SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Wednesday, December 3, 2014

PENDIDIKAN KARAKTER


Kaila ilona Meira

Pengarusutamaan (mainstreaming) pendidikan karakter kini dimulai. Dentang dan resonansi tentang perlunya pendidikan karakter di berbagai sekolah dan universitas di Indonesia berbunyi dan bergetar keras, membuat segenap pemilik kepentingan (stakeowner) dan pemangku kepentingan pendidikan (stakeholder) seharusnya bertanya secara reflektif, “apakah gunanya sekolah” dan “apa pula manfaatnya universitas” kalau segenap pengajar dan pembelajarnya mengalami peracunan dan pembusukan. 

Peracunan dan pembusukan di sekolah-sekolah dan di kampus-kampus akan membuat institusi pendidikan sebagai tapal batas peradaban akan kehilangan jatidiri lalu runtuh di hadapan sang waktu dan akan kehilangan muka lalu malu di hadapan sang peradaban. Demi masa, begitu peringatan dari bahasa langit dan demi peradaban, begitu peringatan dari bahasa bumi.

“Karakter” adalah “kata yang licin” (slippery word). Sedemikian licinnya, kata ini sering dibawa ke mana-mana. Ia sering dihubungkan dengan moral, disetarakan dengan nilai-nilai, dipersamakan dengan kebajikan, atau diasosiasikan secara heroik ke sang hero, atau dilabelkan secara negatif kepada sang pecundang. Kata ini memang licin sebagaimana licin dan terjalnya peradaban. Tergelincir dalam memahami maknanya setara dengan tergelincir dalam mengartikan peradaban. Alur dan alir pikirnya sederhana, yaitu; karakter adalah tulang sum-sum peradaban.

Pendidikan karakter memerlukan pembangun peradaban, bukan penidur peradaban. Bangun ataupun tidur sama-sama menentukan muncul-tenggelamnya peradaban. Pun pendidikan karakter memerlukan pribadi-pribadi tulus dalam melihat bahaya di masa depan bagi generasi muda. Itu pula sebabnya, Thomas Lickona dengan teguh berpendirian bahwa tujuan pendidikan karakter cuma dua. 

Pertama, menyediakan pengetahuan, keterampilan, kepemimpinan dan karakter untuk menghadapi bahaya masa depan yang tak pernah dilihat dan dialami oleh generasi pendahulunya. Kedua, menjadikan generasi muda sebagai generasi cerdas (smart) dan berprilaku baik. 

Pendidikan karakter bukan pendidikan untuk sang hero ataupun sang pecundang dan bukan untuk pihak pemenang ataupun pihak pengalah. Pun bukan untuk tokoh protagonis atau tokoh antagonis. Adalah pendidikan karakter yang dibangun di atas pilar-pilar etik yang dapat diterima secara bersama dan difungsikan untuk kehidupan bersama. Keselamatan bersama, terutama di masa sana, di masa depan adalah segalanya. Jika tidak ada etik dan jika tiada karakter, hukum besi sejarah dan tirani waktu akan menghempaskan segalanya.

Pendidikan karakter memerlukan antidote learning, interaksi pembelajaran secara bersama yang bersedia dan berkomitmen memangkas akar dari gejala peracunan dan pembusukan yang menyerang simpul-simpul tatanan peradaban pendidikan, di sekolah-sekolah dan di universitas-universitas. Hanya dengan demikian, peradaban pendidikan tinggi tidak mengikuti dalil “lahir lalu mati” atau “tumbuh lalu membusuk”.  

Afirmasi tentang perlunya pendidikan karakter bukanlah hal baru. Paling tidak, begitu ungkapan Lickona. Ia setua dengan sejarah pendidikan. Ia diabdikan bagi generasi muda yang mempersonifikasi media sebagai guru. Ia diperuntukkan bagi pembelajar yang kehilangan “home”. Pun ia dirancang, dijalankan dan dirawat agar generasi muda dapat menangani gegar dan guncangan nun jauh di sana, di masa depan. 

