SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Monday, August 24, 2009

RUANG BEBAS NORMA

Anwar Ibrahim
(1)
Norma-norma, dan aturan-aturan budaya sesuai dengan fungsinya, memiliki sifat menata, mengawasi, malahan bersifat memaksa dalam pengaturan tatacara kehidupan dan perilaku warga masyarakat. Setiap perilaku dan langkah-langkah dalam kehidupan diatur, diawasi, dan dipaksakan penyesuaiannya dengan aturan norma-norma itu. Deviasi, penyimpangan yang terjadi, apalagi yang berkadar pelanggaran, akan memperoleh sanksi budaya yang setimpal. Dalam setiap kebudayaan manusia terdapat folkways, yang merupakan aturan-aturan hukum lisan yang berlaku dalam masyarakat, yang mengatur penjatuhan sanksi, terutama sanksi-sanksi sosialnya. Adakalanya, norma-norma dan aturan-aturan itu dijalankan sangat ketat pada ruang dan waktu tertentu, akan tetapi dijalankan agak longgar pada ruang dan waktu lainnya. Ada-kalanya pengawasannya sangat ketat pada bidang-bidang kehidupan tertentu, akan tetapi agak longgar pada bidang lainnya. Misalnya ketat mengawasi bidang etika dan moralitas dalam hubungan pria-wanita, akan tetapi longgar mengawasi bidang pencurian; ketat mengawasi pelaksanaan upacara-upacara formal religi, tetapi longgar dalam penindakan korupsi dan semacamnya.

Sesungguhnya terjadinya 'keadaan' seperti itu, berhubungan erat dengan perbedaan kecenderungan dan/atau penafsiran dari warga masyarakat:

  • Kecenderungan masyarakat, terutama kecenderungan elit-elit lapisan atasnya, lebih sering dipengaruhi oleh kepentingannya atau oleh pilihan prioritas kepentingannya. Norma-norma dan aturan-aturan yang dianggap sangat menghalangi pencapaian kepentingannya akan dilonggarkan, sedang aturan yang dianggap sesuai dengan kepentingannya cenderung diketatkan pelaksanaannya.
  • Penafsiran atas norma-norma dan aturan-aturan budaya pun seringkali berbeda pada setiap ruang dan waktu. Dalam membuat penafsiran atas norma-norma dan aturan-aturan itu, tampak adanya kecenderungan melakukan penyesuaian dengan faktor-faktor ekologi lingkungan sosial dan lingkungan alamnya, serta proses perkembangan kehidupan masyarakat.
Norma-norma dan aturan-aturan yang sifatnya lebih konkret, dan nilai-nilai budaya yang sifatnya abstrak yang mendasarinya, menjadi pedoman dan menunjukkan arah orientasi warga masyarakat dalam kehidupannya. Tentu saja, nilai-nilai, norma-norma dan aturan-aturan budaya itu, merupakan pencerminan malahan perwujudan pandangan budayanya mengenai apa yang dinilai atau dianggap terbaik dalam penataan kehidupan bermasyarakatnya. Dengan kata lain, norma-norma dan aturan-aturan tersebut mengarahkan dan membimbing warga masyarakat secara kolektif menuju kesejahteraan dan kebaikan-bersama dalam menjalani kehidupannya. Persoalannya muncul, bila sejumlah individu warga masyarakat merasa bahwa pengaturan, pengawasan dan pemaksaan norma-norma dan aturan-aturan budaya masyarakat itu, telah menjadi sangat menekan, mengikat, dan mengekang berbagai gerak dan langkah dalam kehidupan. Sampai pada batas-batas tertentu, rasa terikat dan terkekang itu mungkin masih bisa dikendalikan, namun pada suatu saat akan mendorong terjadinya deviasi, malahan mungkin perlawanan. Kian seringnya terjadi deviasi yang serupa akan mengakibatkan dilakukannya re-evaluasi atau rethinking, pemikiran kembali atas norma-norma dan aturan-aturan itu, malahan rethinking dan reinterpretasi nilai-nilai yang mendasarinya, yang bermuara pada terjadinya pergeseran ataupun perubahan.
(2)
Ada budaya tertentu yang mempersiapkan ruang dan saat tertentu bagi warga masyarakatnya untuk merasa terbebas dari sejumlah ikatan dan kekangan norma-norma dan aturan-aturan. Ruang dan saat bebas itu pada umumnya menjadi bagian dari tradisi, memperoleh pengakuan dan pembenaran secara kultural dari seluruh lapisan warga masyarakat pendukung budaya bersangkutan. Dalam ruang seperti itu sejumlah norma dan aturan ditinggalkan, dan warga masyarakat memperoleh kebebasannya melakukan hal-hal yang dianggap tabu dalam kehidupan sosial sehari-hari. Hal semacam itu dikenal dalam budaya Bugis-Makassar.

