SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Monday, May 19, 2014

Memahami Ishak Ngeljaratan


M. Nawir*


Mendengarkan Ishak Ngeljaratan bicara dan berdiskusi, saya seringkali merasa tersesat dalam belantara wacana  yang begitu abstrak dan meluas. Barulah pendengar bisa mengerti maksud pembicaraannya dari ilustrasi maupun analogi. Pembaca haruslah membaca utuh gagasannya, dan mengambil makna secara ganzheit. Metode Ganzheit bersumber dari teori psikologi Gestalt. Sebuah teks atau pun wacana bersifat satu kesatuan konsep dan pemikiran penulis atau pun penuturnya yang tidak bisa dipecah-pecah dahulu dalam pemaknaannya. Setelah itu, barulah pembaca atau pendengar bisa menemukan sesuatu yang bermakna baru. Bisa jadi makna baru itu suatu rasa cinta pada kemanusiaan, sesuatu yang mencerahkan, yang tidak selalu harus diungkapkan. Bagi saya, memahami jalan hidup dan pemikiran pak Ishak seperti membaca dan melantunkan puisi Sapardi Djoko Damono (Aku Ingin, 1989) tanpa harus mendiskusikannya.

aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya debu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Tidak  berarti keyakinan dan pandangan hidup Ishak Ngeljaratan dalam berbagai karyanya tidak bisa dianalisis secara teoritik. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan di Nusantara, telah dikembangkan model Sosiologi Profetik sebagai counter-hegemony positivisme ilmu pengetahuan Barat. Ilmu Sosial Profetik relevan dan kontekstual dengan perkembangan pemikiran Filsafat, Sastra dan Agama. Salah seorang narasumber teori sosial profetik adalah profesor Kuntowijoyo (almarhum). Dirumuskan bahwa bahwa Sosiologi Profetik menggabungkan kemampuan kritis ilmu sosial dan nilai-nilai agama dalam satu bingkai paradigma ilmu sosial yang utuh dan integral. Jalan tengahnya adalah metode objektivikasi, yakni penafsiran nilai-nilai subjektif agama dalam kategori-kategori objektif agar dapat dipahami semua orang tanpa perlu bergantung lagi pada nilai-nilai asal agamanya.

Dalam obyektifikasi, nilai-nilai obyektif dari semua agama, ideologi, kepercayaan atau aliran filsafat dapat saling berkomunikasi, lepas dari egosentrisme ideologisnya (lih. Husnul Muttaqien dalam http://sosiologiprofetik.wordpress.com/2008/01/18/menuju-sosiologi-profetik/, 18 Januari 2008).
Tiga kata kunci yang menyatu dalam pemikiran Ishak Ngeljaratan, yakni memanusiakan manusia (Humanitoirisasi/humanisasi), pembebasan manusia dari belenggu positivisme iptek (Liberasi), dan pencerahan manusia dari nafsu duniawi (Transendensi). Ketiga konsep tersebut tidak akan dibahas satu persatu dalam tulisan ini. Saya hanya ingin mengemukakan tiga hal berkaitan dengan persepsi saya mengenai pemikiran dan keteladanan seorang mahaguru sekaligus sahabat, Ishak Ngeljaratan.

Cendekiawan dan Seniman
“Filsafat adalah filsafat, yang non-filsafat bukanlah filsafat”. Begitu bunyi kalimat pembuka dalam satu tulisan Ishak Ngeljaratan tahun 1990. Secara pribadi, saya termasuk murid dan juga sahabat yang lebih banyak mengenal pak Ishak dari tulisan, dan ceramah beliau di kampus dan dalam berbagai forum diskusi kesenian, sosial dan demokrasi. Dalam hati, saya masih beruntung masih sempat berjumpa dengannya di kampus, gedung kesenian, forum LSM, Ormas, Gereja, Wartawan, juga bersama Politisi dan Birokrat. Suatu momen yang tidak banyak dihadiri para akademisi maupun seorang profesor.

Pada masa pra-reformasi, saya mengenal pak Ishak sebagai dosen dan pegiat organisasi kesenian. Pasca reformasi hingga kini, beliau ada dimana-mana. Beberapa peristiwa penting dimana pak Ishak ikut andil antara lain; pernyataan pers menolak pembredeilan Tempo, Detik dan Editor tahun 1994; doa bersama bagi kesehatan Gusdur tahun 1998; pernyataan keprihatinan bersama sehubungan dengan maraknya peristiwa pengrusakan tempat ibadah (1999), dan beliau termasuk penggagas pentingnya organisasi antikorupsi (ACC) di Makassar tahun 2000. Hingga kini pun, pak Ishak paling bersemangat menjadi narasumber bagi aktivis pro toleransi antarumat beragama.

