SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Sunday, November 29, 2015

Politikus, Pesulap, atau Penguasa?

Alwy Rachman

Kedudukan sebagai politikus mengundang banyak julukan. Dari julukan berwajah manis, cantik, serta gagah, hingga sebutan berwajah pahit dan buruk. Di percakapan sehari-hari, ada yang bilang secara terburu-buru bahwa politikus sama dengan negarawan. Tanpa politikus, tidak akan ada demokrasi. Pun politikus bilang, “Suara rakyat itu suara Tuhan.” Slogan ini bisa diterima  kalau rakyat dan politikus memang bertuhan, demikian pendapat seorang sahabat pada satu diskusi.

Ada juga yang tergesa-gesa mengatakan tidak sedikit politikus itu adalah pembohong. The Art of Possibility, sebagaimana sering didalilkan dalam berpolitik, juga mencakup seni berbohong. Ada lagi yang berpendapat fatalistik, saking kecewanya terhadap perilaku politikus di negeri ini. “Mari kita berdemokrasi tanpa politikus,” katanya.

Di negeri sendiri, terutama pada pertemuan-pertemuan resmi, para pembaca pidato sering menyapa politikus dengan julukan “anggota Dewan yang terhormat”. Julukan “terhormat” menjadi pemanis bahasa resmi, meski sehari-hari kita juga dijejali dengan berita tentang korupsi oleh politikus di berbagai lembaga demokrasi.

Demikian “terhormatnya”, banyak politikus diajak dan dilibatkan sebagai pengurus di berbagai organisasi sosial dan agama.  Jadilah politikus berkaki banyak. Mereka ada di mana-mana. Ujungnya, berbagai organisasi masyarakat sipil tak lagi mampu bersikap kritis terhadap orang-orang yang dibilang “terhormat” ini. Tak ada lagi diferensiasi peran antara politikus dan pemimpin organisasi masyarakat.

Julukan “anggota Dewan yang terhormat” adalah hal yang wajar. Malah, di berbagai tulisan akademis tentang politik, politikus dipersamakan dengan The Kingly Man, yaitu orang-orang yang dirajakan. Diperlakukan bagaikan raja, tapi bukan raja, kira-kira begitu bahasa persamaannya.

Politikus juga disetarakan sekaligus dibedakan dengan pangeran. Persamaannya adalah sama-sama disapa “Your honor”, “Engkau yang Terhormat”. Perbedaannya, politikus berurusan dengan demokrasi, sementara pangeran berurusan dengan monarki. Politikus diberi kehormatan di atas kekuasaan rakyat.

Itu sebabnya, politikus berkewajiban menemu-kenali seluk-beluk demokrasi dan mahir menjalankan mesin demokrasi untuk dan atas nama hak-hak politik orang banyak. Sedangkan pangeran mewarisi kehormatan secara otomatis berdasarkan kekuasaan keluarga.

Dengan kewajiban seperti itu, para politikus diyakini sebagai orang-orang yang berkemampuan untuk melembagakan masalah orang banyak. Mereka sejatinya adalah pribadi-pribadi yang sanggup mentransformasikan rakyat menjadi satu bangsa.

Mereka dijuluki “anggota Dewan yang terhormat” karena diberi kewajiban demokrasi, yaitu mengubah konstitusi manusia untuk tujuan penguatan peradaban kemanusiaan. Malah, para politikus berkewajiban moral memperkuat peradaban demokratis. Bukan peradaban sebagaimana disindir oleh Lord Acton, “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men.” Kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut akan korup secara absolut pula. Orang-orang besar hampir selalu merupakan orang-orang buruk.

Ego orang-orang “terhormat” tak mudah diketahui. Tapi, rumusan Carl Golden tentang arketipe (archetype, wajah pola dasar ego) manusia dapat dipakai. Konsep dan analisis tentang wajah ego pada mulanya dipelopori oleh psikiater berkebangsaan Swiss, yaitu Carl Gustav Jung. Gustav Jung percaya bahwa arketipe adalah bawaan yang bersifat universal dan turun-temurun. Arketipe memandu manusia untuk mengatur dan bertindak. Arketipe adalah ketidaksadaran kolektif yang berwujud pada perilaku atau kepribadian.

Di antara 12 macam arketipe yang diturunkan oleh Carl Golden, kualitas seorang pemimpin diurai dalam dua wajah ego. Ego yang berwajah The Magician dan bermuka The Ruler (ego Pemimpin yang Pesulap dan Pemimpin yang Penguasa). Ego Pemimpin yang Pesulap dianggap memahami hukum-hukum alam, memiliki cakrawala dan cara pandang yang visioner, bercitra karismatik, dan mampu mengubah keadaan (mengubah dunia). Sedangkan ego Pemimpin yang Penguasa selalu menganggap dirinya, dan meminta orang banyak memperlakukannya, sebagai bos, raja, atau ratu. Pemimpin seperti ini rajin mencitrakan dirinya sebagai bangsawan.

