Alwy Rachman
Kisah Khatera serupa tapi tak
sama dengan kisah Oedipus. Serupa karena
keduanya adalah tragedi. Identik karena keduanya menempatkan tubuh perempuan
sebagai lokasi perundungan. Tak beda karena tragedi seperti ini adalah penanda
runtuhnya kesepadanan (equity) pada relasi
antara perempuan dengan lelaki. Sama karena kedua tragedi ini mencitrakan kuasa
tak simetris.
Tak sama karena Khatera dirupaksa berulang-ulang oleh ayah kandung; Oedipus justru membunuh ayah kandung lalu
meniduri ibunya sendiri. Khatera adalah tragedi kontemporer bagi tak sedikit gadis
Afgan; Oedipus adalah tragedi mitologi Yunani masa lampau, menjadi rujukan bagi
pencarian banyak ilmuan tentang moral individu dan moral kekuasaan. Ringkasnya,
Khatera adalah fakta keras kontemporer sementara Oedipus adalah proyeksi
mitologi atas jatuhnya moral manusia.
Khatera-Oedipus adalah dua tragedi
berjarak panjang. Kemunculannya berada di bentang waktu ribuan tahun. Lokus
kejadiannya pun di dua kawasan dan tradisi tak serupa. Meski demikian, dimensi
waktu, lokasi dan tradisi menjadi rampat tak berbekas, kecuali pergulatan budi
pekerti manusia atas apa yang disebut tragedi. Tragedi.
Khatera-Oedipus bukan ironi,
apalagi satire. Keduanya bukan kisah simulasi yang berisi kepura-puraan. Pun
keduanya bukan campur sari puitik lelucon. Dirudapaksa oleh ayah kandung secara
berulang-ulang, membunuh ayah sendiri lalu meniduri ibu kandung, lebih layak
dibilangkan sebagai drama panggung di tubuh perempuan. Tubuh perempuan sebagai
pentas telah menebas batas antara fakta dan mitos. Mitos bisa menjadi fakta;
Fakta bisa dirujuk pada mitos.
***
Khatera-Oedipus, kisah serupa
tapi tak sama, sama-sama mengancam institusi keluarga. Penamaan peran institusional
dalam keluarga --- sebagai ayah, ibu, anak, saudara --- menjadi berkeping-keping,
kehilangan nilai-nilai yang mengatur pola hubungan, dan meninggalkan kekacauan
moral. Kita sukar membayangkan Kathera melahirkan dua anak yang tak lain adalah
saudaranya sendiri. Pun kita sulit berimajinasi sosok Oedipus menjadi suami
yang tak lain ibu kandungnya sendiri. Bayang dan imajinasi seperti ini menandai
peringatan keras bahwa keluarga sama sekali bukanlah tempat yang benar-benar
aman.
Bahasa Inggris menyebut kata “keluarga” sebagai “family”. Semantik “family”
berakar pada khazanah bahasa Latin: “famulus”,
“familia”. Keduanya bermakna “household servants”, yaitu “pembantu
rumah tangga”. Peran institusional sebagai ayah, ibu, anak, saudara, dengan
demikian, sesungguhnya adalah peran “pembantu rumah tangga”. Masing-masing kita
tak lain adalah pembantu keluarga. Kekacauan peran --- “ayah kandung menjadi
suami”, “anak menjadi suami”, “saudara menjadi anak” --- akan menempatkan institusi
keluarga sebagai pusat anarki, tanpa tatanan.
Secara socio-psikologis, dalam
keadaan normal, perempuan dengan anak-anaknya adalah hubungan yang terbangun
secara intim. Dunia ibu-anak dibilangkan sebagai “dunia ringkas dan mungil”,
dunia yang berisi kepengasuhan bagi anak-anak. Di dunia seperti ini, anak-anak
memulai literasi peradaban. Nyaris semua manusia melewati dunia ini sebelum
dewasa menuju masyarakat lebih luas. Lihatlah cara Khatera mengasuh
anak-anaknya meski ia sadar bahwa anak-anaknya itu adalah saudaranya sendiri: tanpa
kebencian, tanpa amarah. Cerna pula sikap ibu kandung Khatera: tanpa amarah,
tanpa kebencian terhadap Khatera.
Dunia intim --- dunia ibu-anak
--- akan terampas oleh kekerasan seksual. Kekerasan seksual di antara “para pembantu rumah tangga” (family), akan menghancurkan struktur,
pola, relasi beserta segenap nilai-nilai yang menyertainya: Tragedi. Dengan
alasan ini pula, bisa dimengerti mengapa Negara Perancis mengubah posisi
Khatera dan anak-anaknya menjadi “migran” yang mesti difasilitasi untuk keluar
dari Afganistan. Bisa juga dimengerti mengapa Mitos Tragedi Oedipus menjadi
pusat kajian moral secara kritis oleh banyak kalangan ilmuan dan filsuf secara
transdisiplin.
***
Khatera-Oedipus memang sejatinya
didudukkan ke dalam “arena publik”, bukan dalam pengertian “sekumpulan orang
banyak”, tetapi publik sebagai arena atau wadah untuk membincang, memperjuangkan, dan menyelenggarakan keadilan.
Tragedi Khatera, melalui media televisi, tak lagi bisa disembunyikan di lipatan-lipatan
anarki keluarga. Tragedi Oedipus, melalui media panggung, telah menyadarkan manusia
atas proyeksi kerusakan fundamental institusi keluarga akibat kekerasan
seksual. Tradisi Yunani masa lalu memang tradisi panggung. Panggung, sebelum
teknologi media berkembang, dijadikan arena untuk membangkitkan kemawasan
publik dan untuk mengisi pengetahuan publik.
Di hampir semua tradisi,
menerima kenyataan Khatera sebagai ibu dari saudaranya sendiri nyaris tak
mungkin. Proyeksi Oedipus sebagai suami dari ibu kandungnya sendiri tak berada
di akal sehat. Khatera berada di dua pilihan problematik: pro life atau pro moral. Pro
Life berdiri di atas argumen bahwa hidup adalah segala-galanya. Pro Moral berpendirian bahwa hidup tak
bermoral harus diakhiri.
Khatera, pada akhirnya, memilih pro life setelah mengakhiri ---
menggugurkan --- dua kandungan (pro
moral?). Atau, mungkin di batin
Khatera, pro life yang dipilihnya toh
didasari pada moral kepengasuhan, bagian dari pro moral. Khatera memilih pro life secara jujur: ia bilang akan
menyampaikan tragedi ini pada kedua anaknya kelak setelah dewasa. Oedipus tetap
tak terselesaikan. Oedipus tetap menjadi tragedi abadi, wadah bagi manusia terpelajar
untuk tetap mawas terhadap kejatuhan moral manusia. Mari kita belajar dari
tragedi.
Makassar, 28 November 2018.
No comments:
Post a Comment