SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Saturday, December 4, 2010

THE “BOSSLESS SOCIETY"

Alwy Rachman

Disadur ulang sebagian dari Orasi Ilmiah Makaminan Makagiansar 

di Universitas Hasanuddin, 2000

Laboratoria, perpustakaan (yang tidak mengikuti jam kantor) selalu dipenuhi pengunjung sampai larut malam. Bukankah ini kultur akademik yang wajar dan patut? Situasi laboratoria adalah kultur komunitas kampus “tanpa boss”. Tanpa kehadiran “boss” sekalipun, civitas akademia bergerak mencari pengetahuan dan mengasah keterampilan. “Bossless society” adalah ciri dari lembaga perguruan tinggi yang berhasil dan berprestise. Komunitas dan civitas akademia seperti ini akan mengembangkan kultur saling menghormati dengan kriteria utama “keunggulan sebagai ilmuan”.

Tetapi jangan salah paham. Jangan menganggap bahwa kultur dan komunitas “tanpa boss” sama artinya dengan “tidak memerlukan dan dengan demikian tidak perlu ada pemimpin”. Seorang “boss” yang berkarakter pemimpin malah diperlukan karena pada suatu waktu dan suatu tempat, keputusan perlu diambil. Dalam konsep “bossless society”, sang “boss” yang pemimpin adalah sosok kreatif dan produktif dalam berperan sebagai pengayom, sebagai mitra, dan sebagai fasilitator bagi semua orang yang berada di bawah pengasuhannya, agar semua orang yang berada di bawah kepemimpinannya dapat mengembangkan secara produktif talenta yang melekat atau yang masih terpendam dalam dirinya.

Prinsip “bossless society” sangat penting bagi kelompok sosial dimana pengetahuan dan ilmu menjadi andalan pertama. Bobot keilmuan, sudah dapat dipastikan, akan dapat dimunculkan di lembaga-lembaga yang memiliki kultur “bossless society”. Kultur seperti ini sama sekali tidak mengembangkan sikap otoriter. Sang pemimpin justru merupakan “prima inter pares” atau “yang pertama antara yang pertama” (the first among the first). Semakin renggang hubungan antarperorangan dan semakin kaku proses pengambilan keputusan, serta semakin rendahnya prioritas yang diletakkan pada kepentingan pembelajaran, riset, dan nilai-nilai akademik, semakin besar kemungkinan bahwa lembaga perguruan tinggi itu tidak berada pada posisi tinggi.

Indikator-indikator keperilakuan (behavioral) adalah penting selain indikator-indikator kualitatif dan kuantitatif, dan ketiganya pun seharusnya dihubungkan secara sangat erat. Dalam berbagai tulisan tentang perguruan tinggi, indikator keperilakuan sering diabaikan. Tetapi, justru indikator-indikator terakhir inilah --- yang berakar pada persepsi dan nilai --- yang ikut menentukan apakah suatu perguruan tinggi itu unggul atau tidak sama sekali.





Friday, December 3, 2010

PEMBUDAYAAN PENDIDIKAN


Alwy Rachman

Disari ulang dari Tulisan Fuad Hasan, 2004

 Pendidikan jelas lebih luas dari penyekolahan. Pendidikan melekat pada kebutuhan manusia. Selain sebagai animal educandum, yaitu makhluk yang dididik, manusia sekaligus adalah animal educandus, yaitu makhluk yang mendidik. Kedua julukan ini sama artinya bahwa manusia adalah makhluk yang terlibat dalam proses pendidikan, terhadap dirinya sendiri dan terhadap orang lain. Kedua julukan inilah yang dijadikan rujukan oleh Organisasi Pendidikan Dunia (Unesco) untuk mencanangkan konsep “pendidikan sepanjang hayat” (life long education), yang seharusnya berlangsung dari buaian ke liang lahat (from the cradle to the grave).

Penyekolahan hanya salah satu bentuk upaya pendidikan, yang penyelenggaraannya tidak terbebas dari pengaruh luar. Pembiasaan dan peneladanan, baik yang dibentuk oleh orang tuanya maupun orang lain, yang dimulai dari masa prasekolah, akan memantapkan pola perilaku pada anak dalam berbagai situasi dan interaksi. Pembiasaan dan peneladanan juga terjadi pada orang dewasa. Jika pembiasaan dan peneladanan di usia kanak-kanak diperkenalkan dan dimantapkan melalui aturan dan tatakrama, orang dewasa mengalami pembiasaan dan peneladanan  berdasarkan atas pilihan sendiri atau atas bentukan orang lain. Interaksi di akademi militer misalnya akan berbeda dengan yang berlangsung di lingkungan pendidikan pesantren.
            
Peneladanan tidak selalu berlangsung melalui institusi pendidikan. Peneladanan seringkali berlangsung lewat proses pembelajaran sosial (social learning). Peneladanan positif yang dirancang dan diselenggarakan di lingkungan universitas dan akademi, dalam realitasnya, tidak selalu berhubungan secara simetris dengan pembelajaran sosial. Keanekaan perilaku menyimpang yang terpapar lewat media menjelma “menjadi pembelajaran sosial” bagi anak-anak. Kesaksian anak-anak terhadap kekerasan yang terjadi di wilayah-wilayah konflik akan membekas pada perilaku dan sikap mereka. Kekerasan pun menjadi kultur dan sekaligus dikultuskan. Bahkan permainan dan mainan anak-anak di wilayah-wilayah seperti ini cenderung bermatra kekerasan. Anak-anak akan berkecenderungan mengunggulkan nilai yang mendukung kemungkinan untuk “menang”. Kekuatan, kekuasaan, dan keberanian dipakai untuk menimbulkan ketakutan pada lawan (fear provoking). Kecenderungan ini ditemukan di berbagai wilayah konflik, antara lain: di wilayah Balkan, di beberapa negara Afrika, dan di beberapa daerah di Indonesia. Peneladanan seperti ini dianggap sebagai peneladanan negatif.

Dampak didik pembelajaran sosial, tentu saja, tidak selalu berfungsi negatif. Fungsi positif pembelajaran sosial juga dapat dikenali di berbagai ranah pembelajaran. Anak didik dan juga pendidik dapat mengenali model peran dan sosok tokoh, yang disadari atau tidak, sering dirujuk untuk keperluan identifikasi diri. Pengaruh tokoh seringkali dijadikan citra identifikasi diri yang kemudian membekaskan pengaruhnya pada pembentukan kepribadian, bukan hanya pada perilaku dan sikap, tetapi juga pada gagasan dan wawasan. Pengaruh ini tidak selalu dalam bentuk in concreto, tetapi lambat laun menjulang dalam bentuk in abstracto. Dampak didik positif seringkali menjadikan mahasiswa mampu melampaui keterikatan pada guru besarnya sebagai tokoh identifikasi, dan menyediakan peluang untuk mengukuhkan dirinya sebagai homo academicus.

Animal educandum dan animal educandus mengandung konsekuensi ikhtiar pembudayaan, upaya yang melatari sejarah kemanusiaan sebagai sejarah peradaban. Prakarsa pendidikan tidak hanya berbentuk pengalihan pengetahuan dan keterampilan (transfer of knowledge and skills), tetapi sekaligus meliputi aksi pengalihan nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial (transmission of cultural values and social norms). Masyarakat di mana pun niscaya berkepentingan memelihara keterjalinan antara ikhtiar pendidikan dan prakarsa pengembangan kebudayaannya.  Tugas pendidikan secara luas adalah mengalihkan seluruh spektrum kebudayaan --- sistem kepercayaan, bahasa, seni, sejarah, dan ilmu --- dari satu generasi ke generasi lain. Orientasi pada nilai-nilai budaya akan mengukuhkan manusia sebagai anggota masyarakat dengan peradabannya yang khas. Meskipun demikian, proses sejarah telah mengenali jatuh bangunnya peradaban. Peneguhan pengalihan nilai budaya dan norma sosial melalui perkenalan dan pengenalan atas sumber-sumber belajar yang dewasa ini digolongkan ke dalam ilmu-ilmu humaniora akan bermuara pada terbangunnya peradaban, sementara budaya masyarakat yang menyerah atas dominasi budaya luar, apalagi masyarakatnya melakukan glorifikasi terhadapnya, akan mengalami kepunahan peradaban.

