Alwy Rachman
“The natural state of humanity is war.”
Thomas Hobbes
Keadaan paling alami dalam pengalaman kemanusiaan adalah perang. Begitu cakrawala Thomas Hobbes tentang manusia sebagaimana ungkapan di atas. Ungkapan terkenal lain dari Hobbes, “homo homini lupus”, “manusia adalah serigala bagi makhluk lainnya”.
Hobbes adalah seorang filsuf politik yang melihat manusia sebagai makhluk yang tidak pernah berhenti berperang. Hobbes adalah generasi pendahulu John Locke. Keduanya tumbuh dalam suasana perang sipil di Inggris yang berlangsung panjang, dari 1642 hingga 1689. Kesaksian kedua pemikir ini terhadap posisi kemanusiaan selama perang sipil membawa keduanya kepada satu dalil, bahwa manusia bisa dibilangkan sebagai “makhluk perang”. Refleksi Hobbes dan Locke kemudian diabadikan ke dalam teori-teori tentang hubungan kontrak politik antara rakyat dan pemerintah.
Cakrawala kedua pemikir ini terhadap manusia dan kemanusiaan dimulai ketika keduanya berimajinasi tentang apa gerangan yang bakal terjadi jika manusia hidup tanpa konstitusi, tanpa undang-undang, tanpa aturan, tanpa struktur sosial, apalagi tanpa ketertiban sosial. Kedua pribadi ini, secara meyakinkan, membilangkan bahwa manusia akan menjadi makhluk sebebas-bebasnya tanpa hambatan dan tanpa aral.
Dengan situasi tanpa aral sedikit pun, manusia dipastikan akan saling menyerang atas nama berbagai alasan dan kepentingan. Manusia akan saling merusak, saling merampas, dan kalau perlu saling meniadakan. Suasana chaos pun tak terhindarkan dan memaksa manusia menjadi serigala bagi manusia lain. Manusia akan menjelma menjadi binatang liar dan buas.
Tapi, di suasana chaos itulah manusia belajar menginspirasi kesepakatan damai di antara sesamanya. Lalu, kesepakatan seperti ini yang kini dibilangkan sebagai “kontrak sosial”. Semangat dan isi kontrak sosial tidak lain adalah untuk mengekang dan membatasi kebebasan kelompok manusia kuat terhadap manusia lain. Tidak berarti bahwa kelompok manusia lemah tidak bisa menjadi serigala bagi manusia lainnya. Spirit kontrak sosial adalah berbagi kebebasan, menghormati kebebasan sendiri sembari menyesuaikan diri dengan kebebasan orang lain. Kebebasan manusia hanya bermakna jika ia menghormati kebebasan manusia lain.
Hobbes adalah pemikir yang menolak revolusi, apa pun bentuknya. Bagi Hobbes, dorongan alami (impuls) manusia untuk mendudukkan atau menyebut dirinya sebagai “manusia perang” atau “manusia petarung” adalah hal menakutkan. Impuls untuk berperang adalah sesuatu yang jahat. Perang tidak menyisakan apa-apa kecuali degradasi atas kemanusiaan, begitu pendirian Hobbes, meskipun sebagian pemikir mendaku bahwa perang justru menghidupkan dan meninggikan peradaban.
Berbeda dengan Hobbes, Locke mendaku bahwa impuls “manusia perang” adalah hal yang alami. Dorongan bertarung dapat dipakai untuk menegosiasi ulang kepentingan di antara kelompok-kelompok manusia. Impuls berperang dapat dipakai guna menyeimbangkan pola hubungan antara manusia sebagai rakyat dan manusia sebagai pemerintah, antara pemberi dan penerima mandat kekuasaan.
“Manusia perang” ataupun “manusia petarung”, sebagaimana pendakuan Hobbes, bermuara pada tiga impuls utama manusia, yaitu impuls berkompetisi, tidak percaya kepada orang lain, dan perayaan atas kekaguman diri. Impuls berkompetisi dipakai untuk mencari keuntungan. Keuntungan yang digapai lalu dijaga dengan cara mencurigai orang lain. Ketidakpercayaan pun digunakan untuk mengamankan diri. Dan, setelah itu, keuntungan dirayakan sebagai sebuah reputasi.
Kompetisi lebih sering dijalankan melalui kekerasan. Melalui kekerasan, manusia mengatribusi dirinya sebagai seorang master yang menguasai banyak hal. Lalu, semua itu dirayakan dengan kata dan senyum, baik untuk dan atas namanya sendiri, kelompoknya, profesinya, ataupun untuk dan atas nama bangsanya.
Dengan cara inilah manusia menjelmakan diri sebagai “manusia perang” atau “manusia petarung”. Selama tidak ada kekuasaan yang bisa digenggam, manusia tidak pernah kagum atas dirinya. Impuls “manusia perang” atau “manusia petarung” akan tetap mencari media perang dan akan berlangsung dari waktu ke waktu di hampir semua tatanan, meskipun perang tidak selalu diartikan sebagai perkelahian. “Perang ibarat cuaca yang lagi buruk. Dan cuaca buruk tidak bisa berbohong kepada kamar mandi,” begitu pendakuan Hobbes.
Dahi kita bisa mengerut atas pernyataan Hobbes, “the natural state of humanity is war”, “kondisi alamiah kemanusiaan adalah perang” atau pada pernyataannya “homo homini lupus”, “manusia adalah serigala bagi manusia lain,” yang keduanya seolah-olah merendahkan kualitas spiritual manusia. Tentu saja kita bisa dan pasti tergores jika hanya tiba di permukaan dua pernyataan ini. Tapi, seperti banyak pendirian ahli, Hobbes dikukuhkan sebagai filsuf politik antirevolusi, apa pun bentuknya.