Tapi, jangan mengartikan pesulap di sini sama dengan orang yang memiliki keterampilan seperti sosok Deddy Corbuzier, Romy Rafael, atau Demian Aditya, yang semuanya berkiprah di panggung entertainment. Mereka adalah pesulap sejati, bukan politikus.

Kita, sekarang, mencari pemimpin yang dapat menyulap kalangan elite yang memiliki tabiat korupsi menjadi elite yang bersih. Kita, sekarang, menanti pemimpin yang dapat mengubah rakyat yang gemar menggadaikan suara politiknya menjadi rakyat yang mandiri dan tahu apa artinya hak politik. Jika tidak, pemimpin dan rakyat akan berada di lingkar setan tak bermoral, yaitu pemimpin yang suka membeli dan rakyat yang gemar menggadaikan.


Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, 27 Agustus 2017


Pemimpin, Kearifan Lokal, dan Manusia Plastik

Alwy Rachman
“Begitu rakyat membiarkan dirinya diwakili
secara instan, ia sesungguhnya telah
meniadakan kebebasannya.”
                                     Jean J. Rousseau

Angan-angan mencari pemimpin untuk kebebasan dan pembebasan manusia di tatanan yang dibilangkan ”demokrasi” bukanlah hal baru. Di ranah pemikiran filsafat, para pemikir senyatanya telah membilangkan dan meneguhkan sang pemimpin sebagai sentrum di atas semua praktek kekuasaan. Karena itu, pemimpin semestinya dicari, lalu dikukuhkan melalui seperangkat perintah moral demokrasi.

Di kalangan filsuf Barat, sang pemimpin dipilih, tentu saja, berdasarkan kerangka perintah moral demokrasi (moral imperative of democracy). John Locke, misalnya, mengidentifikasi tiga hakikat demokrasi (states of democracy) sebagai bagian dari kewajiban sang pemimpin. Hakikat pertama disebutnya sebagai state of liberty (hakikat kebebasan).

State of liberty
dibilangkan sebagai kebebasan untuk menyusun tindakan-tindakan yang terikat oleh hukum-hukum alam. State of liberty mengandaikan bahwa seseorang harus merawat kebebasannya sendiri sembari merawat kebebasan orang lain. Hakikat ini mendalilkan bahwa individu yang dapat merawat kebebasannya adalah individu yang berkemampuan menghormati kebebasan orang lain. Sang pemimpin sejatinya sekuat mungkin merawat kebebasan kelompok-kelompok masyarakat yang dipimpinnya.

Hakikat kedua, oleh Locke, dibilangkan sebagai state of equality (hakikat kesetaraan). State of equality menghubungkan secara timbal balik antara keperluan kekuasaan dan rakyat dalam jurisdiksi kekuasaan sang pemimpin. State of equality mendalilkan bahwa semua manusia berasal dari spesies yang sama dan dilahirkan berdasarkan kemurahan alam yang sama. Tak ada manusia yang istimewa atau diberi hak berlebih di hadapan kemurahan alam. Sang pemimpin sekuat mungkin memenuhi kebutuhan kelompok-kelompok masyarakatnya secara setara.

Hakikat ketiga adalah apa yang dibilangkan sebagai state of licence. Hakikat ini menyangkut lisensi (mandat) bagi sang pemimpin untuk menyelenggarakan kedua hakikat demokrasi di atas. Pelembagaan konflik dan aspirasi di antara segenap kepentingan kelompok-kelompok masyarakat bisa juga diartikan sebagai penyelenggaraan state of licence. Sang pemimpin, berdasarkan mandat sosialnya, melayani kelompok-kelompok masyarakatnya tanpa memihak.

***
Mirip dengan para pemikiran filsafat, dalil bahwa sang pemimpin adalah sentrum di atas praktek kekuasaan juga tercitra dari apa yang dibilangkan sebagai kearifan politik lokal Sulawesi Selatan. Jauh di masa lampau, secara politik, seorang pemimpin didudukkan dalam tiga ranah keistimewaan.

Pertama, secara sederhana, kearifan politik lokal Sulawesi Selatan mendalilkan bahwa pemimpin sejatinya adalah pribadi istimewa. Pribadi yang istimewa dianggap berkemampuan menciptakan tata tertib, menyelenggarakan perlindungan, dan membawa kesejahteraan bagi rakyatnya.

Kedua, karena pemimpin adalah pribadi istimewa, ia harus diperlakukan secara istimewa. Kearifan politik lokal Sulawesi Selatan tak mengizinkan sang pemimpin diperlakukan sebagaimana orang-orang kebanyakan. Jika sang pemimpin menyalahgunakan kekuasaan, eksekusi terhadapnya tak serta-merta menghalalkan tetesan darah sang pemimpin.

Ketiga, pemimpin yang istimewa ini diberi hak untuk mewakilkan kepentingan atas rakyatnya kepada pribadi-pribadi lain yang dipercayainya. Sang pemimpin diberi kesempatan menunjuk orang-orang yang dipercayainya, bukan orang-orang yang disodorkan kepadanya.

