tinro tatinro
ammatai tallasaqna
Gosséya lonna mammanyuk
niyaq gusung narampéi
inakké iya
arusuka kupinawang
1. Manusia 'Bahari'
Seorang nelayan, pelayar, penjelajah lautan, 'manusia bahari', sebutlah nama simboliknya: I Mattamparang Daéng Manyombali, seperti manusia bahari lain yang melakukan kegiatan mencari kehidupan, melayari dan mengharungi lautan, mencari dan menangkap ikan, serta mengeksploitasi sumber-sumber kekayaan laut lainnya, adalah manusia yang senantiasa mempersiapkan diri menghadapi tantangan kehidupan, yang taruhannya ada kalanya nyawa. Mereka selalu siap melakukan pertarungan mati-hidup setiap kali mereka menjalankan profesinya. Sebagai 'manusia bahari', Daéng Manyombali dan manusia bahari lain yang disimbolkannya, umumnya bertempat tinggal di pesisir pantai atau di pulau-pulau. Entah di Paotéré, Barombong, Galésong, Bira, Sumpang Binangaé, Pambusuang, Bajoé, pulau Kodingaréng, pulau Masalémbo, pulau Balo-baloang, di pulau atau pantai mana saja, mungkin juga di pinggir pantai Jalan Riburané. Penduduk Makassar menyebut mereka Tupabbiring, manusia 'tepi laut' yang melakoni kehidupan di lautan. Budayanya adalah budaya bahari.
Gaya hidup (life style) kebaharian menunjukkan ciri culture pragmatism, instrumentalism dan adaptivity, yang disesuaikan dengan lingkungan alam dan kehidupan di laut. Tantangan yang dihadapi ,manusia Daéng Manyombali jauh lebih konkret bila dibandingkan dengan tantangan yang dihadapi manusia di daratan. Prinsip mereka bersifat pragmatik. Mereka memikirkan masalah yang tampak menantang di depan mata dan hidung mereka, dan mencoba memberikan jawaban dan tanggapan atas tantangan itu. Untuk menghadapi tantangan itu, mereka sangat memperhatikan alat-alat yang dapat digunakan demi memperlancar usaha dan menjamin keselamatan mereka. Perahu, misalnya, dirancang dan dibuat secara sangat cermat, mulai dari pemilihan bahannya sampai pada teknik-teknik terkecil dalam proses pembuatannya. Oleh karena itu disebut bersifat instrumentalism.
Mereka berusaha melakukan adaptasi terhadap lingkungan kehidupannya. Berbagai sikap baik secara individual maupun secara kolektif dikembangkan sebagai respons atas kondisi objektif dari lingkungan kehidupan profesionalnya, seperti sikap solidaritas dan kerja sama. Hal itu merupakan satu keniscayaan. Berbagai sikap itu dikembangkan, dipelihara serta diawasi dengan ketat, karena sikap seperti itu dianggap merupakan jaminan bagi keselamatan mereka. Itulah yang disebut sifat adaptivity-nya.
Dengan gambaran tersebut dapatlah diasumsikan bahwa kebudayaan bahari tumbuh dan berkembang sebagai proses dan hasil dari 'pertarungan' manusia bahari dengan lingkungan alam kelautan yang menantangnya.
2. Nilai Budaya Manusia 'Daéng Manyombali'
Kenyataan bahwa kehidupan di lautan penuh dengan tantangan dan risiko yang dapat membawa bencana, mara bahaya, kebangkrutan, bahkan kematian, menumbuhkan nilai budaya yang mempedomani dan mengarahkan kehidupan manusia bahari, 'tupabbiring' atau manusia 'Daéng Manyombali'. Seperangkat nilai yang merupakan suatu sistem nilai budaya, mereka pelihara di dalam kehidupan 'komunitas'nya,
Pertama, nilai utama yang dianggap sangat penting dan berharga dalam kehidupan budayanya adalah nilai solidaritas dan kerja sama. Nilai ini merupakan keniscayaan. Dalam praktik kehidupan, mereka dengan sangat hati-hati menjaga hubungan kehidupan yang harmonis dan kerjasama di antara mereka. Keharmonisan dalam kehidupan, kebersamaan, dan nilai solidaritas merupakan nilai yang didambakan dan berusaha untuk selalu mereka wujudkan dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak ada yang boleh bertikai, terutama menjelang dan sesaat mereka hendak turun melaut.
