SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Friday, December 4, 2009

NARASI DAN KONSTITUSI YANG HILANG



Pengetahuan mengalir lewat cerita, cerita tentang peristiwa,
tentang kehendak, tentang keberhasilan.
Guru yang baik adalah pencerita yang baik.
Kita sesungguhnya belajar dari cerita.”
Frank Smith


Alwy Rachman
Perspektif Analisis Wacana Kritis

Wacana kini menjadi fokus eksplorasi di kalangan ilmuan. Setidaknya, kini, terdapat dua ranah yang saling bergerak, untuk tidak mengatakan saling berhadapan . Di satu sisi, wacana didekati secara teknokratik yang hanya melihat bahasa dari sisi analisis penggunaan (language use), meskipun dikatakan analisis semacam ini tidak membatasi dirinya semata-mata pada deskripsi linguistis secara otonom. Di sisi lain, teorisi yang menyatakan dirinya sebagai intelektual critical discourse analysis berkecenderungan mengintegrasikan wacana ke dalam ilmu-ilmu sosial.

Dua fokus ini, secara historis, sesungguhnya dapat dirujuk pada perbedaan filosofi yang mendasar antara tradisi Plato dan tradisi Aristotle. Adalah Plato yang menganggap bahwa lambang bahasa, natural dan konvensional, adalah representasi yang tidak sempurna. “Kata” selalu bersifat inferior betapa pun canggihnya dan bagaimana pun cantiknya. Oleh karena itu, dalam pandangan Plato, pengetahuan yang termediasi lewat lambang bahasa (mediated knowledge) selalu berada pada posisi inferior terhadap kebenaran dibanding dengan pengetahuan langsung (immediate knowledge).

Aristotle sendiri memandang lambang bahasa sebagai simbol dari keserupaan (likeness). Keserupaan, dalam pandangan Aristotle, adalah kesan mental yang terhubung dengan aktualitas empirik. Tradisi Plato-Aristotle kemudian dikenal dengan tradisi langit-bumi. Plato meyakini kebenaran ultimate sementara Aristotle percaya pada kebenaran empirik.

Lima Wilayah Eksplorasi

Analisis wacana kritis menandai 5 (lima) wilayah eksplorasi. Pertama, analisis wacana kritis tidak dapat dipersamakan dengan analisis wacana linguistik. Jika analisis wacana linguistik, misalnya, diaplikasikan pada ranah sosiolinguitik atau analisis percakapan, analisis wacana kritis justru diaplikasikan melalui analisis tekstual ke dalam perspektif yang tersedia dan disediakan oleh teori-teori sosial.

Kedua, analisis wacana kritis mengabdikan diri pada masalah-masalah sosial. Oleh karena itu, analisis wacana kritis berfokus pada cara menjelaskan karakteristik linguistik sebagai produk dari proses sosial dan proses budaya dan menguak pola hubungan kekuasaan yang tersembunyi pada proses-proses tadi. Dengan cara seperti ini, analisis wacana kritis dapat menjelaskan tentang cara pola hubungan sosial dan pola kekuasaan dipraktikan dan dinegosiasi melalui wacana.

Ketiga, analisis wacana kritis juga berurusan dengan kerja-kerja ideologis. Kerja-kerja ideologis tentu saja tidak dapat dipahami melalui analisis teks, tetapi juga memerlukan pemahaman tentang tindakan-tindakan diskursif, termasuk cara teks dinterpretasi, dicerap, dimengerti, dan konsekuensinya terhadap kelompok-kelompok masyarakat tertentu.

Keempat, analisis wacana kritis menekankan konteks historis sebuah wacana. Elemen-elemen ekstralinguistik seperti proses dan interaksi sosial dan interaksi budaya dan cara wacana mengikatnya dan mengintegrasikannya menjadi bagian penting dari analisis wacana kritis.

Kelima, analisis wacana kritis bersifat interpretatif dan eksplanatori. Proses interpretasi berikut penjelasannya, tentu saja, memerlukan latar belakang bacaan sosial, budaya dan sejarah. Oleh karenanya, banyak ilmuan mengklaim bahwa kerja-kerja analisis wacana kritis bersifat terbuka dan dinamis, dan memerlukan prinsip-prinsip berpikir hermeneutik.

Narasi dan Konstitusi

Di negara-negara yang lebih maju, debat intelektual kini dibangun, menyangkut isu-isu di sekitar pengembangan kerangka dan perspektif pendidikan serta arah institusi bahasa dan institusi sastra. Debat ini sesungguhnya adalah refleksi dari ambang batas rasionalitas terhadap kerja-kerja teknokratis yang otonom terhadap bahasa dan sastra. Bahasa, misalnya, seringkali didefinisikan sebagai “alat”, sebagai “medium”, sebagai “ekspresi”, yang secara keseluruhan membuatnya diterima sebagai instrumen.

Dalam kapasitasnya sebagai instrumen, elemen-elemen linguistik, dari terkecil hingga terbesar, disusun secara hirarkis dan dijenjang secara taxonomi, dan diteknokrasi ke dalam teori. Di hadapan pendekatan teknokratis, bahasa kemudian kehilangan konteks, kehilangan pengalaman sosial, kehilangan sejarah, dan mungkin kehilangan power. Berpikir konstitutif yang tersembunyi di dalam konteks dan di dalam pengalaman tetapi menjadi manifest di dalam bahasa, kemudian mejadi samar, untuk tidak mengatakannya, hilang.

Nasib sastra setali tiga uang. Sastra tidak lagi menjadi narasi akulturasi bagi kelas menengah dan tidak lagi dipakai untuk melihat dan berempati pada proses marginalisasi manusia. Penguasaan teori sastra kemudian menggantikan peran sastra tinggi (high literature) dan menjadi penanda bagi mereka yang berpendidikan tinggi. Orang boleh saja mengatakan bahwa Shakespeare bukan lagi bankir sastra, tetapi generasi Shakespeare berkontribusi secara konkrit. Narasi sastranya diinstalasi ke dalam jenjang-jenjang pendidikan, dikonstitusi ke dalam interaksi sosial dan interaksi politik. Makanya, bukan suatu kebetulan jika negarawan-negarawan Inggris tidak memerlukan konstitusi tertulis dalam mengatur negaranya. Konstitusi tampaknya telah “tertanam di kepala” para negarawan Inggris. Pasti bukan kebetulan, jika narasi sastra berhubungan erat dengan cara berpikir konstitutif.

Di Sulawesi Selatan, kapasitas serupa bisa ditelusuri jauh ke belakang, di rentang abad 16-17. Interaksi kekuasaan antara raja dengan raja, antara raja dengan rakyat dilangsungkan melalui narasi, dan diekspresikan melalui kompetensi literer. Interaksi sosial dan transaksi ekonomi antarrakyat juga berlangsung secara serupa.

Kini, segalanya telah hilang, setidaknya dalam praktik kekuasaan dan praktik sosial. Satu diantara penyebabnya adalah, karena kita tidak berempati pada sejarah. Satu diantara penyebabnya adalah, karena kita tidak pernah menghormati pengalaman sendiri. Satu diantara penyebabnya adalah, karena kita tergesa-gesa menyeberangi pengalaman orang lain. Satu diantara penyebabnya, karena kita tidak lagi ingin bercerita. Satu per satu hilang. Akhirnya kita kehilangan banyak. Persis ungkapan Frank Smith, kita kehilangan pengetahuan karena kita kehilangan cerita. Kita kehilangan narasi.

Thursday, December 3, 2009

Pemberdayaan Media Tradisional

Alwy Rachman

Studi tentang pemanfaatan media tradisional (folk media) terbilang langka. Langka karena rumitnya memilih perspektif yang dapat dipakai. Lagipula, studi seperti ini kebanyakan dirumuskan ke dalam kerangka sistem dan pengetahuan indigenous (indigenous knowledge systems). Di kalangan antropolog sosial dan antropolog budaya, studi tentang media tradisional dihubungkan dengan berbagai macam disiplin; sistem pengetahuan, pertanian, teknik, perikanan, sains, linguistik dan sastra.

Pada umumnya, para antropolog tidak ingin menghabiskan waktu untuk mendefenisikan apa sesungguhnya yang dimaksud dengan indigenous media. Di sekitar tahun 1980-an, fokus utama dari kalangan ini tertuju pada seberapa besar perhatian yang harus dicurahkan dan apa yang menjadi titik tekan dari sisi kebutuhan perencana pembangunan terhadap akumulasi pengetahuan dan keterampilan tradisional serta teknologi komunitas lokal.

Melalui beberapa studi di era 1980-an, para antropolog tiba pada beberapa kesimpulan. Pertama, media tradisional menyimpan kekayaan (richness) dari sisi modus, berperan sebagai wadah pembawa nilai-nilai (value carrier), dan memiliki keanekaragaman bentuk (variety). Kedua, dengan kualitas seperti ini, media tradisional dipercaya dapat diperlakukan sebagai complementary knowledge terhadap sains konvensional yang pada dirinya sendiri terbukti tidak memadai dalam merespon ataupun menyelesaikan masalah-masalah pembangunan.

Selain kedua kekuatan di atas, di India misalnya, media tradisional dipakai untuk mengatasi konflik komunal dan dipergunakan sebagai sarana mempromosikan perdamaian. Dengan kata lain, media tradisional telah ditempatkan sebagai bagian dari piranti resolusi konflik.

Pemanfaatan media tradisional, setidaknya dengan pengalaman India, terumuskan ke dalam beberapa tujuan. Media tradisional dianggap dapat membantu individu dan kelompok-kelompok sosial lainnya dalam membangun kemawasan (awareness) dan kepekaan terhadap lingkungan sosial secara menyeluruh.

Media tradisional juga bisa menolong individu-individu dan kelompok-kelompok sosial lainnya untuk membangun pemahaman dasar tentang lingkungan sosial secara menyeluruh dan memampukan mereka merumuskan peran dalam menangani masalah-masalah kemanusiaan. Selain keterampilan menangani masalah, media tradisional juga dapat diandalkan untuk memberikan kemampuan bagi masyarakat untuk mengevaluasi masalah-masalah sosial, politik, ekonomi, dan estetika. Pada akhirnya, media tradisional dapat mendorong partisipasi dan tanggungjawab sosial terhadap cara menangani masalah-masalah lingkungan.

Dewasa ini, dalam berbagai wacana, isu dan tema tentang media tradisional dihubungkan dengan proses globalisasi. Debat di kalangan teorisi, misalnya, isu dan tema globalisasi menghadirkan ketidak-sepahaman substansial mencakup cara mengkonseptualisasi globalisasi, cara mengenali dan mengatasi dampaknya terhadap media tradisional, serta implikasinya terhadap kekuatan negara dan pada penyelenggaraan good governance.

Ketidaksepahaman ini dilatari oleh 3 (tiga) pijakan perspektif. Pertama, mereka yang berperspektif globalist menganggap bahwa globalisasi adalah bagian dari pembangunan (termasuk piranti medianya) yang tidak dapat ditolak dan secara signifikan dipengaruhi oleh intervensi manusia.

Kedua, mereka yang tergolong traditionalist memandang bahwa globalisasi adalah tahap baru yang telah membuat manusia terasing dari budayanya sendiri dan kemudian tidak dapat lagi memahami kebenaran entitas yang terpapar secara tidak proporsional. Ketiga, mereka yang tergolong transformationalist mempercayai bahwa globalisasi menghadirkan dorongan dan perubahan, tetapi membawa bermacam dampak sosial budaya.

Di luar dari perspektif di atas, para peneliti pada akhirnya dapat membuktikan bahwa media budaya tidak gampang tergusur. Riset terhadap pengaruh media global terhadap media kebudayaan di kawasan China, Hongkong, Taiwan, Filipina, India dan Jepang baru-baru ini menunjukkan bahwa produk media kebudayaan domestik --- meskipun diintegrasikan ke dalam media modern --- dapat bersaing dengan produk media global.

Produk media budaya lokal menunjukkan 3 (tiga) kekuatan utama; bahasanya familiar, konteksnya kultural, dan bermanfaat bagi upaya merawat proksimitas kultural. Kekuatan inilah yang membuat produk media budaya lokal di kawasan-kawasan di atas dapat menduduki posisi puncak dari 20 program televisi lainnya. Studi media di Taiwan juga menunjukkan bahwa perilaku pemirsa TV berusia muda sangat tergantung pada genre program (program genre) dan proksimitas isi (content proximity), termasuk di dalamnya proksimitas kultural (cultural proximity).