Earnst Cassirer, melalui sebuah karya tulis An Essay on Man, an Introduction to a Philosophy of Human Culture (1944), mengingatkan bahwa kebudayaan digerakkan oleh dua kekuatan yang arahnya saling bertentangan. Kekuatan pertama disebut dengan kekuatan preservatif yang bergerak melestarikan berbagai manifestasi budaya (sistem kepercayaan, bahasa, seni, dan sejarah), sementara kekuatan kedua disebut dengan kekuatan progresif yang bergerak mencari dan menemukan hal-hal baru. Kekuatan progresif ilmu pengetahuan seringkali mengundang reorientasi moral yang problematik. Euthanasia dan cloning adalah dua contoh sederhana. Keduanya dapat dilakukan secara teknologi dan ilmu pengetahuan, tetapi keduanya sekaligus menghadirkan perdebatan tentang moralitas. Ilmu dan teknologi dapat juga menghadirkan senjata pemusnah massal (weapons of mass-destruction), meskipun semboyan “No more Hiroshima’s!” telah dikumandangkan setelah bom atom dijatuhkan di kota ini pada tahun 1945.

Kemajuan ilmu dan teknologi dapat menciptakan kesenjangan, bagi mereka yang menguasainya dan bagi mereka yang tertinggal. Kelompok diskusi yang menamakan dirinya Forum Fairmont (1995), diketuai oleh Mikhail Gorbachev, beranggotakan wartawan, mantan kepala negara/pemerintahan, politisi, filsuf, dan usahawan, telah memprediksi kemungkinan munculnya tatanan masyarakat 20:80 (the 20:80 society) dengan segala macam permasalahannya sebagai akibatnya. Tatanan masyarakat 20:80 akan mendistribusi populasi masyarakat dunia ke dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama, sejumlah 20%, akan sanggup menggerakkan ekonominya dan berprestasi secara produktif dan kelompok kedua, sebesar 80%, akan tertinggal dan menjadi kelompok konsumptif. Konfigurasi ini bisa terjadi secara nasional, karena proses modernisasi menjadikan tak terhindarinya pemilahan masyarakat berdasarkan tingkat penguasaan ilmu dan teknologi. Besarnya insiden kemiskinan dan jumlah putus sekolah dapat dicerna secara kritis untuk menganalisis apakah konfigurasi ini terjadi atau tidak.

Kesenjangan di masyarakat dapat ditutup melalui analisis yang cermat terhadap akibat-akibat teknorasi dan teknopoli. Adalah tugas pendidik membawa peserta didik pada perkenalan dengan nilai-nilai budaya. Perkenalan seperti ini akan membawa pendidik dan peserta didik pada kemampuan untuk membedakan ciri teknologi sebagai kekuatan penyeragam yang efektif dan kebudayaan sebagai kekuatan untuk memanifetasikan keanekaragaman, meskipun ilmu dan teknologi adalah bagian dari penjelmaan budaya dari masyarakat pengembannya.




Saturday, September 25, 2010

INDONESIA, Bergerak di Dunia Tunggang Langgang


Alwy Rachman
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin

Sebagian judul dan isi tulisan ini diinspirasi oleh pernyataan Anthony Giddens, seorang pemuka pemikir Jalan Ketiga (The Third Way). Adalah Giddens yang membilangkan “dunia sekarang” yang sedang kita diami dan jalani sebagai “dunia tunggang langgang”, sebuah dunia yang kini terjerumus dan terpenjara ke dalam berbagai bentuk kekerasan, baik di ranah global maupun di ranah lokal. Dengan kedalaman pemahaman, melalui pengungkapan metaforik, Giddens meyakini bahwa kita semua sekarang sedang terbirit-birit, terputar-putar dan terbolak-balik di “lingkar tak bermoral di antara perasaan geram dan tersengat” (vicious circle of animosity and venom). Ungkapan metaforik ini bisa juga diterjemahkan "lingkar problematik dari rasa dendam dan kebencian".

Begitulah Giddens melihat “dunia sekarang” yang dibangun, dijalankan dan digerakkan melalui berbagai model demokrasi setelah runtuhnya sosialisme. Melalui ungkapan metaforik, Giddens selanjutnya memisalkan “dunia sekarang” sebagai “truk raksasa” (juggernaut) yang membawa banyak muatan, berlari kencang, terbirit dan terputar di situ-situ saja, tanpa tujuan.

Metafora Giddens sesungguhnya adalah kritik akademis bersuara lantang yang justru datang dari jantung kapitalisme, kritik keras yang dialamatkan kepada dua teori besar (grand theory) yang sejauh ini dipuja dan diaplikasikan untuk menata dunia. Kedua teori besar itu adalah teori tentang struktur dan teori tentang agency. Dalam kritik akademisnya, Giddens meyakini bahwa penerapan secara terpisah dan parsial dari kedua teori besar itu lah yang memicu kekerasan di berbagai kawasan. Baginya, mengutamakan struktur di satu pihak dan mengidolakan agency di lain pihak sama saja dengan membangun dan menjalankan pengetahuan yang inheren dengan kekerasan.

Penerapan pengetahuan teoretik yang kemudian pada akhirnya menghadirkan dan memproduksi berbagai bentuk kekerasan inilah yang sering secara ringan dicerna sebagai “anarkisme”. Untuk menggambarkan jalan-pikir Giddens, Wibowo memberi contoh yang mudah dimengerti. Jika terjadi konflik, maka yang dipanggil adalah para agamawan sebagai bagian dari struktur. Tetapi masalahnya, massa sebagai agency justru melihat pembiaran-pembiaran terhadap berlangsungnya kekerasan. Atau, dengan contoh lain, manusia memang harus belajar tentang struktur bahasa, tetapi struktur bahasa seharusnya tidak menghambat ekspresi seseorang. Manusia sebagai agency bahasa --- sebagai penutur dan sebagai petutur --- yang justru memproduksi dan mereproduksi bahasa secara simultan dan secara terus menerus sesuai dengan kebutuhan rutinitas pengalaman sehari-hari. Melalui rutinitas pengalaman inilah bahasa terhindar dari potensi disfungsi dan kepunahan. Dengan alur logika seperti ini, Wibowo kemudian merumuskan bahwa keteraturan dan ketertiban sosial bukanlah hasil kekuasaan, bukan juga produk dari manusia yang hanya sekedar menjalankan peran dan fungsinya. Refleksi terhadap pengalaman hidup sehari-hari yang dijalankan melalui aneka macam rutinitas inilah yang justru memproduksi masyarakat yang teratur dan tertib.

“Dunia sekarang” yang dibilangkan sebagai “tunggang langgang” menandai sedikitnya 3 (tiga) dampak utama yang dapat dikenali. Pertama, munculnya globalisasi sebagai arus utama yang bergerak secara simultan melalui kekuatan inovasi besar di bidang teknologi komunikasi yang kreatif, transportasi yang masif dan internet yang akses, yang pada akhirnya mengecilkan dunia dalam banyak pengertian dan perspektif. Para ahli sering menyebut bahwa “dunia sekarang” tidak lebih dari sebuah desa global (global village) yang dapat dicipta di ujung-ujung jari di depan komputer mini.

Kedua, pada detik yang bersamaan, bergerak pula proses-proses detradisionalisasi, proses-proses dimana tradisi-tradisi etnik pada bangsa-bangsa tidak lagi dijadikan sebagai rujukan dalam pengambilan keputusan. Etnik-etnik kemudian terpinggir ke “citra primitif” dan tradisi-tradisinya yang dahulu dimanfaatkan untuk kehidupan bersama pada akhirnya ditinggalkan. Sisi excellence (keunggulan) dan virtue (kebajikan) dari eksistensi etnik tidak lagi dijadikan sebagai sandaran terdekat, sebaliknya dijadikan sebagai tempat untuk berpaling.

Ketiga, bersamaan dengan itu pula, individu-individu bergerak membentuk “social reflexity”, suatu keadaan dimana banyak individu pada akhirnya harus mengambil keputusan sendiri-sendiri, tidak menyandarkan diri pada globalisasi dan tidak juga pada virtue etnik.

Dalam penilaian Giddens, ketiga situasi seperti ini berlarian ke sana-sini tanpa tujuan dan tanpa pertemuan. Globalisasi berjalan dengan logikanya sendiri sebagaimana detradisionalisasi dan social reflexity. Berlangsungnya dan berlarinya logika dari ketiga proses secara sendiri-sendiri inilah yang kemudian mengukuhkan “dunia tunggang-langgang".

***

Apakah juga situasi Indonesia beranalogi tunggang langgang? Sejak tahun 1998, pendulum sistem politik benar-benar begerak secara radikal dan dengan ekstrim bergeser dari satu sistem totalitarian di bawah regim Orde Baru ke sistem yang lebih terbuka di bawah Regim Reformasi. Penanganan masalah-masalah pemerintahan pun ikut bergeser dari cara-cara teknoratis ke cara-cara yang berbasiskan konstituensi.

