“Langit-langit kaca” adalah sebuah pengungkapan simbolik metaforik. Pengungkapan ini dipakai oleh seorang penulis bernama Auster untuk menunjukkan adanya eksistensi garis samar yang bekerja dan berfungsi pada struktur-struktur hirarkis yang secara keseluruhan sulit dilampaui oleh perempuan. Auster menjelaskan bahwa “langit-langit kaca” muncul di semua waktu dan dengan berbagai bentuknya. Dan dengan begitu, perempuan selalu berhadapan dengan hambatan dalam pengembangan karir. Situasi “langit-langit kaca”, secara sederhana, digambarkan sebagai berikut. Sesungguhnya mencapai puncak karir sangatlah mudah bagi perempuan. Tetapi, jika ini terjadi, sang perempuan dianggap ”loner”, yaitu suatu “kekecualian” atau “satu-satunya” atau “ia hanya mewakili seksnya sendiri”, bukan dalam pengertian sosial ekonomi, dan bukan juga dalam dalam pengertian kekuasaan politik.
Terdapat tiga perspektif, dalam pandangan Adler, untuk menjelaskan mengapa eksistensi “langit-langit kaca” bertahan dan bekerja di dalam struktur-struktur hirarkis. Pertama, karakter dan prilaku lelaki telah diletakkan sebagai norma. Norma-norma inilah yang membuat perempuan sulit memasuki arena yang telah terdominasi oleh lelaki. Kedua, kultur organisasi seringkali lebih berorientasi pada prilaku dan sikap dasar organisasional, bukan pada prilaku dan sikap dasar individu pemimpin. Lelaki dalam hal ini lebih mengutamakan lelaki yang dapat membantunya, sebagaimana dirinya, untuk menuju posisi puncak. Ketiga, organisasi pada dasarnya tidak bersifat gender-neutral dan keadaan seperti inilah yang akan menciptakan diskriminasi gender.
“Langit-langit kaca” adalah fakta hidup di hampir semua organisasi. Ia adalah hasil refleksi para ahli terhadap tatanan organisasi yang dibangun dan terbangun oleh manusia. Ia hanya sebentuk atribut pendek dari sederetan pajang atribut yang banyak dipakai untuk menjelaskan segala macam ketimpangan sosial di berbagai tatanan dan struktur. “Langit-langit kaca” seharusnya didemistifikasi, begitu bunyi ajakan Auster.
Meskipun “langit-langit kaca” bukan metafor dari kebudayaan lokal Indonesia dan dengan demikian rasanya asing di telinga, tetapi substansi masalah yang dibawanya memiliki keserupaan dengan kenyataan sosial, organisasional, dan juga di kenyataan kebudayaan kita sendiri. Mengikuti ajakan Auster, untuk keperluan advokasi kesetaraan gender di Indonesia, sedikitnya ada dua perspektif yang dapat dibuka. Pertama, proses advokasi sebaiknya tidak membiarkan dirinya larut dalam pandangan-pandangan bahwa isu gender semata-mata hanya menyangkut ketimpangan hubungan heteroseksual, ketimpangan atribut budaya dan atribut sosial, ataupun hanya berhubungan dengan masalah individu lelaki dan perempuan. Oversosialisasi (sosialisasi yang berlebihan) terhadap isu ini tidak hanya memelihara kontroversi, tetapi juga disalah-artikan oleh para pengambil keputusan. Kedua, advokasi memerlukan keterampilan yang kuat dan rationale yang logis untuk memasuki arena politik. Advokasi atas wawasan dan gagasan tentang isu gender tiba saatnya untuk digeser dari cara abstrak ke cara praktis, dari cara akademik ke cara empirik, dan dari cara retorik ke cara politik.
Arena politik tersusun dari proses-proses pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan dalam merumuskan budget, misalnya, adalah contoh nyata dari proses dan cara politik. Dengan demikian, merumuskan budget yang responsif gender sama artinya menggeser advokasi dari cara retorik ke cara politik. Secara historis, gender budgeting mulai dipromosikan pada tahun 1984 melalui inisiatif pemerintah Australia yang menempatkan budget sebagai instrumen dasar untuk mempromosikan kesetaraan gender. Inisiatif politik seperti ini didasarkan pada keyakinan bahwa anggaran publik berbasis gender akan membawa dampak positif bagi keperluan perempuan. Tujuan inisiatif ini adalah, untuk merumuskan anggaran dan kebijakan-kebijakan lain dengan satu sudut pandang, yaitu mempromosikan kesetaraan gender sebagai bagian integral dari pemenuhan hak-hak asazi manusia. Kini, gender budget telah diselenggarakan di lebih dari 40 negara di dunia.