Di mata para peneliti, masalah utama di dalam mengintegrasikan produk media budaya lokal ke media global justru terletak pada adanya kekuatan wacana publik yang menginginkan proteksi secara menyeluruh terhadap produk media budaya lokal. Wacana seperti ini sering muncul di kawasan-kawasan yang kebudayaannya dianggap maladaptive terhadap perubahan, dan kawasan-kawasan yang arus kebudayaannya berlangsung secara asimetris dengan kebutuhan atas perubahan. Di kawasan-kawasan seperti ini, industri media budaya lokal sering dibiarkan merana; kekurangan modal, kekurangan talenta, dan ketinggalan teknologi.

                                                                             ***
Di negara-negara yang relatif maju, isu pemberdayaan media tradisional dihubungkan dengan berbagai aspek; akses, perencanaan dan kebijakan kebudayaan, pendidikan seni tradisional, lembaga bisnis non-profit, dan cara menyediakan pelanjut generasi seniman. Dari sisi akses, kekuatan teknologi media modern seperti media internet, media cetak dan media radio membuat media tradisional kehilangan ruang. Apalagi, prinsip-prinsip non-profit sulit ditemukan di media seperti ini. Dengan situasi seperti ini, peran museum dan organisasi kesenian menjadi penting.

Jika aspek-aspek di atas dikontekstualisasi menurut kebutuhan Sulawesi Selatan, beberapa hal memang harus dipertimbangkan. Dari sisi perencanaan dan kebijakan, upaya merawat seni tradisional memerlukan kebijakan dan perencanaan kebudayaan. Kebijakan dan perencanaan kebudayaan itu ditujukan untuk mendorong partisipasi publik dan kelompok-kelompok swasta lainnya. Industri-industri hiburan yang bekerja dengan asas non-profit juga bisa memainkan peran penting di sini. Partisipasi ini mungkin dapat diatur melalui proses-proses legislasi dan regulasi. Misalnya, pemberian insentif pajak bagi industri-industri hiburan yang dapat memberi akses bagi seni tradisional.

Dari sisi pendidikan seni tradisional, pemerintah berkepentingan untuk merintis ataupun mendayagunakan institusi-institusi yang telah tersedia. Pemerintah misalnya dapat merintis institusi yang berfungsi sebagai council dalam menangani pemberdayaan seni tradisional. Selain sebagai akses, pemerintah juga dapat memainkan fungsi diplomasi budaya melalui institusi seperti ini.

Sekolah-sekolah --- dari dasar, menengah, hingga universitas --- juga dapat dilihat sebagai institusi yang dapat dipakai untuk melanggengkan pendidikan seni tradisional. Tujuan akhir dari semua ini adalah agar institusi sekolah dapat menjadikan dirinya sebagai determinan utama dalam membangun kemampuan estetik dan humanistik sejak usia dini.

Mengajak industri rekaman yang dapat bekerja secara non-profit (khusus dalam menangani kebutuhan seni tradisional) menjadi penting. Dengan kecanggihan teknologi dan manajemen distribusi yang dimiliki oleh industri rekaman, produk-produk seni tradisional seperti musik, tari, teater, seni rupa, dapat diakses ke publik dengan cara yang lebih cepat.

Aspek yang paling rumit adalah aspek yang menyangkut cara menyediakan generasi pelanjut seniman. Kerumitan ini terletak pada empat kenyataan utama. Pertama, secara vertikal, seni tradisional lokal akan berjumpa dengan seni tradisional dari kebudayaan lain.

Perjumpaan ini akan mendorong perubahan sekaligus menciptakan kompetisi. Dengan kata lain, seni tradisional akan semakin cepat berubah dan akan semakin kompetitif. Kedua, secara horizontal, seni tradisional akan berjumpa dengan media komunikasi modern yang lebih canggih, lebih masif, lebih padat modal, dan lebih manajerial. Konsekuensi dari situasi ini adalah, perlunya leadership yang kuat dan efektif yang dapat menggerakkan organisasi kesenian tradisional di tengah perubahan situasional.

Pada akhirnya, pemberdayaan seni tradisional memerlukan pemahaman atas realitas kebudayaan. Sulawesi Selatan, pada kenyataannya berada di Kawasan Timur Indonesia, kawasan yang terstruktur dari mozaik-mozaik kebudayaan yang kecil-kecil. Ibarat kristal, mozaik ini gampang retak, gampang pecah, terhambur dan kemudian dengan gampang pula terjerumus ke dalam konflik dilihat dari sisi sosial-politik. Konflik di berbagai kawasan Timur merupakan bukti yang paling nyata.

Tesis yang perlu dibangun adalah strategi media budaya lokal apa yang dapat dibangun secara adil dan dipakai secara demokratis untuk memperkukuh proksimitas kultural. Jika ini tercapai, seni tradisional pasti dapat berperan untuk kepentingan luas, misalnya untuk kepentingan penanganan kemiskinan, kebutahurufan dan demokratisasi, bukan sekedar seni tradisional yang diam-diam berada pada kondisi maladaptive terhadap kebutuhan-kebutuhan baru bagi perubahan sosial. Pemberdayaan seni budaya tradisional seharusnya bisa menghindari berbagai macam paradoks; sebagai produk atau sebagai proses, sebagai specific culture atau sebagai subculture.



Catatan:
Judul tulisan ini telah disesuaikan, pernah disajikan sebagai pengantar diskusi panel pada acara “Sarasehan Kelompok Media Tradisional Tingkat Provinsi Sulawesi Selatan 2006”, diselenggarakan oleh Badan Informasi, Komunikasi dan Pengolahan Data Elektronik Provinsi Sulawesi Selatan, di Grand Palace Hotel, Makassar, 29 November 2006.

Saturday, November 28, 2009

TUMANURUNG, KONTRAK POLITIK 13 PASAL

Anwar Ibrahim

Tentang Mitos ‘Tomanurung’ di Sulawesi Selatan
Mitos tomanurung (Bugis) tumanurung (Makassar) di Sulawesi Selatan telah banyak disinggung dalam hasil penelitian pakar-pakar kesusastraan, antropologi, sejarah, hukum dan pakar lain yang melakukan penelitian dan pengkajian kebudayaan orang-orang Bugis Makassar. Walaupun penelitian mereka tidak terfokus pada mitos tomanurung, namun hasil penelitian mereka sangat berharga dan penting diperhatikan.

Mattulada (1995) mengemukakan, legitimasi politik yang diperoleh raja-raja Bugis-Makassar berdasar pada mitos Tomanurung. Mitos tersebut yang menceritakan asal muasal raja-raja dan awal sistem politik kerajaan di Sulawesi Selatan, sesungguhnya merupakan salah satu bentuk strategi untuk memperoleh legitimasi kekuasaan dan kewenangan. Mattulada memandang, kedatangan Tomanurung memang amat dihajatkan untuk mengakhiri keadaan kacau balau yang telah berlangsung dalam waktu yang sudah cukup lama, mengakhiri situasi yang disebut dengan ungkapan simbolik sianré balé tauwé. Kedatangan Tomanurung diperlukan untuk menuntun bagaimana kebebasan, kemerdekaan pribadi dan kelompok-kelompok kaum itu dapat berguna bagi kesejahteraan bersama. Mattulada berpendapat:
“kisah Tomanurung itu merupakan awal terbentuknya kerajaan-kerajaan lokal di Sulawesi Selatan, dengan pimpinan kekuasaan yang diciptakan dengan cara luar biasa dan amat cerdik menghadirkan Arung (Raja), dan lapisan kaum bangsawan (Anakarung) sebagai lapisan sosial yang baru, berasal dari luar satuan kelompok anang yang ada.” (Mattulada, 1998a)
Mitos Tomanurung memberikan legitimasi bukan hanya pada kekuasaan dan kewenangan Tomanurung dan keturunannya untuk menjadi ‘yang dipertuan’, melainkan juga memberi legitimasi pada sistem pelapisan atau stratifikasi sosial dalam masyarakat.

Abu Hamid (2002) memandang, ide atas kedatangan Tomanurung dipahami warga sebagai pembawa pembaharuan, pembawa tata tertib, melindungi rakyat dari musuh luar dan konflik antara mereka, dan pembawa kesejahteraan. Perjanjian antara Gallarang (Makassar), Matowa (Bugis) dengan Tomanurung yang disebut contract social, dilihat menurut ukuran zamannya, sudah mengandung ciri-ciri modern. Legitimasi dan ketaatan rakyat kepada Tomanurung dan raja-raja berikutnya berdasar pada isi dan ide-ide yang terkandung di dalam perjanjian tersebut. Mitos Tomanurung dan kontrak sosial yang menyertainya merupakan stategi untuk menyatukan kaum-kaum yang selalu bertikai dan untuk menciptakan tertib sosial, serta legitimasi kepemimpinan, kekuasaan dan kewenangan Tomanurung.

Pakar ilmu Hukum Andi Zainal Abidin Faried (1999a; 1999b) memandang mitos Tomanurung sebagai mitos politik, yang memberikan legitimasi politik kepada Tomanurung dan anak cucu pewarisnya untuk memegang kekuasaan dan pemerintahan. Menurut Zainal Abidin, unsur mitologi politik terdapat pula pada pendahuluan lontarak-lontarak Bugis yang mengisahkan tentang Tomanurung, dengan adanya ungkapan: ‘Konon kabarnya, orang bilang bahwa ia Tomanurung (orang yang turun dari langit), tidak diketahui namanya, tidak diketahui pula siapa ayah dan ibunya, serta tidak diketahui asal-usulnya’ (Zainal Abidin, 1999a).

Sebagai imbangan terhadap mitos politik Tomanurung yang memberikan legitimasi kepada Tomanurung dan raja-raja pewarisnya untuk memerintah, dihadirkan pula ‘mitos politik’ rakyat yang menyatakan bahwa Tomanurung mempunyai sirik yang paling lengkap.

“Di Sulawesi Selatan raja pertama yang diberi julukan Tomanurung, dan dipercayai mempunyai darah ‘putih’ (murni) dan oleh karena itu dianggap sebagai manusia paling sempurna siriknya. Counter political myth itu memberikan hak kepada rakyat untuk meragukan asal usul raja yang konon turun dari langit, …dan oleh karena itu ia dipandang tidak berhak untuk memerintah. ….. Banyak raja di Sulawesi Selatan yang dipecat. Faktor itulah yang mengekang raja untuk bertindak sewenang-wenang oleh karena takut dicap sebagai orang yang kurang siriknya.” (Zainal Abidin, 1999a)

Pernyataan tersebut dihubungkan dengan adanya perjanjian atau ikrar antara Tomanurung dengan wakil-wakil rakyat yaitu para Matowa Uluanang. Ideal sirik tersebut tercermin di dalam perjanjian yang menetapkan sifat, watak dan perilaku yang harus dilakonkan dan yang harus
dipantangkan oleh Tomanurung dan raja-raja pewarisnya.

Mitos Tomanurung dan perjanjian antara para Matowa Uluanang dengan Tomanurung, dilihat Laica Marzuki sebagai awal pembabakan sejarah kerajaan Bugis-Makassar periode lontarak, sekaligus menandai pula mula pencatatan sejarah kerajaan Bugis-Makassar dalam pelbagai lontarak attoriolong. Seperti dikatakan Mattulada mengenai dihajatkannya kehadiran Tomanurung, Marzuki mengemukakan, keadaan sebagian besar masyarakat ketika itu berada dalam situasi makkalawangeng yang diibaratkan sebagai kehidupan ikan-ikan yang saling memakan atau dengan ungkapan simbolik sianré balé tauwé. Situasi itu membuka jalan penerimaan dan pemberian legitimasi pada seseorang yang ditokohkan secara kharismatik dan diberi peranan mempersatukan kaum yang bertikai. Untuk mencegah absolutisme diperlukan pembatasan kekuasaan yang dituangkan dalam bentuk perjanjian yang disebut Marzuki governmental contract atau perjanjian pemerintahan:
“Dalam perjanjian pemerintahan terdapat pembatasan (limitasi) ketaatan para galarang, matowa beserta rakyat kepada Tomanurung, yakni ketaatan hanya berlaku sepanjang Tomanurung menjaga dan memuliakan harkat sirik para abdi (kawula). Tomanurung beserta raja-raja berikutnya wajib senantiasa menjaga, memelihara dan memuliakan harkat sirik para gallarang, matowa serta rakyat yang mempertuan dirinya, terlebih-lebih adalah tabu bagi Tomanurung serta raja-raja berikutnya menistakan harkat sirik para abdi (kawula)”. (Marzuki, 1995)
Hedy Ahimsa Putra (1988) yang menekankan penelitiannya pada hubungan patron-klien di Sulawesi Selatan menyebutkan “tokoh mitos Tomanurung, tokoh yang dianggap telah turun dari langit ke bumi dengan tujuan menegakkan ketenteraman serta mengatur daerah tempat Tomanurung tersebut datang”. Mitos itu merupakan salah satu bentuk strategi legitimasi yang menyebabkan raja-raja kecil dan rakyat tunduk kepada Tomanurung dan turunan-turunannya secara sukarela, setelah melalui proses perjanjian yang mengikat kedua belah pihak, Tomanurung dan para matowa atau gallarang. Pandangan Hedy Ahimsa dikembangkan dan diperluas dalam disertasinya (1993), dengan pernyataan:

“Jelaslah, ideologi patron-client tampak ditanamkan dalam cerita-cerita mitos mengenai asal-usul kerajaan, dan hubungan politik dengan bagian-bagiannya yang dinyatakan dengan istilah minawang (Mks.: mengikut)."
Cerita mitos ini juga berisi catatan-catatan mengenai regalia, yang bagi keduanya, raja dan rakyat, dijadikan dasar legitimasi atas kekuasaan dan kewenangannya. Mitos juga menunjukkan hubungan reciprocal antara raja dan kepala kaum, perwakilan-perwakilan rakyat, di atas dasar mana patronase dibangun.

