SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Wednesday, October 28, 2009

KELAMIN: Tak Membatas, Tak Tampak atau Tak Berbahasa?

Perspektif Debat Demarkasi Jender

Alwy Rachman

Manusia ditakdirkan lahir untuk kemudian
menjadi narapidana di dalam pikirannya sendiri.
Satre


ISU JENDER DAN KEKERASAN kini dipikirkan ulang. Di dalam satu publikasi Rethinking Violance Against Women (1998), antologi yang membahas masalah-masalah jender dan kekerasan secara meluas dan kaya perspektif, Irigaray menyusun model pemisah-batasan (demarkasi) antara tubuh secara biologis, tubuh secara sosial dan tubuh secara simbolik. Model pemisah-batasan ini kemudian dipromosikan sebagai “Hirarki Ontologi Seksualitas”.

Model ini tersusun dari tiga aras yang secara hirarkis menempatkan “biologi” sebagai dunia yang statis (static world) dan “simbol” sebagai dunia yang cair (fluid world). Keduanya dihubungkan oleh “dunia sosial” (social world) yang berfungsi sebagai aras perantara (intermediate level).

Hirarki Ontologi Seksualitas ini dibangun dan disusun berdasarkan filosofi yang berfokus pada adanya kontradiksi antara seksualitas taktil perempuan (tactile sexuality of women) dan seksualitas pallik lelaki (phallic sexuality of man). Ia kemudian dipakai untuk mencari penjelas terhadap perbedaan-perbedaan di kedua seksualitas perempuan dan lelaki, menyangkut cara berpikir dan cara berbahasa. Perbedaan tubuh secara biologi dan perbedaan karakteristik seksualitas banyak dipotret berdasarkan analisis di setiap susunan aras di hirarki ini.

Di aras biologi, perbedaan seksualitas adalah perbedaan yang bersifat alami. Oleh karenanya, perbedaan biologi adalah sesuatu yang bersifat statis. Dengan pengungkapan lain, sejauh bersifat biologis, seksualitas perempuan dan lelaki sama sekali tidak conflicting,kecuali pada`cara menggunakan terminologi berdasarkan bukti-bukti biologi.

Aras biologi telah memunculkan isu inti yang banyak mengalami pengayaan dari para peneliti. Di satu sisi, bagi kelompok peneliti tertentu, faktor biologi merupakan kunci untuk membedakan seks dan jender. Melalui uraian lebar panjang tentang konsekuensi penggunaan terminologi seks dan jender, Douglas A. Gentile (1998) yang bekerja pada institut pertumbuhan anak-anak, misalnya, pada akhirnya menyarankan agar terminologi seks sebaiknya dipahamami sebagai properti biologi (misalnya, perempuan dan lelaki) sementara terminologi jender sebaiknya dimengerti sebagai properti sosiokultural (misalnya, maskulinitas dan feminitas).

Di sisi lain, bagi kelompok peneliti lain, terminologi seks sebagai properti biologi memunculkan problematika sendiri. Anne-Sterling(1933), misalnya, agak keberatan dengan konsepsi dua seks --- perempuan dan lelaki. Meskipun demikian, Anne sangat sadar bahwa kebudayaan Eropa secara sangat dalam hanya committed pada konsepsi dua seks. Anne kemudian menambahkan 3 (tiga) seks lain selain female dan male. Secara keseluruhan, konsepsi 5 (lima) seks diintrodusir ke dalam satu tulisan “The Five Sexes: Why Male and Female are Not Enough”. Dalam bahasa Anne, selain female dan male, rincian 3 seks itu, masing-masing; (1) The Herms (hermaphrodites) yang memiliki satu testis dan satu ovary; (2) The Merms (the male pseudohermaphrodites) yang memiliki testis dan dalam banyak aspek, memiliki female genetalia tetapi tanpa ovary; (3) The Ferms (female pseudohermaphrodites) yang memiliki ovary dan dalam banyak aspek memiliki male genetalia tetapi tanpa testis.

Berbeda dengan aras biologi, persoalan-persoalan seksualitas perempuan-lelaki justru menemukan momentumnya dan membesar di aras perantara (intermediate level), yaitu di aras sosial. Momentum dan pembesaran masalah ini lebih disebabkan oleh berbagi hal. Pertama, kultur yang hidup di dunia sosial tidak bersifat homogen. Cara pandang terhadap peran perempuan dan peran lelaki menampakkan diri secara berbeda dari satu kaum ke kaum yang lain. Kedua, otoritas sosial dan juga ikatan-ikatan sosial yang menghubungkan perempuan dengan lelaki juga berbeda. Otoritas dan ikatan sosial semacam inilah yang menjadi kawasan eksplorasi bagi para ilmuan untuk memahami masalah-masalah jender. Itu pula sebabnya, para peneliti jender berkecenderungan menempatkan isu jender sebagai isu yang harus dipandang berdasarkan pemahaman lintas-budaya (cross-cultural), jika tidak ingin dikatakan sebagai isu lintas-bangsa (cross-national).