Di era Orde Baru, sejak paruh pertama tahun 1960, praktik pembangunan ---- kemudian dikenal dengan ideologi pembangunanisme --- dirancang dan diimpelentasikan melalui pengendalian bagunan struktur sentralistik yang diakses dan dikuasai oleh kelompok-kelompok teknokrat yang dianggap ahli dan terampil di bidangnya. Bayaran termahal dari semua ini adalah, tertutupnya aspirasi dan partisipasi bagi sebagian besar kelompok-kelompok masyarakat terhadap seluruh proses-proses pembangunan, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, maupun budaya.

Di era reformasi, melalui pergulatan besar dengan korban yang tidak sedikit, desentralisasi kekuasaan politik dilangsungkan sedemikian rupa. Sumber-sumber kekuasaan yang dahulu dikonsolidasi melalui struktur sentralistik kemudian disebar ke tingkat lokal. Praktik-praktik kekuasaan pun disebar ke kelompok-kelompok agency di tingkat lokal. Bayarannya juga tidak murah. Proses-proses politik yang diambil alih oleh kelompok-kelompok agency untuk memperebutkan kekuasaan politik lokal, secara faktual menandai munculnya berbagai gejala. Gejala pertama, oleh kalangan sosiolog, disebutnya sebagai venalitas, ditandai oleh permainan uang secara sedemikian rupa untuk memenangkan pertarungan. Para ahli sering menyebutnya “money politics”. Sedemikian buruknya dan sedemikian tidak bermoralnya, suara pemilih sebagai bagian penting dari pernyataan hak politik rakyat, dicerna sebagai sesuatu yang dapat dibeli. Maka, proses pembelian pun dilakukan dengan berbagai cara dan berbagai modus melalui “agency” yang berada di ranah paling bawah. Warga pun menjadi terbiasa dan mencernanya sebagai sesuatu yang lumrah. Proses saling-mempecundangi pun berlangsung sedemikian rupa. Politisi mempecundangi warga dengan “membeli” dan warga juga mempecundangi politisi dengan “menjual”.

Di rentang waktu yang sama, bermunculan pula gejala yang sangat mengusik, terutama jika ditimbang dari sisi keperluan eksistensi Indonesia sebagai negara yang kaki-kaki bangsanya terdiri atas berbagai keanekaragaman etnik. Gejala yang dimaksudkan di sini sering disebut sebagai "cultural bleeding", yaitu gejala berlangsungnya pendarahan di antara hubungan, interaksi serta perjumpaan antaretnik dan antarkebudayaan. Kisah dan peristiwa konflik di Ambon, Aceh, Papua, Sampit dan Poso adalah gambaran transparan dari panggung-panggung drama dan konflik sosial, yang secara benderang memperlihatkan bahwa bangsa ini memang mengalami pendarahan budaya (cultural bleeding). Langkah untuk menyumbat pendarahan ini mesti diambil dengan cara merumuskan dan mendamaikan kembali semua kebijakan struktur dengan peran-peran agency yang memungkinkan merekatkan kembali apa yang telah tercerai berai. Jika tidak, etnik-etnik yang terbahasakan di dalam teks konstitusi sebagai suku-suku bangsa tidak akan pernah menjadi kaki-kaki yang kokoh bagi bangsa ini. Bukankah kata "suku" bermakna sebagai "kaki". Jangan biarkan kaki-kaki bangsa ini berlarian "tunggang langgang".

Bacaan Pemerkaya

Priyono, A.E. Stanley Adi Prasetyo, dan Olle Törnquist (editor), 2003. Gerakan Demokrasi di Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: Demos

Ringkasan Laporan Penelitian, "Studi atas Pelaksanaan Desentralisasi di 15 Kabupaten/Kota dan 4 Provinsi", (tidak dipublikasikan).

Wibowo, I, 2000, “Anthony Giddens “ dalam Indonesia Abad XXI di Tengah Perubahan Global, Jakarta: PT. Media Kompas Nusantara.

Wednesday, August 11, 2010

Poverty Lobotomy, Bedah Otak Kaum Miskin

Alwy Rachman

Saya punya mimpi bahwa satu hari kelak,
keempat anak saya dapat hidup
dalam sebuah negara dimana mereka tidak akan
dinilai berdasarkan warna kulit,
akan tetapi berdasarkan karakter yang mereka miliki.
Marthin Luther King, Jr
Pidato dalam aksi turun ke jalan di Wahington, Agustus 1963


Lobotomy sesungguhnya adalah sebuah terma medis, dipakai untuk merujuk pada satu tindakan atau terapi dalam bentuk memotong pembulu syaraf di otak. Tetapi, oleh para kritikus pendidikan di Amerika, lobotomy secara metaforik dipakai untuk memetakan dan menjelaskan relasi pendidikan kaum miskin dengan struktur dan sistem yang dikuasai oleh modal.

Metafor lobotomy ditarik dari Kisah hidup tentang Liz Murray --- seorang perempuan “broken home” dari ayah yang terpapar HIV/Aids dan dari ibu yang tercandu narkotika --- yang berjuang untuk hidup dari satu tong sampah ke tong sampah lain selama bertahun-tahun, tetapi kemudian bisa memenangkan kompetisi bea siswa untuk menembus pendidikan di Universitas Harvard. Selama belajar, Universitas Harvard sendiri tak pernah tahu bahwa Liz sesungguhnya seorang anak jalanan. Liz yang ditempa oleh waktu dan pengalaman, setelah menjadi pribadi besar dan terbesarkan, muncul sebagai sosok kritis yang mengurai secara benderang sistem pendidikan Amerika yang dilihatnya sebagai “mesin raksasa pencipta ketidakadilan” (Great Inequality Machine).

Kisah Liz adalah kisah hidup kontemporer, bukan kisah hidup fiksional. Sedemikian hidupnya, kisah ini benar-benar memukul habis moral publik Amerika melalui filem “From Homeless to Harvard”, filem yang secara dramatik bercerita tentang derita anak-anak kulit berwarna di arena pendidikan yang kapitalistik. Drama anak-anak kulit berwarna di hadapan mesin raksasa pendidikan kapitalistik inilah yang mengundang respon intelektual dari Lani Guinier, seorang mahaguru di bidang hukum. Lani berujar secara lirih; “dahulu, jika kulitmu berwarna hitam, pulanglah”, “sekarang, jika kamu miskin, di sana ada pintu keluar”. Begitulah penggambaran sistem pendidikan Amerika dari perspektif Lani.

Lani tidak sendiri. Respon intelektual juga datang dari seorang esais Kantor Berita London, John Sutherland. John kemudian melibatkan diri sebagai bagian dari pihak-pihak yang secara intelektual membantu membangun pemahaman publik bahwa lobotomy dapat saja berlangsung di semua jenjang institusi, tidak peduli apakah lobotomy itu telah terstruktur dan tersistem melalui institusi pendidikan. Dengan cara imajinatif, Lani dan John menggambarkan bahwa mesin kapital adalah perangkat operasi yang secara lebih dulu akan menyingkirkan otak kelompok kaum miskin. Kapitalisme Pendidikan adalah mesin bedah yang secara sosial akan memotong dan menyingkirkan potensi intelejensia dan intelektual kaum papa.

***

Apakah lobotomy juga menggejala dalam pendidikan nasional? Di dalam rentang sejarahnya, terutama di dalam konteks prakemerdekaan, pendidikan nasional tidak bertujuan tunggal. A.A. Navis, dengan artikel yang berbahasa sederhana tetapi lugas “Tiga Ragam Pendidikan yang Terlupakan” dalam Seribu Tahun Nusantara (diterbitkan oleh Kompas pada tahun 2000) mengurai jejak-jejak ideologis pendidikan yang bermatra nasionalis di luar pendidikan yang bermatra kolonial. Bagi Navis, Pendidikan kolonial bermuara pada dua tujuan. Pertama, Pendidikan Kolonial bertujuan membentuk lapisan elit yang tercerabut dari akarnya dan melecehkan bangsanya sendiri yang pribumi. Kedua, Pendidikan Kolonial bertujuan merawat dan memperkuat pandangan budaya priyayi yang feodalistik.

Navis juga menjelaskan rekam jejak dan kiprah pendidikan yang bermatra nasionalis. Pendididikan Nasional pertama dirujuk pada Taman Siswa yang mendidik dan mempersiapkan kader-kader nasionalis yang akan memimpin bangsa untuk sebuah kemerdekaan. Karakter yang dituju adalah pemimpin yang mengerti aspirasi rakyat, mampu hidup sederhana dan meniadakan genesis mental ambtenaar yang feodalistik. Rujukan yang kedua adalah Perguruan Muhammadiyah yang bersifat sosial. Ideologi Perguruan Muhammadiyah diletakkan pada pemihakannya pada fakir miskin dan anak yatim sesuai arahan dan panggilan induk organisasinya. Dan, rujukan yang ketiga adalah Pendidikan INS Kayutanam yang berangkat dari filsafat alam, yang kemudian disebut “Sunnatullah, Ciptaan Tuhan”. Karakter yang dituju oleh Pendidikan INS Kayutanam adalah mempersiapkan kader-kader yang dapat mengisi kemerdekaan dengan kualitas “percaya pada kemampuan sendiri."