Dalam mitos senantiasa disebutkan bahwa pemunculan tokoh Tomanurung selalu membawa serta benda-benda tertentu yang kemudian dijadikan arajang (Bugis) atau kalompoang (Makassar), yaitu benda-benda simbol yang menunjukkan legitimasi kekuasaan dan kewenangan. Dalam hubungan tersebut, pakar ilmu sejarah, Edward L. Poelinggomang (2004) mengemukakan, pengesahan atau legitimasi kekuasaan dan kewenangan berhubungan dengan kalompoang dan gaukang.

Kalompoang adalah benda-benda tanda kebesaran dari satu kesatuan pemerintahan atau kerajaan. Keseluruhan benda-benda itu pada dasarnya terdiri dari sebuah benda yang disebut gaukang dan benda-benda lainnya yang disebut kalompoang. Benda-benda kalompoang itu diberikan kepada gaukang sebagai tanda kebesarannya, baik berupa senjata, perhiasan maupun peralatan rumah tangga. Gaukang dan kalompoang dipandang sebagai benda suci, sakti dan memiliki kekuatan luar biasa, karena merupakan peninggalan tokoh-tokoh luar biasa (Tumanurung, dan tokoh legendaris lain) yang diberikan kepada gaukang. Benda-benda tersebut merupakan benda-benda simbolik yang menunjukkan legitimasi dan validasi kekuasaan serta kewenangan pemegangnya.

Benda-benda simbolik kalompoang dan pemegangnya merupakan kesatuan yang menunjukkan kepemimpinan, untuk memikat ketaatan dan pengakuan yang dipimpin. Poelinggomang menunjukkan sejumlah contoh sejarah, memperlihatkan hubungan antara pengakuan dan ketaatan pada pemegang kalompoang sebagai pemimpin. Dalam kehidupan pemerintahan benda itu digunakan sebagai alat pengesahan kedudukan penguasa, disimpan, dijaga, dirawat, dan dipegang oleh penguasa. Pada pihak lain contoh-contoh keberadaan kalompoang dalam pemerintahan yang diutarakan jelas menunjukkan kesetiaan dan ketaatan rakyat pada pemimpin atau penguasa bergantung pada adanya kalompoang padanya. Poelinggomang sampai pada suatu kesimpulan:

“Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemimpin atau penguasa itu sesungguhnya di mata rakyat merupakan wakil atau perantara atau juru bicara dari kalompoang yang ada padanya. Penguasa, pemimpin dalam menjalankan pemerintahan meminjam kekuasaan dari benda-benda itu. Itulah sebabnya setiap orang yang dipandang dapat melaksanakan pemerintahan dan erkuasa adalah mereka yang menyimpan, menjaga, mengurus dan memegang kalompoang karena kepada mereka akan diberikan perwalian kekuasaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam masyarakat ini kalompoang yang dipandang sebagai pemilik utama kekuasaan. Dalam masyarakat itu tanpa kalompoang tidak ada kekuasaan”. (Poelinggomang, 2004)

Mukhlis Paéni (1986) membahas lebih jauh mengenai simbol legitimasi, yaitu benda-benda suci yang disebut gaukang. Riwayat penemuan benda-benda itu diceritakan sebagai suatu kejadian yang ajaib. Benda-benda itu yang mereka percaya sebagai benda titisan dewa oleh masyarakat dipuja, disembah, dan dipandang memiliki kekuatan luar biasa yang menguasai dunia ini, sehingga gaukang merupakan pelindung kehidupan masyarakat. Pemegang gaukang sebagai penguasa dengan wewenang kekuatan ilahi (kultus dewa raja) telah menempatkan dirinya sebagai pusat pengendalian masyarakat, sekaligus sebagai iman yang mengkultuskan kekuatan ilahi. ….. Dapat dikatakan benda itu memiliki superioritas mutlak: yaitu pada dewa-dewa atau kekuatan yang menguasai alam semesta ini, kepada penguasa atau raja, dan pada tata tertib politik yang menguasai hubungan-hubungan sosial. (Mukhlis, 1986:7-9).

Perjanjian Politik
Legitimasi kekuasaan dan kewenangan politik yang diberikan kepada tumanurung, berdasar pada perjanjian yang berlangsung antara tumanurung dengan sembilan gallarang atau pemimpin kaum di Gowa, yang kemudian disebut Baték Salapang atau Kasuwiyang Salapang. Perjanjian itulah yang disebut Abu Hamid sebagai kontrak sosial dan Zainal Abidin Faried dan oleh Laica Marzuki disebut governmental contract. Dalam esei ini perjanjian tersebut dipandang sebagai kontrak politik karena isi yang terkandung dalam perjanjian tersebut lebih mengarah pada pengaturan hak-hak, kekuasaan, kewenangan, dan tanggung jawab politik kedua belah pihak.

Kontrak politik tersebut dimulai dengan kesepakatan para gallarang menjadikan tumanurung sebagai raja (karaéng) di Gowa, yang diterima tumanurung. Setelah itu tumanurung yang diwakili Karaéng Bayo berkata:

Anné nualléku Karaéng,
Akkanamak numammiyo,
Anginnga nu léko kayu ”.

Dengan kau mengangkatku menjadi raja,
Maka aku bertitah dan kamu mengiyakan
Aku adalah angin, kau daun kayu.

Pernyataan Karaéng Bayo tersebut cenderung menekankan pada status kedua pihak; Raja yang bertitah dan abdi yang mengiyakan. Raja bagaikan angin yang dapat menerbangkan daun kayu ke manapun. Bilamana kerajan Gowa didirikan berdasarkan pandangan Karaéng Bayo yang demikian itu, maka raja memiliki kemungkinan berlaku sewenang-wenang dan menjadi raja dengan kekuasaan absolut. Maka pendapat Karaéng Bayo ditanggapi Kasuwiyang Salapanga dengan mengemukakan 13 pasal penegasan, yang memberikan pembatasan hak, kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab masing-masing:

Pasal 1.
” Anné niallénu kikaraéngang,
Karaéng mako ikau,
atamakkang ikambé”.

Dengan dijadikannya kamu menjadi raja kami,
maka Rajalah kamu, dan
kami adalah abdimu.

Pasal 2
” Tangkairammako Ikau,
Laumakkang Ikambé ”.

Tangkai tempat bergantunglah kamu
Labu yang tergantunglah kami

Pasal 3
” Punna sappé tangkairanga
réppék tommi laua,
Napunna sappé tangkairanga,
nataréppéka laua,
ikambé maté”.

Bila patah tangkai tempat bergantung,
pecah jugalah labu.
Bila patah tangkai tempat bergantung,
dan tidak pecah labunya,
kami semua akan mati

Pasal 4
” Ikambé tanakaddok bassinu,
ikau tanakaddo bassimang ”.

Kami tidak ditikam besimu
Kamu tidak ditikam besi kami

Pasal 5
” Ikambé réwatapa ambunokang,
ikau réwatapa ambunoko”.
Kami, dewatalah yang membunuh kami
Kamu, dewatalah yang membunuhmu

Pasal 6
”Makkanamako kimammio;
naiya punna massongkang,
tammalémbarakang;
punna mallémbarakang,
tammassongkang”.

Bertitahlah, kami mengiyakan.
Bila kami menjunjung,
Kami tidak memikul,
Bila kami memikul,
Kami tidak menjunjung

Pasal 7
”Angimmako kilékokkayu;
naiasani madidiyaji nuiri”.

Anginlah kamu, kami daun kayu
Tetapi hanya yang kuning yang kau jatuhkan

Pasal 8
”Jéknékmako ki batang mammanyuk;
naiasani sompobbonampa nuanyuk”.

Airlah kamu, kami batang kayu yang hanyut
Tetapi hanya air pasang besar yang menghanyutkan

Pasal 9
”Namanna anammang,
manna bainémmang,
katanangaiyai buttaya,
takingaitongi”.

Walau anak kami,
Walau istri kami,
Bila tidak disukai oleh kerajaan,
Tak juga kami sukai

Pasal 10
”Anné niallénu kikaraéngang,
batang kalémmanji akkaraéngangko,
téyai pannganuammang”.

Dijadikanmu kami rajakan
Hanya batang tubuh kami merajakanmu,
Bukan harta benda milik kami

Pasal 11
”Tanualléi jangang rilérammang,
tanukoccinai bayao ribakampommang (Bakampommang);
tanualléi kaluku sibatummang,
rappo sipaémmang”.

Tidaklah kamu mengambil ayam kami di tenggerannya,
Tidaklah kamu mengambil telor ayam kami dari keranjangnya,
Tidak kamu mengambil kelapa sebiji kami,
Buah setangkai kami

Pasal 12
”Punna niya nukaéroki pannganuammang
nuballi sitaba nuballia;
nusambéi sitaba nusambéa,
nupalaki sitaba nupalaka
nakisaréangko;
tanutappakia pannganuammang”.

Bila ada yang kamu kehendaki harta benda milik kami,
Kamu beli yang layak kamu beli
Kamu ganti yang layak kamu ganti,
Kamu minta yang layak kamu minta,
Kami akan memberikanmu,
Kamu tidak boleh langsung mengambil milik kami.

Pasal 13
”Karaéng tammanappuk bicara ilalang
punna taénai gallaranga;
gallarannga tammannapuk bicara bunduk,
punna taénai karaénga”.

Raja tidak memutuskan perkara dalam negeri
Bila gallarang tidak hadir,
Gallarang tidak memutuskan perkara perang
Bila raja tidak hadir.

Tanggapan Baték Salapang tersebut dimulai dengan menegaskan kembali pengakuan dan legitimasi kekuasaan dan kewenangan tumanurung sebagai raja dan menempatkan diri mereka sebagai abdi. Dalam kedudukanj sebagai raja, tumanurung diibaratkan sebagai tangkai kayu tempat para abdi yang disimbolkan sebagai labu-labu bergantung atau menggantungkan diri. Antara raja tempat bergantung dengan abdi yang menggantungkan diri terjalin hubungan interdependensi. Gantungan patah, maka labu yang tergantung akan pecah. Abdi berkewajiban menjaga agar tangkai kayu tidak patah, dengan nyawanya sebagai taruhannya.

Namun pandangan Karaéng Bayo yang mengisyaratkan absolutisme kekuasaan raja, ditanggapi Baték Salapang dengan halus dan tegas, seperti terlihat pada pasal 4: Ikambé tanakaddok bassinu, ikau tanakaddo bassimang dan pasal 5: Ikambé réwatapa ambunokang, ikau réwatapa ambunoko. Abdi tidak diserang dengan kekuatan bersenjata oleh raja, dan sebaliknya raja tidak diserang oleh abdinya. Kedua belah pihak tidak akan akan menyulut perang antara mereka. Kematian raja dan abdi adalah kematian yang wajar, sesuai kehendak dewata, bukan karena perang internal kerajaan. Dengan demikian kemungkinan absolutisme yang tersirat dalam pernyataan Karaéng Bayo ditepis dengan pasal-pasal tersebut.

