SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Monday, September 21, 2009

MEDIA TRADISIONAL

Analisis Ringkas terhadap
Kebutuhan-Kebutuhan Pemberdayaan

Alwy Rachman

STUDI tentang pemanfaatan media tradisional (folk media) terbilang langka. Kelangkaan ini lebih disebabkan oleh rumitnya memilih perspektif yang dapat dipakai. Lagipula, studi seperti ini kebanyakan dirumuskan ke dalam kerangka sistem dan pengetahuan lokal (indigenous knowledge systems). Di kalangan antropolog sosial dan antropolog budaya, studi tentang media tradisional dihubungkan dengan berbagai macam disiplin; sistem pengetahuan, pertanian, teknik, perikanan, sains, linguistik dan sastra.

Pada umumnya, para antropolog tidak ingin menghabiskan waktu untuk mendefenisikan apa sesungguhnya yang dimaksud dengan indigenous media. Di sekitar tahun 1980-an, fokus utama dari kalangan ini tertuju pada seberapa besar perhatian yang harus dicurahkan dan apa yang menjadi titik tekan dari sisi kebutuhan perencana pembangunan terhadap akumulasi pengetahuan dan keterampilan tradisional serta teknologi komunitas lokal. Melalui beberapa studi di era 1980-an, para antropolog tiba pada beberapa kesimpulan. Pertama, media tradisional menyimpan kekayaan (richness) dari sisi modus, berperan sebagai wadah pembawa nilai-nilai (value carrier), dan memiliki keanekaragaman bentuk (variety). Kedua, dengan kualitas seperti ini, media tradisional dipercaya dapat diperlakukan sebagai complementary knowledge terhadap sains konvensional yang pada dirinya sendiri, dalam banyak kasus, terbukti tidak memadai dalam merespon ataupun menyelesaikan masalah-masalah pembangunan.

Selain kedua kekuatan di atas, di India misalnya, media tradisional dipakai untuk mengatasi konflik komunal dan dipergunakan sebagai sarana mempromosikan perdamaian. Dengan kata lain, media tradisional telah ditempatkan sebagai bagian dari piranti resolusi konflik. Pemanfaatan media tradisional, setidaknya dengan pengalaman India, terumuskan ke dalam beberapa tujuan. Media tradisional dianggap dapat membantu individu dan kelompok-kelompok sosial lainnya dalam membangun kemawasan (awareness) dan kepekaan terhadap lingkungan sosial secara menyeluruh. Media tradisional juga menolong individu-individu dan kelompok-kelompok sosial lainnya untuk membangun pemahaman dasar tentang lingkungan sosial secara menyeluruh dan memampukan mereka merumuskan peran dalam menangani masalah-masalah kemanusiaan. Selain keterampilan menangani masalah, media tradisional dapat memampukan masyarakat untuk mengevaluasi masalah-masalah sosial, politik, ekonomi, dan estetika. Pada akhirnya, media tradisional dapat mendorong partisipasi dan tanggungjawab sosial terhadap cara menangani masalah-masalah lingkungan.

Dewasa ini, dalam berbagai wacana, isu dan tema tentang media tradisional dihubungkan dengan proses globalisasi. Di kalangan teorisi, misalnya, debat tentang isu dan tema globalisasi menghadirkan ketidak-sepahaman substansial mencakup cara mengkonseptualisasi globalisasi, cara mengenali dan mengatasi dampaknya terhadap media tradisional, serta implikasinya terhadap kekuatan negara dan pada penyelenggaraan good-and-responsible-governance.

Ketidaksepahaman ini dilatari oleh 3 (tiga) pijakan perspektif. Pertama, mereka yang berperspektif globalist menganggap bahwa globalisasi adalah bagian dari pembangunan (termasuk piranti medianya) yang tidak dapat ditolak dan secara signifikan dipengaruhi oleh intervensi manusia. Kedua, mereka yang tergolong traditionalist memandang bahwa globalisasi adalah tahap baru yang telah membuat manusia terasing dari budayanya sendiri dan kemudian tidak dapat lagi memahami kebenaran di antara setumpuk entitas yang terpapar secara tidak proporsional. Ketiga, mereka yang tergolong transformationalist mempercayai bahwa globalisasi menghadirkan dorongan dan perubahan, tetapi membawa bermacam dampak sosial budaya.

Di luar dari perspektif di atas, para peneliti pada akhirnya dapat membuktikan bahwa media budaya tradisional pada dasarnya tidak gampang tergusur. Riset terhadap media tradisional di kawasan China, Hongkong, Taiwan, Filipina, India dan Jepang baru-baru ini menunjukkan produk media kebudayaan domestik --- meskipun sering diintegrasikan ke dalam media modern --- dapat bersaing dengan produk media global. Produk media budaya lokal menunjukkan 3 (tiga) kekuatan utama; bahasanya familiar, konteksnya kultural, dan bermanfaat bagi upaya merawat kerampatan kultural (cultural proximity). Kekuatan inilah yang membuat produk media budaya lokal di kawasan-kawasan di atas dapat menduduki posisi puncak dari 20 program televisi lainnya.

Studi media di Taiwan juga menunjukkan bahwa perilaku pemirsa televisi berusia muda sangat tergantung pada genre program dan kerampatan isi (content proximity), termasuk di dalamnya kerampatan kultural (cultural proximity). Di hadapan para peneliti, masalah utama di dalam mengintegrasikan produk media budaya lokal ke media global terletak pada adanya kekuatan wacana publik yang menginginkan proteksi secara menyeluruh terhadap produk media budaya lokal. Wacana seperti ini sering muncul di kawasan-kawasan yang kebudayaannya dianggap maladaptive terhadap perubahan, dan kawasan-kawasan yang arus kebudayaannya berlangsung secara asimetris dengan kebutuhan atas perubahan. Di kawasan-kawasan seperti ini, industri media budaya lokal sering dibiarkan merana --- kekurangan modal, kekurangan talenta, dan ketinggalan teknologi.