Meskipun ada dimana-mana, pak Ishak tetaplah seorang pemikir sastra dan filsafat yang konsisten. Baginya, sastra dan filsafat, atau secara kongkrit eksistensi seniman dan cendekiawan bukanlah makhluk yang bebas nilai. Sastra dan filsafat “menentukan sekaligus ditentukan” ataupun “otonom sekaligus otonominya ditentukan oleh keberadaan realitas lainnya”.  Kemandirian seorang cendekiawan bukanlah otonomi tirani yang tak tahu diri dan terisolasi dari kebersamaannya dengan masyarakat dan lingkungan, begitu tulis pak Ishak pada tahun 1991 (lih. Api Curian Promotheus, 122:2009).

Etika dan Estetika
Filosofi dasar pemikiran Ishak Ngeljaratan adalah Etika dan Estetika. Kedua cabang filsafat ini menyatu dalam berbagai tulisan maupun tuturannya. Pak Ishak sangat peduli pada etika Bugis Makassar yang dapat diteladani dari cara hidup sehari-hari maupun dikaitkan dengan gagasan dan kritiknya terhadap perilaku pemimpin. Pak Ishak sehari-hari adalah warga negara Republik Indonesia yang mengajar kemana-mana dengan menggunakan kendaraan umum. Kadangkala harus dijemput-antar oleh orang lain. Berpakaian biasa saja, seperti kebanyakan warga kota yang bersahaja. Yang menyapa lawan bicaranya dengan pertanyaan pertemanan. Saya sering berkesimpulan sendiri, pak Ishak itu tidak bisa bawa mobil sendiri, sehingga tidak berminat beli mobil pribadi. Tetapi, semangat beliau pergi-pulang memenuhi tugas mengajar atau pun menghadiri acara selalu dipenuhinya. Suatu gaya hidup yang kontradiktif dengan kebanyakan guru besar di kampus-kampus ternama.

Ishak Ngeljaratan adalah budayawan yang melakoni etika sehari-hari harus sejalan dengan ucapan dan pikiran. Dalam berbagai forum, pak Ishak yang asli Maluku Tenggara itu seringkali menekankan nilai-nilai Siri na Pesse, Lempu na Getteng sebagai nilai-nilai dasar kemanusiaan orang Bugis-Makassar. Pak Ishak paham betul filosofi manusia yang dimaksud orang Bugis-Makassar, yakni seseorang dikatakan manusia apabila dalam dirinya melekat Siri na Pesse. Dan, nilai-nilai etika ini nyaris punah dalam kepemimpinan orang Bugis-Makassar dewasa ini. Sudah tidak terhitung berapa banyak forum diskusi dimana pak Ishak mengurai etika tersebut. Bahkan, dihadapan para pejabat pemerintah maupun politisi pun, beliau mengemukakan nilai-nilai tersebut sebagai kritik. Rasanya lelah juga mendengarkan nilai-nilai Siri na Pesse itu terus diulang pak Ishak, sementara perilaku pejabat dan politisi di Susel jauh dari etika kepemimpinan Bugis-Makassar.

Dalam hal estetika, cita rasa seni Ishak Ngeljaratan teramat tinggi (ideal) bila ditakar dari kebanyakan penikmat seni populer. Seni tidak semata-mata meniru atau pun merefleksikan realitas alam – ars imitatur naturam (mimesis plato). Lebih dari itu adalah seni menjangkau sesuatu yang khas, yang membedakannya dari karya-karya manusia pada umumnya. Sebuah puisi dikatakan indah bukan hanya mencerminkan kejelasan, keteraturan dan berharmoni dengan alam. “Sebuah puisi yang sungguh-sungguh puisi mencerminkan sesuatu yang lebih yang mudah dikatakan keindahan”. Bagi pak Ishak dalam konsep keindahan terkandung unsur yang rasional dan supranatural. Sesuatu dikatakan indah apabila melahirkan daya pesona, daya gugah, daya gugat, daya pencetus serta membangkitkan haru dengan seribu satu macam cita rasa rohani di balik kemasan pesan yang ditata secara teratur, jelas dan harmonis (FSUH, 2 Agustus, 1990).