Dengan memenuhi penegasan dalam pasal 4 dan 5 itu, barulah Baték Salapang mengakui untuk mengiyakan titah tumanurung. Namun demikian, pengakuan itu disertai syarat: ”Bila kami menjunjung, kami tidak memikul, bila kami memikul, kami tidak menjunjung”, yang memberikan isyarat bahwa raja tidak akan memberikan beban yang berlebihan kepada abdinya. Dalam ungkapan lain disebutkan, ”raja tidak memberikan beban memegang dua alu kepada rakyatnya”. Abdi hanya diberikan beban sesuai kemampuannya. Bila raja memenuhi persyaratan itu, maka raja pun berhak menyebut diri sebagai ’angin’ dan abdi sebagai ’daun kayu’. Namun demikian, Baték Salapang masih memberi pembatasan agar raja tidak melakukan tindakan sewenang-wenang: ”tetapi hanya daun kuning yang kau terbangkan”. Tindakan ’sang angin’ adalah tindakan wajar, sehingga hanya menerbangkan daun yang memang secara alamiah wajar diterbangkan. Baték Salapang pun mengakui bahwa tumanurung adalah air, dan abdi adalah batang kayu yang siap dihanyutkan air. Namun demikian, tumanurung tidak seenaknya memobilisasi abdinya, bila tidak ada masalah besar yang dihadapi kerajaan.

Kemudian pada pasal 9 Baték Salapang menegaskan bahwa perilaku anak istri para abdi harus tetap sesuai dengan aturan pangadakkang. ”Walau anak kami, walau istri kami, bila tidak disukai oleh kerajaaan (negeri, buttaya), tak juga kami sukai”. Pilihan diksi ’buttaya’ dalam pasal ini lebih diplomatis dan menunjukkan kecerdasan Baték Salapang yang dijurubicarai oleh paccalaya dalam diplomasi. Baték Salapang tidak menggunakan diksi ’karaénga´ (raja) karena diksi itu dapat merujuk pada raja sebagai seorang pribadi yang dapat terganti pada waktu-waktu tertentu. Temperamen dan subjektivitas seorang raja mungkin saja akan lebih berpengaruh bila diksi karaénga yang digunakan. Penggunaan diksi ’buttaya’ merujuk pada negeri atau kerajaan yang memiliki hukum dan aturan. Dalam konteks budaya Makassar butta diatur oleh pangadakkang.

Baték Salapang menegaskan, hanya diri merekalah yang merajakan tumanurung. Harta benda para abdi tetap milik para abdi. Raja tidak berhak mengambil harta benda milik para abdi secara sewenang-wenang. Secara simbolis Baték Salapang mengemukakan contoh bahwa tumanurung tidak boleh mengambil ayam, telur, kelapa, dan buah-buahan milik para abdi, tanpa sepengetahuan dan persetujuan para abdi. Bilamana ada harta benda milik abdi yang dikehendaki oleh raja, maka raja boleh membeli, mengganti, atau memintanya. Pasal ini dengan jelas menunjukkan batas-batas hak-hak raja dan hak-hak kepemilikan harta benda milik rakyat.

Pasal 13 menunjukkan pengaturan pembagian kekuasaan, kewenangan, dan sifat otonomi dalam pengaturan kerajaan. Pengaturan perkara dalam negeri merupakan wewenang para gallarang. Raja tidak berhak membuat keputusan menyangkut perkara dalam negeri, tanpa kehadiran para gallarang. Akan tetapi urusan luar negeri, yang secara eksplisit disebut urusan perang (bicara bunduk), adalah wewenang raja. Para gallarang tidak berhak memutuskan perkara perang, tanpa kehadiran raja.

Tanggapan Baték Salapang dengan tegas menyatakan bahwa ketaatan mereka (rakyat) kepada raja adalah ketaatan bersyarat. Rakyat patuh dan setia kepada raja, bahkan bersedia mengorbankan nyawa untuknya bilamana raja tidak berlaku sewenang-wenang, tidak memberikan beban yang tidak dapat ditanggung oleh rakyatnya, menghargai hak milik dan hak-hak asasi rakyatnya. Bilamana persyaratan itu tidak dipenuhi oleh raja, maka rakyat pun tidak perlu menaati raja, bahkan pangadakkang yang mengatur adat mengenai tata cara kenegaraan dan pengaturan pemerintahan atau yang disebut adak butta, memungkinkan seorang raja dihukum, diturunkan dari tahta, atau diusir dari negerinya..

Turunan ’Langit’
Di dalam lontarak, tidak disebutkan Tumanurunga ri Tamalaté sebagai seseorang yang ’turun dari langit’. Disebut sebagai tumanurung oleh karena tidak diketahui dari mana asal usulnya, dan siapa ayah bundanya. Dalam bahasa lontarak dinyatakan: ”nanikanamo tumanurung ka taéna niassénngi kabattuanna”, maka disebutlah tumanurung karena tidak diketahui dari mana asal kedatangannya. Ketika wilayah-wilayah yang dipimpin para gallarang di Gowa terus menerus berselisih, bahkan berperang satu dengan yang lain, dan ketika tiada aturan hukum yang ditaati oleh para gallarang dan rakyatnya, dan ketika berlaku hukum rimba ’yang kuat menelan yang lemah’ maka tumanurung ditemukan pada suatu bukit di Tamalaté. Ia ditemukan setelah terjadinya peristiwa alam yang dahsyat. Dalam lontarak diceritakan bahwa orang-orang melihat ada cahaya terang yang bersinar dari suatu bukit. Ketika para gallarang bersama paccallaya disertai penduduk mendekati bukit tersebut, ternyata di bukit itu dilihat seorang putri, dari mana cahaya itu bersumber. Paccalaya dengan sigap berseru: ”Sombai karaénnu tu Gowa”, ’sembahlah rajamu, wahai orang Gowa’. Putri itulah yang disebut tumanurung yang dirajakan di Gowa.

Meskipun dalam lontarak tidak disebutkan bahwa tumanurung berasal dari langit, tetapi secara lisan turun temurun diceritakan bahwa tumanurung berasal dari ’langit’. Riwayat tumanurung itupun menjadi suatu mitos, menjadi salah satu unsur dalam sistem kepercayaan orang Gowa, yang sekaligus menjadi unsur penting dalam pemberian legitimasi politik kekuasaan dan kewenangan tumanurung dan turunannya untuk menjadi penguasa yang disembah (sombaya) di Gowa. Atas dasar kepercayaan sebagai ’turunan langit’ itu pulalah terbangun suatu sistem pelapisan sosial yang menempatkan tumanurung dan turunannya pada lapisan teratas dari piramida pelapisan sosial itu.

Seperti dikemukakan Mattulada, kedatangan tumanurung dihajatkan guna mengakhiri konflik yang berkepanjangan, suatu rekayasa dan mitos politik penyelesaian konflik sekaligus membangun suatu dinasti, dengan pimpinan kekuasaan yang ’diciptakan dengan cara luar biasa dan cerdik’ (Mattulada, 1998a). Penyebaran kisah tumanurung secara lisan sebagai ‘turunan langit’, pelembagaan benda-benda tertentu sebagai benda sakral yang disebut kalompoang (tanda kebesaran), penentuan berbagai properti simbolik bagi lapisan raja, karaéng dan turunan raja, anak karaéng serta penyelenggaraan berbagai ritus yang disakralkan, menjadi bagian yang sangat penting untuk membangun kepercayaan dan kepatuhan rakyat kepada tumanurung dan turunannya.

Akan tetapi yang lebih penting diperhatikan adalah kontrak politik yang menyertai mitos itu. Sesungguhnya substansi utama mitos tumanurung terletak pada kontrak politik itu. Kontrak politik yang terjadi sekitar abad ke-13 atau kurang lebih 800 tahun yang lalu itu sendiri merupakan sesuatu yang luar biasa. Peristiwa kontrak politik itu terjadi mendahului teori-teori Thomas Hobbes dan Montesque abad ke-18 yang berbicara tentang kontrak sosial. ‘Ciptaan luar biasa dan cerdik’ yang berupa mitos tumanurung tersebut memungkinkan substansi utama yang hendak dikemukakan lebih dapat berterima oleh rakyat dan warga kerajaan Gowa. Metode penyampaian yang digunakan dan pemikiran yang terkandung dalam kontrak politik itu tetap merupakan suatu penanda tingkat kemampuan berpikir dan kecerdasan orang Gowa masa itu. Sesuatu peninggalan budaya yang membanggakan.

Dasar Konstitusional
Nilai-nilai dan semangat yang tertuang dalam kontrak politik di atas telah menjadi dasar konstitusional kerajaan Gowa. Kekuasaan tumanurung dan seluruh raja Gowa yang disebut Sombaya bukanlah kekuasaan mutlak. Raja Gowa niscaya harus menaati seluruh isi nilai-nilai yang mendasari kontrak politik tersebut. Kepatuhan rakyat kepada Raja Gowa adalah kepatuhan dan kesetiaan bersyarat. Ia dipatuhi bilamana raka tidak melakukan pelanggaran atas nilai-nilai kontrak politik tersebut.

Kontrak politik itupun telah meletakkan dasar konstitusional bagi penyelenggaraan kekuasaan, kewenangan dan pemerintahan daerah yang otonom, sesuatu yang tetap terpelihara hingga meleburnya kerajaan Gowa menjadi bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia. Bagaimana sistem otonomi itu berlangsung dan terwujudkan dalam praktik politik pemerintahan kerajaan Gowa merupakan masalah yang perlu diteliti lebih jauh.

Pandangan yang sangat menghargai hak milik rakyat yang menjadi topik penting dalam kontrak politik ini merupakan salah satu bagian penting yang memperlihatkan apresiasi dan penghargaan pada hak-hak asasi manusia. Pernyataan dalam pasal 10 ”Anné niallénu kikaraéngang, batang kalémmanji akkaraéngangko, téyai pannganuammang”, yang disertai pasal 11 dan 12 sebagai penegasan dari pemikiran terhadap hak kepemilikan rakyat dan hak-hak asasi manusia pada umumnya. Sebagai dasar konstitusional, kontrak politik itu, seperti dikemukakan Abu Hamid telah menunjukkan ciri-cirinya yang modern.

Penutup
Kontrak politik antara Tumanurunga ri Tamalaté yang dijurubicarai oleh Karaéng Bayo dengan Baté Salapang yang dijurubicarai oleh Paccalaya, dengan nilai-nilai budaya yang mendasarinya, merupakan salah satu warisan budaya yang penting. Pelestarian nilai-nilai yang terkandung di dalamnya selayaknya terwujudkan dalam perilaku politik, kepemimpinan dan perilaku dalam kehidupan sosial masyarakat Sulawesi Selatan khususnya. Dengan demikian, kita menghargai nilai-nilai budaya kita.

Tuesday, November 24, 2009

10 TAKTIK UNTUK PARA RADIKAL

Dalil-dalil Alinsky tentang Kekuatan dan Kekuasaan

Saul Alisnky

Taktik adalah pernyataan tindakan dari apa yang Anda miliki. Taktik merupakan tindakan sadar yang dirancang untuk menghadapi dunia sekitar. Taktik adalah seni tentang cara "mengambil" dan "memberi". Taktik dapat diibaratkan sebagai wajah yang terdiri atas mata, telinga dan hidung.

Mata bertugas memvisualisasi basis massa rakyat secara meluas. Pamerkan basis itu agar mata musuh dapat melihatnya. Pamerkan sebelum musuh mendahului dan secara terbuka menunjukkan kekuatannya. Telinga bertugas mempromosikan "kebisingan". Jika anggota organisasi anda berjumlah kecil, sembunyikan. Tingkatkan "kebisingan" agar telinga lawan mendengarnya dan kemudian percaya bahwa jumlah anggota organisasi anda jauh lebih besar dari yang ia perkirakan. Hidung berfungsi menyerap dan mencerap aroma. Jika anggota organisasi anda terlalu kecil dan tidak mampu menciptakan "kebisingan", sebarkan aroma ofensif (aroma menyerang) agar hidung lawan dapat mencerapnya.

Keampuhan taktik terletak pada 10 (sepuluh) dalil yang terhubung dengan cara "mengambil" kekuasaan, sebagai berikut:

Dalil 1
Kekuasaan tidak hanya terpatri pada apa yang anda miliki, tetapi terletak pada apa yang dibayangkan oleh musuh anda tentang anda dan tentang organisasi anda.

Dalil 2
Jangan meninggalkan pengalaman pengikut-pengikut (followers) anda. Membawa pengikut-pengikut anda keluar dari pengalamannya, akan menciptakan situasi kebingungan dan ketakutan.

Dalil 3
Upayakan agar musuh anda keluar dari pengalamannya. Jika anda berhasil membawanya keluar, anda telah menciptakan suasana kebingungan dan ketakutan di pihak lawan.