Pertikaian antara sawi dan sawi, antara sawi dan ponggawa, merupakan pantangan, terutama di laut ketika sedang menjalankan usaha penangkapan ikan. Bahkan dipantangkan terjadinya pertikaian antara anak istri para sawi. Pertikaian, terutama yang terjadi di laut segera diselesaikan pada saat itu, di tempat. Bila tidak diselesaikan akan terjadi 'nacilakai ngaseng sawia, jama-jamanga, na pakabéllai dalléka, mencelakakan semua awak perahu, pekerjaan dan menjauhkan rezeki. Sawi, ponggawa, dan peralatannya dianggap satu kesatuan. Sawi diandaikan sebagai kaki dan tangan. Maka dipantangkan terjadinya perbedaan kehendak kaki dan tangan.
Kedua, selain nilai solidaritas, nilai kejujuran sangat dijunjung tinggi dalam kehidupan mereka. Seorang informan tua, mantan ponggawa laut Sumpang Binangaé di Barru mengilustrasikan bahwa pada malam hari adakalanya nelayan di laut didatangi pedagang pengumpul ikan dari daerah lain untuk melakukan transaksi pembelian ikan. Dengan nilai kejujuran, maka ikan yang dijual dan hasil penjualannya harus tetap dicatat dan dilaporkan kepada ponggawa bonto di darat. Bila hal itu tidak dilakukan, maka akan terjadi keadaan "tidak akan lama perahu akan terbalik", artinya usaha penangkapan ikannya akan merugi dan berkemungkinan bankrut.
Ketiga, nilai adil, keadilan atau 'adélék, adalah nilai budaya yang mereka pelihara. Nilai inipun berhubungan pula dengan nilai menciptakan kehidupan harmonis serta nilai kejujuran. Dalam hubungan antara ponggawa dan sawi, misalnya, perlakuan yang sama diberikan kepada orang dan jenis pekerjaan yang sama. Akan tetapi, bila ada sawi yang memiliki kedisiplinan dan kerajinan lebih tinggi dibanding dengan yang lain-lain, dengan kualitas pekerjaan yang lebih baik, maka sawi tersebut selain menerima bagian penghasilan dasar yang sama, juga diberikan upah tambahan.
Keempat, dalam menjalankan tugasnya memimpin para sawi, seorang ponggawa harus memiliki ketegasan dan keteguhan. Keteguhan pada prinsip dan ketegasan melaksanakannya berhubungan dengan penjagaan keselamatan sawi atau awak perahu yang dipimpinnya. Mereka harus teguh memegang prinsip yang dianut dalam kegiatan profesinya, sekaligus tegas melakukan penindakan terhadap pelanggaran prinsip umum dan prinsip kerja mereka. Disebutkan di atas, pertikaian di atas perahu harus secara tegas diselesaikan pada saat itu di atas perahu itu juga. Siapapun yang bersalah, sekalipun anak kandung sendiri, harus diberi sanksi. "Tidak boleh bersikap berat sebelah", berpihak pada anak atau kerabat sendiri.
Kelima, berhubungan dengan nilai-nilai tersebut dianggap penting pula nilai sipakatau, yaitu nilai yang saling memanusiakan atau saling menghargai sesama manusia. Nilai ini terwujud dalam perilaku berupa memelihara sikap kesamaan dan kesesamaan. Ponggawa akan memperlakukan sama pada semua sawinya, menghargai pendapat dan aspirasi para sawi. Ini adalah prinsip sipakalabbirik, saling memuliakan. Sawi memuliakan ponggawa, dan ponggawa memuliakan harkat kemanusiaan para sawi. Sampai sekarang, menurut seorang informan, prinsip seperti itu masih dipraktikkan dalam kehidupan nelayan di Pambusuang di Polewali Mandar, masyarakat nelayan patorani di Galésong Takalar dan nelayan Bajoé di Bone.