Ishak Ngeljaratan pengagum Aristoteles, yang memandang seniman lebih tinggi derajatnya daripada seorang tukang kayu. Sebaliknya, kebanyakan tukang kayu dan kelas buruh sangat menikmati seni pop, terutama musik dangdut. Saya bertanya, apakah pak Ishak suka lagu dangdut, atau setidaknya kepala dan pinggulnya pernah bergoyang-goyang ketika mendegar Rhoma Irama berdendang atau Inu Daratista berdangdut. Atau pun sekurang-kurangnya menonton pentas dangdut KDI di televisi sekali seminggu. Ini sekadar pertanyaan. Yang saya tahu, pak Ishak jarang diundang sebagai pembicara di forum-forum seni populer. Dalam tulisannya tentang budaya massa, kentara sekali pak Ishak menilai seni pop itu berselera rendah. Baginya, budaya massa tidak terukur dan tidak jelas subjek-objeknya.
  
Kebebasan dan Demokrasi
Ishak Ngeljaratan pendukung berat kebebasan dan demokrasi. Nyaris tidak ada aktivis yang akan membantah pernyataan tersebut. Seperti apa kebebasan dan demokrasi yang dia maksud? Seringkali pak Ishak membandingkan kemerdekaan manusia dengan binatang. Seseorang dikatakan merdeka bila dia berusaha mengungkapkan kebebasannya. Dalam kebebasannya itu, manusia secara sadar membuat pilihan-plihan, sekaligus menerima segala konsekuensi maupun resikonya. Seorang hamba atau pun narapidana juga memiliki kebebasan, tetapi tidak memiliki kemerdekaan. Dia tidak merdeka karena ruang gerak dan kesempatannya terbatas, sehingga tidak bebas mengungkapkan kebebasannya. Binatang di hutan tampak hidup bebas-merdeka, tetapi selalu disebut binatang liar. Dan, karena keliarannya itu, maka binatang tidak memiliki pilihan dan tujuan yang jelas (cita-cita).  Jadi, kebebasan harulah didasari oleh kesadaran agar usaha manusia mencapai cita-citanya tidak melakukan dehumansasi dan penindasan atas manusia lainnya.

Asas demokrasi adalah kebebasan. Secara konstitusional, kebebasan dalam konteks politik demokrasi adalah kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat. Pada masa Orba, kebebasan warga negara, termasuk kaum intelektual, budayawan, seniman dibelenggu oleh sistem demokrasi yang otoritarian. Dikatakan otoritarian karena kekuasaan memusat pada satu kekuasaan presidensil, yakni Soeharto. Partai politik dipres menjadi tiga saja dan dikontrol oleh pemerintah, sehingga fungsi parlemen menjadi mandul. Demikian halnya lembaga pers. Pembatasan hingga pemberangusan terjadi bila bertentangan dengan kebijakan politik pemerintah. Kebanyakan Ormas juga LSM dikebiri dan hanya menjadi pelaksana program pemerintah Orba. Kampus dan mahasiswa dinormalisasi dengan sistem SKS. Mimbar-mimbar bebas diawasi, dan perlawanan mahasiswa direpresi oleh pemerintahan Soeharto. Diandaikan kebebasan warga negara pada masa Orba adalah kebebasan seorang hamba atau pun narapidana. Sayangnya, kebebasan dalam iklim reformasi dewasa ini sering diandaikan seperti binatang yang bebas tetapi tidak memiliki arah dan tujuan yang jelas.
Mahasiswa dan intelektual kampus sangat berperan menyuarakan, bahkan menggerakkan masyarakat untuk menuntut kebebasan dan demokrasi. Pak Ishak berada di antara beberapa intelektual kampus yang menyokong gerakan mahasiswa menuntut reformasi. Dan, ironisnya, tidak banyak profesor yang berperan besar dalam menggerakkan kampus sebagai agen perubahan sosial (agents of social change).