Dalil 4
Biarkan musuh merasa aman dengan aturan mereka sendiri. Anda dapat menaklukkannya dengan cara seperti ini. Membiarkan musuh hidup dengan aturannya sendiri sama artinya membuat mereka tidak mampu mematuhi aturan di luar dirinya.

Dalil 5
Hadapi lawan anda dengan cara mengejeknya secara komikal. Cara komikal akan membuat lawan anda menjadi bahan tertawaan (ridicule). Cara ini biasanya sulit dibalas. Kalau pada akhirnya, musuh mengimbanginya dan bereaksi terhadap ridicule, keuntungan biasanya ada di pihak anda. Ridicule sesungguhnya adalah senjata yang poten dan ampuh.

Dalil 6
Taktik yang baik adalah taktik yang dipahami dan dinikmati oleh para pengikut anda. Jika orang-orang anda tidak menikmatinya, pasti ada yang salah dengan taktik anda.

Dalil 7
Taktik yang dipakai terlalu lama pada dasarnya akan menjadi "beku". Sikap militan terhadap isu apa saja hanya akan berlangsung dalam dan untuk waktu yang terbatas. Setelah itu, sikap militan akan berubah menjadi sikap ritual.

Dalil 8
Tekan terus lawan anda melalui berbagai variasi taktik dan tindakan. Manfaatkan semua waktu yang ada untuk kepentingan dan tujuan anda. Ancaman biasanya terasa lebih "mengerikan" daripada dirinya sendiri.

Dalil 9
Premis utama untuk sebuah taktik adalah, kembangkan cara-cara menggunakannya sehingga akan menciptakan tekanan yang konstan terhadap lawan. Jaga irama tekanan terhadap lawan. Tekanan yang terlalu keras akan menciptakan sisi lain yang akan merugikan anda. Cara menekan didasarkan pada prinsip bahwa sisi positif pasti memiliki sisi negatif.

Dalil 10
Pilih sasaran anda. Jika sasasaran sudah jelas, bekukan, personalisasi, dan usahakan sasaran itu terpolarisasi.


Catatan:
Saul Alinsky lahir pada tahun 1909. Ia dikenal sebagai aktivis ternama dan sebagai community organizer (CO) terkemuka dalam sejarah Amerika. Ia dianggap kampiun dalam mengembangkan taktik berkonfrontasi. Alinsky adalah penulis buku-buku tentang taktik dan penulis biografi presiden Mineworker John L. Lewis.

Posting ini diturunkan dari tulisan Fred Ross, berjudul "Rules for Radicals, Alinsky's Rules for Power" di http://www.jasongooljar.com/AlinskyTactics.pdf, dialihbahasakan serta diringkas oleh Alwy Rachman.

Wednesday, October 28, 2009

KELAMIN: Tak Membatas, Tak Tampak atau Tak Berbahasa?

Perspektif Debat Demarkasi Jender

Alwy Rachman

Manusia ditakdirkan lahir untuk kemudian
menjadi narapidana di dalam pikirannya sendiri.
Satre


ISU JENDER DAN KEKERASAN kini dipikirkan ulang. Di dalam satu publikasi Rethinking Violance Against Women (1998), antologi yang membahas masalah-masalah jender dan kekerasan secara meluas dan kaya perspektif, Irigaray menyusun model pemisah-batasan (demarkasi) antara tubuh secara biologis, tubuh secara sosial dan tubuh secara simbolik. Model pemisah-batasan ini kemudian dipromosikan sebagai “Hirarki Ontologi Seksualitas”.

Model ini tersusun dari tiga aras yang secara hirarkis menempatkan “biologi” sebagai dunia yang statis (static world) dan “simbol” sebagai dunia yang cair (fluid world). Keduanya dihubungkan oleh “dunia sosial” (social world) yang berfungsi sebagai aras perantara (intermediate level).

Hirarki Ontologi Seksualitas ini dibangun dan disusun berdasarkan filosofi yang berfokus pada adanya kontradiksi antara seksualitas taktil perempuan (tactile sexuality of women) dan seksualitas pallik lelaki (phallic sexuality of man). Ia kemudian dipakai untuk mencari penjelas terhadap perbedaan-perbedaan di kedua seksualitas perempuan dan lelaki, menyangkut cara berpikir dan cara berbahasa. Perbedaan tubuh secara biologi dan perbedaan karakteristik seksualitas banyak dipotret berdasarkan analisis di setiap susunan aras di hirarki ini.

Di aras biologi, perbedaan seksualitas adalah perbedaan yang bersifat alami. Oleh karenanya, perbedaan biologi adalah sesuatu yang bersifat statis. Dengan pengungkapan lain, sejauh bersifat biologis, seksualitas perempuan dan lelaki sama sekali tidak conflicting,kecuali pada`cara menggunakan terminologi berdasarkan bukti-bukti biologi.

Aras biologi telah memunculkan isu inti yang banyak mengalami pengayaan dari para peneliti. Di satu sisi, bagi kelompok peneliti tertentu, faktor biologi merupakan kunci untuk membedakan seks dan jender. Melalui uraian lebar panjang tentang konsekuensi penggunaan terminologi seks dan jender, Douglas A. Gentile (1998) yang bekerja pada institut pertumbuhan anak-anak, misalnya, pada akhirnya menyarankan agar terminologi seks sebaiknya dipahamami sebagai properti biologi (misalnya, perempuan dan lelaki) sementara terminologi jender sebaiknya dimengerti sebagai properti sosiokultural (misalnya, maskulinitas dan feminitas).

Di sisi lain, bagi kelompok peneliti lain, terminologi seks sebagai properti biologi memunculkan problematika sendiri. Anne-Sterling(1933), misalnya, agak keberatan dengan konsepsi dua seks --- perempuan dan lelaki. Meskipun demikian, Anne sangat sadar bahwa kebudayaan Eropa secara sangat dalam hanya committed pada konsepsi dua seks. Anne kemudian menambahkan 3 (tiga) seks lain selain female dan male. Secara keseluruhan, konsepsi 5 (lima) seks diintrodusir ke dalam satu tulisan “The Five Sexes: Why Male and Female are Not Enough”. Dalam bahasa Anne, selain female dan male, rincian 3 seks itu, masing-masing; (1) The Herms (hermaphrodites) yang memiliki satu testis dan satu ovary; (2) The Merms (the male pseudohermaphrodites) yang memiliki testis dan dalam banyak aspek, memiliki female genetalia tetapi tanpa ovary; (3) The Ferms (female pseudohermaphrodites) yang memiliki ovary dan dalam banyak aspek memiliki male genetalia tetapi tanpa testis.

Berbeda dengan aras biologi, persoalan-persoalan seksualitas perempuan-lelaki justru menemukan momentumnya dan membesar di aras perantara (intermediate level), yaitu di aras sosial. Momentum dan pembesaran masalah ini lebih disebabkan oleh berbagi hal. Pertama, kultur yang hidup di dunia sosial tidak bersifat homogen. Cara pandang terhadap peran perempuan dan peran lelaki menampakkan diri secara berbeda dari satu kaum ke kaum yang lain. Kedua, otoritas sosial dan juga ikatan-ikatan sosial yang menghubungkan perempuan dengan lelaki juga berbeda. Otoritas dan ikatan sosial semacam inilah yang menjadi kawasan eksplorasi bagi para ilmuan untuk memahami masalah-masalah jender. Itu pula sebabnya, para peneliti jender berkecenderungan menempatkan isu jender sebagai isu yang harus dipandang berdasarkan pemahaman lintas-budaya (cross-cultural), jika tidak ingin dikatakan sebagai isu lintas-bangsa (cross-national).

Cara memandang masalah jender, secara lintas-budaya dan lintas-bangsa, lebih didasari oleh kemawasan jender oleh para peneliti (gender awareness) bahwa cara memandang seperti ini akan mampu memunculkan aspek-aspek dan faktor-faktor perbedaan yang mencakup, misalnya; geografi, sumberdaya alam, pola migrasi, sejarah, sistem politik dan religi yang secara keseluruhan mempengaruhi ketimpangan ataupun kesetaraan jender.

Dengan kemawasan seperti ini, para ilmuan dapat mengetahui bahwa setiap kultur menyediakan pengetahuan dan cara pandang (world view) terhadap jender secara berbeda dari satu tradisi ke tradisi lain. Sebagai contoh, jika di tradisi Barat jender secara tradisional dikategorikan ke dalam dua seks utama --- perempuan dan lelaki --- maka lain halnya dengan komunitas Hua. Di tradisi Hua, maskulinitas dianggap sebagai status tinggi, tetapi secara fisik lemah dan tanpa otoritas. Justru di tradisi Hua, maskulinitas lelaki akan memudar sejalan dengan pertambahan usia dan akan tergantikan oleh perempuan melalui pengasuhan anak. Perempuan yang telah melahirkan tiga anak, di tradisi ini, diberi hak untuk berpartisipasi dalam upacara ritual lelaki. Dan, dengan demikian, otoritas perempuan semakin membesar sejalan dengan pertambahan usianya dan kemampuannya mengayomi anak-anak.

Di tradisi masyarakat kontemporer, kesetaraan jender disorot berdasarkan kerangka berpikir untuk meniadakan kekerasan dan kekejaman, baik dari sisi struktural maupun dari sisi fisikal. Analisis jender juga dijadikan sebagai wahana untuk menyorot masyarakat yang sedang tertekan, sebagai akibat lanjut dari modernisasi, kolonisasi, terorisme, perang, konflik politik atau sebagai akibat dari perubahan sosial dan konflik komunal.

Di aras simbolik, dengan mengikuti alur pikir Irigaray, perempuan dan lelaki terekspresikan melalui basis simbolik yang berbeda. Sistem simbol yang berbeda tampaknya mempertalikan secara erat hubungan antara morfologi bahasa dengan morfologi genital. Dengan merujuk Freud, Irigaray menganggap bahwa bahasa dibentuk oleh unsur visual. Dan, seksualitas perempuan dianggap tidak visual dan dengan demikian dianggap tak berbahasa.

Irigaray dengan sangat tajam mempersoalkan penggunaan simbol-simbol bahasa, baik yang terpakai melalui kekuasaan dan otoritas maupun yang terpakai dan diintrodusir oleh pemikiran-pemikiran teologi. Sorotan dan kritik Irigaray tertuju pada pandangan bahwa kelamin perempuan bersifat jamak (plural), tak membatas (undelimited) dan tak tampak (unseen). Baginya, pandangan seperti ini mendislokasi kelamin perempuan sebagai entitas yang tidak eksis, yang menempatkan kelamin perempuan sebagai “penerima” (receiver) saja. Bagi Irigaray, pandangan seperti ini menyimpan dua dualitas (duality) yaitu, secara spesifik, Dualitas Kekejaman dan Kasih Sayang (The Duality of Abuse and Affection) yang termanifestasi ke dalam simbol-simbol bahasa serta Dualitas Prinsip Kekuasaan Tuhan dan Prinsip Pemberontakan Setan (The Authority of Principle of God and The Rebellious Principle of Satan) yang terdengar melalui pemikiran-pemikiran teologi. Dua dualitas ini yang menyebabkan perempuan agak risih menemukan dan menjelaskan aspek-aspek kekejaman yang muncul di antara pola hubungan perempuan dan lelaki.

*****

TERLEPAS DARI KETAJAMAN IRIGARAY, hirarki yang disusunnya mengundang reaksi dan respon dari berbagai pihak. Pertama, Evan Lundgren, seorang mahaguru Feminist Studies in Sociology, menganggap bahwa hirarki Irigaray justru merupakan cara mentransendensi “kekuatan” seksualitas lelaki. Kalau Irigaray mencoba membangun hubungan antara morfologi genital dan morfologi bahasa, Irigaray seharusnya membuktikan bahwa ia tidak hanya dapat mempertalikan secara signifikan sistem bahasa yang berstruktur maskulin, sebelum kalangan feminis melakukan “pemberontakan” bahasa dan mengindentifikasi bahasa seksualitas perempuan dan kemudian membangun komunikasi alternatif berdasarkan bahasa berstruktur feminin. Itu pula sebabnya, menurut Evan, kegelisahan pada seksualitas perempuan yang dianggap tak tampak dan tak visual sesungguhnya tidak lebih dari monopoli bahasa.

Monopoli bahasa seperti ini, lanjut Evan, tidak membuka kemungkinan untuk membangun pemahaman kultur secara bersama dalam mempelajari bahasa dari dua seksualitas, terlepas apakah kedua seksualitas itu bersifat phallic, visible, explicit, undelimited, atau tangible. Irigaray seharusnya membangun keakraban terhadap morfologi seksualitas perempuan, bukan yang selama ini dilihatnya sebagai hasil penaklukan jender (gender subjugation) dan bukan juga sebagai morfologi seksualitas yang secara awal diinterpretasi sebagai entitas yang tak tampak, defisit, dan vacum.

