutaan petani dilarang menyimpan bibit padi sesuai dengan tradisi dan pengetahuan budaya Nusantara. Para petani digiring ke sistem pengetahuan pertanian berkaki tiga: bibit, pupuk, dan pestisida. Lalu jutaan petani terperangkap oleh logika pertanian baru: membeli bibit, berburu pupuk, dan bergantung pada pestisida. Para petani segera menjadi konsumen sembari kehilangan pengetahuan lokal. Bahasa lokal tentang pengetahuan pertanian tak lagi terekspresi dari lidah-lidah lokal.
Bahasa-bahasa global, Susan menambahkan, adalah bahasa para pemuja integrasi. Secara spesifik, Susan membilangkannya sebagai integrationist language. Lewat integrationist language, segenap lidah lokal dipotong dan dipaksa menjadi bagian dari lidah global. Lalu, lidah-lidah lokal tak lagi mahir meneruskan sistem pengetahuan lokal ke generasi selanjutnya.
Integrationist language memisalkan hukum-hukum yang diproduksi oleh Dunia Barat sebagai universal. Segenap lidah Barat segera menghasilkan bahasa-bahasa ekonomi pasar. Kata-kata seperti “pasar bebas”, “perdagangan bebas”, “ekonomi pengetahuan”, dan “kampung global” adalah produksi sehari-hari dari lidah peradaban global yang menyembunyikan motif mengambil keuntungan ekonomi. Itu sebabnya, kata-kata seperti ini menjadi tulang punggung di naskah-naskah perjanjian perdagangan multilateral.
Tak susah menduga siapa yang untung dan siapa yang buntung di bahasa global ini. Tapi, apa yang engkau akan lakukan, jika engkau kehilangan lidah pertama. Padahal engkau tak tahu betul apa yang tersembunyi di lidah kedua, di bahasa asing, begitu tanya Sujata Bhatt.
Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, 16 September 2014