Cara memandang masalah jender, secara lintas-budaya dan lintas-bangsa, lebih didasari oleh kemawasan jender oleh para peneliti (gender awareness) bahwa cara memandang seperti ini akan mampu memunculkan aspek-aspek dan faktor-faktor perbedaan yang mencakup, misalnya; geografi, sumberdaya alam, pola migrasi, sejarah, sistem politik dan religi yang secara keseluruhan mempengaruhi ketimpangan ataupun kesetaraan jender.

Dengan kemawasan seperti ini, para ilmuan dapat mengetahui bahwa setiap kultur menyediakan pengetahuan dan cara pandang (world view) terhadap jender secara berbeda dari satu tradisi ke tradisi lain. Sebagai contoh, jika di tradisi Barat jender secara tradisional dikategorikan ke dalam dua seks utama --- perempuan dan lelaki --- maka lain halnya dengan komunitas Hua. Di tradisi Hua, maskulinitas dianggap sebagai status tinggi, tetapi secara fisik lemah dan tanpa otoritas. Justru di tradisi Hua, maskulinitas lelaki akan memudar sejalan dengan pertambahan usia dan akan tergantikan oleh perempuan melalui pengasuhan anak. Perempuan yang telah melahirkan tiga anak, di tradisi ini, diberi hak untuk berpartisipasi dalam upacara ritual lelaki. Dan, dengan demikian, otoritas perempuan semakin membesar sejalan dengan pertambahan usianya dan kemampuannya mengayomi anak-anak.

Di tradisi masyarakat kontemporer, kesetaraan jender disorot berdasarkan kerangka berpikir untuk meniadakan kekerasan dan kekejaman, baik dari sisi struktural maupun dari sisi fisikal. Analisis jender juga dijadikan sebagai wahana untuk menyorot masyarakat yang sedang tertekan, sebagai akibat lanjut dari modernisasi, kolonisasi, terorisme, perang, konflik politik atau sebagai akibat dari perubahan sosial dan konflik komunal.

Di aras simbolik, dengan mengikuti alur pikir Irigaray, perempuan dan lelaki terekspresikan melalui basis simbolik yang berbeda. Sistem simbol yang berbeda tampaknya mempertalikan secara erat hubungan antara morfologi bahasa dengan morfologi genital. Dengan merujuk Freud, Irigaray menganggap bahwa bahasa dibentuk oleh unsur visual. Dan, seksualitas perempuan dianggap tidak visual dan dengan demikian dianggap tak berbahasa.

Irigaray dengan sangat tajam mempersoalkan penggunaan simbol-simbol bahasa, baik yang terpakai melalui kekuasaan dan otoritas maupun yang terpakai dan diintrodusir oleh pemikiran-pemikiran teologi. Sorotan dan kritik Irigaray tertuju pada pandangan bahwa kelamin perempuan bersifat jamak (plural), tak membatas (undelimited) dan tak tampak (unseen). Baginya, pandangan seperti ini mendislokasi kelamin perempuan sebagai entitas yang tidak eksis, yang menempatkan kelamin perempuan sebagai “penerima” (receiver) saja. Bagi Irigaray, pandangan seperti ini menyimpan dua dualitas (duality) yaitu, secara spesifik, Dualitas Kekejaman dan Kasih Sayang (The Duality of Abuse and Affection) yang termanifestasi ke dalam simbol-simbol bahasa serta Dualitas Prinsip Kekuasaan Tuhan dan Prinsip Pemberontakan Setan (The Authority of Principle of God and The Rebellious Principle of Satan) yang terdengar melalui pemikiran-pemikiran teologi. Dua dualitas ini yang menyebabkan perempuan agak risih menemukan dan menjelaskan aspek-aspek kekejaman yang muncul di antara pola hubungan perempuan dan lelaki.

*****

TERLEPAS DARI KETAJAMAN IRIGARAY, hirarki yang disusunnya mengundang reaksi dan respon dari berbagai pihak. Pertama, Evan Lundgren, seorang mahaguru Feminist Studies in Sociology, menganggap bahwa hirarki Irigaray justru merupakan cara mentransendensi “kekuatan” seksualitas lelaki. Kalau Irigaray mencoba membangun hubungan antara morfologi genital dan morfologi bahasa, Irigaray seharusnya membuktikan bahwa ia tidak hanya dapat mempertalikan secara signifikan sistem bahasa yang berstruktur maskulin, sebelum kalangan feminis melakukan “pemberontakan” bahasa dan mengindentifikasi bahasa seksualitas perempuan dan kemudian membangun komunikasi alternatif berdasarkan bahasa berstruktur feminin. Itu pula sebabnya, menurut Evan, kegelisahan pada seksualitas perempuan yang dianggap tak tampak dan tak visual sesungguhnya tidak lebih dari monopoli bahasa.