***
Apakah lobotomy juga menggejala dalam pendidikan nasional? Adalah Anita Lie yang secara cemerlang mendeskripsikan gejala kontemporer yang terpapar di berbagai ranah dan jenjang pendidikan di Indonesia. Dengan mengutip Charles Dickens, it’s the best of times and the worst of times (ini adalah masa paling baik sekaligus masa paling buruk), Anita Lie meyakini bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dinikmati, tetapi kemajuan itu beriringan dengan kesengsaraan banyak anak manusia. Kemajuan dan kesengsaraan, oleh Anita Lie, dijelaskan melalui melalui tiga kerangka yang terhubung dengan wacana dan pengalaman globalisasi, yaitu: (1) Delokasi dan Lokasi, (2) Invasi Teknologi Informasi dan (3) Kebangkitan Korporasi Multinasional.

1. Delokasi dan Lokasi
Satu paradoks dalam proses globalisasi adalah transformasi budaya lokal dalam segala aspek, sebagai akibat interaksi dengan budaya asing dan adopsi unsur-unsur dari budaya asing menjadi bagian budaya lokal. Contoh sederhana, orang Indonesia usia 50 tahun ke atas yang terbiasa makan nasi pecel, rawon, dan nasi uduk, burger McDonald’s terasa amat asing dan tidak nikmat. Namun bagi anak-anak muda, McDonald’s sudah menjadi makanan favorit. Sebaliknya, McDonald’s pun melakukan upaya melokasi produknya sesuai budaya setempat. Di Indonesia, McDonald’s menjual paket nasi. Di Singapura ada paket kiatsu. Di China, McDonald’s menyediakan sup hangat dan sumpit. Padahal di negara asalnya, tambahan-tambahan itu tidak ada.

Salah satu gejala delokasi dalam pendidikan adalah penggunaan bahasa. Di Indonesia, bahasa Inggris resmi diajarkan dalam kurikulum, mulai dari kelas 1 sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP). Namun di daerah perkotaan, banyak sekolah mengajarkan bahasa Inggris sejak kelas I SD. Bahkan, taman kanak-kanak (TK) dan kelompok bermain tidak mau ketinggalan mengajarkan bahasa Inggris. Beberapa sekolah “unggulan” mengklaim penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Untuk memenuhi klaim ini, sekolah-sekolah ini sampai merekrut guru-guru asing, bukan hanya untuk mengajar bahasa Inggris tetapi juga untuk berbagai mata pelajaran lain. Guru-guru asing ini biasanya didatangkan dari Amerika Serikat, Australia, Singapura, Filipina, India, dan negara-negara di Eropa Barat.

Belajar bahasa Inggris di SD dan menengah memenuhi tiga tujuan. Pertama, siswa perlu menyiapkan diri agar bisa membaca buku teks dalam bahasa Inggris di perguruan tinggi. Kedua, kemampuan bahasa Inggris juga masih digunakan sebagai faktor penentu untuk mendapatkan posisi dan imbalan menarik dalam lapangan pekerjaan. Banyak iklan lowongan pekerjaan mencantumkan kemampuan bahasa Inggris sebagai salah satu persyaratan utama. Ketiga, kemampuan bahasa Inggris juga digunakan sebagai penanda sosial yang berfungsi sebagai garis pemisah dalam interaksi sosial di antara kelas-kelas ekonomis dan kultural yang berbeda di masyarakat.

Bahasa mewakili sekaligus membangun realitas sosial, memposisikan manusia dan menciptakan identitas dan relasi. Penggunaan bahasa Inggris (dan akhir-akhir ini bahasa Mandarin) di sekolah merupakan bagian dari strategi pemasaran banyak sekolah untuk merebut minat calon siswa dalam era persaingan global yang sudah melanda dunia pendidikan.

Ada korelasi positif antara kadar penggunaan bahasa Inggris di sekolah dan biaya sekolah (baik uang sumbangan masuk ataupun bulanan). Sekolah yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar biasanya mengenakan biaya amat tinggi dengan dalih penggajian guru-guru asing yang lebih tinggi dibandingkan dengan guru-guru lokal. Lebih menarik lagi, mentalitas pascakolonialisme juga tampak pada pemilahan asal negara guru-guru asing. Penghargaan (baik secara finansial maupun nonmaterial) yang diberikan pihak sekolah maupun stakeholders sekolah (orangtua dan siswa) kepada guru-guru bule (yang berasal dari negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia) cenderung lebih tinggi daripada yang diberikan kepada guru-guru nonbule (Filipina dan India).

Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar juga berkaitan erat dengan adopsi kurikulum asing di Indonesia. Beberapa produk kurikulum dan ujian dari luar negeri yang sudah (atau pernah dijajaki untuk) dipakai di sekolah-sekolah di Indonesia yang mengklaim diri sebagai sekolah internasional, semi-internasional, atau nasional plus adalah IB (International Baccalaureate), O dan A Level (Cambridge Examination), VCE (Victoria Certificate of Education), dan NSW HSC (New South Wales High School Certificate). Kurikulum IB dikelola oleh IBO (Organisasi Bakalaureat Internasional/ International Baccalaureate Organization) yang berpusat di Jenewa, Swiss.

Untuk menjadi sekolah IB, ada proses pengajuan, penilaian, dan akreditasi yang cukup serius dan mahal. Sekolah harus mengirim guru-gurunya untuk mengikuti berbagai pelatihan di luar negeri, membeli buku-buku impor untuk siswa, dan mendatangkan tim penilai dari IBO untuk meninjau apakah sekolah itu sudah pantas menjadi sekolah IB. Akhirnya, siswa harus menempuh ujian yang diselenggarakan IBO.

Ada enam kelompok mata pelajaran dan ujian yang ditawarkan program diploma IB: kelompok Bahasa Ibu (Bahasa Indonesia), kelompok Bahasa Inggris, kelompok Individu dan Masyarakat (Misalnya manajemen bisnis, psikologi) kelompok Ilmu Pengetahuan Eksperimental (misalnya biologi, kimia), kelompok Matematika, dan Kelompok Seni dan Pilihan (misalnya, seni teater). Siswa harus mengambil satu mata pelajaran dari masing-masing kelompok dan di akhir jenjang akan diuji dengan skala 1-7.

Selain itu, setiap siswa harus mengambil mata pelajaran Teori Pengetahuan (Theory of Knowledge), menulis esai 4.000 kata, dan melakukan program CAS (Creativity, Action, and Service/Kreativitas, Aksi, dan Pelayanan), dan bisa mendapatkan tambahan 3 poin. Angka sempurna untuk ujian IB adalah 45. Untuk bisa mendapatkan diploma, siswa harus mendapatkan minimal 24 poin. Jika tidak, siswa hanya akan mendapatkan sertifikat. Seperti McDonald’s yang menyediakan paket nasi untuk menyesuaikan dengan selera lokal, program IB pun menyisakan ruang untuk muatan lokal berupa mata pelajaran bahasa Indonesia dan program CAS.

2. Invasi Teknologi Informasi
Era industrialisasi kini berganti dengan era informasi. Laju informasi yang beredar sudah tidak bisa dikendalikan, dari sisi jumlah, jenis dan dampaknya. Melalui berbagai media elektronik (televisi, internet dengan segala macam variannya), anak-anak diserbu oleh informasi secara dahsyat. Informasi memang bermanfaat dan dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, tetapi pada saat bersamaan bisa merusak anak karena mengandung banyak unsur yang tidak sesuai untuk konsumsi anak (misalnya kekerasan dan pornografi). Maka dari itu, diperlukan keterampilan hidup dalam mencari, menjaring, memilah, dan memanfaatkan informasi dengan benar untuk kepentingan pemelajaran. Praktik-praktik di sekolah berdasarkan pendiktean, penghafalan dan indoktrinasi sudah tidak sesuai zamannya. Kesempatan menjelajahi kehidupan melalui proses pencarian dan penemuan di sekolah menjadi penting.

Penguasaan komputer dan internet merupakan salah satu keterampilan hidup. Siswa/mahasiswa perlu dikondisikan dan diberi kesempatan untuk menguasainya. Beberapa sekolah dan perguruan tinggi memang sudah menyediakan sarana/prasarana teknologi informasi.