Maka, “no education without character” sepatutnya didengungkan agar mata-pikir dan mata-hati dapat berfungsi bagi upaya membangun peradaban pendidikan tinggi. Maka, afirmasi pemerkaya dari Jose Ortega Gasset, penulis buku The Mission of The University, perlu dihayati. Bunyinya, “tanpa nilai, universitas hanya menamatkan orang biadab baru yang terpelajar” (new educated barbarian). Atau, afirmasi dan pesan moral dari Mahatma Gandhi untuk generasi muda India, yang ditulisnya dalam “Young India”. Nadanya, “knowledge without character”, pengetahuan tanpa karakter, adalah satu diantara tujuh dosa sosial.   




Monday, June 23, 2014

Politik Tua dan Kisah Sang Kodok*



Alwy Rachman

Tidak ada masalah yang dapat
”menyelesaikan”  dirinya sendiri tanpa informasi,
tanpa bahasa, tanpa pengetahuan, dan tanpa kebudayaan.
                                                   Alvin Toffler, Powershift, 1990

Ingat!, dunia berubah. Begitu pesan Alvin Toffler, penulis yang diberi julukan “pemikir masa depan”. Tak ada gunanya menangisi tatanan lama, karena perubahan adalah hukum besi sejarah. Berubah adalah inti kebudayaan, demikian pendakuan banyak budayawan, untuk ikut memperkuat pendakuan Toffler.
Menjadi tua bukan pilihan. Cepat atau lambat, suka atau tidak, segalanya menjadi tua. Bagaikan tirani roda pedati, waktu berputar terus dan bergerak menjadikan segalanya jadi tua. Zoon politicon menjadi tua, dan laku berpolitik pun bisa menjadi tua. Jurgen Habermas, filsuf dari tradisi berpikir kritis, memisalkan laku  politik tua dengan penyebutan ”gramatika politik tua”.
Politik tua gampang dikenali, begitu pendakuan Habermas. Gramatika politik tua lebih suka menjawab masalah-masalah keamanan sosial, ekonomi,  militer, dan masalah domestik. Sebaliknya, gramatika politik baru berfokus pada  isu kesetaraan, partisipasi, kualitas hidup, dan hak azasi. Gramatika politik tua didukung oleh pengusaha, pekerja, dan kalangan profesional kelas menengah,  sementara gramatika politik baru didukung oleh kelas menengah baru, kaum muda, dan kelompok lain yang berlatar pendidikan tinggi.
Gramatika politik tua tak asing di negeri sendiri. Pergantian dari satu laku politik  ke laku politik lain, dari satu rezim ke rezim lain, tak kunjung menghadirkan gramatika politik baru, kecuali peristiwa dramatik yang dilengkapi bahasa politik baru. Lalu, kata “lama” dan “baru” terapung dan tenggelam di setiap perubahan: rezim Soekarno dibilangkan “orde Lama”  oleh rezim Soeharto, lalu  rezim Soeharto dianggap sebagai “rezim tua” oleh rezim reformasi. Di hari-hari ini, rezim reformasi ini mulai berparas  tua: compang-camping dan menghembuskan aroma dekil, jauh dari pesonanya 16 tahun silam.
***
Gramatika politik tua ibarat kisah sang kodok di titik didih, “the parable of the boiled frog”.  Kisah ini menandai sindrom kodok yang direbus hidup-hidup. Premisnya, kalau sang kodok ditempatkan dalam air mendidih, ia bereaksi untuk melompat keluar. Tapi, jika ditempatkan di air dingin yang dipanaskan secara perlahan, sang kodok tak akan menyadari bahaya, tetap nyaman berdiam diri lalu akhirnya terjebak di titik didih sampai mati.
Kisah  ini dibilangkan sebagai metafor untuk menyindir ketakmampuan atau keengganan “orang-orang besar” untuk bereaksi terhadap perubahan yang berlangsung pelan dan bertahap. Sang kodok juga difungsikan sebagai anekdot untuk mengingatkan rezim status quo yang tak menyadari dampak dramatik di ujung perubahan yang berlangsung pelan. Dikira airnya masih dingin, padahal mulai hangat. Dikira hangat-hangat biasa, padahal sebentar lagi akan mendidih.
Jatuhnya rezim tua karena ia tak menyadari dan tak bereaksi terhadap rakyatnya yang lagi hangat. Reaksinya datang setelah rakyatnya mendidih. Kalau titik didihnya sampai di titik tak kenal balik, “No point of return”, rezim akan jatuh dan mati.
***
Bayang-bayang politik tua, di sana-sini, masih menandai gramatika politik akhir-akhir ini. Akibatnya, rakyat kebanyakan hanya mendapat informasi hitam, sebagai bagian kampanye hitam. Ujungnya, rakyat di lapis bawah terkurung di kubangan “informasi hitam”. Sisi gemerlap politikus akhirnya tak terlihat secara kritis oleh masyarakat. Penumpang gelap demokrasi atau kuda troya demokrasi tetap saja tak tampak di tengah gulita. Masyarakat akhirnya tak mampu mengenali para pengendara demokrasi.
Yang menjadi korban adalah rakyat lapis bawah, karena arena informasi hitam dan kampanye hitam didorong ke wadah dan modus sosial kelas bawah, seperti; gossip, desas-desus, bisik-bisik,  dan lain-lain. Kalangan kelas menengah terdidik agak tertolong karena kelas ini berkemampuan mengakses teknologi media. Kelas menengah dan kelas atas berkemampuan mengakses tiga media komunikasi: verbal, visual, dan virtual dari berbagai sumber dan dari berbagai institusi.
Pada ujungnya, kedaulatan informasi menjadi soal penting. Kedaulatan informasi akan memampukan masyarakat untuk mandiri dalam menentukan pilihan politiknya, bukan menyerahkan diri sebagai pemilik suara yang tak berdaya, lalu menyerah pada ajakan gramatika politik tua. Sejatinya,  struktur dan sistem politik mempromosikan gramatika politik baru sebagaimana yang dibilangkan Habermas, disertai  high-tech democracy sebagaimana yang disebut Toffler. 