Di atas seluruh nilai-nilai yang dikemukakan di atas, masyarakat Daéng Manyombali meyakini nilai yang disebut berserah diri, bertawakkal kepada Sang Pencipta, 'appésona ri bataraya'. Sebelum mereka turun melaut mereka menyerahkan diri secara bulat dan utuh kepada sang Pencipta dengan keyakinan "tidak ada daya, kehendak dan kekuatan, selain bersama sang Pencipta".
Norma dan aturan yang berhubungan dengan nilai kejujuran ditetapkan pula. Dalam kehidupan masyarakat ditemukan ketetapan yang memberikan sanksi kepada ponggawa atau sawi yang melakukan penjualan ikan di lautan kepada orang atau pembeli lain, tanpa sepengetahuan ponggawa bonto atau tanpa mencatat transaksi tersebut. Kejujuran semua pihak akan menimbulkan rasa saling percaya yang akan melahirkan kerja sama panjang dan kehidupan harmonis. Dalam kehidupan di daratan, masyarakat nelayan memelihara norma adat yang menjadikan kriteria pengukuran kejujuran manusia untuk dijadikan pemimpin, ponggawa, atau menjalin hubungan kekekuargaan melalui jalur perkawinan.
Tantangan yang dihadapi manusia bahari mendorong berkembangnya pengetahuan mengenai berbagai cara, tindakan dan perilaku 'bersahabat' dengan alam dan 'mengutamakan keselamatan bersama'. Sistem pengetahuan kebaharian yang diwariskan turun temurun, sesungguhnya merupakan 'resep budaya' yang menjadi kelengkapan diri manusia bahari menjalani profesinya:
a. Pengetahuan kutika, pengetahuan mengenai hari baik dan hari buruk
Pengetahuan kutika bukan hanya berkembang pada masyarakat bahari, melainkan berkembang pula pada masyarakat petani. Patorani di Galésong atau masyarakat bahari di Bajoé, menjadikan pengetahuan kutika sebagai patokan memulai melakukan pekerjaan. Dalam budaya masyarakat petani, salah satu di antara berbagai pengetahuan kutika adalah pembagian waktu dalam satu hari yang dibagi menjadi lima bagian: barikbasak (M), élék (B) 'pagi hari', naikna allowa (M), abbué-buéng (B) 'matahari mulai merangkak naik', tanngallo (M), tanngasso (B) 'tengah hari', naunngallo (M), lésanngesso (B)'mata-hari condong ke barat'
dan karuwéng (M), arawéng (B) 'sore hari'.
Mappam-mula (Memulai) | pajjareng' (Fajar) | Abbuéng* | Tanngasso (Tengah Hari) | Arawéng (Sore) | Denniari (dini hari) |
Juma (Jumat) |
|
| + |
| O o O o o |
Sattu (Sabtu) | O o O o o |
|
| + | |
Ahak (Ahad) |
| + |
|
O o o | |
Asénéng (Senin) |
|
| O o O o o |
| + |
Salasa (Selasa) |
|
| + |
|
O o o |
Araba (Rabu) | + |
|
O o o |
|
|
Kammisik (Kamis) |
|
| + |
|
O o o |
Keterangan simbol:
O o
O = mallisek
'berisi' = lobbang, 'kosong'
o o = pulang pokok = ujuu, 'mayat'
+= atuong, 'kehidupan' * Waktu sekitar pkl. 09.00 – 11.00 pagi
Seperti pada masyarakat bahari patorani di Galésong dan masyarakat bahari pada umumnya, masyarakat nelayan Sumpang Binangaé memiliki pengetahuan perbintangan atau astronomi dan astrologi. Seorang informan menyebutkan adanya yang disebut bintang sulo-bawié, bintang wara-waraé, bintang tanraé, bintang manuk-é, bintang lambarué, bintang tellu-tellué, dan sejumlah nama bintang lainnya. Setiap bintang itu menjadi petunjuk dalam menjalankan profesi kenelayanan. Letak dan bentuk bintang tersebut harus diketahui oleh orang yang hendak menjalankan profesi pelaut atau nelayan, demikian pula pengaruh dan hubungannya dengan cuaca, keadaan ikan dan lain-lain.
