Alwy Rachman
Nun jauh di masa lalu, 1830-1840-an, ada sebuah kisah tentang candu.
Kisah yang dalam sejarah kemudian dibilangkan sebagai Perang Candu ini bermula
dari hubungan dagang antara dua negara berperadaban tinggi, yaitu antara
Inggris dan Cina. Oleh sebagian kalangan, kisah ini dibilangkan sebagai
Revolusi Candu.
Di kisah Revolusi Candu, Cina menjadi
pecundang dan Inggris sebagai pemenang. Cina takluk lewat taktik Inggris yang
menjerat rakyat Cina sebagai pecandu. Pasokan candu secara besar-besaran ke
Cina, pada masa itu, membuat Cina penuh dengan rakyat pemabuk. Penguasa-penguasa Cina pun pusing tujuh
keliling dan akhirnya menutup semua pintu pelabuhan bagi kapal-kapal dagang
Eropa. Menutup akses pelabuhan inilah yang kemudian mendorong Inggris
menyatakan perang terhadap Cina. Muncullah episode Perang Candu antara Inggris
dan Cina.
Hari-hari ini, di negeri ini dan di
negeri-negeri lain, istilah candu menjadi usang. Istilah candu diperbarui
menjadi narkotik. Narkotik pun diberi label haram meski sebagian pihak
menjelaskannya sebagai golongan obat analgesik yang berfungsi menghilangkan
rasa sakit. Racikan dan jenisnya pun semakin canggih dan bervariasi: opium,
ganja, kokain, amfetamin, dan segala senyawa barbital lainnya.
Istilah kecanduan pun berubah menjadi
istilah sakau yang menyakitkan. Pun kampanye atas penanggulangan bahaya
narkotik memakai bahasa yang menyakitkan: “penjara, gila, atau mati”.
“Revolusi Candu belum usai,” begitu
kira-kira pantas kita bilangkan. Revolusi Candu di abad globalisasi bukan lagi
urusan dua negara yang bertikai, sebagaimana Inggris dan Cina pada masa lalu.
Kini, urusan narkotik adalah urusan antara kelompok-kelompok kartel
internasional dan para pemimpin negara-bangsa.
Alvin Toffler, seorang pemuka pemikir
futuristik (pemikir masa depan), malah mempromosikan julukan baru bagi
kelompok-kelompok kartel ini sebagai The
Empire of Cocaine atau “Kerajaan Kokain”. Sedangkan James Mills
membilangkannya sebagai The Underground
Empire, sepadan dengan “Kerajaan Bawah Tanah”.
Baik Toffler maupun Mills mengkonfirmasi
dan menyetujui bahwa “Kerajaan Kokain” dan “Kerajaan Bawa Tanah” ini adalah
aktor baru di panggung globalisasi. Kedua penulis ini mengkonfirmasi bahwa
aktor baru ini berwatak petarung dan pembunuh. Aktor baru ini pantas
dibilangkan sebagai “gladiator global”.
Kedua pemikir masa depan ini mendaku bahwa
“Kerajaan Kokain” yang sekaligus “Kerajaan Bawah Tanah” ini dapat mengalahkan
kekuatan senjata, lebih sejahtera, serta melampaui status dan kedudukan
sejumlah negara di dunia. Meski eksistensi “Kerajaan Kokain” ini tidak
disimbolkan lewat bendera sebagaimana kelakuan negara-negara lain, mereka punya
pasukan yang bersenjata canggih, punya lembaga intelijen, punya kurir, punya
jaringan internasional, dan punya kemampuan diplomasi yang melebihi beberapa
negara.
Para pemimpin “Kerajaan Kokain Bawah Tanah”
ini mampu mengorupsi pemimpin negara-bangsa yang gemar disuap. Jangankan
bupati, wali kota, dan gubernur, presiden dari satu negara-bangsa pun dapat
dilumpuhkan lewat suap dan terorisme. Begitu kira-kira pendakuan Toffler dan
Mills yang berisi peringatan bagi para pemimpin negara-bangsa. Eksistensi
negara-bangsa kini mendapat pesaing baru dengan munculnya “Kerajaan Kokain
Bawah Tanah”, yang berkiprah sebagai aktor baru di abad globalisasi.
Adalah sikap kekanak-kanakan jika pemimpin
negara-bangsa menganggap “Kerajaan Kokain” gampang dikalahkan. Pemimpin
negara-bangsa yang terlalu birokratis membuat reaksi dan responsnya terhadap
dampak narkotik berjalan tertatih dan lambat. Pemimpin negara-bangsa sibuk pada
urusan konsultasi dan urusan menyusun memory
of understanding (MoU) dengan negara lain yang dianggap lawan. Pun
terbirit-birit menangani keperluan kelompok kepentingan politik dalam negeri. Lalu,
kasip bereaksi terhadap aksi proaktif para pangeran narkotik.
Sebaliknya, para gladiator global, terutama
kelompok-kelompok gerilyawan dan kartel-kartel narkotik, bergerak tanpa
birokrasi. Para gladiator ini justru dipimpin oleh bos karismatik yang justru
tidak dikenali oleh pemimpin negara. Pemimpin gladiator global ini justru dapat
menciptakan daya kejut dan daya bunuh dengan efisien dan cepat. Pemimpin
gladiator ini dapat membeli pemimpin negara-bangsa dengan cara paling canggih.
“Quick respons”, begitu kira-kira
dalil para gladiator ini.
Pada akhirnya, segenap “gladiator global”
ini terpingkal-pingkal menyaksikan para pemimpin negara-bangsa yang menjadikan
“narkotik” sebagai isu selebritas yang dibumbui oleh cerita tentang sang
gembong dengan perempuan-perempuan cantik di sekitarnya—boleh artis, boleh
model. Pada ujungnya, baru kita mengerti mengapa bahasa kampanye melawan bahaya
narkotik di negeri ini hanya mengancam bangsa sendiri, yaitu “penjara, gila,
atau mati”. Rupanya, bahasa kita adalah bahasa buta huruf di hadapan segenap
gladiator global.