Pada akhirnya, mari kita merefleksi laku gramatika politik akhir-akhir ini di bangsa sendiri, untuk menjawab adakah peluang mempromosikan gramatika politik baru. Jika tidak, gramatika politik kita tetap saja renta, lalu menderita sindrom sebagaimana sang kodok. Gramatika politik baru memang tak terhindarkan, kecuali kita menyerah pada nasib sebagaimana di kisah sang kodok. Hidup sang kodok berakhir di air yang mendidih, gramatika regim tua mati di rakyat yang mendidih. 

*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar

               
















Wednesday, June 4, 2014

TOKOH HERO DAN TOKOH BIJAK*

Alwy Rachman |alwy.rachman@yahoo.com
                                |alwyrachman@gmail.com

Citra hero muncul dan hadir di paras berbagai kisah. Di kisah peperangan, kisah penindasan, kisah kemiskinan dan di kisah politik. Munculnya sang hero sering diromantisasi sedemikian rupa, hingga batas kualitas antara hero dan bijak menjadi samar. Malah, sang hero, di sana-sini, kadangkala sekaligus ditempatkan sebagai tokoh bijak. Kehadiran sang hero lalu menjadi mimpi bersama, terutama di saat masyarakat sedang menderita. Sang hero lalu dipersonifikasi sebagai “Sosok Mesias” yang datang untuk mengatasi situasi buruk.

Laku sang hero dibilang sebagai laku penolong. Di filem layar lebar dan di layar televisi serta di dunia literasi, laku penolong menandai pesona sang hero. Hero dicerna sebagai karakter yang menyelamatkan banyak orang dari bahaya, membantu orang-orang lemah tak berdaya dari berbagai wajah penindasan. Lalu, laku hero segera menjadi wadah memindahkan kecemasan dan menjelma sebagai media memindahkan rasa sakit. Itu sebabnya, di dunia tontonan, sang hero menciptakan suasana ekstasi bagi para penonton. Di suasana ini, sensasi terhadap sang hero akan membebaskan penonton dari derita, setidaknya untuk sementara.

