SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Saturday, September 25, 2010

INDONESIA, Bergerak di Dunia Tunggang Langgang


Alwy Rachman
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin

Sebagian judul dan isi tulisan ini diinspirasi oleh pernyataan Anthony Giddens, seorang pemuka pemikir Jalan Ketiga (The Third Way). Adalah Giddens yang membilangkan “dunia sekarang” yang sedang kita diami dan jalani sebagai “dunia tunggang langgang”, sebuah dunia yang kini terjerumus dan terpenjara ke dalam berbagai bentuk kekerasan, baik di ranah global maupun di ranah lokal. Dengan kedalaman pemahaman, melalui pengungkapan metaforik, Giddens meyakini bahwa kita semua sekarang sedang terbirit-birit, terputar-putar dan terbolak-balik di “lingkar tak bermoral di antara perasaan geram dan tersengat” (vicious circle of animosity and venom). Ungkapan metaforik ini bisa juga diterjemahkan "lingkar problematik dari rasa dendam dan kebencian".

Begitulah Giddens melihat “dunia sekarang” yang dibangun, dijalankan dan digerakkan melalui berbagai model demokrasi setelah runtuhnya sosialisme. Melalui ungkapan metaforik, Giddens selanjutnya memisalkan “dunia sekarang” sebagai “truk raksasa” (juggernaut) yang membawa banyak muatan, berlari kencang, terbirit dan terputar di situ-situ saja, tanpa tujuan.

Metafora Giddens sesungguhnya adalah kritik akademis bersuara lantang yang justru datang dari jantung kapitalisme, kritik keras yang dialamatkan kepada dua teori besar (grand theory) yang sejauh ini dipuja dan diaplikasikan untuk menata dunia. Kedua teori besar itu adalah teori tentang struktur dan teori tentang agency. Dalam kritik akademisnya, Giddens meyakini bahwa penerapan secara terpisah dan parsial dari kedua teori besar itu lah yang memicu kekerasan di berbagai kawasan. Baginya, mengutamakan struktur di satu pihak dan mengidolakan agency di lain pihak sama saja dengan membangun dan menjalankan pengetahuan yang inheren dengan kekerasan.

Penerapan pengetahuan teoretik yang kemudian pada akhirnya menghadirkan dan memproduksi berbagai bentuk kekerasan inilah yang sering secara ringan dicerna sebagai “anarkisme”. Untuk menggambarkan jalan-pikir Giddens, Wibowo memberi contoh yang mudah dimengerti. Jika terjadi konflik, maka yang dipanggil adalah para agamawan sebagai bagian dari struktur. Tetapi masalahnya, massa sebagai agency justru melihat pembiaran-pembiaran terhadap berlangsungnya kekerasan. Atau, dengan contoh lain, manusia memang harus belajar tentang struktur bahasa, tetapi struktur bahasa seharusnya tidak menghambat ekspresi seseorang. Manusia sebagai agency bahasa --- sebagai penutur dan sebagai petutur --- yang justru memproduksi dan mereproduksi bahasa secara simultan dan secara terus menerus sesuai dengan kebutuhan rutinitas pengalaman sehari-hari. Melalui rutinitas pengalaman inilah bahasa terhindar dari potensi disfungsi dan kepunahan. Dengan alur logika seperti ini, Wibowo kemudian merumuskan bahwa keteraturan dan ketertiban sosial bukanlah hasil kekuasaan, bukan juga produk dari manusia yang hanya sekedar menjalankan peran dan fungsinya. Refleksi terhadap pengalaman hidup sehari-hari yang dijalankan melalui aneka macam rutinitas inilah yang justru memproduksi masyarakat yang teratur dan tertib.

“Dunia sekarang” yang dibilangkan sebagai “tunggang langgang” menandai sedikitnya 3 (tiga) dampak utama yang dapat dikenali. Pertama, munculnya globalisasi sebagai arus utama yang bergerak secara simultan melalui kekuatan inovasi besar di bidang teknologi komunikasi yang kreatif, transportasi yang masif dan internet yang akses, yang pada akhirnya mengecilkan dunia dalam banyak pengertian dan perspektif. Para ahli sering menyebut bahwa “dunia sekarang” tidak lebih dari sebuah desa global (global village) yang dapat dicipta di ujung-ujung jari di depan komputer mini.

Kedua, pada detik yang bersamaan, bergerak pula proses-proses detradisionalisasi, proses-proses dimana tradisi-tradisi etnik pada bangsa-bangsa tidak lagi dijadikan sebagai rujukan dalam pengambilan keputusan. Etnik-etnik kemudian terpinggir ke “citra primitif” dan tradisi-tradisinya yang dahulu dimanfaatkan untuk kehidupan bersama pada akhirnya ditinggalkan. Sisi excellence (keunggulan) dan virtue (kebajikan) dari eksistensi etnik tidak lagi dijadikan sebagai sandaran terdekat, sebaliknya dijadikan sebagai tempat untuk berpaling.