Implikasi dari inovasi teknologi adalah, batasan antara pendidikan formal, informal, dan nonformal menjadi kabur. Kini tersedia banyak situs yang menawarkan program atau modul pemelajaran yang dapat diakses dengan mudah. Pemelajaran dunia maya --- yang kadang dimanfaatkan oleh segelintir sekolah --- tidak mengenal batasan formal dan nonformal.

3. Kebangkitan Korporasi Multinasional
Pendidikan sudah menjadi komoditas yang makin menarik. Sekarang ini, pendidikan sudah dikelola menyerupai industri. Seolah-olah semua orang bercita-cita mendirikan sekolah sebagai tempat untuk bisnis. Artinya, seseorang atau lembaga membisniskan sekolah karena mengetahui masyarakat membutuhkan pendidikan, mulai dari tingkat kelompok bermain hingga ke perguruan tinggi.

Pembiayaan pendidikan menunjukkan gejala industri. Semakin mahal suatu sekolah, justru semakin laku. Semakin sekolah dikatakan plus, unggulan, atau berbau internasional, orang semakin tergiur untuk memasukinya. Bahkan pemain-pemain kalangan bisnis mengalihkan perhatian dan investasi mereka pada industri persekolahan. Sekolah-sekolah nasional di kota-kota besar di Indonesia dimiliki pebisnis tingkat nasional dan didirikan dengan mengandalkan jaringan multinasional berupa adopsi kurikulum dan staf pengajar asing.

Seperti layaknya perusahaan, banyak lembaga pendidikan mempunyai tim khusus pemasaran (marketing), meskipun mereka masih sungkan menggunakan istilah marketing. Umumnya, tim ini bekerja dengan bendera humas, tim informasi studi atau biro informasi. Tim ini bekerja melakukan pembenahan internal, merancang media, dan mengkoordinasi dosen dan wakil mahasiswa untuk kegiatan promosi.

Kegiatan promosi dilakukan di dalam dan diluar negeri. Seleksi tes bisa dilakukan di kota yang dikunjungi. Kini adalah era sekolah berburu konsumen. Setiap tahun pameran pendidikan mendatangkan tim pameran dari sekolah-sekolah di Australia, Selandia Baru, Kanada, Singapura, dan China dan berupaya menjaring siswa/mahasiswa dari Indonesia.

***
Pada akhirnya, dengan membaca kisah hidup Liz Murray dan dengan mengikuti paparan A.A. Navis tentang rekam jejak ideologi dan kiprah pendidikan nasional prakemerdekaan serta uraian lugas dan kritis Anita Lie, para pelaksana pendidikan perlu berempati pada substansi pernyataan Mahatma Gandhi, “Saya tidak ingin rumah saya ditembok pada semua bagian dan jendela saya ditutup. Saya ingin budaya-budaya dari semua tempat berhembus di seputar rumah saya sebebas mungkin. Tetapi, saya tetap menolak untuk terbawa dan terhempas”.

Jika terbawa dan terhempas, kita semua akan menjadi pelaku utama lobotomy, yang ikut berdiri di meja operasi dan secara aktif memangkas dan menyingkirkan otak kaum miskin. Kalau itu yang kita pilih, perasaan kita sama dan sebangun dengan para Panglosian, kaum yang selalu merasa aman justru pada saat menjalankan mesin raksasa pencipta ketidakadilan.


***

Bacaan Pemerkaya

Oetama, Jacob (pengantar). 2000 Indonesia Abad XXI, Di Tengah Kepungan Perubahan Global, Jakarta: Gramedia

Oetama, Jacob (pengantar). 2000. Seribu Tahun Nusantara, Jakarta: Gramedia

Widiastono, Tonny D. 2004. Pendidikan Manusia Indonesia, Jakarta: Kompas-Yayasan Toyota & Astra

Saturday, April 3, 2010

BAHASA DAERAH, IBARAT Id Card

ITA ROSVITA DAHRI
Mahasiswa Program Sarjana Guru Bahasa Daerah
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin

“Dihadapan homogenisasi yang semakin bertumbuh,
Kita semua akan berusaha melestarikan identitas kita,
Apakah itu agama, kultur, kebangsaan, bahasa, atau ras.”

                                        John Naisbitt dan Patricia Aburdene

Pada saat anda menghadiri seminar atau pertemuan lainnya, lazimnya anda mendapat Id Card, Kartu Identitas. Di kartu itu, anda menuliskan nama dan kualitas diri anda. Lalu anda menyemat kartu itu di bagian depan baju anda. Melalui kartu itu, anda dikenali, disapa dan dihormati oleh orang lain. Anda menghadir dan mengada melalui nama dan kualitas yang dimediasi melalui kartu identitas --- “Saya ada karena saya punya identitas”. Lalu, apa kira-kira yang terjadi jika tanda diri anda tercecer dan hilang?

Ibarat Id Card, bahasa daerah merupakan lambang identitas lokal. Ia merupakan cipta-rasa-karsa yang kemudian membentuk semesta budaya yang berfungsi sebagai identitas. Ia patut dipertahankan dengan cara menyediakannya ruang hidup agar ia tetap berkembang, berfungsi, dan tetap menjadi sumber mata air bagi pembelajaran semesta budaya dari satu kaum.

Bahasa adalah kepemilikan khas yang membedakan secara signifikan antara manusia dan hewan. Ia tidak dibawa lahir secara serta merta. Bahasa justru dibudayakan pada paska kelahiran manusia berdasarkan konteks dan habitus kebudayaan dimana manusia lahir. Pembudayaan bahasa berlangsung dalam bentang waktu yang panjang dan berpindah dari satu ranah ke ranah lain dengan segala dinamikanya. Bahasa dibudayakan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dan dipindahkan dari ranah bahasa abjektif ke bahasa objektif, dari ranah bahasa ibu ke ranah bahasa rasional, dari bahasa daerah ke bahasa nasional serta internasional.

Gerak zaman yang demikian cepat dan revolusi teknologi komunikasi yang demikian radikal memunculkan proses homogenisasi sebagaimana tesis John Naisbitt. Proses ini mempercepat perpindahan bahasa, dari bahasa abjektif ke bahasa objektif atau dari bahasa daerah ke bahasa nasional serta internasional yang kemudian membawa sejumlah konsekuensi. Pertama, fungsi bahasa daerah sebagai penanda diri dan semesta budaya secara perlahan akan tercecer dan kemudian hilang. Semesta identitas lokal dan kehormatan etnik seperti Bugis, Makassar, dan Tana Toraja akan tergerus dari satu generasi ke generasi lain.

Kedua, homogenisasi akan meminggirkan kekayaan etnik yang sebagian tersimpan di bahasa-bahasa etnik. Terdapat dua penanda penyebab proses peminggiran ini. Penanda pertama adalah lahirnya generasi 1980-an dan 2000-an yang bahasa pertamanya adalah bahasa Indonesia. Dua generasi ini mencerap doktrin bahasa nasional sebagai bahasa yang lebih bergengsi dan memiliki fungsi-fungsi lintas etnik. Penanda kedua adalah hadirnya kebutuhan terhadap bahasa asing untuk merespon interaksi internasional dan kerja-kerja lintas negara.

Ketiga, homogenisasi secara faktual telah menghilangkan satu bahasa etnik setiap dua pekan. Pada abad ke-21, homogenisasi diperkirakan akan menelan 50% dari 5000 bahasa di planet ini. Para pakar bahasa berargumen bahwa bahasa-bahasa yang tidak memiliki 100 ribu penutur akan sulit bertahan melawan homogenisasi. Dengan argumen seperti ini, para pakar bahasa mencemaskan bahasa-bahasa yang penuturnya tidak lebih dari 10.000 orang. Bahasa-bahasa etnik hanya bisa bertahan jika penuturnya minimal satu juta orang. (Mer/L-4, 2009)

Pernyataan UNESCO juga mencemaskan. Menurut UNESCO, sepuluh bahasa punah setiap tahun. Kepunahan ini lebih disebabkan oleh doktrin ataupun keterpaksaan bahwa bahasa lain diasosiasikan lebih maju dan lebih moderen. Di luar pernyataan UNESCO, terdapat 726 bahasa etnik yang berhadapan dengan konsekuensi dari proses homogenisasi, globalisasi dan revolusi teknologi.