Dalam konteks kebangsaan, Ishak Ngelajaratan adalah tokoh reformis, yang senantiasa menganjurkan perlunya melakukan perubahan sistem politik secara etis. Ini kesimpulan sepihak saya dalam suatu diskusi di Kampus Unhas (2010). Selain itu, pak Ishak termasuk salah seorang deklarator Ormas Nasional Demokrat (Nasdem) yang mempromosikan restorasi perubahan. Dengan kecintaannya yang begitu besar pada nilai-nilai kemanusiaan dan pembelaannya yang sungguh-sungguh pada pluralisme, rasanya pemikiran Pak Ishak tidak sejalan dengan tuntutan kaum revolusioner ala Leninisme maupun Marxisme. Tetapi, dalam banyak forum diskusi kritis, Pak Ishak sepakat untuk melakukan pemotongan generasi sebagai jalan pintas melakukan perubahan sistem demokrasi yang liberal sekaligus kapitalistik seperti saat ini. Ini artinya, pak Ishak tidak percaya atau pun tidak punya harapan pada generasi pemimpin reformis saat ini untuk melakukan perubahan mendasar. Jika memang demikian, maka kepemimpinan politik di masa datang harus direbut oleh pemimpin muda yang progresif dan konstitusional, yang mencintai kemanusiaan seutuhnya. Mengutip ungkapan populer dari Che Guevara bahwa sesungguhnya seorang revolusioner sejati  didasari oleh sikap dasar dan rasa cinta yang mendalam pada kemanusiaan.

Semoga dengan semakin memahami Ishak Ngeljaratan, saya semakin mencintai kemanusiaan.

Makassar, 1 Mei 2014

*M. Nawir, social-urbanist Institut Rumah Kampung Kota (rumahkampungkota.blogspot.com). Masih bekerja untuk UPC dan Komite Perjuangan Rakyat Miskin

Referensi:
1.       Ishak Ngeljaratan, 1990. Tinjauan Filsafat Sastra. Catatan Pengantar AntarMahasiswa Fak. Sastra Unhas pada LKMM dan Lokakarya OPSPEK, 2 Agustus 1990.
2.       Ishak Ngeljaratan. Bahasa dan Sastra Indonesia Penentu Utama Corak Kebersatuan. Pokok-pokok Pikiran AntarPeserta Forum Studi Sastra dan Bahasa Fakultas Sastra Unhas, 14 Desember 1992.
3.       Ishak Ngeljaratan, 1993. Refleksi Perkembangan Bangsa Lewat Sastra. Makalah dalam Acara Seminar Bulan Bahasa dan Ulang Tahun XXXIV Fakultas Sastra Unhas, 8-10 Nopember 1993.
4.       Husnul Muttaqien (http://sosiologiprofetik.wordpress.com/2008/01/18/menuju-sosiologi-profetik/, 18 Januari 2008).
5.       Ishak Ngeljaratan. Api Curian Promotheus dan Esai-esai Lainnya. Aslan Abidin, ed. Nada Cipta Litera Bekerjasama Penerbitan Kampus Identitas Unhas, 2009.

 


Monday, May 12, 2014

ENGKAU YANG DI SEKOLAH, BERHENTILAH MENGIRISKU*

Alwy Rachman | alwy.rachman@yahoo.com
                                | alwyrachman@gmail.com

     
You took away my innocence
My hopes, my dreams, my youth
You took from me my very soul
What could have been, I never knew
Your words would cut me deep inside
Deep to the very ..........
                                     Lynette Gutwein

“Engkau telah merampas harapan-harapanku, mimpi-mimpiku, masa mudaku. Engkau telah menghempaskan jiwaku. Aku tak pernah tahu apa yang akan terjadi. Kata-katamu mengirisku dengan dalam,” kurang lebih begitu bunyi inti pesan puisi bertajuk Returning Faith. Puisi bersuara liris ini ditulis oleh Lynette Gutwein, di salah satu situs dunia maya yang bertema pelecehan seksual bagi anak-anak. Suara  liris anak-anak bernasib serupa, dengan berbagai ragam ekspresi rasa sakit, bisa kita temukan di dunia yang kita bilangkan “maya”.

Wadah untuk bersuara liris memang maya, tapi peristiwanya sama sekali bukan maya. Peristiwanya ada dan hadir dalam kehidupan, dalam realitas yang menyakitkan bagi masyarakat terutama bagi keluarga korban. Peristiwa kekerasan fisik, termasuk kekerasan seksual, tak lagi bermunculan di ruang-ruang tersembunyi, remang, gelap dan sepi. Malah, peristiwa semacam itu hadir di ruang yang paling kita idolakan, ruang yang diasuh dan dipimpin oleh orang-orang yang terdidik, yaitu: sekolah.