c. Pengetahuan oceanology
Mereka pun memiliki pengetahuan mengenai klimatologi, keadaan iklim dan cuaca, musim bertelurnya ikan, musim menetasnya telur ikan dan sebagainya. Diceritakan oleh informan bahwa pada bulan tertentu ikan akan lebih banyak di suatu tempat, akan tetapi di waktu lain tempat itu akan tidak dihuni ikan. Rombongan ikan-ikan akan berpindah, melakukan migrasi ke tempat lain. Ini adalah pengetahuan mengenai perjalanan waktu, pergantian musim, dan peta perjalanan migrasi ikan-ikan pada setiap waktu yang seiring dengan pergantian musim.
"Bila hendak menebang pohon, bawalah seekor ayam merah pada pagi hari, seikat daun sirih, segenggam beras yang diberikan kepada ayam bila ayam itu hendak dilepaskan. Bila ayam diIepaskan bacalah mantra: élék asemmu monrowanngi tana-é, iyana kulappasanngio manuk, maélokka tubbanngaju patulak anu makerek, paléokenngak, paninirenngak anu makerek-é 'sang pagi namamu yang menjaga tanah, untukmulah kulepaskan ayam, saya hendak menebang kayu penolak yang keramat, jauhkan saya, hindarkan saya pada yang keramat itu'. Bila ayam telah diIepaskan, persaksikanlah pada pohon kayu yang hendak ditebang, nyalakanlah api, lalu mengikat pangkal kayu dengan benang kuning, kemudian mundur, duduk menjaga benda yang jatuh dari pohon, tangkaikah, daunkah atau sesuatu yang lain yang berasal dari kayu yang hendak ditebang itu. Bilamana yang jatuh adalah benda yang tidak semestinya jatuh, jangan ditebang, apalagi bila yang jatuh adalah makhluk bernyawa. Bilamana hendak menebang, ambillah kapakmu lalu kau mengelilingi pangkal kayu itu, lalu membaca: temma lékkokkak pateppao uwasé, 'saya tidak akan keseleo tanganku mengayunkanmu, hai kapak'. (Lontarak 124 : 128-129)
Mereka melakukan perilaku simbolik membuat nyala api, merujuk pada makna 'mempersaksikan' atau 'mappésabbi' kepada 'penjaga hutan' atau 'pangonrowang alek' dan makhluk lain mengenai adanya maksud menebang pohon, mengambil sebagian kekayaan margasatwa itu. Mereka menganggap perilaku itu sebagai melakukan penghargaan secara adat dengan api, riadek-i nasabak api kepada pemilik hutan. Benda simbolik benang kuning, dihubungkan dengan warnanya, yang dianggap sebagai warna kemuliaan yang digunakan manurunngé, orang yang dipercaya 'turun dari langit'. Mengikat pangkal pohon kayu yang hendak ditebang dengan benang kuning, adalah simbol perilaku yang diartikan, "dengan menyipatkan kemuliaan manurunngé, penebang kayu 'minta pertanda', 'méllau
pétanra' mengenai boleh atau tidaknya kayu itu ditebang, baik atau tidak baiknya kayu itu nanti bila digunakan menjadi bahan perahu". Tanda-tanda itu adalah benda yang jatuh dari pohon, tangkaikah, daunkah atau sesuatu dari kayu yang hendak ditebang. Bila yang jatuh adalah benda yang semestinya tidak jatuh, itulah pertanda kayu itu tidak boleh ditebang. Bila yang jatuh adalah makhluk bernyawa, itu dianggap sebagai pertanda simbolik bahwa bila kayu itu ditebang dan dijadikan bahan perahu, maka perahu tersebut dipercaya akan memperoleh musibah, seperti benda yang jatuh sebelum saatnya dari pohon itu.