Sang pemimpin tak bersumpah atas nama jabatan kekuasaan. Justru rakyatlah yang mengangkat sumpah untuk mengukuhkan kedudukan seorang pemimpin. Isi sumpahnya sederhana: ”belanjakanlah yang pantas engkau belanjakan, ambillah yang engkau pantas ambil, dan mintalah yang pantas engkau minta.” Jadi, kearifan sumpah politik lokal ini tak juga berkehendak membiarkan rakyat mewakilkan dirinya secara serta-merta.
***
Di luar pemikiran filsafat dan kearifan politik lokal Sulawesi Selatan, eksistensi sang pemimpin diukur berdasarkan sistem lain yang berfungsi di masyarakatnya. Bourdieu, misalnya, melihat bahwa sang pemimpin juga manusia sebagaimana yang lain. Di dalam sebuah sistem, manusia sesungguhnya tak lebih dari ”manusia plastik”, man is a plastic man.

Pendakuan Bourdieu mengisyaratkan sebuah peringatan, yaitu manusia tak bisa dibilangkan sebagai makhluk bermoral di atas kekuasaan. Bagi Bourdieu, manusia adalah wahana yang mengekspresikan kualitas sistem. Kalau sistem politiknya bermoral, manusia bisa menjadi pemimpin yang baik. Tapi, jika sistem politiknya jahat, manusia teradaptasi menjadi pemimpin jahat. Karena itu, moral kekuasaan semestinya terpasang pada sistem yang berkualitas.

Jadi, kita tinggal memilih cakrawala dalam memandang kedudukan sang pemimpin. Mau menerimanya sebagaimana manusia yang pada dirinya dibilang istimewa, atau justru mencarinya dan mendudukkannya di atas sistem politik yang bermoral.


Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, 9 Juli 2013


Ingat yang Pernah Engkau Ucapkan!

Alwy Rachman

And mind the words that thou and I said”, “dan ingatlah kata-kata yang pernah engkau dan aku ucapkan”, begitu kalimat berulang yang ditemukan dalam cerita rakyat Jerman. Penemu sekaligus penulis kisah ini dikenal sebagai Grimm Bersaudara. Dua scholar yang sedarah ini tak lain adalah Wilhelm Grimm dan Jacob Grimm. Keduanya sebagai linguis, leksikograf, dan penulis folklor (cerita rakyat) ternama pada abad ke-19.

Dua pribadi sekandung ini juga dianggap sebagai penulis Cinderella yang kisahnya populer di kalangan anak-anak sedunia. Malah, oleh ilmuwan politik, kisah ini dipakai sebagai satire rujukan untuk mengolok-olok laku para politikus menjelang turun dari takhta kekuasaan. Lebih spesifik, kisah Cinderella dipindahkan sebagai sindrom Cinderella, yaitu sindrom bagi-bagi kekuasaan sebelum sang master turun takhta.

“Dan ingatlah kata-kata yang pernah engkau dan aku ucapkan” adalah sindiran keras yang dilayangkan ke perempuan berpengaruh di istana. Dalam kisah yang berjulukan The Frog Prince, hiduplah seorang putri yang menangis sedih kehilangan bola emas yang jatuh ke dalam sumur. Lalu datanglah kodok berparas buruk yang bersedia membantu mengambilkan bola emas itu. Kodok bermuka buruk itu mengajukan satu syarat: jika berhasil, putri mesti makan sepiring dan tidur seranjang dengannya.

Semula sang putri mengiyakan, tapi kemudian ragu dan mengadu kepada sang ayah. Ayahnya mengatakan, “Keep your word”, “penuhi apa yang engkau telah ucapkan”. Merasa tak didukung, sang putri terpaksa meladeni sang kodok makan sepiring. Jijik bukan kepalang, tapi apa mau dibilang. Lebih sesak lagi, sang kodok meminta tidur seranjang. Dengan amarah membara, sang putri mengajak sang kodok ke kamar. Di sana, sang kodok dicengkeram, lalu diempaskan ke tembok. Maka jadilah sang kodok sebagai pangeran tampan, lepas dari kutukan dan sihir.
***
Adalah kodok, satu di antara hewan, yang dijadikan inspirasi ketika manusia mencari atau kehilangan moral. Di masa lalu, manusia tahu apa arti jika manusia kehilangan moral. Pun manusia, di masa lalu, tahu makna kekuasaan. Moral di kekuasaan adalah hal yang fragile, gampang retak, mudah berkeping, yang dengan gampang membuat manusia tersungkur dan jatuh. Pesona kodok sebagai hewan metafor masih terbenam di bayangan mental manusia.

Di kisah lain, The Parable of the Boiled Frog, kodok adalah metafor simbolik yang dipakai untuk menyindir manusia yang tak suka perubahan. Manusia pembenci perubahan dipersonifikasi sebagai kodok yang enggan meloncat dari air yang mendekati titik didih. Manusia, sesuai dengan pesan literasi hikayat ini, adalah makhluk kepala batu. Saking dalamnya, manusia enggan berhijrah ke wilayah perubahan, meski ia terpanggang di wilayah lama.