“Kini sekolah-sekolah tak bebas dari predator”, begitu komentar seseorang yang mengambil prakarsa untuk menyusun petisi menyusul pemberitaan secara meluas tentang kekerasan di sekolah-sekolah di negeri sendiri. Penamaan pelaku kekerasan seksual sebagai “predator” lalu dipakai oleh para pengumpul tanda tangan melalui surat elektronik. Petisi demi petisi untuk memperberat hukuman bagi para pelaku kekerasan --- terutama kekerasan seksual --- kini bermunculan menyusul pemberitaan yang gencar atas peristiwa kekerasan seksual yang dialami anak-anak lelaki oleh petugas pembersih di sekolah internasional dan atas tewasnya seorang mahasiswa di sekolah tinggi ilmu pelayaran akibat kekerasan oleh senior.

***
Ada ihwal yang benderang di dua peristiwa ini, yaitu pelaku dan korbannya adalah lelaki. Lelaki di sekolah tinggi yang merasa diri sebagai senior “mengeroyok” sang yunior hingga tewas. Lelaki di sekolah rendah “mengeroyok secara seksual” anak-anak. Di dua tempat itu, lelaki pelaku merasa kuat dan kuasa. Di dua tempat itu, laku lelaki brutal berada di luar kendali institusi yang diidolakan: sekolah.

Adalah benar adanya pendakuan Irigaray, seorang sarjana feminis, bahwa kekerasan selalu menjadikan tubuh manusia sebagai arena. Arena kekerasan yang paling memuaskan manusia adalah tubuh manusia. Oleh pelaku kekerasan, tubuh manusia dijadikan sasaran kekerasan karena dianggap wadah yang paling cair (fluid) untuk “kepuasan”.  Tak peduli apakah itu kekerasan fisik, seksual maupun kekerasan psikis.  Kekerasan verbal dan kekerasan simbolik juga menjadikan tubuh sebagai sasaran utama.

Meskipun analisis Irigaray semula dipromosikan untuk menjelaskan latar kekerasan di antara interaksi sosial perempuan dengan lelaki, cara pandangnya tetap penting. Tubuh sebagai arena kekerasan tetap saja relevan, meskipun sebagian besar masyarakat nyaris “tak percaya” bahwa lelaki dewasa sering menjadikan anak-anak lelaki sebagai sasaran kekerasan seksual.

Di berbagai kelompok masyarakat, pengagungan dan penghormatan terhadap anak-anak kian menipis. Lihatlah di jalan-jalan raya di negeri ini. Anak-anak malah dijadikan sebagai “pencari nafkah”, untuk tidak mengatakan dieksploitasi. Tugas orangtua untuk menghidupi anak-anak, dalam banyak kejadian, tergantikan oleh anak-anak yang menghidupi orangtua. Di kota-kota besar di negeri ini, di sana-sini, tak terlalu sulit menemukan anak-anak --- lelaki dan perempuan --- yang tereksploitasi. Resiko yang ditanggung oleh anak-anak semakin lebar. Kebiasaan melihat anak-anak di dunia yang keras seperti ini membuat kepekaan terhadap keselamatan anak-anak menjadi tumpul.  

***
Semestinya pengagungan dan penghormatan terhadap anak-anak tetap saja tumbuh di semua keluarga. Seharusnya ideologi sekolah tak hilang terhadap pembelaan bagi anak-anak. Sepatutnya institusi yang diidolakan oleh masyarakat tak berdamai dengan kekerasan. Kekerasan di sekolah, terutama kekerasan seksual, akan mengiris masyarakat dengan dalam.

Sejatinya kita mendengarkan dan merefleksikan kembali spiritualitas inti puisi Kahlil Gibran “Sang Nabi”, yang percaya bahwa anak-anak adalah wujud “sungai kehidupan”. Sungai yang berhulu pada cinta, lalu mengalir ke perkawinan, dan akhirnya bermuara pada anak-anak. Tak mungkin kita menolak di muara jika kita sendiri sudah memulainya di hulu. Kalau engkau yang ada di sekolah menolak, engkau akan mengirisku lebih dalam dan lebih dalam lagi.


 *Tulisan ini dimuat di Harian Tempo Makassar, Selasa 29 April 2014, di Kolom Literasi, di halaman A-15




 
Alwy Rachman.