Perkembangan terakhir, gender budget difokuskan ke tiga isu utama, masing-masing; upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi, upaya peningkatan pengembangan sosial, dan upaya mereduksi ketidakadilan. Percepatan pertumbuhan ekonomi misalnya dapat dilakukan dengan meningkatan investasi pada ranah publik dan ranah swasta. Peningkatan pengembangan sosial bisa dikenali, misalnya, dengan menyediakan pendidikan yang memadai dan mudah diakses. Dan, upaya mereduksi ketidakadilan dengan cara menyediakan sistem peradilan yang memadai dan patut bagi anak-anak dan perempuan.
Contoh-contoh di atas bersifat sederhana. Sesungguhnya, masih banyak pertanyaan gender yang dapat dirumuskan untuk menguji kelayakaan anggaran yang responsif gender. Misalnya: apakah budget untuk pengembangan jalan raya bermanfaat bagi kelompok miskin atau hanya bermanfaat bagi kelompok kaya? Apakah investasi dibidang industri hanya memunculkan industri yang hanya didominasi oleh lelaki? Apakah bisa mempertahankan industri yang pekerjanya dominan perempuan (industri garmen, misalnya)? Apakah budget bisa menciptakan lapangan kerja bagi perempuan dan dengan demikian dapat mereduksi tingkat pengangguran di kalangan perempuan? Apakah budget bisa menyediakan grant untuk menjamin keberlangsungan pendidikan dasar anak-anak miskin? Dan, apakah grant itu tidak termakan inflasi? Apakah tersedia juga tersedia sistem peradilan yang memadai dan patut bagi anak-anak dan perempuan? Apakah budget dapat mengubah akses anak-anak dan perempuan atas pelayanan kesehatan? Dan, masih banyak lagi.
Pada akhirnya, budget yang responsif gender patut dirujuk pada nilai dan fungsi demokrasi. Nilai demokrasi dapat ditakar berdasarkan prinsip-prinsip partisipasi, akuntabilitas, transparansi, dan pelayanan publik sementara fungsi demokrasi adalah menciptakan keteraturan, kesetaraan, dan kemakmuran. Demokrasi bukan umbul-umbul, bukan slogan, bukan juga baliho yang bewarna-warni. Demokrasi hanya bisa tumbuh dari proses dan aktor yang memiliki kredibilitas, identitas, dan integritas. Adalah tugas demokrasi untuk menciptakan good-and-responsible-government dan good-and-responsible-society. Demokrasi memang bukan hadiah surgawi.
Bacaan Pemerkaya:
Banks, James A. dan Michelle Tucker, 1988, “Multicuturalism’s Five Dimensions”, Hasil Wawancara dengan NEA Today Online.
Ember, Carol R dan Melvin Ember (editor), 2003, Encyclopedia of Sex and Gender, London: Kluwer Academic/Plunem Publisher.
Final Report of The Group of Specialist on Gender Budgeting, 2005, Directorate General of Human Rights, Strasbourg: Equality Division, Council of Europe.
Opinion on Gender Budgeting, 2003, Advisory Committee on Equal Opportunities for Woman, http://www.neww.org.pl/
HAM, Lembar Fakta, Kampanye Dunia Untuk Hak Asasi Manusia.
Roudi-Fahimi, Farzaneh dan Valentine M. Moghadam, 2003, Empowering Women, Developing Society; Female Education in the Middle East and North Africa, MENA Policy Brief.
Catatan:
Tulisan ini pernah disajikan dan didiskusikan pada acara “Workshop Multistakeholder Anggaran yang Responsif Gender APBD Pemerintah Makassar Tahun 2008-2009", diselenggarakan oleh Forum Pemerhati Masalah Perempuan Sulsel didukung oleh The Asia Foundation, di Makassar, Quality Hotel, 22-24 Oktober 2007.