Hewan ternyata adalah jembatan utopia. Hewan, dengan demikian, tak sama dan tak serupa dengan binatang. Kualitas hewani suatu makhluk dicerna sebagai sisi metafor potensial untuk menegaskan kualitas manusiawi. Itu sebabnya, khotbah tentang moral disimpan dalam kisah-kisah yang menghubungkan antara manusia dan hewan. Lalu, prinsip-prinsip moral disebar lewat cerita rakyat. Dan, cerita rakyat tak lain adalah rakyat yang bercerita, bukan dan beda dengan penguasa yang bercerita.

Hari-hari ini adalah benderang dari kisah para pencari kuasa. Pencari kuasa gemar cerita yang terjungkir-balik. Hari ini cerita tentang satu hal, besok cerita itu dibelokkan ke hal lain. Hari ini disebar boikot atas pelantikan pemimpin, besoknya rakyat menjadi tertuduh dan sebagai pihak yang salah paham. Kemarin, rakyat datang berbondong, membangun cerita di jalan-jalan raya. Cerita mereka berjulukan, “pesta rakyat mengawal pelantikan sang pemimpin”.

Rakyat datang berbondong mengokupasi dan menduduki ruang politik. Julukan “pesta rakyat” tak lain adalah “parlemen jalanan”. Itu sebabnya, kemarin, ruang politik menjadi tak utuh, terbelah ke dalam dua segregasi. Para politikus di dalam parlemen adalah segregasi elite yang kisah-kisahnya saling memotong, saling salib, dan saling ambil untung. Segregasi di jalanan adalah rakyat yang merasa kisahnya tak sama dengan kelompok elit.

Segregasi rakyat beda sekaligus sama dengan refleksi atas kisah The Frog Prince. Beda, karena rakyat tak mengancam makan sepiring dan tidur seranjang dengan para politikus Senayan. Sama, karena segregasi rakyat ibarat mengatakan, “engkau harus ingat kata-kata yang pernah engkau ucapkan”.


Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, 21 Oktober 2014


Lidahku Rumahku

Alwy Rachman
  
Lidahku adalah bahasaku. Bahasaku adalah identitasku. Identitasku adalah rumahku. Kira-kira begitulah refleksi Gloria Evangelina Anzaldua terhadap apa yang disebutnya sebagai identitas diri. Dengan penuh keyakinan, Gloria mengajak semua pihak agar tak melarang orang lain berbicara, menulis, atau berekspresi dengan bahasa lidahnya sendiri. “Jika engkau melakukannya, engkau sebenarnya telah melakukan kekerasan.” Gloria pun menambahkan, “Jika engkau memakai bahasaku dengan cara buruk ketika engkau berbicara kepadaku, engkau sesungguhnya sedang menyakitiku.”

Gloria adalah seorang penyair, novelis, esais, sekaligus penulis akademis tentang ruang hidup yang disebutnya sebagai “tapal batas” (borderlands). “Tapal batas” yang dimaksud Gloria adalah ruang yang tercipta dari susunan-susunan makna sebagai akibat dari kepenguasaan atas berbagai identitas: identitas bahasa, identitas etnik, dan identitas budaya. Bagi Gloria, di “tapal batas”, antara bahasa baku dan bahasa sehari-hari, antara bahasa tinggi dan bahasa rendah, antara bahasa bangsawan dan bahasa orang kebanyakan, antara satu bahasa etnik dan bahasa etnik lainnya, identitas diri seseorang berpeluang tercuri secara sepihak melalui bahasa. Mereka yang berkemampuan berbicara dan menulis dalam berbagai bahasa (multiple language) dilihatnya sebagai pihak yang berpotensi menjadi pencuri bahasa dan untuk selanjutnya sebagai pencuri identitas.

Pada dirinya sendiri, Gloria adalah perempuan yang mengalami menstruasi justru saat masih berusia tiga bulan. Menstruasi sejak masih bayi—karena simtom kelenjar endokrin—membuat pertumbuhan fisiknya berhenti pada usia 12 tahun. Deritanya tak teratasi karena ia dilahirkan di keluarga buruh tani. Kalau toh ada keberuntungan mungil untuknya, hal itu tak lain karena Gloria-lah satu-satunya di keluarga yang bisa menggapai pendidikan universitas di Texas.

Gloria berpulang ke penciptanya di California pada 15 Mei 2004, tepat ketika ia berusia 61 tahun. Semasa hidupnya, dengan derita yang menyertainya dan dengan bekal pendidikan tinggi, Gloria berkelana di ruang kreatif yang penuh dengan kejutan dan di ruang reflektif yang senyap. Gloria mengaku takut menulis, tapi lebih takut kalau tak menulis.