Ketiga, bersamaan dengan itu pula, individu-individu bergerak membentuk “social reflexity”, suatu keadaan dimana banyak individu pada akhirnya harus mengambil keputusan sendiri-sendiri, tidak menyandarkan diri pada globalisasi dan tidak juga pada virtue etnik.

Dalam penilaian Giddens, ketiga situasi seperti ini berlarian ke sana-sini tanpa tujuan dan tanpa pertemuan. Globalisasi berjalan dengan logikanya sendiri sebagaimana detradisionalisasi dan social reflexity. Berlangsungnya dan berlarinya logika dari ketiga proses secara sendiri-sendiri inilah yang kemudian mengukuhkan “dunia tunggang-langgang".

***

Apakah juga situasi Indonesia beranalogi tunggang langgang? Sejak tahun 1998, pendulum sistem politik benar-benar begerak secara radikal dan dengan ekstrim bergeser dari satu sistem totalitarian di bawah regim Orde Baru ke sistem yang lebih terbuka di bawah Regim Reformasi. Penanganan masalah-masalah pemerintahan pun ikut bergeser dari cara-cara teknoratis ke cara-cara yang berbasiskan konstituensi.

Di era Orde Baru, sejak paruh pertama tahun 1960, praktik pembangunan ---- kemudian dikenal dengan ideologi pembangunanisme --- dirancang dan diimpelentasikan melalui pengendalian bagunan struktur sentralistik yang diakses dan dikuasai oleh kelompok-kelompok teknokrat yang dianggap ahli dan terampil di bidangnya. Bayaran termahal dari semua ini adalah, tertutupnya aspirasi dan partisipasi bagi sebagian besar kelompok-kelompok masyarakat terhadap seluruh proses-proses pembangunan, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, maupun budaya.

Di era reformasi, melalui pergulatan besar dengan korban yang tidak sedikit, desentralisasi kekuasaan politik dilangsungkan sedemikian rupa. Sumber-sumber kekuasaan yang dahulu dikonsolidasi melalui struktur sentralistik kemudian disebar ke tingkat lokal. Praktik-praktik kekuasaan pun disebar ke kelompok-kelompok agency di tingkat lokal. Bayarannya juga tidak murah. Proses-proses politik yang diambil alih oleh kelompok-kelompok agency untuk memperebutkan kekuasaan politik lokal, secara faktual menandai munculnya berbagai gejala. Gejala pertama, oleh kalangan sosiolog, disebutnya sebagai venalitas, ditandai oleh permainan uang secara sedemikian rupa untuk memenangkan pertarungan. Para ahli sering menyebutnya “money politics”. Sedemikian buruknya dan sedemikian tidak bermoralnya, suara pemilih sebagai bagian penting dari pernyataan hak politik rakyat, dicerna sebagai sesuatu yang dapat dibeli. Maka, proses pembelian pun dilakukan dengan berbagai cara dan berbagai modus melalui “agency” yang berada di ranah paling bawah. Warga pun menjadi terbiasa dan mencernanya sebagai sesuatu yang lumrah. Proses saling-mempecundangi pun berlangsung sedemikian rupa. Politisi mempecundangi warga dengan “membeli” dan warga juga mempecundangi politisi dengan “menjual”.

Di rentang waktu yang sama, bermunculan pula gejala yang sangat mengusik, terutama jika ditimbang dari sisi keperluan eksistensi Indonesia sebagai negara yang kaki-kaki bangsanya terdiri atas berbagai keanekaragaman etnik. Gejala yang dimaksudkan di sini sering disebut sebagai "cultural bleeding", yaitu gejala berlangsungnya pendarahan di antara hubungan, interaksi serta perjumpaan antaretnik dan antarkebudayaan. Kisah dan peristiwa konflik di Ambon, Aceh, Papua, Sampit dan Poso adalah gambaran transparan dari panggung-panggung drama dan konflik sosial, yang secara benderang memperlihatkan bahwa bangsa ini memang mengalami pendarahan budaya (cultural bleeding). Langkah untuk menyumbat pendarahan ini mesti diambil dengan cara merumuskan dan mendamaikan kembali semua kebijakan struktur dengan peran-peran agency yang memungkinkan merekatkan kembali apa yang telah tercerai berai. Jika tidak, etnik-etnik yang terbahasakan di dalam teks konstitusi sebagai suku-suku bangsa tidak akan pernah menjadi kaki-kaki yang kokoh bagi bangsa ini. Bukankah kata "suku" bermakna sebagai "kaki". Jangan biarkan kaki-kaki bangsa ini berlarian "tunggang langgang".

Bacaan Pemerkaya

Priyono, A.E. Stanley Adi Prasetyo, dan Olle Törnquist (editor), 2003. Gerakan Demokrasi di Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: Demos

Ringkasan Laporan Penelitian, "Studi atas Pelaksanaan Desentralisasi di 15 Kabupaten/Kota dan 4 Provinsi", (tidak dipublikasikan).

Wibowo, I, 2000, “Anthony Giddens “ dalam Indonesia Abad XXI di Tengah Perubahan Global, Jakarta: PT. Media Kompas Nusantara.
 
Alwy Rachman.