Di beberapa filem layar lebar, hero dihadirkan lewat karakter jagoan, seperti Ramboo yang dibintangi Sylvester Stallone. Karakter Ramboo di tahun 1980-an menjadi konsumsi publik di Amerika dan di bagian dunia lain. Ramboo menjadi personifikasi untuk memindahkan rasa sakit atas kekalahan Amerika dalam perang Vietnam. Ramboo dirancang sebagai karakter pemenang untuk menggantikan rasa pedih atas tewasnya lebih dari 58.000 tentara Amerika. Ramboo menjadi candu untuk suasana psikologis yang nyaman.

Di kisah klasik, ada karakter Robinhood. Sang jagoan yang dijuluki “Pangeran para Pencuri” juga dipersonifikasi sebagai hero, sedikitnya di kelompok miskin. Tak peduli bahwa laku sang pangeran adalah mencuri harta benda orang-orang kaya. Apapun namanya, laku sang pangeran dianggap bermoral hanya karena hasil rampokan dibagi kelompok tak berpunya. Nyatanya, filem sang pencuri laku keras untuk ditonton.

***

Orang bijak tak hero sebagaimana hero. Orang bijak, begitu pendakuan banyak orang, adalah karakter yang menilai situasi sejak awal, bertindak mencegah sebelum situasi menjadi buruk. Orang bijak tak mengandalkan pertarungan di medan laga. Ada juga yang bilang, karakter bijak adalah “diam”. Tokoh bijak dituntun dari dalam dirinya sendiri sementara hero dipandu oleh dari luar dirinya. Makanya, tokoh hero lebih bising ketimbang tokoh bijak yang lebih senyap. Itu sebabnya, dalam budaya tontonan, dihadirkan di berbagai medan laga, sementara sang bijak “diam” jauh di sana.

Hari-hari ini, Indonesia sedang mencari pemimpin atas nama demokrasi. Namanya demokrasi, kompetisi para politikus tak terhindarkan. Karakter hero dan karakter bijak muncul dan dimunculkan. Orang bijak segera dipersonifikasi ke para alim-ulama di pesantren-pesantren, pemuka-pemuka berbagai agama di pelosok-pelosok, atau ke sesepuh masyarakat di kampung-kampung, yang sejauh ini “diam” secara politik. Sang Hero, pada gilirannya, menempatkan orang bijak menjadi penting untuk dicari demi dukungan politik dan demi legitimasi kekuasaan.

“Tokoh hero mencari tokoh bijak” nyaris tak muncul dalam budaya tontonan. Momen-momen ini hadir di dunia politik faktual, setidaknya di negeri ini. Momen “mencari sang bijak” akhirnya menjadi tontonan, sedikitnya tontonan atas perjumpaan dua kultur: kultur egaliter dan sarungan yang berinteraksi dengan kultur kepejabatan dan kekuasaan di satu pihak, dan kultur senyap yang berjumpa dengan kultur bising di lain pihak. Di akhir perjumpaan, kultur senyap tetap saja senyap sementara kultur bising sebagaimana biasanya tetap bising. Di ujung peristiwa, sang hero yang paling bising memberikan penjelasan.

Tapi, ada peristiwa politik di masa lampau yang menandai kehadiran pemimpin politik yang senyap. Karakter Gandhi dan karakter Mandela adalah contohnya. Keduanya tak mengandalkan sikap heroik di tengah penindasan yang menimpa bangsanya. Keduanya memenangkan pertarungan politik tidak berdasarkan kesediaan berlaga secara kasar dengan lawan politiknya. Keduanya menang besar dalam politik karena menempatkan diri sebagai persona yang bijak. Keduanya menistakan kekerasan sembari meninggikan kemanusiaan. Meletakkan atribut etis bagi kemanusiaan di atas penindasan yang tak etis adalah capaian monumental kedua sosok besar ini.

***

Kalau begitu, hero sejatinya direfleksi sebagai pejalan yang hidupnya dihidupi oleh sang bijak. Tanpa tokoh bijak, tokoh hero akan menjadi antagonis dan antilogika. Perjalanan sang hero semestinya berakhir ketika ia mengubah diri dan menjelmakan dirinya sebagai sosok bijak.