Untuk memperoleh kayu yang baik, ditempuh berbagai persyaratan:
1. pada waktu menebangnya kayu tidak menindih makhluk hidup;2. kayu tidak dimakan rayap, sakkek-lingek 'sempurna';3. tidak memiliki pasu 'pusaran kayu bekas cabang pohon';4. tidak ada makhluk hidup yang jatuh dari pohon itu ketika dilakukan ritus persiapan melakukan 5. penebangan, termasuk daun yang masih hijau;6. kayu yang tidak tumbang dengan sendirinya;7. kayu tak pernah disambar petir;
Seluruh persyaratan berhubungan dengan anggapan yang disebut 'sennung-sennungeng': "baru hendak ditebang, sudah ada korban makhluk bernyawa", 'nappai élok ritubbang, manré mémenni anu makkinyawa'. Pedoman tradisional itu cenderung telah ditinggalkan karena kayu yang digunakan pada umumnya didatangkan dari daerah luar Sulawesi Selatan. Dalam hal seperti itu, pembuat perahu tradisional, panrita lopi berpegang pada kepercayaan dan penyerahan diri kepada sang Pencipta disertai ungkapan: "diniatkan saja membawanya kepada yang baik" 'riérang mami ri mabajika', lalu memilih kayu berkualitas.
- Jenis kayu yang paling disukai, kayu jati. Kayu pertama dicari, yang akan dijadikan kalébiséang (lunas perahu), kemudian kayu lengkung untuk gading-gading (frame)
- Penebangan kayu pertama dilakukan kepala tukang, menggunakan kekuatan daya mistik. Kemudian digantikan tukang-tukang lain.
- Kayu dibawa ke galangan, digergaji menjadi balok, kayu lengkung dan papan.
- Upacara dilakukan pada saat peletakan kalébiséang.
- Panrita Lopi (Ahli pembuatan perahu) membacakan mantra dengan asap kemenyan sebelum kayu dipotong-potong;
- Potongan bagian depan dibuang ke laut dengan maksud tulakbala, sedang potongan bagian belakang disimpan di rumah pemilik perahu, sebagai tanda pengharapan agar perahu selamat dan membawa rezeki.
- sambungan pada kalébiséang, sambungan tumpul atau sambungan laso dan sambungan honga;
- Selesai penyambungan lunas dilakukan pemasangan kulit. Ciri khasnya mendahulukan pemasangan kulit dari pada gading-gading (frame);
- Kulit memegang peranan penting, bukan gading-gading. Kulit harus lebih tebal dibanding dengan ukuran modern.
- Lajur kulit pertama dibuat: pangépék, yaitu lajur kulit dasar berhubungan dengan kalébiséang, sebagai pengapit lunas, diikat dengan pasak.
- Hubungan antara lajur kulit dengan kulit berikutnya diikat pula dengan pasak kayu ulin, kemudian dirapatkan.
- Sebelum papan kulit dirapatkan, diberi baruk gallang yaitu kulit kayu yang tahan air laut untuk memperkedap perahu terhadap air laut. Jika terkena air, akan mengambang dan memperbesar daya kedap papan.
- Sistem sambungan bibir-miring-ganda, menyusun papan kulit sampai sepuluh lajur di sebelah kanan dan kiri secara bersamaan. Dengan demikian gading-gading sudah dapat dipasang.
- Bentuk kemiringan dan lengkung kulit tidak memiliki ukuran standar, dan hanya ditentukan menurut panjang depa, hanya untuk mengetahui panjang dan lebar perahu.
- Untuk mengetahui kemiringan, pembuat perahu cukup berdiri di bagian depan buritan melihat keseimbangan papan kulit kiri dan kanan;
- Sementara satu atau dua orang menyusun papan-kulit, tukang lainnya memasang gading-gading mengikuti kulit yang sudah terpasang.
- Setelah gading-gading terpasang, pekerjaan berikutnya pemasangan lépé-lépé (sringer) memanjang, kemudian memasang balok-balok dan papan katabang, yang diberi baruk-gallang di antara papan-papan.
- Selanjutnya pembuatan anjong di bagian depan, sebagai tempat bertumpu tiga lembar layar depan, dan pembuatan ambing (anjungan bagian belakang), sangkilang (tempat kemudi), kamarak (kamar-kamar) dan pallajareng (tiang layar).
- Pekerjaan berikutnya dalah pelicinan katabang serta pengaturan tali-temali dan layar.