Kembara yang liar dan refleksi yang menukik kemudian membawanya ke dunia literasi yang sarat akan pemikiran filosofis tentang “tapal batas”. “Tapal batas” yang dimaksudkan di sini adalah ruang yang tercipta dari kontestasi bahasa, eksistensi, dan identitas diri. Di “tapal batas” ini, Gloria menemukan lidahnya sendiri sebagai lidah yang binal dan liar. Ia menyadari bahwa lidahnya tak terkendali ketika menuliskan karyanya ke dalam bahasa Inggris baku. Lidahnya selalu berontak untuk tetap berekspresi dalam bahasa ibunya, bahasa Spanyol.

Dalam esainya Mengatasi Lidah yang Liar (How to Tame Wild Tongue), dengan penulisan bergaya hibrida, Gloria menyindir bahwa lidah liar tak dapat dijinakkan, kecuali kalian memotongnya. Gaya ungkap Gloria tanpa tedeng aling-aling. Secara merdeka, ekspresi bahasa Spanyol dipaparkannya ke dalam karyanya yang justru, secara keseluruhan, ditulis dalam bahasa Inggris baku, tanpa merasa perlu menerjemahkannya atau memberi catatan kaki sebagai penjelas bagi para pembaca bahasa Inggris.

Gloria pun menyebut dirinya sebagai sastrawan pemakai bahasa Spanglish—gaya hibrida yang mencampur antara bahasa Spanyol dan bahasa Inggris baku. Baginya, bahasa dominan, bahasa baku, apalagi bahasa asing adalah wilayah perjuangan yang tak seharusnya menenggelamkan eksistensi dan identitas diri. Eksistensi dan identitas diri seharusnya memunculkan diri lewat lidah yang kita pakai untuk bertutur dan lewat pena yang kita pakai untuk menulis.

Bahasa, dalam filsafat Gloria, adalah kulit kembar dari identitas diri. Karenanya, penting menyadari dan memastikan bahwa bahasa yang kita tuturkan atau bahasa yang dipakai oleh orang lain memang adalah milik diri sendiri atau kepunyaan orang lain. Kalau tidak, kita sedang bertutur atau kita sedang menulis justru ketika kita sedang mencuri bahasa dan identitas orang lain. Atau, kita sedang dicuri oleh orang lain tanpa pernah menyadarinya.
Melalui bahasa, kita mungkin kehilangan eksistensi dan jati diri. Dan, melalui bahasa pula kita dapat menerkam dan melumat habis eksistensi dan jati diri orang lain. Mulutmu harimaumu. (*)


Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, 5 Maret 2013

Di Dunia Objektif dan Abjektif

Alwy Rachman
 
Pada mulanya, manusia terlahir tak berdaya. Pada awalnya, manusia menjalani hidupnya melalui seorang ibu. Untuk hitungan setahun-dua tahun, kehidupan ibu-anak ini, oleh para ahli, dibilangkan berada di dunia abjektif, yaitu dunia yang menghubungkan antara pengasuh dan yang diasuh. Dan, karena itu, dunia seperti ini nirkekerasan. Oleh sebagian orang, dunia seperti ini disebut sebagai dunia yang membahagiakan, terutama bagi sang ibu.

Di dunia abjektif, kemampuan manusiawi anak-anak disusun secara sepotong demi sepotong, sedikit demi sedikit, sembari menunggu waktu agar sang anak siap memasuki realitas kehidupan sosial yang berserakan di luar sana. Dengan begitu, segalanya berjalan dan berlangsung dengan kesediaan berempati dan bersabar bagi sang ibu di atas ketakberdayaan pada diri sang anak. Inilah dunia yang alamiah di babak awal kehidupan. Dunia seperti ini, oleh sebagian ahli, disebutnya sebagai “nature”, yang menjadi penanda awal kehidupan.

Selepas dari dunia abjektif, anak-anak akan berpindah ke dunia sosial. Dunia sosial biasanya diawali di sekolah-sekolah. Sekolah lalu menjadi jembatan emas yang membawa anak-anak dari dunia yang diasuh oleh ibunya sendiri ke dunia “lain” yang kita bilangkan sebagai institusi sekolah. Dunia ini kemudian kita sebut “dunia yang terstruktur secara rasional”, dunia objektif. Para ahli bilang inilah “culture”.

***
Tapi, sekolah di luar sana, di luar dunia abjektif, tak serta-merta bersahabat dengan anak-anak. Wajah tulus dunia abjektif bisa berubah menjadi wajah beringas di dunia objektif. Kepengasuhan anak-anak yang begitu kuat di rumah dapat menjelma menjadi pembencian tiada tara terhadap anak-anak. Simaklah pemberitaan kekerasan seksual terhadap anak-anak lelaki di sekolah yang menyebut dirinya sekolah internasional di negeri ini. Atau dengarkan dan baca berita dari berbagai media tentang tewasnya seorang taruna di salah satu akademi. Kejadiannya juga di negeri ini.