Monopoli bahasa seperti ini, lanjut Evan, tidak membuka kemungkinan untuk membangun pemahaman kultur secara bersama dalam mempelajari bahasa dari dua seksualitas, terlepas apakah kedua seksualitas itu bersifat phallic, visible, explicit, undelimited, atau tangible. Irigaray seharusnya membangun keakraban terhadap morfologi seksualitas perempuan, bukan yang selama ini dilihatnya sebagai hasil penaklukan jender (gender subjugation) dan bukan juga sebagai morfologi seksualitas yang secara awal diinterpretasi sebagai entitas yang tak tampak, defisit, dan vacum.

Kedua, hirarki Irigaray terhadap kelamin perempuan-lelaki disusun berdasarkan azas pasangan-pertentangan (binary-opposition), bukan azas yang menempatkan kelamin yang satu adalah alternatif eksklusif bagi kelamin lain. Di hadapan Evan, Irigaray tidak menciptakan satu dorongan untuk memodifikasi keterbatasan yang terdapat pada definisi seksualitas, tetapi malah larut dalam ironi, mimetik dan peniruan.

Ketiga, dunia sosial adalah ruang yang sarat dengan sosialisasi, termasuk proses pengenalan dan pemaknaan atas tubuh perempuan dan tubuh lelaki. Dunia sosial lah yang menempatkan tubuh sebagai sebuah arena dan sebagai titik tolak (point of departure). Dunia sosial adalah dunia jender, bukan sekedar dunia kelamin. Itu pula sebabnya, tangan dan kaki serta gerak anggota tubuh lainnya dapat dimasukkan ke dalamnya. Kemajemukan dunia sosial adalah arena yang dapat dipakai untuk mengembangkan dan merumuskan norma-norma jender yang fleksibel, mencakup variasi yang dapat membuka peluang terjadinya perubahan terhadap rumusan norma-norma jender, termasuk di dalamnya cara bereaksi, cara berkomunikasi dan cara membangun simbol.

Keempat, persoalan ketidaksetaraan jender selama ini terletak pada kekerasan seksual. Kekerasan seksual di mana-mana bersifat korporealitas (corporeality), suatu realitas kekerasan badaniah yang terstruktur melalui hukum-hukumnya sendiri. Melalui umpan balik dari peneliti lain, kekerasan seksual yang fenomenal terhadap perempuan dikenali melalui delapan modus, masing-masing:

  1. Kekerasan dalam bentuk pemerkosaan oleh kelompok-kelompok gang, perdagangan perempuan (traficking in women), pemaksaan menjadi pekerja seks. Kesemua kekerasan ini berhubungan dengan gravitasi tubuh perempuan dalam situasi perang dan konflik.
  2. Pemerkosaan perempuan di setiap peristiwa perang adalah pengrusakan (retaliation) terhadap kepemilikan lelaki dan juga berfungsi sebagai pesan kepada musuh.
  3. Pemerkosaan adalah pernyataan atau pesan yang diletakkan ke tubuh perempuan.
  4. Pemerkosaan adalah pembersihan teritori lelaki karena lelaki tidak akan pulang ke lokasi tempat ia dihinakan.
  5. Perempuan yang diperkosa oleh tentara, dapat dikorbankan lagi oleh lelakinya sendiri (keluarga sendiri) dengan alasan pemerkosaan itu telah menghancurkan kehormatan dan martabat pribadi atau keluarga.
  6. Perkosaan terhadap perempuan oleh tentara dimaksudkan untuk mengeliminasi frustrasi terhadap hirarki kehidupan militer.
  7. Pemerkosaan juga dimaksudkan untuk mempertahankan moral militer dan membangkitkan semangat perang.
  8. Pemerkosaan yang disebabkan oleh perilaku seksual agresif dan dominatif. Ketergantungan sosial dan ketergantungan ekonomi membatasi perempuan menegosiasi seks secara lebih aman. Di dalam situasi konflik, perempuan dipaksa membarter seksnya demi keselamatannya sendiri. Terhadap modus seperti di atas, banyak pakar berpendapat bahwa modus-modus ini berakar pada pandangan bahwa perempuan memang sebagai properti lelaki.