5. Seni dan Sastra Komunitas ' Daéng Manyombali'
Bangkénnu, Kondo Buléng !kontuwi laiyya lolobonggannu, kondokontuwi pappéppéq bannangingkonnu, kondokontuwi buyang nilappaqdongkoqnu, kondokontuwi sorongang Jawabulunnu, kondokontuwi jarung panitikannyiqnu, kondokontuwi kipasaq gadingdadanu, Kondo Buléng !kontuwi papparuq gading
Kakimu, Kondo Buleng
Bagai jahe muda
Pahamu, kondo
Bagai pemukul benang
Ekormu, kondo
Bagai kertas dilipat
Punggungmu, kondo
Bagai pedati Jawa
Bulumu, kondo
Bagai jarum peniti
Keningmu, kondo
Bagai kipas gading
Dadamu, kondo
Bagai parut-gading
(dan seterusnya)
Géntung sombalaq manakku, Daéng Ranitimbaq kajang mannguqrangitontong padomangsombalang siallo mami;Gantung layar kerinduan, Daéng Ranibukalah tirai kenanganlihat pedomanpelayaran sisa sehari)
Kamaséammaq nuéro, Torani
tulummaq nunngamaséang
tallumaq bulang, Rani
tamaqléoq ri rapangku
Kasihanilah, agar kau mau, Torani
Tolong pengasihanmu
Sudah tiga bulan, Rani
Tak kujumpa keluargaku
Daéng Ranipa anné maéroq
iyapa manngamaséang
naniaq todong
téqnéta ni taqlanngérang;
Daéng Rani-lah berkeinginan
dialah yang mengasihani
sehingga ada juga
kebaikan kita yang terdengarka
Anroroko, patibong !
tippassi gioka iya
punna asaraq kalauq
ikau antu anngamaséang
na niaq teqnéta ri tallanngérang, Béla;
Berdesak-desakanlah kamu, patibong !
cepatkanlah goyanganmu
bila matahari senja di barat
kamulah yang mengasihani
sehingga ada juga kebaikan kita yang terdengarkan, Bela)
Puisi yang paling dikenal luas dalam masyarakat Makassar adalah kélong yang terikat jumlah bait dan barisnya, yaitu satu kélong terdiri atas 4 bait. Bait 1, bait 2, dan bait 4, terdiri atas 8 suku kata, sedang bait 3 terdiri atas 5 suku kata. Kélong jenis ini sebagian besar sudah menjadi ungkapan yang fungsional di tengah-tengah kehidupan masyarakat Makassar pada umumnya. Di bawah ini beberapa contoh kélong yang keseluruhannya menggunakan simbol-simbol kebaharian:
Béla, nuciniqmi sallangpasombalaq malolowa nataba sarro ri dolangang tammamélo Tujumi balang kalauqtamparang kupasangaséng téyako rampé ri gusung téna tojénna Biséyang tallangko naung tallang naung ri likuwa na jarra-jarra tu kalauka ri Jawa Kérémaé niyaq liku liku téna sandakanna la mangésadaq sitallangang cilakaku Biséyang apa kipaké tété apa kidongkoki kibattu mangé maqlabu ri butta Judda Téyako lanré mannyombalang ri minasa gauq bajiq turuqko mangé ri gusung cinna ciniqnu Punna lampako dolangang ansombali mabéllaya uqrangi tongi turungang kibokoiya Apamo sallang nakana turungang ki bokoiya lonta nyombalang ki taéna mammotérang Sangkilang nguqrangi sako sombalaq sailé sako ikau guling tuliko ri turungannu Gosséya lonna mammanyuk niyaq gusung narampéi inakké iya arusuka kupinawang Kamma minne tallasaqna aqboyaya rawa jéqnéq tinro tatinro ammatai tallasaqna Punna tenaq ri bombanna ciniqkaq ri galluruqna niyaqmaq antu iraté maqbiring kassiq Sallomaq irawa jéqnéq mammanjéng ri paropowa angkaqmaq naiq kanalantaqmaq dinging | Teman, akan kau lihat nanti Pelaut yang masih muda Ditimpa bencana di tengah lautan, tak menggulung layar Sudah tujuh pulau ke barat Lautan kupesankan semua Janganlah terdampar Di pulau yang tak