Matinya kultur kepengasuhan di institusi-institusi sekolah malah menjungkirbalikkan anggapan umum, dan juga anggapan sebagian ahli, bahwa tubuh perempuanlah yang sering dijadikan arena kekerasan simbolik sebagai akibat kontestasi di antara lelaki. Kini, kekerasan di sekolah menampakkan wajah dasamuka. Tubuh lelaki pun menjelma menjadi bagian dari arena kekerasan. Akal yang tak sakit nyaris tak bisa percaya bahwa anak-anak lelaki pun diperdaya secara menjijikkan oleh lelaki dewasa.

Seorang scholar tentang kekerasan, Irigaray, membilangkan bahwa kekerasan senantiasa muncul di ranah sosial dan di ranah simbol. Di sini, persepsi kekerasan dan perilaku menyimpang dipungut lewat pembelajaran sosial dan mungkin juga melalui pembelajaran kebudayaan. Dunia sosial yang membenarkan kekerasan dan permisif terhadap perilaku menyimpang akan merampas habis kualitas tulus dunia abjektif. Lalu, kekerasan di dunia sosial sering dikukuhkan ke dalam dunia simbol, tanpa banyak disadari. Makanya, sang taruna tewas melalui simbol sang senior dan anak-anak dilecehkan melalui persekongkolan para lelaki dewasa penyimpang.

Di ranah sosial ini, konflik dan kekerasan serta perilaku menyimpang dimanifestasikan dan diekspresikan dengan bermacam aspeknya dan modusnya. Di sini, mekanisme “pengingkaran” dijalankan, dan mekanisme “pembencian” difungsikan. Faktanya, di akademi itu, sang senior mengingkari bahwa sang junior memiliki hak yang sama untuk diperlakukan secara manusiawi, dan lelaki dewasa di sekolah internasional itu secara sadis membenci anak-anak.
***
Adalah benar bahwa sekolah bukan satu-satunya. Kekerasan serupa juga bermunculan di luar sekolah, di masyarakat. Tapi, bagaimanapun juga, sekolah tetap saja diidolakan sebagai tempat pembudidayaan manusia, sejak anak-anak, sejak berusia muda. Sekolah, dengan demikian, menjadi wadah untuk membiasakan dan meneladani apa saja yang baik dan pantas. Kebaikan dunia abjektif sang ibu sejatinya tak hancur lebur oleh lelaki di sekolah, di dunia objektif.

Perilaku menyimpang yang ditonton anak-anak, apalagi yang dialaminya, akan menjadi “pembelajaran sosial”. Kesaksian anak-anak terhadap kekerasan akan membekas pada perilaku dan sikap mereka kelak. Lalu, jangan heran jika kekerasan pun menjadi kultur dan sekaligus dikultuskan. Lihatlah anak-anak di beberapa negara di kawasan Afrika dan Balkan. Di sana, anak-anak cenderung mengunggulkan nilai-nilai “kemenangan”, “kekuatan”, dan “kekuasaan” untuk menghadirkan rasa takut pada lawan. Begitu pendakuan Fuad Hasan, mantan Menteri Pendidikan di Republik ini.

Mari kita hentikan lingkar tak bermoral kekerasan. Mari kita jadikan dunia sekolah yang objektif rasional sebagai tempat berlanjutnya dunia abjektif. 

Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, 6 Mei 2014

Manusia: Pantomim tanpa Misteri dan Idola

Alwy Rachman

“Persoalan kemanusiaan sekarang adalah kebalikan dari
kemanusiaan yang dipandu oleh mitologi.”
                                                                          Joseph Campbell

Di berbagai peradaban masa lalu, manusia adalah makhluk mitos. Ibarat keranjang, mitos mewadahi segenap pengalaman zaman manusia. Mitos yang menghidupi manusia berisi kisah dan cerita: kisah tentang yang baik dan yang buruk, cerita tentang yang bermoral dan amoral. Semuanya dicerna oleh manusia melalui kelompok, tak peduli apakah kisah itu dilambangkan oleh tokoh hero yang dibilang sebagai legenda, dan tak mengapa juga kalau cerita itu dilambangkan oleh hewan yang disebut fabel, juga tak apa jika kisah itu menghadirkan utopia melalui dewa-dewi.

Adalah Joseph Campbell, seorang scholar mitologi, yang bersikap kritis terhadap kualitas manusia modern. Campbell mendaku, manusia modern telah kehilangan kisah, manusia tanpa mitos. Karenanya, manusia modern tak lebih dari kerumunan manusia tak berkisah. Di Nusantara, idola tentang si Kancil yang cerdik berhadapan dengan si Buaya yang suka menipu juga pergi. Si ibu yang mesti mengutuk si Malin Kundang yang durhaka juga menghilang. Si Pitung, tokoh legendaris dalam menghadapi segala kejahatan, entah ke mana. Legenda tokoh baik dan tokoh pecundang serta fabel kebajikan dan kemunafikan telah pergi.