Satu lagi, tokoh bijak tak akan pernah membiarkan dirinya kembali menjadi hero. “No point of return”, “tak ada titik balik”. Menjadi hero terus menerus adalah tak bijak, begitu kira-kira ajakan akademis Joseph Campbell, penulis buku “The hero with a thousand faces”, “ Sang hero dengan seribu wajah”, enam puluh lima tahun lampau.

*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, di Kolom Literasi, tanggal 3 Juni 2014, di halaman A-15

Monday, May 19, 2014

Memahami Ishak Ngeljaratan


M. Nawir*


Mendengarkan Ishak Ngeljaratan bicara dan berdiskusi, saya seringkali merasa tersesat dalam belantara wacana  yang begitu abstrak dan meluas. Barulah pendengar bisa mengerti maksud pembicaraannya dari ilustrasi maupun analogi. Pembaca haruslah membaca utuh gagasannya, dan mengambil makna secara ganzheit. Metode Ganzheit bersumber dari teori psikologi Gestalt. Sebuah teks atau pun wacana bersifat satu kesatuan konsep dan pemikiran penulis atau pun penuturnya yang tidak bisa dipecah-pecah dahulu dalam pemaknaannya. Setelah itu, barulah pembaca atau pendengar bisa menemukan sesuatu yang bermakna baru. Bisa jadi makna baru itu suatu rasa cinta pada kemanusiaan, sesuatu yang mencerahkan, yang tidak selalu harus diungkapkan. Bagi saya, memahami jalan hidup dan pemikiran pak Ishak seperti membaca dan melantunkan puisi Sapardi Djoko Damono (Aku Ingin, 1989) tanpa harus mendiskusikannya.

aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya debu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Tidak  berarti keyakinan dan pandangan hidup Ishak Ngeljaratan dalam berbagai karyanya tidak bisa dianalisis secara teoritik. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan di Nusantara, telah dikembangkan model Sosiologi Profetik sebagai counter-hegemony positivisme ilmu pengetahuan Barat. Ilmu Sosial Profetik relevan dan kontekstual dengan perkembangan pemikiran Filsafat, Sastra dan Agama. Salah seorang narasumber teori sosial profetik adalah profesor Kuntowijoyo (almarhum). Dirumuskan bahwa bahwa Sosiologi Profetik menggabungkan kemampuan kritis ilmu sosial dan nilai-nilai agama dalam satu bingkai paradigma ilmu sosial yang utuh dan integral. Jalan tengahnya adalah metode objektivikasi, yakni penafsiran nilai-nilai subjektif agama dalam kategori-kategori objektif agar dapat dipahami semua orang tanpa perlu bergantung lagi pada nilai-nilai asal agamanya.

Dalam obyektifikasi, nilai-nilai obyektif dari semua agama, ideologi, kepercayaan atau aliran filsafat dapat saling berkomunikasi, lepas dari egosentrisme ideologisnya (lih. Husnul Muttaqien dalam http://sosiologiprofetik.wordpress.com/2008/01/18/menuju-sosiologi-profetik/, 18 Januari 2008).
Tiga kata kunci yang menyatu dalam pemikiran Ishak Ngeljaratan, yakni memanusiakan manusia (Humanitoirisasi/humanisasi), pembebasan manusia dari belenggu positivisme iptek (Liberasi), dan pencerahan manusia dari nafsu duniawi (Transendensi). Ketiga konsep tersebut tidak akan dibahas satu persatu dalam tulisan ini. Saya hanya ingin mengemukakan tiga hal berkaitan dengan persepsi saya mengenai pemikiran dan keteladanan seorang mahaguru sekaligus sahabat, Ishak Ngeljaratan.

Cendekiawan dan Seniman
“Filsafat adalah filsafat, yang non-filsafat bukanlah filsafat”. Begitu bunyi kalimat pembuka dalam satu tulisan Ishak Ngeljaratan tahun 1990. Secara pribadi, saya termasuk murid dan juga sahabat yang lebih banyak mengenal pak Ishak dari tulisan, dan ceramah beliau di kampus dan dalam berbagai forum diskusi kesenian, sosial dan demokrasi. Dalam hati, saya masih beruntung masih sempat berjumpa dengannya di kampus, gedung kesenian, forum LSM, Ormas, Gereja, Wartawan, juga bersama Politisi dan Birokrat. Suatu momen yang tidak banyak dihadiri para akademisi maupun seorang profesor.