ada kebenarannya Perahu, tenggelamlah kamu Tenggelam ke dasar lautan Agar menjadi kapok Orang yang (berlayar) ke Jawa Di mana saja ada dasar lautan Dasar lautan tak terukur dalamnya Aku akan pergi ke sana Tenggelam bersama nasib sialku Perahu apa yang dipakai Titian apa yang ditumpangi (hingga) dapat sampai berlabuh di pelabuhan Jeddah Janganlah selalu berlayar Pada harapan perilaku baik Ikutlah selalu ke pulau idaman pandang-matamu Bila pergi berlayar ke tengah lautan Melayari negeri jauh Ingatlah juga Pelabuhan yang kau tinggalkan Apalah yang akan dikatakan Pelabuhan yang ditinggalkan Bila (sejak kita) pergi berlayar Dan (kita) tak pernah kembali pulang Sangkilang, ingatlah kamu Layar, baliklah memandang Dan kau kemudi, kembali selalu ke tempat berlabuhmu Rumput-laut sekalipun hanyut Ada pulau tempatnya tersangkut Akan tetapi, aku Hanya aruslah kuikuti Beginilah kehidupannya Berpencaharian di dalam air Tidur tak-tidur Melayari kehidupannya Bila aku tak ada di gelombangnya Lihatlah aku di gulungannya Akan adalah aku Di atas menyusuri tepian pasir pantai Sudah lama aku di bawah air Bersandar pada paropo Angkatlah aku naik Aku telah didera kedinginan |
Akhirnya. Kebudayaan bahari tumbuh dan berkembang sebagai respons manusia bahari atas kondisi lingkungan dan berbagai tantangan yang dihadapinya. Kesadaran atas kondisi lingkungan kehidupan bahari yang harus dihadapi dalam melaksanakan profesinya menumbuhkan nilai-nilai, norma-norma, kepercayaan, pengetahuan, teknologi, kesenian dan kesastraannya.
Makassar, 12 Maret 2006Abu Hamid. 2004. PASOMPE, Pengembaraan Orang Bugis. Pustaka Refleksi. Makassar.
Firth, Raymond. 1965. Malay Fishermen:Their Peasant Economy. Routledge and Kegan Paul. London.
Ibrahim, Anwar, 1999, Inventarisasi Puisi Masyarakat Pantai Makassar, Lembaga Penelitian Unhas, Makassar
---- 2000, Kélong Patorani, Puisi Pembebasan Diri Penangkap Ikan Terbang di Galésong, Kab. Takalar. Laporan Penelitian, Makassar
---- 2002, Sulesana, Kumpulan Esei tentang Demokrasi dan Kearifan Lokal, Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin, Makassar
---- 2004, Aspek Sosial dan Budaya dalam Kehidupan Masyarakat Nelayan di Sumpang Binangaé, Kab. Barru, Laporan Penelitian, Makassar
Manyambeang, A. Kadir, dkk., 1988, Jiwa Laut Dalam Sastra Makassar, Lembaga Penelitian Unhas, Ujung Pandang
Matthes, B.F., 1883, Macassarsche Chrestomathie, C.A. Spin & Zoom, Amsterdam
--- 1872, Boegeenesche Chrestomathie, C.A. Spin & Zoom, Amsterdam
--- 1864, Boegeenesche en Macassarsche Poezie, C.A. Spin & Zoom, Amsterdam
Nishimura, Asahitaro. 1973. A Preliminary Report on Current Trends in Marine Anthropology. Waseda University, Tokyo
Rajemah, Bau, 1998, "Makna Simbol Dalam Kelong Pamingkiq" (Skripsi), Fak. Sastra Unhas, Ujung Pandang
Reso, Erni. 1993 "Pengungkapan Makna Simbol Dalam Kelong Makassar" (Skripsi), Fak. Sastra Unhas, Ujung Pandang
Tobing, Ph. O.L. 1961. Hukum Pelayaran dan Perniagaan Amanna Gappa. Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, Makassar.
Yatim, Nurdin, 1991, Pelayaran Teripang dari Makassar ke Marege; Telaah Antropolinguistik, Pemerintah Daerah Propinsi Dati I Sulawesi Selatan, Makassar