Idola telah mati. Hero dan kebajikan ikut terkubur. Idola dan hero tak lagi hadir menyediakan misteri. “Engkau telah membunuh semua dewa-dewi,” kira-kira begitu sindir Nietzsche yang, oleh banyak kalangan, dibilangkan sebagai pemikir kafir. Kini, manusia mengidolakan diri sendiri, merasa bisa menentukan nasib sendiri. Manusia modern telah menarik diri dari kelompoknya, dari komunitasnya, bahkan dari masyarakatnya. Idola dan hero manusia modern tak lain adalah dirinya sendiri.

Manusia-diri-sendiri adalah psyche manusia—biasa dibilangkan sebagai jiwa—yang terlepas dari kelompok, begitu pendakuan Joseph Campbell. Manusia-diri-sendiri adalah kumpulan psyche individu yang menarik diri keluar dari kolektivitasnya, terempas dari komunitas dan masyarakatnya. Lalu, setiap individu teralienasi, terasing dari kumpulan. Psyche individu mirip yang dibilangkan Chairil Anwar, sang penyair, “binatang jalang yang terbuang dari kumpulannya”.

Mitos adalah soal makna. Fabel dan legenda adalah soal kebajikan. Makna dan kebajikan dialirkan dan mengalir melalui kelompok dan kumpulan individu. Kadang-kadang, makna dan kebajikan dihadirkan melalui tokoh atau tokoh simbolik. Sering kali sang tokoh hadir secara anonim. Tapi justru status anonimitas sang tokoh yang menjadi pagar bagi setiap individu untuk tidak leluasa mengekspresikan dirinya sendiri, apalagi untuk bebas mengalahkan dan meniadakan individu lain dalam kelompok. Sensasi misteri sang tokoh lalu menjadi pengikat psyche kelompok.

Melalui mitos, individu dalam kelompok lalu terikat dan bergerak secara bersama. Psyche individu terpelihara dan terhubung dengan psyche individu lain. Lalu jadilah psyche kelompok. Psyche kelompok menjelma sebagai arena kehidupan bersama. Psyche individu saling menjaga agar kelompok tak buyar. Psyche “sipatuwo sipatokkong”, “saling menghidupi, saling menegakkan”, begitu ungkapan pepatah Bugis. Atau, psyche “saribbattang sipaenteng siri”, “bersaudara, saling meninggikan harga diri”, begitu petitih Makassar yang mendudukkan psyche antar-individu sebagai yang berasal dari satu perut: rahim ibu.

Tapi psyche kelompok sekarang mengalami krisis. Tak ada lagi kesadaran kelompok, kata Campbell. Psyche kelompok kini terhambur ke psyche individu yang teralienasi satu sama lain. Idola, makna, dan kebajikan kelompok ikut berantakan. Di sini, individu tak lagi mengenali individu lain, dan tak lagi bergerak bersama. Yang satu ke kiri, lainnya ke kanan. Komunikasi antara kesadaran dan ketaksadaran psyche manusia menciptakan zona yang berkeping dan terbelah. Di situ, kata Campbell, kesadaran sosial manusia modern terempas menjadi ketidaksadaran.

Maka, masyarakat dan komunitas kini mengalami degradasi sedemikian rupa hingga menjadi tak lebih dari sekadar kerumunan. Panggung kerumunan tak mampu menghadirkan hierarchical pantomime, yaitu psyche individu untuk menjadi peniru yang baik secara hierarki. Manusia tak lagi berkemampuan belajar kebajikan secara berjenjang: dari komunitas, ke masyarakat, hingga ke kebangsaan.

Itu sebabnya manusia modern tak lagi hidup di masyarakat yang berfungsi sebagai pembawa spiritualitas, ujar Campbell. Atau, manusia modern adalah wujud kematian semua dewa-dewi, sebagaimana penilaian Nietzsche. Di situ, tak ada lagi misteri, tak ada utopia. Misteri tokoh dan kebajikan redup secara misterius. “Utopia hidup bersama” lenyap begitu saja.

Bagaimana bisa tiba pada “misterium tremendum at fascinans”, “misteri dari segala pesona”, sebagaimana dibilangkan Rudolf Otto, jika psyche manusia tak belajar dari rangkaian dan susunan misteri kecil yang tersedia di rahim kebudayaan? Kalau tak bersedia menjadi pantomim, psyche individu hanya jatuh cinta kepada benda dan kuasa.


Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, 28 Agustus 2014


Monday, November 23, 2015

Orang-Orang Lapar

Alwy Rachman

“Jika Engkau lapar, telanlah pil baruku.
Pil yang bercitarasa diam.”
                                                     Jarod Kintz
  
Saya lapar, maka saya hidup”, begitu pernyataan singkat dari sosok yang tak dikenal dan tak terkenal. Para pemburu pemikiran-pemikiran filsafat hanya menyebutnya dengan julukan Sinistar. Sang sosok ini dibilangkan sebagai filsuf minimalis, karena tak ada pembahasan panjang lebar terhadap pernyataannya. Saking penuh misteri, warisan pemikirannya hanya dikenali melalui tujuh pernyataan. Satu di antaranya adalah, “Saya lapar, maka saya hidup”.