Pada masa pra-reformasi, saya mengenal pak Ishak sebagai dosen dan pegiat organisasi kesenian. Pasca reformasi hingga kini, beliau ada dimana-mana. Beberapa peristiwa penting dimana pak Ishak ikut andil antara lain; pernyataan pers menolak pembredeilan Tempo, Detik dan Editor tahun 1994; doa bersama bagi kesehatan Gusdur tahun 1998; pernyataan keprihatinan bersama sehubungan dengan maraknya peristiwa pengrusakan tempat ibadah (1999), dan beliau termasuk penggagas pentingnya organisasi antikorupsi (ACC) di Makassar tahun 2000. Hingga kini pun, pak Ishak paling bersemangat menjadi narasumber bagi aktivis pro toleransi antarumat beragama.

Meskipun ada dimana-mana, pak Ishak tetaplah seorang pemikir sastra dan filsafat yang konsisten. Baginya, sastra dan filsafat, atau secara kongkrit eksistensi seniman dan cendekiawan bukanlah makhluk yang bebas nilai. Sastra dan filsafat “menentukan sekaligus ditentukan” ataupun “otonom sekaligus otonominya ditentukan oleh keberadaan realitas lainnya”.  Kemandirian seorang cendekiawan bukanlah otonomi tirani yang tak tahu diri dan terisolasi dari kebersamaannya dengan masyarakat dan lingkungan, begitu tulis pak Ishak pada tahun 1991 (lih. Api Curian Promotheus, 122:2009).

Etika dan Estetika
Filosofi dasar pemikiran Ishak Ngeljaratan adalah Etika dan Estetika. Kedua cabang filsafat ini menyatu dalam berbagai tulisan maupun tuturannya. Pak Ishak sangat peduli pada etika Bugis Makassar yang dapat diteladani dari cara hidup sehari-hari maupun dikaitkan dengan gagasan dan kritiknya terhadap perilaku pemimpin. Pak Ishak sehari-hari adalah warga negara Republik Indonesia yang mengajar kemana-mana dengan menggunakan kendaraan umum. Kadangkala harus dijemput-antar oleh orang lain. Berpakaian biasa saja, seperti kebanyakan warga kota yang bersahaja. Yang menyapa lawan bicaranya dengan pertanyaan pertemanan. Saya sering berkesimpulan sendiri, pak Ishak itu tidak bisa bawa mobil sendiri, sehingga tidak berminat beli mobil pribadi. Tetapi, semangat beliau pergi-pulang memenuhi tugas mengajar atau pun menghadiri acara selalu dipenuhinya. Suatu gaya hidup yang kontradiktif dengan kebanyakan guru besar di kampus-kampus ternama.

Ishak Ngeljaratan adalah budayawan yang melakoni etika sehari-hari harus sejalan dengan ucapan dan pikiran. Dalam berbagai forum, pak Ishak yang asli Maluku Tenggara itu seringkali menekankan nilai-nilai Siri na Pesse, Lempu na Getteng sebagai nilai-nilai dasar kemanusiaan orang Bugis-Makassar. Pak Ishak paham betul filosofi manusia yang dimaksud orang Bugis-Makassar, yakni seseorang dikatakan manusia apabila dalam dirinya melekat Siri na Pesse. Dan, nilai-nilai etika ini nyaris punah dalam kepemimpinan orang Bugis-Makassar dewasa ini. Sudah tidak terhitung berapa banyak forum diskusi dimana pak Ishak mengurai etika tersebut. Bahkan, dihadapan para pejabat pemerintah maupun politisi pun, beliau mengemukakan nilai-nilai tersebut sebagai kritik. Rasanya lelah juga mendengarkan nilai-nilai Siri na Pesse itu terus diulang pak Ishak, sementara perilaku pejabat dan politisi di Susel jauh dari etika kepemimpinan Bugis-Makassar.