Kecemasan serupa juga muncul pada pidato pengukuhan Arief Rachman sebagai guru besar di Universitas Negeri Jakarta pada 22 Mei 2007. Arief Rachman dalam “Kepunahan Bahasa Daerah karena Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris serta Upaya Penyelamatannya” merinci kepunahan bahasa derah sebagai berikut. Dari 50 bahasa daerah di Kalimantan, satu terancam punah. Di Sumatra, dari 13 bahasa daerah yang ada, satu terancam punah dan satu sudah punah. Di Jawa, tidak ada bahasa daerah yang terancam punah. Di Sulawesi, dari 110 bahasa daerah, 36 terancam punah dan satu sudah punah. Di Maluku, dari 80 bahasa daerah, 22 terancam punah dan 11 punah. Di daerah Timor, Flores, Bima dan Sumba, 8 dari 50 bahasa terancam punah. Di Papua dan Halmaherah, 56 dari 271 bahasa terancam punah. Frans Rumbrawer lebih menegaskan bahwa pada tahun 2006, sembilan bahasa dinyatakan punah, 32 segera punah dan 208 terancam punah. (jurnalnet, 2007)

Apa yang harus dilakukan sekarang dalam menghadapi kecemasan seperti ini di Sulawesi Selatan? Peran apa yang patut dimainkan oleh kaum muda sebagai pemilik kepentingan dalam mempertahankan identitas dan semesta budaya etnik Sulawesi Selatan? Setidaknya ada tiga jawaban untuk ini. Pertama, memfungsikan bahasa Bahasa Bugis, Makassar dan Bahasa Toraja serta bahasa-bahasa etnik lainnya sebagai semesta pengungkapan kreativitas dan suasana batin. Kedua, menyediakan alih generasi seniman-seniman etnik yang tetap dapat memfungsikan keterampilan dan keaksaraan kultural. Sebut saja, passinrilik di Makassar dan pammosong di Bugis. Ketiga, menginstalasi susastra daerah beserta nilai-nilai etik yang menyertainya ke dalam berbagai ranah dan jenjang pendidikan.

Pada akhirnya, dengan meminjam pepatah-petitih etnik, kaum muda jangan ibarat “kacang yang lupa pada kulitnya”. Jika lupa, Id Card kaum muda akan tercecer. Kaum muda akan segera kehilangan kartu identitas. Jika semuanya tercecer dan hilang, maka: “saya tidak ada karena saya tidak punya identitas”. Oleh karenanya, John Naisbitt benar bahwa kita semua seharusnya berusaha melestarikan identitas kita.


Bacaan Pemerkaya
Art van Zoest. 1993. Semiotika, Jakarta: Yayasan Sumber Agung.
Anwar, Ahyar, 2007. “Bahasa sebagai Genetika Kultural: Materialisme Bahasa dan Habitus Orang Bugis Makassar”. Makalah disajikan pada Kongres Internasional Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan I. Pusat Bahasa Depdiknas dan Pemrov Sulsel, Hotel Clarion Makassar, 22-25 Juli 2007.
Kridalaksana, Harimurti. 1986. Pengembangan Ilmu Bahasa dan Pembinaan Bangsa. Jakarta: Nusa Indah.
Mer/L-4. 2009. Rekan Jejak Kemusnahan Bahasa. http://www.koran-jakarta.com/. Diakses 20 Desember 2009.
Muhammad Darwis. 2007. “Hubungan antara Pemertahanan Bahasa dan Pemertahanan Budaya: Kasus Bahasa Bugis”. Makalah disajikan pada Kongres Internasional Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan I. Pusat Bahasa Depdiknas dan Pemrov Sulsel, Hotel Clarion Makassar, 22-25 Juli 2007.
Nurdin Yatim. 2008. “Problematika Pembelajaran Bahasa Bugis-Makassar sebagai Bahasa Ibu (Mother Tongues)”. Makalah disajikan pada Seminar Internasional Pertemuan Linguistik Tahunan Pertama (Pelita I) kerjasama Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) dengan Jurusan Sastra`Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Makassar, 22 Mei 2008.
Rht. 2007. Waspadai Kepunahan Bahasa Daerah. Jurnalnet. http://www.jurnalnet.com/ Diakses 20 Desember 2009.
Taha, Zainuddin. 2008. Gapura Bahasa: Kumpulan Makalah Pilihan tentang Bahasa dan Pengajaran Bahasa. Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar.

Catatan:
Tulisan ini bersumber dari tugas akhir semester mahasiswa Program Sarjana Guru Bahasa Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin untuk tahun 2009. Judul asli tulisan adalah “Pemertahanan Bahasa Daerah Demi Lestarinya Identitas Diri”. Atas seizin penulisnya, naskah asli diedit ulang dan judul tulisan diubah oleh Alwy Rachman.

Thursday, March 18, 2010

DEMOKRASI DAN SITUASI MULTIKULTURAL MUTAKHIR

Tulisan ini masih berbentuk "draft". Oleh karenanya, tidak layak dikutip.


Alwy Rachman

Staf Pengajar pada Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Hasanuddin

Pendulum Sistem Politik
Pendulum sistem politik Indonesia benar-benar begerak secara radikal dan dengan ekstrim bergeser dari satu sistem totalitarian di bawah regim Orde Baru ke sistem yang lebih terbuka di bawah regim Reformasi. Penanganan masalah-masalah pemerintahan pun ikut bergeser dari cara-cara teknoratis ke cara-cara yang berbasiskan konstituensi. Di era Orde Baru, praktik pembangunan ---- kemudian dikenal dengan ideologi pembangunanisme --- dirancang, dikendalikan, dan diimpelentasikan oleh kelompok-kelompok teknokrat yang dianggap ahli dan terampil dalam bidangnya. Bayaran termahal dari semua ini adalah, tertutupnya aspirasi dan partisipasi terhadap semua proses-proses pembangunan; politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Pendulum sistem politik Indonesia benar-benar begerak secara radikal dan dengan ekstrim bergeser dari satu sistem totalitarian di bawah regim Orde Baru ke sistem yang lebih terbuka di bawah regim Reformasi. Penanganan masalah-masalah pemerintahan pun ikut bergeser dari cara-cara teknoratis ke cara-cara yang berbasiskan konstituensi. Di era Orde Baru, praktik pembangunan ---- kemudian dikenal dengan ideologi pembangunanisme --- dirancang, dikendalikan, dan diimpelentasikan oleh kelompok-kelompok teknokrat yang dianggap ahli dan terampil dalam bidangnya. Bayaran termahal dari semua ini adalah, tertutupnya aspirasi dan partisipasi terhadap semua proses-proses pembangunan; politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Di era reformasi, desentralisasi kekuasaan dilangsungkan sedemikian rupa. Sumber-sumber kekuasaan yang dahulu dikonsolidasi secara nasional disebar ke tingkat lokal. Praktik-praktik pembangunan pun dikuasakan ke kelompok-kelompok pemenang di tingkat lokal. Bayarannya juga tidak murah. Proses-proses politik untuk memperebutkan kekuasaan politik, menandai munculnya gejala venalitas, suatu gejala dimana uang ikut bermain dengan cara sedemikian rupa, sehingga para ahli menyebutnya money politics. Sedemikian buruknya, suara pemilih sebagai bagian penting dari pernyataan hak politik warga bisa termanipulasi sedemikian rupa, untuk tidak mengatakan tergadai. Venalitas di dalam partai pun menjadi isu kritis yang dipersoalkan oleh publik.Di era reformasi, desentralisasi kekuasaan dilangsungkan sedemikian rupa. Sumber-sumber kekuasaan yang dahulu dikonsolidasi secara nasional disebar ke tingkat lokal. Praktik-praktik pembangunan pun dikuasakan ke kelompok-kelompok pemenang di tingkat lokal. Bayarannya juga tidak murah. Proses-proses politik untuk memperebutkan kekuasaan politik, menandai munculnya gejala venalitas, suatu gejala dimana uang ikut bermain dengan cara sedemikian rupa, sehingga para ahli menyebutnya money politics. Sedemikian buruknya, suara pemilih sebagai bagian penting dari pernyataan hak politik warga bisa termanipulasi sedemikian rupa, untuk tidak mengatakan tergadai. Venalitas di dalam partai pun menjadi isu kritis yang dipersoalkan oleh publik.

Di rentang waktu pergeseran pendulum --- dari regim pembangunanisme ke regim reformasi --- terdapat gejala yang sangat mengusik, yaitu gejala yang disebut "cultural bleeding" (pendarahan di antara hubungan-hubungan antaretnik dan antarkebudayaan). Hingga kini, proses penyembuhan terhadap pendarahan ini mesti diambil dengan cara merekatkan kembali apa yang telah tercerai berai.

Empat Isu Multikultural
Reformasi di tingkat makro, di tingkat negara, tidak serta merta menyelesaikan masalah-masalah politik, pemerintahan, ekonomi serta masalah budaya di tingkat lokal. Di dalam suatu simposium tentang situasi multikultural di Indonesia Kawasan Timur dan Tengah, di selenggarakan di Manado di bulan Januari 2010, sedikitnya terdapat 4 isu yang berhasil di petakan.