Kelima, pemikiran-pemikiran teologi, dalam kenyataannya, tidak selalu bersahabat dengan perempuan. Pemikiran-pemikiran sebagaimana yang dimaksud, tanpa disadari, sering menjelma menjadi tempat terkonsentrasinya dinamika simbol jender, yang kemudian memanifestasi ke dalam ketidaksetaraan jender. Dualitas, sebagaimana digambarkan sebelumnya, oleh Evan, adalah bangunan eksistensi, kosmik di satu pihak dan etik di lain pihak.

Terakhir, demarkasi jender memang masih sangat hidup dan secara kepala batu berdiam di dunia sosial. Diskursus atau wacana pembedaan jender dengan cara seperti ini justru akan menciptakan polarisasi secara kuat. Tidak mengherankan, jika tindakan pelintasan terhadap demarkasi jender seringkali dianggap sebagai tindakan “berbahaya” dan “terlarang”.

Saturday, October 24, 2009

SYAIR SANG IBU

Anwar Ibrahim

Tuwoko malampék sungek
Wekkek temmakkasapék
Pattola palallo
(1)

Di larut malam, sambil melawan rasa kantuk, dengan rasa cinta yang tulus, sang ibu mengelus, membuai, mengayun, menidurkan anaknya. Syair lagunya sayup-sayup kedengaran, melantunkan harapan semoga sang anak panjang usia, tumbuh kembang tak merobek, menjadi pewaris yang melampaui orang tuanya. Syair lagunya melantunkan dambaan sang anak menjadi manusia berarti dalam kehidupannya. Tak sepatah kata pun dalam syair yang mengungkapkan tuntutan agar sang anak membalas jerih payah melahirkan, mengasuh, mendidik membesarkannya. Dalam syairnya, sang ibu hanya menyampaikan pesan moral agar dalam proses tumbuh kembangnya menjadi ‘manusia’, menjadi dirinya sendiri, sang anak tak ‘merobek’ orang dan generasi lebih tua yang mendidiknya. Sesungguhnya, dalam syair-syair lagu Yabélalé, lagu pengantar tidur anak-anak yang dilantunkan ibu-ibu Bugis Makassar di Sulawesi Selatan, sang ibu melaksanakan peran kulturalnya sebagai pendidik, sebagai pembangun benteng peradaban masyarakatnya. Sang ibu meletakkan dasar peradaban dan pembinaan generasi mudanya. Memang, dasar-dasar benteng pertahanan peradaban masyarakat justru dibangun sejak dini melalui peran kultural sang ibu. Ketika melakonkan peran keibuannya, menggendong, menyusukan, mengayun dan membelai anaknya, melalui syair-syairnya, sang ibu melantunkan pesan-pesan kultural masyarakatnya, mengemukakan wujud cita kultural mengenai ‘anak-anak’ generasi muda yang didambakan.

Dalam syair, sang ibu menunjukkan tiga nilai ideal dambaan kulturalnya, yaitu: cerdas dan berpikiran panjang (macca na malampék nawa-nawa); berhati nurani bersih dan lapang dada (makkéati macinnong na masagéna attarong); dan terampil serta tekun bekerja (mapanré na matinuluk). Tiga nilai ideal itulah yang dalam ungkapan Arung Bila dari Soppeng pada abad ke-17 disebut permata bercahaya (paramata mattappa) yang diharapkan dimiliki generasi anak muda. Nilai kecerdasan dan berpikiran panjang tak berbeda dengan ungkapan berkualitas intelektual tinggi, dengan kemampuan mempergunakan otak, akal atau rasio yang menjadikannya rasional dan kritis. Secara kultural generasi yang didambakan adalah generasi yang mampu melihat latar depan dan latar belakang setiap kejadian, peristiwa, fenomena, perbuatan yang berlangsung atau yang akan dikerjakannya (naitai addiolona nenniyak addimunrinna gauk-é), seperti dikemukakan Kajaolaliddo dari Bone dan Petta Matinroé ri Lariang Banngi. Suatu generasi yang kepintaran dan kecerdasannya dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat manusia atau ketenteraman ‘orang banyak’ (asaléwangenna tau tebbek-é), yang tidak menggunakan kepandaian dan kecerdasannya untuk berbuat sewenang-wenang kepada sesamanya manusia (dék naggauk bawang ri padanna ri pancaji).