Dalam hal estetika, cita rasa seni Ishak Ngeljaratan teramat tinggi (ideal) bila ditakar dari kebanyakan penikmat seni populer. Seni tidak semata-mata meniru atau pun merefleksikan realitas alam – ars imitatur naturam (mimesis plato). Lebih dari itu adalah seni menjangkau sesuatu yang khas, yang membedakannya dari karya-karya manusia pada umumnya. Sebuah puisi dikatakan indah bukan hanya mencerminkan kejelasan, keteraturan dan berharmoni dengan alam. “Sebuah puisi yang sungguh-sungguh puisi mencerminkan sesuatu yang lebih yang mudah dikatakan keindahan”. Bagi pak Ishak dalam konsep keindahan terkandung unsur yang rasional dan supranatural. Sesuatu dikatakan indah apabila melahirkan daya pesona, daya gugah, daya gugat, daya pencetus serta membangkitkan haru dengan seribu satu macam cita rasa rohani di balik kemasan pesan yang ditata secara teratur, jelas dan harmonis (FSUH, 2 Agustus, 1990).

Ishak Ngeljaratan pengagum Aristoteles, yang memandang seniman lebih tinggi derajatnya daripada seorang tukang kayu. Sebaliknya, kebanyakan tukang kayu dan kelas buruh sangat menikmati seni pop, terutama musik dangdut. Saya bertanya, apakah pak Ishak suka lagu dangdut, atau setidaknya kepala dan pinggulnya pernah bergoyang-goyang ketika mendegar Rhoma Irama berdendang atau Inu Daratista berdangdut. Atau pun sekurang-kurangnya menonton pentas dangdut KDI di televisi sekali seminggu. Ini sekadar pertanyaan. Yang saya tahu, pak Ishak jarang diundang sebagai pembicara di forum-forum seni populer. Dalam tulisannya tentang budaya massa, kentara sekali pak Ishak menilai seni pop itu berselera rendah. Baginya, budaya massa tidak terukur dan tidak jelas subjek-objeknya.
  
Kebebasan dan Demokrasi
Ishak Ngeljaratan pendukung berat kebebasan dan demokrasi. Nyaris tidak ada aktivis yang akan membantah pernyataan tersebut. Seperti apa kebebasan dan demokrasi yang dia maksud? Seringkali pak Ishak membandingkan kemerdekaan manusia dengan binatang. Seseorang dikatakan merdeka bila dia berusaha mengungkapkan kebebasannya. Dalam kebebasannya itu, manusia secara sadar membuat pilihan-plihan, sekaligus menerima segala konsekuensi maupun resikonya. Seorang hamba atau pun narapidana juga memiliki kebebasan, tetapi tidak memiliki kemerdekaan. Dia tidak merdeka karena ruang gerak dan kesempatannya terbatas, sehingga tidak bebas mengungkapkan kebebasannya. Binatang di hutan tampak hidup bebas-merdeka, tetapi selalu disebut binatang liar. Dan, karena keliarannya itu, maka binatang tidak memiliki pilihan dan tujuan yang jelas (cita-cita).  Jadi, kebebasan harulah didasari oleh kesadaran agar usaha manusia mencapai cita-citanya tidak melakukan dehumansasi dan penindasan atas manusia lainnya.