Isu pertama adalah Jakartanisasi Indonesia. Melalui perdebatan yang agak garang, Jakarta dianggap mewakili genesis mental ambtenar pemimpin bangsa. Genesis mental ambtenar menyebabkan common cultural platform di tingkat arus bawah menjadi isu kritis. Di forum-forum arus bawah yang berdiskusi tentang demokrasi, common cultural platform yang menyangkut kualitas dan moralitas pemimpin selalu mengemuka dan dipertanyakan kembali. Common cultural platform yang menyiratkan konstitutif kutural di hampir semua etnik menandai beberapa dalil kepemimpinan. Pertama, proses memilih pemimpin dianggap sebagai proses istimewa. Kedua, oleh karena prosesnya istimewa, jabatan kepemimpinan harus diisi oleh pribadi-pribadi istimewa. Kenyataan bahwa reformasi memunculkan pemimpin yang agak mengganggu common cultural platform menyebabkan munculnya kesangsian. Sikap sangsi ini sesunguhnya adalah konsekuensi dari "belum berubahnya tata nilai tentang kekuasaan" di arus bawah dan efek transisi dari proses demokratisasi di tingkat negara. Oleh karenanya, common cultural platform masih menjadi tawaran di dalam menjustifikasi sang pemimpin. Dengan kesangsian seperti itu, pemimpin-pemimpin di Jakarta dianggap sebagai orang-orang yang merupakan bagian dari pengembangbiakan budaya urban yang kemudian menyeret manusia keluar dari habitat kebudayaannya dan membiarkan kebudayaannya tidak lagi berfungsi sebagai penyanggah kehidupan. Jakarta lalu menjadi pusat pengendali atas cara kita berbahasa, cara kita berpakaian, cara kita memilih pendidikan, dan cara kita mengkomsumsi makanan. Pokoknya, Jakarta menjadi pusat fundamentalisme pasar yang mengundang reaksi berkembangnya fundamentalisme agama-agama di berbagai wilayah.

Isu kedua adalah Keindonesiaan di Pulau-Pulau Kecil dan di Wilayah Perbatasan. Hasil pemetaan menggambarkan bahwa Kawasan Timur Indonesia adalah kawasan yang salah urus, untuk tidak mengatakannya tidak terurus. Pulau-pulau kecil tempat berdiamnya etnik-etnik kecil dibiarkan tak bernama. Ekonomi di pulau-pulau ini juga menjadi soal karena regulasi yang tak memihak, sehingga pengembangan infrastruktur tidak menjadi perhatian. Proses mentransformasikan etnik-etnik di pulau-pulau ini menjadi tidak memungkinkan karena tidak adanya akses ke Bappenas.

Isu ketiga adalah Keindonesiaan di Wilayah-Wilayah Terjarah. Kawasan Tengah dan Timur Indonesia dinilai sebagai kawasan-kawasan yang banyak dijarah. Proses penjarahan berlangsung dengan cara dan modus yang canggih tetapi sistematik. Mulai dari pengambilan tanah-tanah rakyat secara murah, hingga penggunaan regulasi dan kekerasan. Program transmigrasi, kebijakan mengkapitalisasi kawasan serta kebijakan investasi tanpa menegakkan tataruang nasional adalah sumber malapetaka bagi etnik-etnik kecil di kawasan Tengah dan Timur Indonesia.

Isu yang keempat adalah isu Perjumpaan Budaya. Perjumpaan budaya di kawasan-kawasan konflik dan kawasan-kawasan terjarah menandai beberapa hal. Pertama, terdapat kecenderungan bahwa kawasan-kawasan etnik yang kecil mengalami pemiskinan sebagai akibat dari tidak tersedianya akses dan kendali atas keputusan-keputusan politik dan ekonomi serta pemanfaatan sumber daya alam. Kedua, struktur dan sistem sosial etnik mengalami penggumpalan sedemikian rupa, sehingga kekuatan-kekuatan etnik disusun dan distrukturkan mirip negara. Di beberapa wilayah kalimantan, sebagai permisalan, membentuk laskar-laskar etnik, sebagai mekanisme mempertahankan diri dan sebagai reaksi terhadap terbentuknya laskar-laskar oleh kekuatan-kekuatan sosial politik lainnya. Ketiga, pertarungan dalam memperebutkan otoritas sosial paska konflik masih tetap berlangsung tanpa diwadahi oleh platform-flatform negara. Di kawasan Maluku, misalnya, terdapat 300 raja-raja yang bergulat dalam persoalan hirarki. Problem komunikasi antarbudaya yang menjadi masalah menjadikan kekuatan-kekuatan etnik ini menggumpal pada dua solidaritas --- solidaritas agama dan solidaritas kampung. Keempat, residu konflik etnik dan konflik sosial ikut meneguhkan stereotipi dan stigma antara satu kelompok berhadapan dengan kelompok lain. Kelompok Islam distigmatisasi sebagai kelompok teroris dan kelompok Kristen distigmatisasi sebagai kelompok separatis. Kelima, ketiadaan regulasi yang memihak pada kebudayaan dan tidak tersedianya strategi kebudayaan menjadikan budaya etnik yang kecil menjadi fragil dan rapuh. Perapuhan budaya sebagaimana yang dimaksud dapat dilihat pada cara etnik merawat dan menyelenggarakan pengetahuan etnik yang mengikat secara sosial. Perawatan pengetahuan etnik yang terabaikan justru lebih disebabkan oleh regulasi yang bertentangan dengan pengetahuan etnik. Regulasi Kementrian Kelautan misalnya dianggap tidak mengakomodasi pengetahuan etnik tentang cara-cara menkonservasi sumber ikan di Maluku atau bertentangan dengan pengetahuan etnik Papua dalam mengkonservasi ikan Paus.

Demokrasi dan Narasi Kultural
Di hampir semua kebudayaan, kerangka nilai demokrasi bisa ditelusuri melalui narasi kultural. Narasi tentang komitmen seorang raja (pemimpin) terhadap rakyat, tentang kesetiaan rakyat terhadap pemimpin, tentang kritik rakyat terhadap pemimpin, sesungguhnya tersedia. Sayang narasi seperti ini tidak dipakai sebagai latar untuk membangkitkan kesadaran politik arus bawah. Akibatnya, di hadapan demokrasi yang diselenggarakan di Indoneaia, narasi kultural kehilangan konteks, atau tidak dikontekstualisasi ke pengalaman-pengalaman demokrasi. Demokrasi yang diselenggarakan kemudian sulit diinstalasi ke dalam pengalaman-pengalaman kultural. Sesungguhnya, berpikir konstitutif yang tersembunyi di dalam konteks dan pengalaman kultural bisa dijadikan latar untuk memasuki pengalaman-pengalaman demokrasi moderen. Semestinya, narasi seperti ini dijadikan sebagai media akulturasi dan dipakai untuk melihat dan berempati pada proses pemanusiaan lewat demokrasi. Di masyarakat Inggris, misalnya, generasi Shakespeare dianggap berkontribusi secara konkrit di berbagai ranah untuk bangsanya. Narasi kulturalnya diinstalasi ke dalam jenjang-jenjang pendidikan, dikonstitusi ke dalam interaksi sosial dan interaksi politik. Makanya, bukan suatu kebetulan jika negarawan-negarawan Inggris "tidak memerlukan" konstitusi tertulis dalam mengatur negaranya. Konstitusi-bukan-teks tampaknya telah "tertanam di kepala" para negarawan Inggris. Pasti bukan kebetulan, jika narasi kultural berhubungan erat dengan cara berpikir konstitutif.

Pada akhirnya, demokrasi yang dibutuhkan bukan demokrasi Barat yang berfokus pada keutamaan dan kebebasan individu. Demokrasi di Indonesia seharusnya demokrasi yang mampu menghormati dan memberi tempat terhadap semua cara hidup di setiap etnik, bukan demokrasi yang menyeragamkan semua cara hidup dan merusak serta meniadakan kebhinekaan bangsa.