Nilai macca na malampék nawa-nawa belumlah cukup menjadikannya manusia yang sesungguhnya (tau tongeng-tongeng), melainkan harus dilengkapi dengan kearifan yang tumbuh dari nilai ‘berhati nurani jernih dan lapang dada’ yang makna kulturalnya tidak berbeda dengan ungkapan ‘berakhlak mulia’. Ungkapan ‘makkéati macinnong na masagéna attarong’ dirinci secara puitis dalam pappaseng (pesan/wasiat) yang diungkapkan almarhum Matowa Ujung Coa (110 tahun ketika meninggal) dari Lappariaja, Boné Barat:

Temmettok nawa-nawa majak
Tellessuk ada-ada bellé
Teppugauk gauk macéko
Temmakkatuna ri padanna Tau
Tettakkalupa ri apoléngenna .

Tak membersitkan pikiran jahat
Tak mengeluarkan kata dusta
Tak melakukan perbuatan culas
Tak menghinakan sesama manusia
Tak melupakan asal kedatangan (penciptanya)

Karakter, sifat dan kepribadian generasi seperti disebutkan dalam paseng Matowa Ujung Coa tersebut justru tidak sepenuhnya mampu ditumbuhkan dunia pendidikan formal, apalagi yang mengutamakan pengajaran, pengasahan dan penguasaan kepandaian ‘otak’ semata. Kepribadian ‘makkéati macinnong’ tumbuh dari pendidikan kultural, pendidikan sejak dini yang diturunkan sang ibu, dari lingkungan masyarakat karib (the intimate society), meneladan dari perilaku seluruh warga masyarakat yang berinteraksi dengan mereka, dari perilaku pemimpin dan segenap pejabat negaranya (paréwa tanana). Kepribadian tersebut tumbuh dari proses internalisasi, sosialisasi dan enkulturasi. Ucapan-ucapan dan perilaku pemimpin menjadi rujukan dan teladan anak-anak muda dalam proses pertumbuhannya. Masyarakat dan negara yang memiliki pemimpin, pejabat negara dan warga masyarakat yang memfungsikan hati nuraninya akan menumbuhkan karakter, sifat dan kepribadian generasi makkéati macinnong na masagéna attarong. Demikian pula sebaliknya. Kepribadian yang ‘tak membersitkan pikiran jahat, tak mengeluarkan kata dusta, tak melakukan perbuatan culas, tak menghinakan sesama manusia, tak melupakan asal kedatangan (penciptanya)’, tak bakalan muncul dari masyarakat korup dengan warga masyarakat, pemimpin dan pejabat yang mengutamakan pertarungan memperoleh dan melakukan penumpukan kekuasaan dan penumpukan kekayaan, dengan cara apapun, masyarakat yang mengutamakan kepentingan individu, faksi, atau kelompok sendiri.

Kepribadian ketiga yang secara kultural didambakan, kepribadian generasi terampil dan tekun (mapanré na matinuluk), selain dapat tumbuh dari proses pendidikan dan pelatihan, juga terutama sifat tekun memerlukan pendidikan dini dari keteladanan lingkungan masyarakat karibnya.

(2)

Kita tidak lagi berada dalam abad ke-16, abad Kajaolaliddo, atau abad ke-17, abad Arung Bila. Kita berada dalam abad ke-21, abad yang arus dinamika kehidupan masyarakatnya sedemikian derasnya. Sang ibu tidak lagi terutama menjalankan peran kuturalnya sebagai pembangun dan penjaga benteng peradaban masyarakatnya, tak lagi melantunkan syair-syair lagu Yabélalé-nya. Sang ibu tidak lagi berperan hanya dalam ranah rumah tangga, tetapi telah melangkah lebih luas, memainkan peran dalam ranah publik. Tanggung jawab kultural melakukan pendidikan dini anak-anak yang meletakkan dasar-dasar kepribadian, karakter dan sifatnya, diserahkan kepada para pembantu rumah tangga, para babu, baby sitter, atau pada Tempat-tempat Penitipan Anak (TPA). Syair-syair lagu yang dinikmati anak-anak bukan lagi Yabélalé, yang lahir dari rahim budayanya, melainkan syair-syair lagu Padi, Dewa, Sheila on Seven dan sejenisnya. Tokoh-tokoh panutan yang karib dengannya adalah Sinchan, Kucing Dora Emon, Power Ranger, Sang Monyet Sun Go Kong, anjing Scooby Doo dan semacamnya yang berasal dari rahim budaya asing. Apakah fenomena seperti ini bakal melahirkan generasi baru yang lebih baik, ataukah generasi dengan kepribadian kucing, monyet atau anjing, merupakan kalimat tanya yang perlu dipikirkan. Akan tetapi, yang jelas adalah hubungan sang anak dengan pengasuhnya sendiri hanyalah hubungan fungsional. Tumpahan kasih sayang sang ibu ketika menyusukan, membelai dan meninabobokkan, tidak lagi dirasakan sang anak, sehingga hubungan emosional antara sang ibu dan sang anak tidak bertumbuh dengan wajar.