“Saya lapar”, dalam pernyataan Sinistar, adalah rasa yang memberi tahu “adanya kebutuhan”. Lapar membawa seseorang untuk percaya perlunya “konsumsi”. Lapar, dengan demikian,  adalah rasa yang menangkap loncatan dari apa yang dipercayai. Dalam bahasa agama, lapar adalah cara merasa dan mencerna yang memungkinkan terjadinya lompatan iman. Sayang sekali, penjelasan tentang Sinistar cuma seringkas ini. Benar-benar minimalis. Selebihnya, di jagat raya internet,  Sinistar tak lebih dari sebagai permainan di ragam gadget, perangkat game. 

Tapi, lapar tak hanya soal rasa yang dialami setiap individu. Lapar secara massal kadang memunculkan dirinya sebagai drama kemanusiaan yang tak sederhana untuk dijelaskan. Kalau toh mau sederhana, lapar bisa dibilangkan “tak ada yang bisa dikonsumsi”. Lapar bisa juga disebutkan sebagai “hilangnya akses ke sumber-sumber pangan”. Ketiadaan konsumsi dan hilangnya akses juga macam-macam. Dari kemiskinan dan kekayaan yang melebar secara absolut hingga kekeringan dan perang berkepanjangan. Dari keterpinggiran orang-orang lapar hingga kuasa atas pangan oleh orang-orang berpunya.

Simon Weil, perempuan filsuf kontemporer berkebangsaan Perancis, membilangkan bahwa orang-orang lapar dengan orang-orang yang menguasai pangan diikat oleh hubungan kewajiban yang paling benderang, yaitu “wajib memberi makan orang-orang lapar”.  Simon Weil menambahkan, jauh di masa lampau, di era Mesir Kuno, kewajiban memberi makan pada yang lapar telah menjadi aksi peradaban. Di sana, manusia-manusia masa lalu percaya, mengatasi kelaparan sama artinya menyelamatkan diri sendiri setelah kehidupan, begitu bahasa kepercayaannya.

Lepas dari kebaikan penjelasan Simon Weil, debat etik di antara hubungan negara kaya-miskin tak terhindarkan di masa-masa modern. Di dalam tulisannya yang bertajuk “World Hunger: A Moral Response”, Claire Andre dan Manuel Velasquez menulis bahwa para ahli etika memiliki pandangan yang berbeda atas “kewajiban”:  tak wajib membantu negara- miskin di satu pihak, dan wajib secara moral bagi negara kaya membantu negara miskin di lain pihak.

Negara-negara kaya yang tak berkewajiban membantu membilangkan, “Moral kami adalah bertindak sedemikian rupa memaksimalkan kebahagiaan dan mengurangi penderitaan umat manusia. Dalam jangka panjang, membantu negara-negara miskin akan menghasilkan derita yang lebih besar ketimbang yang sedang dialaminya. Negara miskin seharusnya memperbaiki kebijakan pemerintahnya.

Negara-negara kaya yang merasa berkewajiban membantu membilangkan, “Warga negara-negara kaya berkewajiban secara moral membantu negara-negara miskin. Setiap orang berkewajiban secara moral menghindari kerusakan yang membahayakan meski pun tidak di negerinya sendiri. Derita dan kematian akibat kelaparan sesungguhnya adalah pengrusakan.”  Amartya Kumar Sen, ekonom dan filsuf berkebangsaan India ini, malah bilang kelaparan bukan disebabkan tidak tersedianya pangan. Penerima hadiah Nobel tahun 1998, mendalilkan bahwa kelaparan lebih disebabkan oleh distribusi pangan yang tak adil di antara hubungan negara-negara kaya-miskin.

Kisah tentang kelaparan yang menimbulkan kematian massal bukan kisah baru. Kawasan Afrika selalu menjadi contoh peradaban kemanusiaan yang menjelang mati akibat kelaparan. Kematian akibat kelaparan seperti ini tak lain adalah kematian yang nyaris tak disadari. Kematian yang sepi. Saking sepinya, Jarod Kintz mengibaratkannya sebagai menelan pil sepi. Pil yang membuat korban hanya merasa sepi. Sepi…diam…lalu mati.

Bulan ini masih Ramadhan. Berhari-hari ke depan, mereka yang beragama Islam diwajibkan berpuasa. Tentu saja, puasa di sini tak melulu berlapar-lapar tanpa lompatan ke apa yang terbawa oleh keyakinan. Orang-orang yang berpuasa tidak dimaksudkan menghadirkan kelaparan. Orang-orang yang berpuasa, dengan demikian, bukanlah orang-orang lapar. Pun bukan orang-orang kelaparan.
Puasa adalah rasa. Di sini, empati didekatkan, hedonisme dijauhkan. Puasa adalah cara merasa dan mencerna dunia lapar yang sepi, dunia yang di peradaban lain menimbulkan korban. Puasa menjauhkan hedonisme menjelang magrib.

Pada akhirnya, puasa adalah aksi untuk melompat ke moral filosofis. Pun puasa adalah tangga untuk mendaki ke moral agama.


 
Alwy Rachman.