Bacaan Pemerkaya

Bourdieu, Pierre, 1992, Language and Simbolic Power, Cambridge: Polite Press.
Manning, Chris dan Peter Van Diermen, 2000, Indonesia in Transition, Sosial Aspects of Reform and Crisis, Singapore: ISEAS.
Ringkasan Laporan Penelitian, "Studi atas Pelaksanaan Desentralisasi di 15 Kabupaten/Kota dan 4 Provinsi", (tidak dipublikasikan).
Priyono, A.E. Stanley Adi Prasetyo, dan Olle Törnquist (editor), 2003. Gerakan Demokrasi di Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: Demos

Tuesday, January 5, 2010

MATINYA KONSEP PENATAAN



M. Nawir


Sekber JRMK – Pusat Studi Kota dan Perubahan Sosial


Bahasa Indonesia merinci kata penataan dari kata dasar tata, yang berimbuhan pe- dan -an. Kata ini menjadi konsep yang luas sekali pemakaiannya dalam berbagai produk kebijakan pemerintah seperti peraturan Tata Ruang Kota yang mencakup konsep tentang Penataan Pemukiman, Penataan Peredaran Barang dan Jasa, dan lain-lain. Untuk memperjelas maksud dari penataan itu, digunakanlah kata penertiban, misalnya dalam kalimat penertiban pedagang kaki lima.

Secara eksplisit di dalam berbagai naskah peraturan, konsep penataan dan penertiban ini merujuk pada kewenangan pejabat (pemegang jabatan) atau pemerintah untuk mengatur, membangun, memperbaiki, dan mengendalikan objek dan subjek pembangunan. Jadi, tidak ada hubungan konseptualnya dengan kata atau istilah "penggusuran" (eviction). Bahkan di dalam peraturan itu sendiri tidak ada kata penggusuran. Itulah sebabnya, aparat pemerintah atau pun pejabat seringkali berdalih "kami hanya menertibkan, supaya pedagang ditata lebih baik". Padahal yang mereka lakukan adalah penggusuran dan pembongkaran.

Pada prakteknya, ada dua cara penataan/penertiban yang dilakukan pejabat/pemerintah. Pertama, bila sebuah kampung dipandang kumuh, maka dirancanglah perkampungan yang bersih, tertib dan aman. Yang terjadi kemudian, pemerintah membangun perumahan elit atau lods-lods mewah, yang tidak terjangkau oleh mayoritas rakyat. Penduduk aslinya direlokasi ke suatu tempat yang belum tentu lebih baik dari tempat semula.

Cara kedua, pemerintah memaksakan kehendaknya dengan cara menggusur dan memindahkan penduduk dari tempat semula. Alasannya tanah negara atau tanah umum maupun tanah swasta. Cara kedua ini seringkali memicu bentrokan fisik yang mengakibatkan kerugian materil dan kehancuran habitat sosial-ekonomi dari mereka yang tergusur. Sementara pejabat penggusur menghabiskan dana puluhan bahkan ratusan juta untuk mengongkosi semua keperluan aparat dan alat-alat penggusur. Kita pun sebagai pembayar pajak sebenarnya dirugikan. Sebagian atau pun seluruh dana penggusuran itu biasanya dianggarkan dalam APBD, atau dana taktis pejabat yang tidak terlaporkan.

Cara pertama maupun kedua sama-sama berdampak pada pemiskinan rakyat. Afrizal Malna mengungkapkan kenyataan itu dalam spanduk "rakyat yang digusur menjadi api dalam setiap nasi yang kita makan". Mereka yang tergusur kehilangan akses ekonomi, kehilangan rumah, relasi sosial-budaya, trauma dan perasaan benci yang berkepanjangan. Ibarat api dalam sekam. Pada waktunya, memunculkan persoalan sosial baru seperti migrasi/urbanisasi, kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, sampai pada pembangkangan sosial. Akhirnya, kita-kita juga yang harus menanggung ongkos sosial dari semua dampak itu.

Stigma Orang Miskin

Ada stigma dari para pelaku penggusuran -- baik itu penguasa, pengusaha, juga lembaga pendidikan – yang menyatakan bahwa kaum miskin kota adalah sumber kekumuhan, ketidaktertiban, kemacetan kota, dan kejahatan. Dan karena itu, kaum miskin ini harus dijauhkan dari pandangan orang-orang kaya dan tamu-tamu pejabat.

Romo Magnis (dalam Neoliberalisme dan Tanggung Jawab Negara, 14 Desember 2004) menggambarkan relasi di antara para pelaku penggusuran itu sebagai koalisi diam-diam kelas elit dan menengah untuk memerangi kaum miskin. Mereka yang berkoalisi adalah aparat pemerintah, pengusaha, akademisi-profesional, politisi, dan aparat keamanan, juga "preman". Penguasa memproteksi proyeknya dengan peraturan seperti Perpres No. 36/2005 tentang pengambilan tanah untuk pelaksanaan pembangunan bagi kepentingan umum. Pengusaha menanamkan modalnya untuk memperoleh keuntungan. Akademisi-professional menjadi konsultan perencanaan pembangunan sesuai pesanan penguasa. Politisi melancarkan proses pengambilan keputusan sesuai kepentingan golongannya. Aparat keamanan seringkali bergandengan tangan dengan "preman" untuk mengamankan pelaksanaan pembangunan dan penggusuran berdasarkan "juklak" koalisi.

Bagi mereka ini, kaum miskin adalah potensi gangguan terhadap kelancaran pembangunan. Kaum miskin di perkotaan pertama-tama adalah mereka yang tidak memiliki akses ke pusat-pusat ekonomi, sosial dan politik dominan. Mereka ini menggantungkan kehidupannya pada kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sosial-ekonomi yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan subsistennya. Informalitas menjadi cara hidup, yang tampak pada relasi sosial, bentuk pemukiman dan cara bekerja. Mereka menempati lahan-lahan yang tidak tergarap, menghindari pajak atau pun ongkos sewa ketika berjualan. Cara hidup inilah yang sesungguhnya bertolak belakang dengan gaya hidup kelas elit-menengah. Dan karena itu, seringkali kaum miskin ini diposisikan sebagai objek sekaligus pengganggu kelancaran pembangunan. Dengan alasan formal seperti tanah negara, kepentingan umum, ketertiban, penguasa membuat sendiri konsep penataan dan penertiban sebagai dasar untuk melakukan penggusuran.

Matinya Konsep Penataan

Matinya konsep penataan dibuktikan dengan ketiadaan alternatif dari cara pejabat maupun pemerintah dalam memecahkan masalah kemiskinan dan tata ruang. Sulit dimengerti, bila pemerintah atau pejabat selalu berdalih bahwa kaum miskin tidak memiliki alas hak atas tanah maupun tempat usaha. Dengan dalih itu, sebenarnya pemerintah tidak perlu lagi membuat konsep atau kebijakan penataan/penertiban. Cukup membuat petunjuk pelaksanaan penggusuran terhadap rakyat miskin yang dianggap tidak berhak.

Serendah-rendahnya bukti formal yang dimiliki kaum miskin atas tanah maupun tempat usaha, mereka tetap memiliki hak yang dijunjung oleh konstitusi, UU HAM dan konvensi tentang hak-hak asasi rakyat atas tanah dan perumahan, hak mendapat perlakuan adil/keadilan, menikmati kebebasan dasar, serta terhindar dari tindak kekerasan/penggusuran. Dengan bukti formal yang minim pun, kaum miskin tetaplah manusia. Sedangkan binatang pun yang dipindahkan tetap saja membutuhkan perlindungan tempat tinggal. Di sinilah pentingnya ruang negosiasi yang imbang untuk memecahkan masalah dan memenuhi rasa keadilan. Dalam prakteknya, ruang negosiasi itu sangat sempit, bahkan tertutup. Konsep penataan yang digagas dan disiapkan oleh pemerintah bersama kaum akedemisi-profesional tidak berarti apa-apa. Semuanya bisa berubah menjadi tindak kekerasan, penggusuran, dan akhirnya pemiskinan.

*****

Yang diinginkan oleh kaum miskin dan pemerhati masalah kemiskinan adalah menjadikan konsep dan kebijakan penataan itu menjadi nyata. Dalam bahasa yang simpel; bila suatu tempat dipandang kumuh, tidak teratur, tidak indah, menyebabkan kemacetan, maka gagasan pemecahannya adalah bagaimana cara membangun agar tempat itu bersih, teratur dan tertib, indah, dan lancar; Bila sebuah lokasi dianggap tidak aman, orang-orangnya tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan, maka jalan pemecahannya adalah mengaktifkan pengamanan, menanamkan rasa bertanggung jawab, juga kewajiban-kewajiban mereka. Memusuhi dan menggusur orang miskin jelas melawan keadilan. Karena, bila ini jalan satu-satunya, pemerintah dan akademisi profesional tidak perlu susah payah membuat perencanaan tata ruang kota. Inilah hakikat dari tata pembangunan; rakyat miskin dilindungi, diperbaiki kehidupannya, diberdayakan untuk mencapai kesejahteraannya.



catatan:

Tulisan ini pernah dimuat Tribun Timur Makassar, 6 Juni 2005.

 
Alwy Rachman.