Generasi muda tumbuh dan berkembang dari proses-proses sosiokultural masyarakat dan lingkungannya. Pada masyarakat yang warganya memelihara dan mewujudkan peradaban dalam perilaku kehidupannya, sangat mungkin akan tumbuh dan berkembang pula generasi beradab. Demikian pula sebaliknya. Namun demikian selalu mungkin terjadi deviasi. Pada masyarakat yang warganya, pemimpin-pemimpin dan pejabat-pejabat negaranya memiliki ‘wajah-ganda’, maka kemungkinan bakal lahir generasi bingung, generasi blingsatan, generasi radikal dan amuk-amukan. ‘Wajah-ganda’ yang dimaksud adalah wajah manusia yang pada satu sisi menunjukkan sifat welas-asih dengan lontaran kata-kata indah, arif, bijaksana, serba baik sehingga malaikatpun cemburu mendengarkannya; namun pada sisi lainnya wajahnya lebih seram dari wajah durjana Rahwana Dasamuka dengan perilaku kejam, penindas, korup, sehingga setanpun angkat tangan mengaku terkalahkan. Kebingungan, radikalisme dan amuk-amukan terjadi akibat adanya jurang pemisah yang curam antara nilai-nilai ideal yang dilontarkan dan perilaku kedurjanaan yang diperagakan oleh warga, tokoh-tokoh pemimpin dan para pejabat. Apakah generasi muda akan mewarisi nilai-nilai ideal yang dilontarkan dalam diskursus para tokoh, ataukan meniru serta mewarisi perilaku kedurjanaan; yang keduanya tampil bersamaan terpampang dalam realitas kehidupannya? Bila nilai-nilai ideal lebih dominan mempengaruhinya, maka perlawanan radikal terhadap perilaku durjana pun bakal terjadi. Akan tetapi bila yang lebih dominan mempengaruhinya adalah perilaku kedurjanaan, maka mereka pun akan tampil menjadi durjana dan membela perilaku kedurjanaan dengan gaya dan tindakan durjana dan brutal.

Dalam realitas masyarakat kedua kecenderungan tersebut selalu hadir bersamaan. Dalam setiap generasi, di dalamnya selalu terdapat individu-individu yang memiliki dan memperjuangkan nilai-nilai ideal dan individu yang mempersetankan nilai-nilai ideal akan tetapi memelihara gaya hidup hedonistik dan konsumtif. Realitas itu, di satu sisi memicu dinamika kehidupan sosio-kultural yang sampai batas tertentu mungkin masih bersifat positif, tetapi di sisi lain memungkinkan terjadinya konflik intragenerasi yang dapat merusak atau menghancurkan tatanan sosiokultural masyarakatnya.

(3)

Dalam realitas kehidupan keindonesiaan kita, selalu terdapat niat baik melakukan pembinaan generasi muda, mempersiapkan tumbuhnya generasi baru. Lembaga-lembaga pemerintahan dan partai-partai politik dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah misalnya memiliki program-program yang bertujuan ‘melahirkan dan membina generasi muda’. Setiap partai politik memiliki Angkatan Mudanya masing-masing, kader partai yang dipersiapkan menjadi pewaris partai. Di satu sisi hal itu bernilai positif, tetapi di lain sisi terutama bila partai-partai hanya menanamkan dan menjejalkan doktrin fanatisme partai, dapat berakibat menyempitkan wawasan generasi muda, melahirkan generasi ‘berkacamata kuda bendi’.

Realitas lain yang tampil dalam kehidupan keindonesiaan, adalah wacana (yang tampaknya berkecenderungan politis) untuk melakukan ‘pemotongan generasi’. Wacana itu muncul sebagai respons atas berbagai perilaku durjana yang didakwakan kepada generasi tua. Wacana itu muncul sebagai ekspresi rasa ketidakpuasan, kekecewaan, kemarahan dan ketidakpercayaan generasi muda terhadap berbagai tindakan dan perilaku yang tak sesuai dengan nilai-nilai peradaban dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Akan tetapi, wacana itu sesungguhnya tidak lahir dari pandangan dan pemikiran komprehensif. Dalam realitas kehidupan, tak ada satu pun generasi yang keseluruhan ‘warga’nya adalah manusia-malaikat, dan tak satu pun generasi yang keseluruhan ‘warga’nya adalah manusia-setan. Hal ini sesuai hakikat keberadaan manusia, yang di dalam dirinya terdapat unsur ‘ruh’ dan unsur ‘debu’, yang memiliki ruh ilahyat dan nafsu syaitaniah. Seperti dikemukakan di atas, dalam realitasnya di dalam setiap generasi selalu hadir individu ‘kehitam-hitaman’ dan individu ‘keputih-putihan’. Dengan sudut pandang seperti ini, maka sesungguhnya wacana ‘pemotongan generasi’, (apalagi bila yang dimaksudkannya sebagai dakwaan politis kepada generasi tua sebagai generasi penyengsara rakyat) adalah suatu wacana yang logikanya tidak logis. Saling tuding antargenerasi bukanlah tindakan bijak.