Asas demokrasi adalah kebebasan. Secara konstitusional, kebebasan dalam konteks politik demokrasi adalah kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat. Pada masa Orba, kebebasan warga negara, termasuk kaum intelektual, budayawan, seniman dibelenggu oleh sistem demokrasi yang otoritarian. Dikatakan otoritarian karena kekuasaan memusat pada satu kekuasaan presidensil, yakni Soeharto. Partai politik dipres menjadi tiga saja dan dikontrol oleh pemerintah, sehingga fungsi parlemen menjadi mandul. Demikian halnya lembaga pers. Pembatasan hingga pemberangusan terjadi bila bertentangan dengan kebijakan politik pemerintah. Kebanyakan Ormas juga LSM dikebiri dan hanya menjadi pelaksana program pemerintah Orba. Kampus dan mahasiswa dinormalisasi dengan sistem SKS. Mimbar-mimbar bebas diawasi, dan perlawanan mahasiswa direpresi oleh pemerintahan Soeharto. Diandaikan kebebasan warga negara pada masa Orba adalah kebebasan seorang hamba atau pun narapidana. Sayangnya, kebebasan dalam iklim reformasi dewasa ini sering diandaikan seperti binatang yang bebas tetapi tidak memiliki arah dan tujuan yang jelas.
Mahasiswa dan intelektual kampus sangat berperan menyuarakan, bahkan menggerakkan masyarakat untuk menuntut kebebasan dan demokrasi. Pak Ishak berada di antara beberapa intelektual kampus yang menyokong gerakan mahasiswa menuntut reformasi. Dan, ironisnya, tidak banyak profesor yang berperan besar dalam menggerakkan kampus sebagai agen perubahan sosial (agents of social change).

Dalam konteks kebangsaan, Ishak Ngelajaratan adalah tokoh reformis, yang senantiasa menganjurkan perlunya melakukan perubahan sistem politik secara etis. Ini kesimpulan sepihak saya dalam suatu diskusi di Kampus Unhas (2010). Selain itu, pak Ishak termasuk salah seorang deklarator Ormas Nasional Demokrat (Nasdem) yang mempromosikan restorasi perubahan. Dengan kecintaannya yang begitu besar pada nilai-nilai kemanusiaan dan pembelaannya yang sungguh-sungguh pada pluralisme, rasanya pemikiran Pak Ishak tidak sejalan dengan tuntutan kaum revolusioner ala Leninisme maupun Marxisme. Tetapi, dalam banyak forum diskusi kritis, Pak Ishak sepakat untuk melakukan pemotongan generasi sebagai jalan pintas melakukan perubahan sistem demokrasi yang liberal sekaligus kapitalistik seperti saat ini. Ini artinya, pak Ishak tidak percaya atau pun tidak punya harapan pada generasi pemimpin reformis saat ini untuk melakukan perubahan mendasar. Jika memang demikian, maka kepemimpinan politik di masa datang harus direbut oleh pemimpin muda yang progresif dan konstitusional, yang mencintai kemanusiaan seutuhnya. Mengutip ungkapan populer dari Che Guevara bahwa sesungguhnya seorang revolusioner sejati  didasari oleh sikap dasar dan rasa cinta yang mendalam pada kemanusiaan.

Semoga dengan semakin memahami Ishak Ngeljaratan, saya semakin mencintai kemanusiaan.

Makassar, 1 Mei 2014

*M. Nawir, social-urbanist Institut Rumah Kampung Kota (rumahkampungkota.blogspot.com). Masih bekerja untuk UPC dan Komite Perjuangan Rakyat Miskin

Referensi:
1.       Ishak Ngeljaratan, 1990. Tinjauan Filsafat Sastra. Catatan Pengantar AntarMahasiswa Fak. Sastra Unhas pada LKMM dan Lokakarya OPSPEK, 2 Agustus 1990.
2.       Ishak Ngeljaratan. Bahasa dan Sastra Indonesia Penentu Utama Corak Kebersatuan. Pokok-pokok Pikiran AntarPeserta Forum Studi Sastra dan Bahasa Fakultas Sastra Unhas, 14 Desember 1992.
3.       Ishak Ngeljaratan, 1993. Refleksi Perkembangan Bangsa Lewat Sastra. Makalah dalam Acara Seminar Bulan Bahasa dan Ulang Tahun XXXIV Fakultas Sastra Unhas, 8-10 Nopember 1993.
4.       Husnul Muttaqien (http://sosiologiprofetik.wordpress.com/2008/01/18/menuju-sosiologi-profetik/, 18 Januari 2008).
5.       Ishak Ngeljaratan. Api Curian Promotheus dan Esai-esai Lainnya. Aslan Abidin, ed. Nada Cipta Litera Bekerjasama Penerbitan Kampus Identitas Unhas, 2009.

 


 
Alwy Rachman.