Di negara-negara yang relatif maju, isu pemberdayaan media tradisional dihubungkan dengan berbagai aspek, mencakup; akses, perencanaan dan kebijakan kebudayaan, pendidikan seni tradisional, lembaga bisnis non-profit, dan cara menyediakan pelanjut generasi seniman. Dari sisi akses, kekuatan teknologi media modern seperti internet, surat kabar dan majalah serta radio membuat media tradisional kehilangan ruang. Apalagi, prinsip-prinsip non-profit sulit ditemukan di media seperti ini. Dengan situasi seperti ini, peran museum dan organisasi kesenian menjadi penting.

Jika aspek-aspek di atas dikontekstualisasi menurut kebutuhan Sulawesi Selatan, beberapa hal memang harus dipertimbangkan. Dari sisi perencanaan dan kebijakan, upaya merawat seni tradisional memerlukan kebijakan dan perencanaan kebudayaan. Kebijakan dan perencanaan kebudayaan itu ditujukan untuk mendorong partisipasi publik dan kelompok-kelompok swasta lainnya. Industri-industri hiburan yang bekerja berdasarkan asas non-profit juga bisa memainkan peran penting di sini. Partisipasi ini mungkin dapat diatur melalui proses-proses legislasi dan regulasi. Misalnya, pemberian insentif pajak bagi industri-industri hiburan yang dapat memberi akses bagi seni tradisional.

Dari sisi pendidikan seni tradisional, pemerintah berkepentingan untuk merintis ataupun mendayagunakan institusi-institusi yang telah tersedia. Pemerintah misalnya dapat merintis institusi yang berfungsi sebagai council dalam menangani pemberdayaan seni tradisional. Selain akses, pemerintah juga dapat memainkan fungsi diplomasi budaya melalui institusi seperti ini. Sekolah-sekolah --- dari dasar, menengah, hingga universitas --- juga dapat dilihat sebagai institusi yang dapat dipakai untuk melanggengkan pendidikan seni tradisional.

Tujuan akhir dari semua ini adalah agar institusi sekolah dapat menjadikan dirinya sebagai determinan utama dalam membangun kemampuan estetik dan humanistik secara lebih awal. Mengajak industri rekaman yang dapat bekerja secara non-profit (khusus dalam menangani kebutuhan seni tradisional) menjadi penting. Dengan kecanggihan teknologi dan manajemen distribusi yang dimiliki oleh industri rekaman, produk-produk seni tradisional seperti musik, tari, teater, seni rupa, dapat diakses ke publik dengan cara yang lebih cepat.

Aspek yang paling rumit adalah cara menyediakan generasi pelanjut seniman. Kerumitan ini terletak pada empat kenyataan utama. Pertama, secara vertikal, seni tradisional lokal akan berjumpa dengan seni tradisional dari kebudayaan lain. Perjumpaan ini akan mendorong perubahan sekaligus menciptakan kompetisi. Dengan kata lain, seni tradisional akan semakin cepat berubah dan akan semakin kompetitif. Kedua, secara horizontal, seni tradisional akan berjumpa dengan media komunikasi modern yang lebih canggih, lebih masif, lebih padat modal, dan lebih manajerial. Konsekuensi dari situasi ini adalah, perlunya leadership yang kuat dan efektif yang dapat menggerakkan organisasi kesenian tradisional di tengah perubahan situasional.

Pada akhirnya, pemberdayaan seni tradisional memerlukan pemahaman atas realitas kebudayaan. Sulawesi Selatan, pada kenyataannya berada di Kawasan Timur Indonesia, kawasan yang terstruktur dari mozaik kebudayaan yang kecil-kecil. Ibarat kristal, mozaik ini gampang retak, gampang pecah, gampang terhambur dan kemudian dengan gampang pula terjerumus ke dalam konflik dilihat dari sisi sosial-politik. Konflik di berbagai kawasan Timur merupakan bukti yang paling nyata.

Tesis yang perlu dibangun adalah strategi media budaya lokal apa yang dapat dibangun secara adil dan dapat dipakai secara demokratis untuk memperkukuh kerampatan kultural. Jika ini tercapai, seni tradisional pasti dapat berperan untuk kepentingan luas, misalnya untuk kepentingan penanganan kemiskinan, kebutahurufan dan demokratisasi, bukan sekedar seni tradisional yang diam-diam berada pada kondisi maladaptive terhadap kebutuhan-kebutuhan baru bagi perubahan sosial. Pemberdayaan seni budaya tradisional seharusnya bisa menghindari berbagai macam paradoks; sebagai produk atau sebagai proses, sebagai specific culture atau sebagai subculture.

Bacaan Pemerkaya

Brokensha, David, dkk, 1980, Indigenous knowledge systems and Development, America: University of Press America Servaes.

J. and Lie, R. (eds.)(1997) Media and politics in transition: Cultural identity in the age of globalization. Louvain: Acco.

Catatan

Tulisan ini pernah dipresentasikan sebagai materi pengantar pada diskusi panel di acara “Sarasehan Kelompok Media Tradisional Tingkat Provinsi Sulawesi Selatan 2006”, yang diselenggarakan oleh Badan Informasi, Komunikasi dan Pengolahan Data Elektronik Provinsi Sulawesi Selatan, di Grand Palace Hotel, Makassar, 29 November 2006.





 
Alwy Rachman.