Dalam habitat kebudayaan, jenazah diperlakukan terhormat. Sedemikian rupa jenazah dihayati sebagai waris keluarga. Itu sebabnya, aib jenazah dijaga sedemikian rupa. Laku terhadap jenazah menyimpan pesan imperatif bagi keluarga, yaitu “jangan engkau berlaku semena-mena atas jenazah” dan ”tutuplah aib sang tubuh tak bernyawa”. “Tubuh tak bernyawa adalah milikmu”, “engkau adalah pewaris atas jenazah”, begitu kira-kira norma dan laku kebudayaan. Pun norma dan laku agama-agama menegaskan seperti itu.
Tapi dalam laku media televisi, sang tubuh dimunculkan dengan paras yang jamak. Dalam tayangan entertainment, tubuh hidup menjadi penghibur yang “wah”. Pernak-pernik pasti menghiasi tubuh sang artis. Sering kali, gerak tubuh dieksplorasi dari sisi yang sensual dan seksual. Jika bukan soal sensualitas dan seksualitas, tubuh hidup menjadi olokan dan ejekan. Sang entertainer rela mengejek dan mengolok “cacat orang lain”. Atau, jika entertainer-nya yang “cacat”, “cacat tubuh” dieksploitasi sebagai komoditas tontonan. Sensualitas, seksualitas, olok-olok, dan ejekan, suka atau tidak, menjadi “pelayan gairah publik”. High narcissism and low comedy, begitu kira-kira.
Dalam tayangan tentang bencana dan kecelakaan, tubuh masih sebagai komoditas, meski tak lagi berjiwa. Tayangan atas bencana dan kecelakaan tentu wajar, meski nasib jenazah di depan kamera sering tak wajar. Jenazah, dalam banyak peliputan, “terampas” lewat kamera dan menjadi “komoditas untuk pemirsa”. Secara sepihak, publik dipersepsi sebagai pemirsa yang “rakus atas tragedi”. Satu lagi, bencana dan kecelakaan berskala besar biasanya diikuti pemediaan pakar yang menyediakan penjelasan teknokratis. Tak salah memang, cuma drama kemanusiaan tak tertangkap oleh empati. Rasa haru atas hidup manusia di sekitar bencana dan kecelakaan terampas oleh cara pikir teknokratis. Itu sebabnya, empati seperti mati rasa menonton musibah di media televisi Indonesia.
***
Tontonlah gerak tubuh di panggung fashion dan lihatlah gerak tubuh di institusi militer, sebagai contoh. Di sana, gerak tubuh tak lagi milik individu bebas. Di situ tak ada lagi gerak tubuh alamiah. Di sana dan di situ, gerak tubuh yang dikenali masyarakat “telah dijinakkan”. Begitu kira-kira gambaran sederhana tentang “tubuh yang dijinakkan”, meminjam istilah Foucault.
Dalam hal peliputan bencana dan kecelakaan, media tetap saja “merampas” tubuh yang sudah menjadi jenazah. Jenazah menjadi “obyek jinak” untuk komoditas media. Jenazah yang tak lagi berdaya “dirampas” dari kehendak dan perasaan keluarga sebagai pewaris, dirampas dari norma imperatif yang memandu laku budaya dan laku agama-agama. Jenazah menjadi bagian dari riuh dan gempita media, tetapi menyakitkan. Media menjadikan dirinya sebagai peluka kedua di atas duka yang dalam.
***
Kamera memang tak pernah bohong. Tapi mengapa peliputan tsunami di Jepang tak mendudukkan jenazah sebagai komoditas, padahal korbannya tak sedikit? Kamera memang tak pernah dusta, tapi mengapa peliputan jenazah korban konflik di Palestina tak seekstrem di media televisi Indonesia, meski jenazah ditonton di tengah iringan massa yang marah? Kamera tak pernah bohong, tapi ideologi tayangan tak selalu jujur.
Pada akhirnya, lewat kuasa media, jenazah didudukkan sebagai elemen dramatik peristiwa, dipindahkan dari “milik keluarga” menjadi “tontonan publik”, digeser dari “waris keluarga” menjadi “milik media”. Itu sebabnya, “hak publik” kini merenggang hak privat keluarga. Saking renggangnya, teknologi media yang direct, canggih, dan berjangkau luas tak lagi menjamin perlindungan sensitif terhadap moral keluarga, moral budaya, dan moral agama-agama atas jenazah.
Pada ujungnya, kalau sudah begini, mari kita baca kembali kegeraman Dan Brown. Penulis The Da Vinci Code ini bilang, “Media is the right arm of anarchy”, “media adalah tangan kanan anarki”.
Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo, Makassar