Dalam budaya Makassar, ruang dan waktu bebas norma itu, misalnya tampak dalam kehidupan masyarakat patorani, masyarakat penangkap ikan terbang di Galesong, Takalar, ketika patorani itu berada di tengah-tengah lautan mencari ikan terbang. Tradisi bebas-norma itu membenarkan para patorani untuk menyatakan kata-kata atau ucapan-ucapan yang cenderung porno bahkan melantunkannya dalam bentuk nyanyian. Sebagai contoh, satu bait kelong patorani:

Bongkaraq mako naiq
ri tompoqna lassika malolo
lassiq tani tiro antu
nani enru
nani taqlangga-langgai ri tompoqna iya...

(Bongkarlah semuanya
di atas bukit kemaluan, dara remaja
kemaluan yang tak tepandanglah ia,
dan disetubuhi
dan digoyang-goyangkan di atas bukitnya, iya….)

Ucapan atau nyanyian semacam itu sangat pantang diucapkan di tengah-tengah kehidupan sosial dan jelas melanggar norma-norma sosial budaya masyarakat Makassar. Akan tetapi tradisi budaya masyarakat Makassar memberikan pembenaran pelantunan nyanyian semacam itu oleh para patorani ketika menjalankan profesinya di tengah lautan. Justifikasi itu didasari alasan tradisional yang bertolak dari kepercayaan bahwa makin porno nyanyiannya, makin berkerumunlah ikan-ikan terbang di area penangkapan ikan patorani yang bersangkutan.

Dalam tradisi budaya masyarakat Bugis Bone, ruang dan waktu bebas-norma itu misalnya tampak pada acara perburuan rusa, majjonga, terutama yang diselenggarakan oleh kerajaan. Raja dan bangsawan-bangsawan, yang dalam kehidupan sehari-hari amat dihormati, dalam acara majjonga harus bersedia dicaci maki sampai caci makian yang paling kotor sekalipun. Sebagai contoh:

Lellunni jongaé tailaso,
Pegattiri larinna nyarangmu,
Tadok-i ellonna,

Kejarlah rusanya, tailaso
Pacu kencang larinya kudamu
Jeratlah lehernya

Kata-kata tailaso adalah caci makian yang menyebut nama penis, kemaluan laki-laki. Dari sudut pandang tradisi budaya ungkapan itu dianggap cacian yang sangat menghina. Orang yang mengucapkan kata makian itu pun dianggasp tidak beradab. Akan tetapi dalam tradisi majjonga, bila raja atau para bangsawan tidak pintar berburu, tidak kuat mengejar rusa, kudanya tidak dapat berlari kencang serta tidak mampu menjerat leher rusa, caci makian akan menjadi lebih keras lagi:

Magi mumammatu-matu, tailaso
Taniatu kombak saoraja mulellung, peccik laso
Magi mumallaso tallumék-lumék
Dék tu jonga palorongangko ellongna, mutadok-i
Peccik-i laso bolongmu, arung calabai

Mengapa bermalas-malasan, tailaso
Bukan betina-istana yang kau-kejar, peccik-laso
Mengapa kau berkontol loyo-gemulai
Tak akan ada rusa yang menjulurkan lehernya, agar kau jerat,
Peccik laso hitammu, raja banci

Caci-makian peccik laso adalah makian yang paling menghina. Secara denotatif berarti membuka kulit kemaluan untuk dihilangkan tai-nya. Orang yang dimaki dengan cacian itu dianggap penisnya masih kotor, belum disunat. Pelontaran caci maki seperti itu, termasuk kepada raja dan kaum bangsawan oleh para pagganti, kelompok penyorak dan warga masyarakat yang terlibat dalam perburuan rusa, memperoleh pembenaran tradisi budaya. Dasar alasannya juga serupa dengan alasan patorani, yaitu rusa-rusa akan lebih gampang ditangkap bila caci-makian semacam itu dilontarkan.

Kearifan dan kelapangdadaan, asagénang attarong seorang raja juga diukur oleh kemampuannya menerima caci maki semacam itu. Acara majjonga menjadi suatu ruang dan waktu bebas norma sosial yang baku.
(3)
Dua misal tradisi pembebasan diri dari ikatan norma-norma dari etnik Bugis dan Makassar yang memperoleh pembenaran dalam tradisi budaya kedua etnik itu, hakikatnya merupakan pembenaran atas terjadinya deviasi dari norma-norma dan aturan-aturan sosial budaya. Persoalannya ialah, pertimbangan kultural apa yang memungkinkan atau yang mendorong terjadinya pembenaran semacam itu? Alasan tradisional yang dikemukakan oleh masyarakat patorani, maupun oleh masyarakat pajjonga, merupakan alasan tak rasional yang cenderung hanya untuk menutupi dasar pertimbangan kultural yang sebenarnya. Dalam hubungan dengan kelong patorani, saya beranggapan: "Sebagai puisi, Kelong Patorani lebih cenderung merupakan pencerminan kebebasan dan pembebasan jiwa 'penyair'-nya. Penggunaan diksi yang mengasosiasikan suasana dalam aktivitas hubungan seksual, pada hakikatnya bukanlah ekspresi kepornoan yang bermaksud merangsang nafsu rendah manusia. Ia lebih merupakan produk penajaman imajinasi, dan merupakan liberasi, pembebasan diri dari rasa kejenuhan, kesepian dan kerinduan pada kehidupan di daratan. Dalam suasana pembebasan diri dan kebebasan di tengah lautan bebas, ikatan norma-norma sosial dirasakan melonggar, sehingga dirasakan adanya kebebasan berekspresi, kebebasan menggunakan diksi yang pantang diucapkan di dalam kehidupan masyarakat, tanpa keraguan memperoleh sanksi sosial". Self liberation, atau pembebasan diri adalah sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia baik secara sosial maupun dan terutama individual. Di bawah tekanan, ikatan dan paksaan norma-norma dan aturan-aturan, diperlukan adanya ruang dan waktu liberasi untuk bernafas, guna memperoleh kesegaran dalam kehidupan.