(4)

Seperti dikemukakan di atas, generasi-generasi tumbuh dan berkembang sebagai hasil dan bagian dari proses-proses sosiokultural masyarakatnya. Oleh karena itu, dalam usaha mempersiapkan generasi baru yang dapat berperan lebih baik dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, iklim dan suasana sosiokultural yang sehat merupakan suatu conditio sine qua non., suatu syarat mutlak.

Saya yakin, sekalipun syair lagu Yabélalé tercipta pada abad ke-16 atau ke-17 di negeri Bugis-Makassar, namun isi dan makna yang terkandung di dalamnya adalah mutiara universal, yang dapat menjadi rujukan bagi pembinaan generasi muda baik oleh lembaga pemerintahan, lembaga kemasyarakatan, maupun oleh partai-partai politik. Nilai ‘macca na malampék nawa-nawa’, ‘makkéati macinnong na masagéna attarong’ dan ‘mapanré na matinuluk’ agaknya tidak berbeda dengan apa yang disebut 3-H oleh UNESCO, yaitu pengisian Head, Heart dan Hand. Dengan pengisian Head dan Heart dengan masukan berkualitas, maka generasi yang bakal lahir adalah generasi yang mampu membebaskan diri dari kepicikan kepentingan kelompok. Bila menjadi politisi, maka generasi itu akan menjadi politisi yang negarawan dan beradab, seperti yang pernah ditunjukkan oleh tokoh-tokoh K. H. Agussalim, Sutan Syahrir atau Muhammad Hatta; bukan sekedar politisi Machiavellist durjana yang ‘berkacamata kuda bendi’, yang hanya memperjuangkan kepentingan perut diri dan kelompok kecilnya.

Friday, October 9, 2009

PEMILIHAN REKTOR UNHAS DAN ‘DEWA ZEUS’

Anwar Ibrahim

Pemilihan calon rektor Universitas Hasanuddin sedang dalam proses. Senat Universitas telah melimpahkan sebagian wewenang konstitusionalnya kepada dosen-dosen untuk melakukan pemilihan bakal calon rektor pada tahapan pertama. Seperti tercantum dalam PP No. 60 tahun 1999, Rektor diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Pendidikan, dengan pertimbangan senat universitas. Pertimbangan senat dapat dilakukan secara kualitatif dan atau secara kuantitatif.

Pertimbangan kuantitatif dilakukan setelah melalui proses pemilihan, baik yang dilakukan senat universitas, maupun lewat pemilihan langsung oleh dosen-dosen. Hasil-hasil pemilihan tersebut merupakan bentuk pertimbangan kuantitatif. Dengan maksud agar pertimbangan senat dan rektor terpilih memperoleh legitimasi lebih kuat, senat universitas melimpahkan sebagian wewenangnya kepada dosen dalam pemilihan langsung bakal calon rektor. Pemilihan itu berhasil mendapatkan 5 calon rektor dari 11 orang bakal calon.

Dosen-dosen telah menjatuhkan pilihan. Tentu saja mereka adalah pemilih cerdas dan menetapkan pilihan secara cerdas pula. Tidak dapat diingkari, dalam setiap melakukan dan menetapkan pilihan, manusia selalu menghadapi masalah etis. Memilih yang baik dari yang buruk, yang benar dari yang salah, tentu tidak menimbulkan masalah etis. Tetapi memilih yang terbaik di antara yang terbaik, sungguh-sungguh merupakan masalah etis yang berat. Dalam hal ini, dosen-dosen UNHAS telah dibimbing oleh rasio dan hati nuraninya menghadapi masalah etis tersebut, menetapkan pilihannya.

Kesadaran dosen UNHAS memilih yang mereka anggap terbaik di antara yang terbaik, terlepas dari ikatan-ikatan primordial, tidak tampak adanya politik uang, tidak tampak adanya intrik, tekanan, paksaan atau teror, agaknya memang merupakan perilaku yang patut menjadi cerminan masyarakat.