Kedua, hirarki Irigaray terhadap kelamin perempuan-lelaki disusun berdasarkan azas pasangan-pertentangan (binary-opposition), bukan azas yang menempatkan kelamin yang satu adalah alternatif eksklusif bagi kelamin lain. Di hadapan Evan, Irigaray tidak menciptakan satu dorongan untuk memodifikasi keterbatasan yang terdapat pada definisi seksualitas, tetapi malah larut dalam ironi, mimetik dan peniruan.

Ketiga, dunia sosial adalah ruang yang sarat dengan sosialisasi, termasuk proses pengenalan dan pemaknaan atas tubuh perempuan dan tubuh lelaki. Dunia sosial lah yang menempatkan tubuh sebagai sebuah arena dan sebagai titik tolak (point of departure). Dunia sosial adalah dunia jender, bukan sekedar dunia kelamin. Itu pula sebabnya, tangan dan kaki serta gerak anggota tubuh lainnya dapat dimasukkan ke dalamnya. Kemajemukan dunia sosial adalah arena yang dapat dipakai untuk mengembangkan dan merumuskan norma-norma jender yang fleksibel, mencakup variasi yang dapat membuka peluang terjadinya perubahan terhadap rumusan norma-norma jender, termasuk di dalamnya cara bereaksi, cara berkomunikasi dan cara membangun simbol.

Keempat, persoalan ketidaksetaraan jender selama ini terletak pada kekerasan seksual. Kekerasan seksual di mana-mana bersifat korporealitas (corporeality), suatu realitas kekerasan badaniah yang terstruktur melalui hukum-hukumnya sendiri. Melalui umpan balik dari peneliti lain, kekerasan seksual yang fenomenal terhadap perempuan dikenali melalui delapan modus, masing-masing:

  1. Kekerasan dalam bentuk pemerkosaan oleh kelompok-kelompok gang, perdagangan perempuan (traficking in women), pemaksaan menjadi pekerja seks. Kesemua kekerasan ini berhubungan dengan gravitasi tubuh perempuan dalam situasi perang dan konflik.
  2. Pemerkosaan perempuan di setiap peristiwa perang adalah pengrusakan (retaliation) terhadap kepemilikan lelaki dan juga berfungsi sebagai pesan kepada musuh.
  3. Pemerkosaan adalah pernyataan atau pesan yang diletakkan ke tubuh perempuan.
  4. Pemerkosaan adalah pembersihan teritori lelaki karena lelaki tidak akan pulang ke lokasi tempat ia dihinakan.
  5. Perempuan yang diperkosa oleh tentara, dapat dikorbankan lagi oleh lelakinya sendiri (keluarga sendiri) dengan alasan pemerkosaan itu telah menghancurkan kehormatan dan martabat pribadi atau keluarga.
  6. Perkosaan terhadap perempuan oleh tentara dimaksudkan untuk mengeliminasi frustrasi terhadap hirarki kehidupan militer.
  7. Pemerkosaan juga dimaksudkan untuk mempertahankan moral militer dan membangkitkan semangat perang.
  8. Pemerkosaan yang disebabkan oleh perilaku seksual agresif dan dominatif. Ketergantungan sosial dan ketergantungan ekonomi membatasi perempuan menegosiasi seks secara lebih aman. Di dalam situasi konflik, perempuan dipaksa membarter seksnya demi keselamatannya sendiri. Terhadap modus seperti di atas, banyak pakar berpendapat bahwa modus-modus ini berakar pada pandangan bahwa perempuan memang sebagai properti lelaki.

Kelima, pemikiran-pemikiran teologi, dalam kenyataannya, tidak selalu bersahabat dengan perempuan. Pemikiran-pemikiran sebagaimana yang dimaksud, tanpa disadari, sering menjelma menjadi tempat terkonsentrasinya dinamika simbol jender, yang kemudian memanifestasi ke dalam ketidaksetaraan jender. Dualitas, sebagaimana digambarkan sebelumnya, oleh Evan, adalah bangunan eksistensi, kosmik di satu pihak dan etik di lain pihak.

Terakhir, demarkasi jender memang masih sangat hidup dan secara kepala batu berdiam di dunia sosial. Diskursus atau wacana pembedaan jender dengan cara seperti ini justru akan menciptakan polarisasi secara kuat. Tidak mengherankan, jika tindakan pelintasan terhadap demarkasi jender seringkali dianggap sebagai tindakan “berbahaya” dan “terlarang”.

Saturday, October 24, 2009

SYAIR SANG IBU

Anwar Ibrahim

Tuwoko malampék sungek
Wekkek temmakkasapék
Pattola palallo
(1)

Di larut malam, sambil melawan rasa kantuk, dengan rasa cinta yang tulus, sang ibu mengelus, membuai, mengayun, menidurkan anaknya. Syair lagunya sayup-sayup kedengaran, melantunkan harapan semoga sang anak panjang usia, tumbuh kembang tak merobek, menjadi pewaris yang melampaui orang tuanya. Syair lagunya melantunkan dambaan sang anak menjadi manusia berarti dalam kehidupannya. Tak sepatah kata pun dalam syair yang mengungkapkan tuntutan agar sang anak membalas jerih payah melahirkan, mengasuh, mendidik membesarkannya. Dalam syairnya, sang ibu hanya menyampaikan pesan moral agar dalam proses tumbuh kembangnya menjadi ‘manusia’, menjadi dirinya sendiri, sang anak tak ‘merobek’ orang dan generasi lebih tua yang mendidiknya. Sesungguhnya, dalam syair-syair lagu Yabélalé, lagu pengantar tidur anak-anak yang dilantunkan ibu-ibu Bugis Makassar di Sulawesi Selatan, sang ibu melaksanakan peran kulturalnya sebagai pendidik, sebagai pembangun benteng peradaban masyarakatnya. Sang ibu meletakkan dasar peradaban dan pembinaan generasi mudanya. Memang, dasar-dasar benteng pertahanan peradaban masyarakat justru dibangun sejak dini melalui peran kultural sang ibu. Ketika melakonkan peran keibuannya, menggendong, menyusukan, mengayun dan membelai anaknya, melalui syair-syairnya, sang ibu melantunkan pesan-pesan kultural masyarakatnya, mengemukakan wujud cita kultural mengenai ‘anak-anak’ generasi muda yang didambakan.

Dalam syair, sang ibu menunjukkan tiga nilai ideal dambaan kulturalnya, yaitu: cerdas dan berpikiran panjang (macca na malampék nawa-nawa); berhati nurani bersih dan lapang dada (makkéati macinnong na masagéna attarong); dan terampil serta tekun bekerja (mapanré na matinuluk). Tiga nilai ideal itulah yang dalam ungkapan Arung Bila dari Soppeng pada abad ke-17 disebut permata bercahaya (paramata mattappa) yang diharapkan dimiliki generasi anak muda. Nilai kecerdasan dan berpikiran panjang tak berbeda dengan ungkapan berkualitas intelektual tinggi, dengan kemampuan mempergunakan otak, akal atau rasio yang menjadikannya rasional dan kritis. Secara kultural generasi yang didambakan adalah generasi yang mampu melihat latar depan dan latar belakang setiap kejadian, peristiwa, fenomena, perbuatan yang berlangsung atau yang akan dikerjakannya (naitai addiolona nenniyak addimunrinna gauk-é), seperti dikemukakan Kajaolaliddo dari Bone dan Petta Matinroé ri Lariang Banngi. Suatu generasi yang kepintaran dan kecerdasannya dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat manusia atau ketenteraman ‘orang banyak’ (asaléwangenna tau tebbek-é), yang tidak menggunakan kepandaian dan kecerdasannya untuk berbuat sewenang-wenang kepada sesamanya manusia (dék naggauk bawang ri padanna ri pancaji).

Nilai macca na malampék nawa-nawa belumlah cukup menjadikannya manusia yang sesungguhnya (tau tongeng-tongeng), melainkan harus dilengkapi dengan kearifan yang tumbuh dari nilai ‘berhati nurani jernih dan lapang dada’ yang makna kulturalnya tidak berbeda dengan ungkapan ‘berakhlak mulia’. Ungkapan ‘makkéati macinnong na masagéna attarong’ dirinci secara puitis dalam pappaseng (pesan/wasiat) yang diungkapkan almarhum Matowa Ujung Coa (110 tahun ketika meninggal) dari Lappariaja, Boné Barat:

Temmettok nawa-nawa majak
Tellessuk ada-ada bellé
Teppugauk gauk macéko
Temmakkatuna ri padanna Tau
Tettakkalupa ri apoléngenna .

Tak membersitkan pikiran jahat
Tak mengeluarkan kata dusta
Tak melakukan perbuatan culas
Tak menghinakan sesama manusia
Tak melupakan asal kedatangan (penciptanya)

Karakter, sifat dan kepribadian generasi seperti disebutkan dalam paseng Matowa Ujung Coa tersebut justru tidak sepenuhnya mampu ditumbuhkan dunia pendidikan formal, apalagi yang mengutamakan pengajaran, pengasahan dan penguasaan kepandaian ‘otak’ semata. Kepribadian ‘makkéati macinnong’ tumbuh dari pendidikan kultural, pendidikan sejak dini yang diturunkan sang ibu, dari lingkungan masyarakat karib (the intimate society), meneladan dari perilaku seluruh warga masyarakat yang berinteraksi dengan mereka, dari perilaku pemimpin dan segenap pejabat negaranya (paréwa tanana). Kepribadian tersebut tumbuh dari proses internalisasi, sosialisasi dan enkulturasi. Ucapan-ucapan dan perilaku pemimpin menjadi rujukan dan teladan anak-anak muda dalam proses pertumbuhannya. Masyarakat dan negara yang memiliki pemimpin, pejabat negara dan warga masyarakat yang memfungsikan hati nuraninya akan menumbuhkan karakter, sifat dan kepribadian generasi makkéati macinnong na masagéna attarong. Demikian pula sebaliknya. Kepribadian yang ‘tak membersitkan pikiran jahat, tak mengeluarkan kata dusta, tak melakukan perbuatan culas, tak menghinakan sesama manusia, tak melupakan asal kedatangan (penciptanya)’, tak bakalan muncul dari masyarakat korup dengan warga masyarakat, pemimpin dan pejabat yang mengutamakan pertarungan memperoleh dan melakukan penumpukan kekuasaan dan penumpukan kekayaan, dengan cara apapun, masyarakat yang mengutamakan kepentingan individu, faksi, atau kelompok sendiri.

Kepribadian ketiga yang secara kultural didambakan, kepribadian generasi terampil dan tekun (mapanré na matinuluk), selain dapat tumbuh dari proses pendidikan dan pelatihan, juga terutama sifat tekun memerlukan pendidikan dini dari keteladanan lingkungan masyarakat karibnya.

(2)

Kita tidak lagi berada dalam abad ke-16, abad Kajaolaliddo, atau abad ke-17, abad Arung Bila. Kita berada dalam abad ke-21, abad yang arus dinamika kehidupan masyarakatnya sedemikian derasnya. Sang ibu tidak lagi terutama menjalankan peran kuturalnya sebagai pembangun dan penjaga benteng peradaban masyarakatnya, tak lagi melantunkan syair-syair lagu Yabélalé-nya. Sang ibu tidak lagi berperan hanya dalam ranah rumah tangga, tetapi telah melangkah lebih luas, memainkan peran dalam ranah publik. Tanggung jawab kultural melakukan pendidikan dini anak-anak yang meletakkan dasar-dasar kepribadian, karakter dan sifatnya, diserahkan kepada para pembantu rumah tangga, para babu, baby sitter, atau pada Tempat-tempat Penitipan Anak (TPA). Syair-syair lagu yang dinikmati anak-anak bukan lagi Yabélalé, yang lahir dari rahim budayanya, melainkan syair-syair lagu Padi, Dewa, Sheila on Seven dan sejenisnya. Tokoh-tokoh panutan yang karib dengannya adalah Sinchan, Kucing Dora Emon, Power Ranger, Sang Monyet Sun Go Kong, anjing Scooby Doo dan semacamnya yang berasal dari rahim budaya asing. Apakah fenomena seperti ini bakal melahirkan generasi baru yang lebih baik, ataukah generasi dengan kepribadian kucing, monyet atau anjing, merupakan kalimat tanya yang perlu dipikirkan. Akan tetapi, yang jelas adalah hubungan sang anak dengan pengasuhnya sendiri hanyalah hubungan fungsional. Tumpahan kasih sayang sang ibu ketika menyusukan, membelai dan meninabobokkan, tidak lagi dirasakan sang anak, sehingga hubungan emosional antara sang ibu dan sang anak tidak bertumbuh dengan wajar.

