SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Saturday, September 26, 2009

SITUASI TEKS, DI TENGAH KONFLIK ANTARMUKA


Konteks 1
Bahasa yang kita gunakan bukanlah refleksi sejati atas dunia. Bahasa justru merupakan pembiasan dunia, tempat kita berada lalu bersaing untuk mengalami perubahan.
Ronald Carter dan Paul Sipmson,
dalam Bahasa, Wacana dan Sastra


Alwy Rachman

Konteks 2
Sastra yang hidup selalu menyediakan refleksi sensitif terhadap nilai dan cara-pandang-dunia. Sastra yang hidup meng-alir-alur-kan sejarah dan kebudayaan dari generasi ke generasi dan dari wilayah ke wilayah.

J. Lin Compton,
dalam Indigenous Konwledge system and development.

Jikalau bahasa adalah ‘teks’ dan jikalau sastra adalah ’teks’, teks kemudian menjadi terma bersaing. Teks kemudian menjadikan dirinya ’agak kepala batu’ untuk dipahami dan digunakan secara netral. Oleh karenanya, konflik pemaknaan atas teks menjadi tidak terhindarkan. Di dunia akademis, konflik antarmuka di antara pemuka pemikir bahasa dan pemuka pemikir sastra tentang teks telah dan akan berlangsung terus menerus tanpa henti. Secara intuitif, aspirasi kawasan di antara keduanya tidak akan menuju ’aspirasi ketiga’ sebagai pintu keluar yang dapat menghubungkan pemikiran tentang teks bahasa dan pemikiran tentang teks sastra. Terma teks kemudian menjadi problematik, digunakan untuk dua kepentingan, untuk tidak mengatakan untuk dua mainstream --- bahasa dan sastra. Meskipun demikian, secara akademis, teks bahasa dan teks sastra dicoba dijembatani melalui pengembangan model analisis oleh sekelompok ilmuan.

Dua konteks di atas, jika ditelusuri, berakar dari dua mazhab berpikir yang secara radikal berbeda. Konteks 1 dapat ditelusuri ke hulu pemikiran Bourdieu, seorang pemikir sosial kritis yang oleh kalangan ilmuan lain dianggap ”pemikir kiri”. Posisi akademis Bourdieu yang paling kontroversial adalah ketika ia memandang bahwa ”manusia adalah mahluk yang tidak bermoral”. Man is plastic man, "manusia adalah mahluk plastik" yang sangat ditentukan oleh habitus dan arena. Jika manusia hidup dalam habitus dan arena yang bermoral, maka manusia menjadi bermoral. Jika ia hidup dalam habitus dan arena yang jahat, maka ia menjadi manusia jahat.

Habitus, dalam pandangan Bourdieu, terdiri atas 3 hal. Pertama, apa yang ada ”di dalam kepala” seorang aktor. Kedua, interaksi sedemikian rupa dari apa yang ada ”di dalam kepala” seorang aktor dengan apa yang ada ”di dalam kepala” aktor lain. Dengan latar lingkungan yang tersedia, cara berbahasa, cara bergerak, cara mencipta diproduksi melalui interaksi ini. Ketiga, apa yang ada ”di dalam kepala” dan ”interaksi yang menyertainya” inilah yang membentuk pengalaman indrawi manusia. Dengan kata lain, Bourdieu meletakkan tubuh manusia sebagai ”sarana ingatan mnemonic” yang merupakan dasar utama kebudayaan dan dasar utama sejarah.

Di dalam habitus terdapat arena. Arena adalah panggung sosial dimana manusia bertarung, bermanuver dan bersaing untuk merebut sumber-sumber spesisfik, memperjuangkan kepentingan dan mencari akses. Gaya hidup (life style), gaya tutur, gaya rumah, pendidikan, penguasaan tanah, kekuasaan politik dan prestise adalah produk nyata dari struktur pertarungan yang diterima begitu saja. Oleh karenanya, dengan bahasa sederhana, arena dapat dimengerti sebagai sistem posisi sosial yang terstruktur dan dikuasai oleh individu dan institusi.

***
Konteks 2, jika dicermati, lebih terhubung dengan kawasan berpikir Paulo Freire. Kawasan berpikir Freire tidak melihat sastra hanya sebagai sastra, atau sastra untuk sastra. Dayaguna (utility) sastra harus dicari dan ditransformasikan ke dalam sistem pengetahuan dan ke dalam pendidikan budaya dan pendidikan teknis lainnya. Dengan kawasan berpikir seperti ini, Freire sebenarnya menghubungkan sastra (literature) dan keaksaraan (literacy). Sastra tanpa keaksaraan adalah titik tolak keprihatinan Freire.

Argumentasi Freire dibangun di atas pengalaman eksprerimentasi-keaksaraan. Eksperimentasi-keaksaraan (literacy-experiment) disusun melalui tiga tahap. Tahap pertama disebutnya sebagai tahap riset. Pada tahap ini, keunikan dan kode-kode prilaku, kesadaran atas ruang dan situasi, termasuk di dalamnya gaya tutur, idiom-idiom yang terpakai, kosa kata, dan pengucapan ditelusuri sedemikian rupa. Tahap ini bertujuan untuk mengumpulkan tema-tema generatif dari suatu komunitas, yang kemudian akan dipakai untuk tahap berikutnya.

Tahap kedua adalah tahap pendidikan kebudayaan. Tahap ini bertujuan mendialogkan tema-tema generatif dengan komunitasnya. Tema-tema ini kemudian dirancang untuk menemukan pikiran dan pengetahuan komunitas (cultural insight).