Proses pemilihan calon rektor masih menyisakan dua tahapan dalam prosesnya, yaitu pemilihan oleh Senat Universitas yang akan diselenggarakan tanggal 17 Oktober, dan penetapan Rektor oleh Menteri Pendidikan Nasional. Pada kedua proses itu, tentu sangatlah diharapkan, Universitas Hasanuddin dapat mempertahankan citranya sebagai lembaga yang menjadi cermin jernih dari masyarakat, citra yang telah diraih lewat pemilihan yang bersih dan jujur pada tahap pertama. Hal itu menjadi tugas para anggota senat dan para guru besar, apakah ingin menjadi cermin jernih masyarakat ataukah menjadi cermin buram yang retak dan dikotori oleh kepentingan dan politik uang.
 

****
Dalam konteks pemilihan calon rektor UNHAS, tiba-tiba terbayang kembali cerita mengenai Dewa Prometheus, dewa ilmu dan kebijaksanaan dalam mitologi Yunani. Cerita itu ditulis kl. 250 SM dalam bentuk drama oleh Aeschilus. Diceritakan, dewa Prometheus memberikan api kepada manusia, sekalipun dewa-dewa lain termasuk dewa Zeus menentangnya. Api Promotheus itu adalah simbol ilmu, kebijaksanaan, dan kebebasan. Raja para dewa, yaitu Zeus mengatakan, sekali api diberikan kepada manusia, dewa-dewa pun tidak akan mampu menariknya kembali. Dengan demikian, para dewa tidak lagi menjadi pemilik dan penguasa satu-satunya dari ilmu, kebijaksanaan, dan kebebasan. Manusia juga telah memilikinya, dan hal itu bisa mengganggu otoritas dewa-dewa.

Cerita Prometheus itu dapat dianalogikan dengan pemilihan calon rektor Unhas. Senat dan Guru-guru Besar Universitas, yang merupakan analogi dewa-dewa di Olympus telah ‘menyerahkan’ api, mendelegasikan sebagian wewenang ‘kedewaannya’ kepada ‘manusia’ yaitu dosen-dosen UNHAS, untuk menetapkan pilihannya secara bebas dalam pemilihan calon rektor. Kemudian para ‘dewa’ di Universitas telah melihat hasilnya.

Dalam cerita Prometheus, hanya dewa Prometheus yang berinisiatif memberikan api ilmu, kebijaksanaan dan kebebasan, sebagai bentuk tindakan menyantuni manusia, karena itu hanya Prometheus yang dijatuhi hukuman dibelenggu di karang dingin Siberia oleh dewa Zeus. Keputusan ‘memberikan api’ kepada dosen-dosen, bukanlah keputusan seorang Prometheus, melainkan keputusan suara terbanyak dari ‘dewa-dewa’ di senat Universitas, termasuk oleh rektor selaku Ketua Senat Universitas. Dengan demikian tidak perlu ada seorang Prometheus yang dihukum, dibelenggu di puncak karang dingin di Siberia. ‘Api’ yang berupa pemilihan oleh dosen-dosen itu adalah ‘anak kandung’ senat Universitas, sehingga hasil itupun merupakan produk ‘dewa-dewa’ itu. Dengan demikian tidaklah ada alasan bagi mereka untuk mengingkari produknya sendiri.

Sekalipun dewa-dewa di Olympus menghukum Prometheus tetapi hati kecil mereka menghargai ‘kepeloporan’ Prometheus yang rela mengorbankan sebagian otoritas kedewaannya demi kepentingan umat manusia. Demikianlah, ketika Prometheus telah dibebaskan oleh Hercules, manusia setengah dewa, cucu dewa Zeus, maka dewa Zeus, Raja para Dewa di Olympus, dengan bijak berkata: ‘Api kebijaksanaan dan kebebasan telah dimiliki manusia. Api itu telah memberikan manfaat besar bagi kehidupannya. Manusia bukanlah lawan dewa-dewa. Tak ada arti kedewaan tanpa kehadiran manusia. Prometheus bukan hanya perlu dibebaskan, tetapi iapun patut dihargai karena telah menyantuni manusia. Penyantunan manusia oleh dewa Prometheus berarti meningkatkan harkat dan kemuliaan dewa-dewa’.

Kiranya Rektor dan para guru besar di senat Universitas yang merupakan penghuni sao asulesanang, istana kebijaksanaan, akan lebih memancarkan sinar kebijaksanaannya, seperti kebijaksanaan Raja Dewa Zeus, dan dengan tulus berkata: “Suara dosen adalah suara senat universitas”. Dengan demikian, UNHAS akan tetap menjadi cermin yang jernih, tempat bercermin masyarakat. Pada senat universitaslah tergantung kebijaksanaan, apakah akan menjadikan UNHAS sebagai cermin jernih masyarakat atau cermin buram yang retak oleh berbagai kepentingan.
 

Ditulis di Tamalanrea, Oktober 2005
 
Alwy Rachman.