Generasi muda tumbuh dan berkembang dari proses-proses sosiokultural masyarakat dan lingkungannya. Pada masyarakat yang warganya memelihara dan mewujudkan peradaban dalam perilaku kehidupannya, sangat mungkin akan tumbuh dan berkembang pula generasi beradab. Demikian pula sebaliknya. Namun demikian selalu mungkin terjadi deviasi. Pada masyarakat yang warganya, pemimpin-pemimpin dan pejabat-pejabat negaranya memiliki ‘wajah-ganda’, maka kemungkinan bakal lahir generasi bingung, generasi blingsatan, generasi radikal dan amuk-amukan. ‘Wajah-ganda’ yang dimaksud adalah wajah manusia yang pada satu sisi menunjukkan sifat welas-asih dengan lontaran kata-kata indah, arif, bijaksana, serba baik sehingga malaikatpun cemburu mendengarkannya; namun pada sisi lainnya wajahnya lebih seram dari wajah durjana Rahwana Dasamuka dengan perilaku kejam, penindas, korup, sehingga setanpun angkat tangan mengaku terkalahkan. Kebingungan, radikalisme dan amuk-amukan terjadi akibat adanya jurang pemisah yang curam antara nilai-nilai ideal yang dilontarkan dan perilaku kedurjanaan yang diperagakan oleh warga, tokoh-tokoh pemimpin dan para pejabat. Apakah generasi muda akan mewarisi nilai-nilai ideal yang dilontarkan dalam diskursus para tokoh, ataukan meniru serta mewarisi perilaku kedurjanaan; yang keduanya tampil bersamaan terpampang dalam realitas kehidupannya? Bila nilai-nilai ideal lebih dominan mempengaruhinya, maka perlawanan radikal terhadap perilaku durjana pun bakal terjadi. Akan tetapi bila yang lebih dominan mempengaruhinya adalah perilaku kedurjanaan, maka mereka pun akan tampil menjadi durjana dan membela perilaku kedurjanaan dengan gaya dan tindakan durjana dan brutal.

Dalam realitas masyarakat kedua kecenderungan tersebut selalu hadir bersamaan. Dalam setiap generasi, di dalamnya selalu terdapat individu-individu yang memiliki dan memperjuangkan nilai-nilai ideal dan individu yang mempersetankan nilai-nilai ideal akan tetapi memelihara gaya hidup hedonistik dan konsumtif. Realitas itu, di satu sisi memicu dinamika kehidupan sosio-kultural yang sampai batas tertentu mungkin masih bersifat positif, tetapi di sisi lain memungkinkan terjadinya konflik intragenerasi yang dapat merusak atau menghancurkan tatanan sosiokultural masyarakatnya.

(3)

Dalam realitas kehidupan keindonesiaan kita, selalu terdapat niat baik melakukan pembinaan generasi muda, mempersiapkan tumbuhnya generasi baru. Lembaga-lembaga pemerintahan dan partai-partai politik dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah misalnya memiliki program-program yang bertujuan ‘melahirkan dan membina generasi muda’. Setiap partai politik memiliki Angkatan Mudanya masing-masing, kader partai yang dipersiapkan menjadi pewaris partai. Di satu sisi hal itu bernilai positif, tetapi di lain sisi terutama bila partai-partai hanya menanamkan dan menjejalkan doktrin fanatisme partai, dapat berakibat menyempitkan wawasan generasi muda, melahirkan generasi ‘berkacamata kuda bendi’.

Realitas lain yang tampil dalam kehidupan keindonesiaan, adalah wacana (yang tampaknya berkecenderungan politis) untuk melakukan ‘pemotongan generasi’. Wacana itu muncul sebagai respons atas berbagai perilaku durjana yang didakwakan kepada generasi tua. Wacana itu muncul sebagai ekspresi rasa ketidakpuasan, kekecewaan, kemarahan dan ketidakpercayaan generasi muda terhadap berbagai tindakan dan perilaku yang tak sesuai dengan nilai-nilai peradaban dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Akan tetapi, wacana itu sesungguhnya tidak lahir dari pandangan dan pemikiran komprehensif. Dalam realitas kehidupan, tak ada satu pun generasi yang keseluruhan ‘warga’nya adalah manusia-malaikat, dan tak satu pun generasi yang keseluruhan ‘warga’nya adalah manusia-setan. Hal ini sesuai hakikat keberadaan manusia, yang di dalam dirinya terdapat unsur ‘ruh’ dan unsur ‘debu’, yang memiliki ruh ilahyat dan nafsu syaitaniah. Seperti dikemukakan di atas, dalam realitasnya di dalam setiap generasi selalu hadir individu ‘kehitam-hitaman’ dan individu ‘keputih-putihan’. Dengan sudut pandang seperti ini, maka sesungguhnya wacana ‘pemotongan generasi’, (apalagi bila yang dimaksudkannya sebagai dakwaan politis kepada generasi tua sebagai generasi penyengsara rakyat) adalah suatu wacana yang logikanya tidak logis. Saling tuding antargenerasi bukanlah tindakan bijak.

(4)

Seperti dikemukakan di atas, generasi-generasi tumbuh dan berkembang sebagai hasil dan bagian dari proses-proses sosiokultural masyarakatnya. Oleh karena itu, dalam usaha mempersiapkan generasi baru yang dapat berperan lebih baik dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, iklim dan suasana sosiokultural yang sehat merupakan suatu conditio sine qua non., suatu syarat mutlak.

Saya yakin, sekalipun syair lagu Yabélalé tercipta pada abad ke-16 atau ke-17 di negeri Bugis-Makassar, namun isi dan makna yang terkandung di dalamnya adalah mutiara universal, yang dapat menjadi rujukan bagi pembinaan generasi muda baik oleh lembaga pemerintahan, lembaga kemasyarakatan, maupun oleh partai-partai politik. Nilai ‘macca na malampék nawa-nawa’, ‘makkéati macinnong na masagéna attarong’ dan ‘mapanré na matinuluk’ agaknya tidak berbeda dengan apa yang disebut 3-H oleh UNESCO, yaitu pengisian Head, Heart dan Hand. Dengan pengisian Head dan Heart dengan masukan berkualitas, maka generasi yang bakal lahir adalah generasi yang mampu membebaskan diri dari kepicikan kepentingan kelompok. Bila menjadi politisi, maka generasi itu akan menjadi politisi yang negarawan dan beradab, seperti yang pernah ditunjukkan oleh tokoh-tokoh K. H. Agussalim, Sutan Syahrir atau Muhammad Hatta; bukan sekedar politisi Machiavellist durjana yang ‘berkacamata kuda bendi’, yang hanya memperjuangkan kepentingan perut diri dan kelompok kecilnya.

Friday, October 9, 2009

PEMILIHAN REKTOR UNHAS DAN ‘DEWA ZEUS’

Anwar Ibrahim

Pemilihan calon rektor Universitas Hasanuddin sedang dalam proses. Senat Universitas telah melimpahkan sebagian wewenang konstitusionalnya kepada dosen-dosen untuk melakukan pemilihan bakal calon rektor pada tahapan pertama. Seperti tercantum dalam PP No. 60 tahun 1999, Rektor diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Pendidikan, dengan pertimbangan senat universitas. Pertimbangan senat dapat dilakukan secara kualitatif dan atau secara kuantitatif.

Pertimbangan kuantitatif dilakukan setelah melalui proses pemilihan, baik yang dilakukan senat universitas, maupun lewat pemilihan langsung oleh dosen-dosen. Hasil-hasil pemilihan tersebut merupakan bentuk pertimbangan kuantitatif. Dengan maksud agar pertimbangan senat dan rektor terpilih memperoleh legitimasi lebih kuat, senat universitas melimpahkan sebagian wewenangnya kepada dosen dalam pemilihan langsung bakal calon rektor. Pemilihan itu berhasil mendapatkan 5 calon rektor dari 11 orang bakal calon.

Dosen-dosen telah menjatuhkan pilihan. Tentu saja mereka adalah pemilih cerdas dan menetapkan pilihan secara cerdas pula. Tidak dapat diingkari, dalam setiap melakukan dan menetapkan pilihan, manusia selalu menghadapi masalah etis. Memilih yang baik dari yang buruk, yang benar dari yang salah, tentu tidak menimbulkan masalah etis. Tetapi memilih yang terbaik di antara yang terbaik, sungguh-sungguh merupakan masalah etis yang berat. Dalam hal ini, dosen-dosen UNHAS telah dibimbing oleh rasio dan hati nuraninya menghadapi masalah etis tersebut, menetapkan pilihannya.

Kesadaran dosen UNHAS memilih yang mereka anggap terbaik di antara yang terbaik, terlepas dari ikatan-ikatan primordial, tidak tampak adanya politik uang, tidak tampak adanya intrik, tekanan, paksaan atau teror, agaknya memang merupakan perilaku yang patut menjadi cerminan masyarakat.

Proses pemilihan calon rektor masih menyisakan dua tahapan dalam prosesnya, yaitu pemilihan oleh Senat Universitas yang akan diselenggarakan tanggal 17 Oktober, dan penetapan Rektor oleh Menteri Pendidikan Nasional. Pada kedua proses itu, tentu sangatlah diharapkan, Universitas Hasanuddin dapat mempertahankan citranya sebagai lembaga yang menjadi cermin jernih dari masyarakat, citra yang telah diraih lewat pemilihan yang bersih dan jujur pada tahap pertama. Hal itu menjadi tugas para anggota senat dan para guru besar, apakah ingin menjadi cermin jernih masyarakat ataukah menjadi cermin buram yang retak dan dikotori oleh kepentingan dan politik uang.
 

****
Dalam konteks pemilihan calon rektor UNHAS, tiba-tiba terbayang kembali cerita mengenai Dewa Prometheus, dewa ilmu dan kebijaksanaan dalam mitologi Yunani. Cerita itu ditulis kl. 250 SM dalam bentuk drama oleh Aeschilus. Diceritakan, dewa Prometheus memberikan api kepada manusia, sekalipun dewa-dewa lain termasuk dewa Zeus menentangnya. Api Promotheus itu adalah simbol ilmu, kebijaksanaan, dan kebebasan. Raja para dewa, yaitu Zeus mengatakan, sekali api diberikan kepada manusia, dewa-dewa pun tidak akan mampu menariknya kembali. Dengan demikian, para dewa tidak lagi menjadi pemilik dan penguasa satu-satunya dari ilmu, kebijaksanaan, dan kebebasan. Manusia juga telah memilikinya, dan hal itu bisa mengganggu otoritas dewa-dewa.

Cerita Prometheus itu dapat dianalogikan dengan pemilihan calon rektor Unhas. Senat dan Guru-guru Besar Universitas, yang merupakan analogi dewa-dewa di Olympus telah ‘menyerahkan’ api, mendelegasikan sebagian wewenang ‘kedewaannya’ kepada ‘manusia’ yaitu dosen-dosen UNHAS, untuk menetapkan pilihannya secara bebas dalam pemilihan calon rektor. Kemudian para ‘dewa’ di Universitas telah melihat hasilnya.

Dalam cerita Prometheus, hanya dewa Prometheus yang berinisiatif memberikan api ilmu, kebijaksanaan dan kebebasan, sebagai bentuk tindakan menyantuni manusia, karena itu hanya Prometheus yang dijatuhi hukuman dibelenggu di karang dingin Siberia oleh dewa Zeus. Keputusan ‘memberikan api’ kepada dosen-dosen, bukanlah keputusan seorang Prometheus, melainkan keputusan suara terbanyak dari ‘dewa-dewa’ di senat Universitas, termasuk oleh rektor selaku Ketua Senat Universitas. Dengan demikian tidak perlu ada seorang Prometheus yang dihukum, dibelenggu di puncak karang dingin di Siberia. ‘Api’ yang berupa pemilihan oleh dosen-dosen itu adalah ‘anak kandung’ senat Universitas, sehingga hasil itupun merupakan produk ‘dewa-dewa’ itu. Dengan demikian tidaklah ada alasan bagi mereka untuk mengingkari produknya sendiri.