Terbukanya ruang dan waktu bebas norma merupakan kanalisasi perasaan terkekang yang apabila tidak tersalurkan berpotensi mendobrak paksa norma-norma dan aturan-aturan itu. Raja dan para bangsawan, yang di dalam kehidupan sehari-hari diperlakukan sebagai turunan ‘langit’ dengan berbagai tata cara protololer yang ’membelenggu’ sesuai ketentuan tradisi budaya mengalami proses pembumian, ‘pemanusiabiasaan’. Mereka dibebaskan dari belitan aturan protokoler keistanaan, ditarik dan dibumikan memasuki dunia vulger dan terbuka. Tradisi majjonga memberi izin kepada rakyat dan raja merasakan kesesamaan, equalitas. Kesesamaan atau equalitas hanya mungkin bila ada pembebasan atau liberasi. (Makanya, seruan Revolusi Perancis dimulai dengan liberty, lalu equality dan fraternity). Jarak dan jenjang stratifikasi sosial menjadi kabur, memungkinkan terciptanya keadaan saling memahami dan terjalinnya hubungan keakraban. Kematangan, pengendalian emosi, kearifan, kualitas keberadaban seorang raja diukur dari kemampuannya berlapang dada menerima kritik dan caci maki dalam acara majjonga itu.
(4)
Dua misal tradisi budaya di atas terlahir dari dua lapisan sosial berbeda. Nelayan patorani secara tradisional dianggap berasal dari lapisan masyarakat ‘biasa’, sedangkan yang terlibat dalam aktivitas majjonga umumnya berasal dari lapisan sosial yang dianggap ‘tinggi’ dalam stratifikasi sosial Bugis Makassar. Namun ternyata, manusia sekalipun berada pada lapisan sosial berbeda tetap memiliki sifat dan pembawaan eksistensial yang sama. Mereka sewaktu-waktu memerlukan adanya pembebasan dari kejenuhan rutinitas kehidupan, bahkan dari belitan aturan dan norma-norma.

Tidak dapat dipastikan apakah setiap budaya di dunia memiliki kecerdasan kultural menciptakan ruang bebas norma sebagai salah satu bentuk kanalisasi dari hasrat manusiawi dan sifat eksistensial manusia, akan tetapi sejumlah tradisi budaya di berbagai tempat menunjukkan adanya arena kultural seperti itu. Hyde Park di London adalah salah satunya. Di taman itu, siapapun dapat berorasi, mengejek, mencaci apapun dan siapapun, termasuk mencaci makin Ratu Inggris. Dalam bentuk lain, bila kita membaca kisah 1001 malam (Alfa Lailatul wa Laila) yang menceritakan Sultan Baghdad, Sultan Harun Al-Rasyid yang diam-diam keluar istana sambil menyamar mengunjungi pemukiman rakyatnya, maka kita pun merasakan bahwa kelakuannya itu pun terdorong oleh hasrat dan sifat eksistensial manusia untuk keluar dari rutinitas kehidupan sehari-hari, membebaskan diri dari kejenuhan sebagai junjungan yang dipuja-puja, di samping untuk tujuan memahami dan ‘turut mengalami’ peri kehidupan nyata rakyatnya, seperti yang secara tersurat dinyatakan dalam cerita 1001 malam.
(5)
Budaya yang memiliki kecerdasan kultural pasti tidak banyak menciptakan perangkat-perangkat yang mengekang dan membelenggu, akan tetapi akan mempersiapkan perangkat budaya yang memberikan peluang kepada warganya untuk mengekspresikan kemerdekaan manusiawinya yang ekssistensial, kemerdekaan untuk memanusia.

Demikianlah, tradisi budaya orang Bugis dan Makassar telah menunjukkan kearifan dan kecerdasan kulturalnya merespons sifat eksistensial manusia, memberikan kebebasan dan kesempatan kepada manusia melakukan pembebasan diri dari berbagai kekangan dan ikatan adat, akan tetapi tetap berada dalam bingkai adat itu sendiri; menjadikan manusia dapat merasakan hidup lebih wajar dan manusiawi.

 
Alwy Rachman.