Tahap ketiga adalah tahap pendidikan teknis. Tahap ini untuk membuka keaksaraan komunitas dengan tiga pengetahuan; (1) pengetahuan untuk membedakan alam (nature) dan budaya (culture), (2) pengetahuan bahwa kebudayaan dibangun oleh lelaki dan perempuan, dan (3) keaksaraan harus dibuka melalui lelaki dan perempuan karena keduanya adalah kreator budaya.

Melalui tiga tahap ini, Freire meyakini bahwa sastra dan keaksaraan adalah jalan untuk membuka kebutaaksaraan dan dapat dipakai untuk memobilisasi penduduk lokal. Pendekatan tiga-tahap ini berakar dari kepercayaan bahwa manusia --- apa pun sebutannya, ”moderen” atau ”tradisional” --- adalah makhluk kreatif dan kreativitasnya dieskpresikan melalui budaya. Formalisasi idiom-idiom lokal pasti mengandung pengetahuan dan dapat dipakai untuk mengembangkan kredibilitas dan empati terhadap kebudayaan.

***
Di manakah kita harus meletakkan sastra kepulauan? Apakah teks sastra kepulauan harus dilihat dari sisi dinamika konflik etnik-negara (etno-state conflict)? Atau teks sastra kepulauan harus dibangun berdasarkan akar keaksaraan lokal? Mengapa kita harus melawan mainstream? Apa dan siapakah mainstream? Inilah sederetan pertanyaan yang tidak perlu dijawab dengan segera, apalagi terburu-buru. Anakronisme sebaiknya dihindari.

Refleksi terhadap sebelas tahun reformasi bisa dijadikan pijakan. Setidaknya terdapat tiga isu yang semestinya direspon. Pertama, pada paruh pertama reformasi, terjadi pendarahan budaya (cultural bleeding). Konflik Aceh, Sampit, Ambon, Poso, dan Papua adalah contoh telanjang. Dari konflik di kawasan-kawasan kebudayaan ini, kita ternyata tidak memiliki data dan pengetahuan tentang apa yang terjadi pada sastra dan keaksaraan di wilayah-wilayah itu. Jika habitus dan arena budaya berdarah, maka dapat dipastikan bahwa sastra dan keaksaraan juga ikut berdarah. Itu pun kalau kita meyakini hulu pikir Bourdieu. Oleh karenanya, strategi yang dapat dibangun adalah:

Strategi 1

  • Menjernihkan kembali teks sastra dan mentransformasikan keaksaraan lokal menjadi pengetahuan lokal. Utilitas teks sastra harus dicari melalui pendidikan keaksaraan.
Kedua, konflik antaretnik (inter-ethnic-conflict) atau antara negara dengan etnik (etno-state conflict), selama era reformasi, telah membuka mata kita bahwa struktur dan mozaik kebudayaan Indonesia tidak sama besar dan tidak sama lebar. Kawasan budaya Jawa yang relatif lebar dan stabil tidak sebanding dengan budaya-budaya kecil di luar Jawa yang relatif kecil dan fragil. Membiarkan budaya-budaya kecil tetap fragil tidak hanya mengingkari prinsip-prinsip kesetaraan, tetapi juga berakibat meluasnya konflik yang membawa dampak pada sastra dan keaksaraan. Moralitas habitus dan arena budaya-budaya kecil pun akan terancam. Strategi yang diperlukan di sini adalah strategi membangun kesetaraan budaya di hadapan negara.

Strategi 2

  • Mengamandemen kedudukan budaya dalam konstitusi. Pernyataan “Budaya Indonesia adalah puncak-puncak budaya daerah” tidak lagi memadai menampung gagasan kesetaraan kebudayaan di hadapan negara.
Ketiga, praktik pemekaran wilayah yang justru membesar di kawasan-kawasan budaya kecil berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di kawasan budaya Jawa. Di tengah praktik pemekaran itu, idiom lokal dan sastra lokal serta keaksaraan lokal sering dipakai dalam dua modus; memperbesar konflik lokal atau mengukuhkan kekuasaan lokal. Strategi yang diperlukan di sini adalah:

Strategi 3

  • Mengembalikan sastra ke habitat dan ke arena yang fungsional bagi keperluan pengembangan kesadaran, pengetahuan, dan kolektivitas komunitas. Bukan untuk kekuasaan politik.
Sastra kepulauan dapat direfleksi dari sini. Metafor ”pulau”, tanpa bermaksud memenjarakan kreativitas berekspresi, tidak perlu dibawa ke mana-mana. Negeri ini adalah negeri kepulauan, budayanya adalah budaya kepulauan, pengetahuannya adalah pengetahuan yang tumbuh dari keaksaraan kepulauan. Kepulauan mewakili diversitas dan dengan demikian diversitas adalah keniscayaan bagi habitat dan arena kepulauan. Maka, teks-teks penyeragam dan etos-etos institusi penyeragam perlu direspon secara kritis dan radikal.


Bacaan Pemerkaya

Bourdieu, Pierre, 1992, Language and Symbolic Power, Cambridge: Polity Press.
Brokensha, David, dkk. 1980. Indigenous Knowledge Systems and Development, London: University Press of America.

Carter, Ronald,. dan Paul Simpson., 1992. Bahasa, Wacana, dan Sastra (terjemahan), Wellington: Unwin Hyman. Ltd.

Jenkins, Richard, 2002, Pierre Bourdieu, edisi revisi, Canada: Routledge.

Pruitt Dean G., dan Feffrey Z. Rubin, 1986, Teori konflik Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Roderick, Rick, 1986, Habermas and The Foundation of Critical Theory, Hampshire; MacMillan.

PS.
Tulisan ini pernah didiskusikan pada pertemuan “Sastra Kepulauan dan Kampung Budaya VII", Baruga Colliq Pujie, Desa Pancana, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, 15-17 Mei 2009.



 
Alwy Rachman.