Sekalipun dewa-dewa di Olympus menghukum Prometheus tetapi hati kecil mereka menghargai ‘kepeloporan’ Prometheus yang rela mengorbankan sebagian otoritas kedewaannya demi kepentingan umat manusia. Demikianlah, ketika Prometheus telah dibebaskan oleh Hercules, manusia setengah dewa, cucu dewa Zeus, maka dewa Zeus, Raja para Dewa di Olympus, dengan bijak berkata: ‘Api kebijaksanaan dan kebebasan telah dimiliki manusia. Api itu telah memberikan manfaat besar bagi kehidupannya. Manusia bukanlah lawan dewa-dewa. Tak ada arti kedewaan tanpa kehadiran manusia. Prometheus bukan hanya perlu dibebaskan, tetapi iapun patut dihargai karena telah menyantuni manusia. Penyantunan manusia oleh dewa Prometheus berarti meningkatkan harkat dan kemuliaan dewa-dewa’.

Kiranya Rektor dan para guru besar di senat Universitas yang merupakan penghuni sao asulesanang, istana kebijaksanaan, akan lebih memancarkan sinar kebijaksanaannya, seperti kebijaksanaan Raja Dewa Zeus, dan dengan tulus berkata: “Suara dosen adalah suara senat universitas”. Dengan demikian, UNHAS akan tetap menjadi cermin yang jernih, tempat bercermin masyarakat. Pada senat universitaslah tergantung kebijaksanaan, apakah akan menjadikan UNHAS sebagai cermin jernih masyarakat atau cermin buram yang retak oleh berbagai kepentingan.
 

Ditulis di Tamalanrea, Oktober 2005

Saturday, September 26, 2009

SITUASI TEKS, DI TENGAH KONFLIK ANTARMUKA


Konteks 1
Bahasa yang kita gunakan bukanlah refleksi sejati atas dunia. Bahasa justru merupakan pembiasan dunia, tempat kita berada lalu bersaing untuk mengalami perubahan.
Ronald Carter dan Paul Sipmson,
dalam Bahasa, Wacana dan Sastra


Alwy Rachman

Konteks 2
Sastra yang hidup selalu menyediakan refleksi sensitif terhadap nilai dan cara-pandang-dunia. Sastra yang hidup meng-alir-alur-kan sejarah dan kebudayaan dari generasi ke generasi dan dari wilayah ke wilayah.

J. Lin Compton,
dalam Indigenous Konwledge system and development.

Jikalau bahasa adalah ‘teks’ dan jikalau sastra adalah ’teks’, teks kemudian menjadi terma bersaing. Teks kemudian menjadikan dirinya ’agak kepala batu’ untuk dipahami dan digunakan secara netral. Oleh karenanya, konflik pemaknaan atas teks menjadi tidak terhindarkan. Di dunia akademis, konflik antarmuka di antara pemuka pemikir bahasa dan pemuka pemikir sastra tentang teks telah dan akan berlangsung terus menerus tanpa henti. Secara intuitif, aspirasi kawasan di antara keduanya tidak akan menuju ’aspirasi ketiga’ sebagai pintu keluar yang dapat menghubungkan pemikiran tentang teks bahasa dan pemikiran tentang teks sastra. Terma teks kemudian menjadi problematik, digunakan untuk dua kepentingan, untuk tidak mengatakan untuk dua mainstream --- bahasa dan sastra. Meskipun demikian, secara akademis, teks bahasa dan teks sastra dicoba dijembatani melalui pengembangan model analisis oleh sekelompok ilmuan.

Dua konteks di atas, jika ditelusuri, berakar dari dua mazhab berpikir yang secara radikal berbeda. Konteks 1 dapat ditelusuri ke hulu pemikiran Bourdieu, seorang pemikir sosial kritis yang oleh kalangan ilmuan lain dianggap ”pemikir kiri”. Posisi akademis Bourdieu yang paling kontroversial adalah ketika ia memandang bahwa ”manusia adalah mahluk yang tidak bermoral”. Man is plastic man, "manusia adalah mahluk plastik" yang sangat ditentukan oleh habitus dan arena. Jika manusia hidup dalam habitus dan arena yang bermoral, maka manusia menjadi bermoral. Jika ia hidup dalam habitus dan arena yang jahat, maka ia menjadi manusia jahat.

Habitus, dalam pandangan Bourdieu, terdiri atas 3 hal. Pertama, apa yang ada ”di dalam kepala” seorang aktor. Kedua, interaksi sedemikian rupa dari apa yang ada ”di dalam kepala” seorang aktor dengan apa yang ada ”di dalam kepala” aktor lain. Dengan latar lingkungan yang tersedia, cara berbahasa, cara bergerak, cara mencipta diproduksi melalui interaksi ini. Ketiga, apa yang ada ”di dalam kepala” dan ”interaksi yang menyertainya” inilah yang membentuk pengalaman indrawi manusia. Dengan kata lain, Bourdieu meletakkan tubuh manusia sebagai ”sarana ingatan mnemonic” yang merupakan dasar utama kebudayaan dan dasar utama sejarah.

Di dalam habitus terdapat arena. Arena adalah panggung sosial dimana manusia bertarung, bermanuver dan bersaing untuk merebut sumber-sumber spesisfik, memperjuangkan kepentingan dan mencari akses. Gaya hidup (life style), gaya tutur, gaya rumah, pendidikan, penguasaan tanah, kekuasaan politik dan prestise adalah produk nyata dari struktur pertarungan yang diterima begitu saja. Oleh karenanya, dengan bahasa sederhana, arena dapat dimengerti sebagai sistem posisi sosial yang terstruktur dan dikuasai oleh individu dan institusi.

***
Konteks 2, jika dicermati, lebih terhubung dengan kawasan berpikir Paulo Freire. Kawasan berpikir Freire tidak melihat sastra hanya sebagai sastra, atau sastra untuk sastra. Dayaguna (utility) sastra harus dicari dan ditransformasikan ke dalam sistem pengetahuan dan ke dalam pendidikan budaya dan pendidikan teknis lainnya. Dengan kawasan berpikir seperti ini, Freire sebenarnya menghubungkan sastra (literature) dan keaksaraan (literacy). Sastra tanpa keaksaraan adalah titik tolak keprihatinan Freire.

Argumentasi Freire dibangun di atas pengalaman eksprerimentasi-keaksaraan. Eksperimentasi-keaksaraan (literacy-experiment) disusun melalui tiga tahap. Tahap pertama disebutnya sebagai tahap riset. Pada tahap ini, keunikan dan kode-kode prilaku, kesadaran atas ruang dan situasi, termasuk di dalamnya gaya tutur, idiom-idiom yang terpakai, kosa kata, dan pengucapan ditelusuri sedemikian rupa. Tahap ini bertujuan untuk mengumpulkan tema-tema generatif dari suatu komunitas, yang kemudian akan dipakai untuk tahap berikutnya.

Tahap kedua adalah tahap pendidikan kebudayaan. Tahap ini bertujuan mendialogkan tema-tema generatif dengan komunitasnya. Tema-tema ini kemudian dirancang untuk menemukan pikiran dan pengetahuan komunitas (cultural insight).

Tahap ketiga adalah tahap pendidikan teknis. Tahap ini untuk membuka keaksaraan komunitas dengan tiga pengetahuan; (1) pengetahuan untuk membedakan alam (nature) dan budaya (culture), (2) pengetahuan bahwa kebudayaan dibangun oleh lelaki dan perempuan, dan (3) keaksaraan harus dibuka melalui lelaki dan perempuan karena keduanya adalah kreator budaya.

Melalui tiga tahap ini, Freire meyakini bahwa sastra dan keaksaraan adalah jalan untuk membuka kebutaaksaraan dan dapat dipakai untuk memobilisasi penduduk lokal. Pendekatan tiga-tahap ini berakar dari kepercayaan bahwa manusia --- apa pun sebutannya, ”moderen” atau ”tradisional” --- adalah makhluk kreatif dan kreativitasnya dieskpresikan melalui budaya. Formalisasi idiom-idiom lokal pasti mengandung pengetahuan dan dapat dipakai untuk mengembangkan kredibilitas dan empati terhadap kebudayaan.

***
Di manakah kita harus meletakkan sastra kepulauan? Apakah teks sastra kepulauan harus dilihat dari sisi dinamika konflik etnik-negara (etno-state conflict)? Atau teks sastra kepulauan harus dibangun berdasarkan akar keaksaraan lokal? Mengapa kita harus melawan mainstream? Apa dan siapakah mainstream? Inilah sederetan pertanyaan yang tidak perlu dijawab dengan segera, apalagi terburu-buru. Anakronisme sebaiknya dihindari.

Refleksi terhadap sebelas tahun reformasi bisa dijadikan pijakan. Setidaknya terdapat tiga isu yang semestinya direspon. Pertama, pada paruh pertama reformasi, terjadi pendarahan budaya (cultural bleeding). Konflik Aceh, Sampit, Ambon, Poso, dan Papua adalah contoh telanjang. Dari konflik di kawasan-kawasan kebudayaan ini, kita ternyata tidak memiliki data dan pengetahuan tentang apa yang terjadi pada sastra dan keaksaraan di wilayah-wilayah itu. Jika habitus dan arena budaya berdarah, maka dapat dipastikan bahwa sastra dan keaksaraan juga ikut berdarah. Itu pun kalau kita meyakini hulu pikir Bourdieu. Oleh karenanya, strategi yang dapat dibangun adalah:

Strategi 1

  • Menjernihkan kembali teks sastra dan mentransformasikan keaksaraan lokal menjadi pengetahuan lokal. Utilitas teks sastra harus dicari melalui pendidikan keaksaraan.
Kedua, konflik antaretnik (inter-ethnic-conflict) atau antara negara dengan etnik (etno-state conflict), selama era reformasi, telah membuka mata kita bahwa struktur dan mozaik kebudayaan Indonesia tidak sama besar dan tidak sama lebar. Kawasan budaya Jawa yang relatif lebar dan stabil tidak sebanding dengan budaya-budaya kecil di luar Jawa yang relatif kecil dan fragil. Membiarkan budaya-budaya kecil tetap fragil tidak hanya mengingkari prinsip-prinsip kesetaraan, tetapi juga berakibat meluasnya konflik yang membawa dampak pada sastra dan keaksaraan. Moralitas habitus dan arena budaya-budaya kecil pun akan terancam. Strategi yang diperlukan di sini adalah strategi membangun kesetaraan budaya di hadapan negara.

Strategi 2

  • Mengamandemen kedudukan budaya dalam konstitusi. Pernyataan “Budaya Indonesia adalah puncak-puncak budaya daerah” tidak lagi memadai menampung gagasan kesetaraan kebudayaan di hadapan negara.
Ketiga, praktik pemekaran wilayah yang justru membesar di kawasan-kawasan budaya kecil berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di kawasan budaya Jawa. Di tengah praktik pemekaran itu, idiom lokal dan sastra lokal serta keaksaraan lokal sering dipakai dalam dua modus; memperbesar konflik lokal atau mengukuhkan kekuasaan lokal. Strategi yang diperlukan di sini adalah:

Strategi 3

  • Mengembalikan sastra ke habitat dan ke arena yang fungsional bagi keperluan pengembangan kesadaran, pengetahuan, dan kolektivitas komunitas. Bukan untuk kekuasaan politik.
Sastra kepulauan dapat direfleksi dari sini. Metafor ”pulau”, tanpa bermaksud memenjarakan kreativitas berekspresi, tidak perlu dibawa ke mana-mana. Negeri ini adalah negeri kepulauan, budayanya adalah budaya kepulauan, pengetahuannya adalah pengetahuan yang tumbuh dari keaksaraan kepulauan. Kepulauan mewakili diversitas dan dengan demikian diversitas adalah keniscayaan bagi habitat dan arena kepulauan. Maka, teks-teks penyeragam dan etos-etos institusi penyeragam perlu direspon secara kritis dan radikal.


Bacaan Pemerkaya

Bourdieu, Pierre, 1992, Language and Symbolic Power, Cambridge: Polity Press.
Brokensha, David, dkk. 1980. Indigenous Knowledge Systems and Development, London: University Press of America.

Carter, Ronald,. dan Paul Simpson., 1992. Bahasa, Wacana, dan Sastra (terjemahan), Wellington: Unwin Hyman. Ltd.

Jenkins, Richard, 2002, Pierre Bourdieu, edisi revisi, Canada: Routledge.

Pruitt Dean G., dan Feffrey Z. Rubin, 1986, Teori konflik Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Roderick, Rick, 1986, Habermas and The Foundation of Critical Theory, Hampshire; MacMillan.

PS.
Tulisan ini pernah didiskusikan pada pertemuan “Sastra Kepulauan dan Kampung Budaya VII", Baruga Colliq Pujie, Desa Pancana, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, 15-17 Mei 2009.



 
Alwy Rachman.