SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Wednesday, August 11, 2010

Poverty Lobotomy, Bedah Otak Kaum Miskin

Alwy Rachman

Saya punya mimpi bahwa satu hari kelak,
keempat anak saya dapat hidup
dalam sebuah negara dimana mereka tidak akan
dinilai berdasarkan warna kulit,
akan tetapi berdasarkan karakter yang mereka miliki.
Marthin Luther King, Jr
Pidato dalam aksi turun ke jalan di Wahington, Agustus 1963


Lobotomy sesungguhnya adalah sebuah terma medis, dipakai untuk merujuk pada satu tindakan atau terapi dalam bentuk memotong pembulu syaraf di otak. Tetapi, oleh para kritikus pendidikan di Amerika, lobotomy secara metaforik dipakai untuk memetakan dan menjelaskan relasi pendidikan kaum miskin dengan struktur dan sistem yang dikuasai oleh modal.

Metafor lobotomy ditarik dari Kisah hidup tentang Liz Murray --- seorang perempuan “broken home” dari ayah yang terpapar HIV/Aids dan dari ibu yang tercandu narkotika --- yang berjuang untuk hidup dari satu tong sampah ke tong sampah lain selama bertahun-tahun, tetapi kemudian bisa memenangkan kompetisi bea siswa untuk menembus pendidikan di Universitas Harvard. Selama belajar, Universitas Harvard sendiri tak pernah tahu bahwa Liz sesungguhnya seorang anak jalanan. Liz yang ditempa oleh waktu dan pengalaman, setelah menjadi pribadi besar dan terbesarkan, muncul sebagai sosok kritis yang mengurai secara benderang sistem pendidikan Amerika yang dilihatnya sebagai “mesin raksasa pencipta ketidakadilan” (Great Inequality Machine).

Kisah Liz adalah kisah hidup kontemporer, bukan kisah hidup fiksional. Sedemikian hidupnya, kisah ini benar-benar memukul habis moral publik Amerika melalui filem “From Homeless to Harvard”, filem yang secara dramatik bercerita tentang derita anak-anak kulit berwarna di arena pendidikan yang kapitalistik. Drama anak-anak kulit berwarna di hadapan mesin raksasa pendidikan kapitalistik inilah yang mengundang respon intelektual dari Lani Guinier, seorang mahaguru di bidang hukum. Lani berujar secara lirih; “dahulu, jika kulitmu berwarna hitam, pulanglah”, “sekarang, jika kamu miskin, di sana ada pintu keluar”. Begitulah penggambaran sistem pendidikan Amerika dari perspektif Lani.

Lani tidak sendiri. Respon intelektual juga datang dari seorang esais Kantor Berita London, John Sutherland. John kemudian melibatkan diri sebagai bagian dari pihak-pihak yang secara intelektual membantu membangun pemahaman publik bahwa lobotomy dapat saja berlangsung di semua jenjang institusi, tidak peduli apakah lobotomy itu telah terstruktur dan tersistem melalui institusi pendidikan. Dengan cara imajinatif, Lani dan John menggambarkan bahwa mesin kapital adalah perangkat operasi yang secara lebih dulu akan menyingkirkan otak kelompok kaum miskin. Kapitalisme Pendidikan adalah mesin bedah yang secara sosial akan memotong dan menyingkirkan potensi intelejensia dan intelektual kaum papa.

***

Apakah lobotomy juga menggejala dalam pendidikan nasional? Di dalam rentang sejarahnya, terutama di dalam konteks prakemerdekaan, pendidikan nasional tidak bertujuan tunggal. A.A. Navis, dengan artikel yang berbahasa sederhana tetapi lugas “Tiga Ragam Pendidikan yang Terlupakan” dalam Seribu Tahun Nusantara (diterbitkan oleh Kompas pada tahun 2000) mengurai jejak-jejak ideologis pendidikan yang bermatra nasionalis di luar pendidikan yang bermatra kolonial. Bagi Navis, Pendidikan kolonial bermuara pada dua tujuan. Pertama, Pendidikan Kolonial bertujuan membentuk lapisan elit yang tercerabut dari akarnya dan melecehkan bangsanya sendiri yang pribumi. Kedua, Pendidikan Kolonial bertujuan merawat dan memperkuat pandangan budaya priyayi yang feodalistik.

Navis juga menjelaskan rekam jejak dan kiprah pendidikan yang bermatra nasionalis. Pendididikan Nasional pertama dirujuk pada Taman Siswa yang mendidik dan mempersiapkan kader-kader nasionalis yang akan memimpin bangsa untuk sebuah kemerdekaan. Karakter yang dituju adalah pemimpin yang mengerti aspirasi rakyat, mampu hidup sederhana dan meniadakan genesis mental ambtenaar yang feodalistik. Rujukan yang kedua adalah Perguruan Muhammadiyah yang bersifat sosial. Ideologi Perguruan Muhammadiyah diletakkan pada pemihakannya pada fakir miskin dan anak yatim sesuai arahan dan panggilan induk organisasinya. Dan, rujukan yang ketiga adalah Pendidikan INS Kayutanam yang berangkat dari filsafat alam, yang kemudian disebut “Sunnatullah, Ciptaan Tuhan”. Karakter yang dituju oleh Pendidikan INS Kayutanam adalah mempersiapkan kader-kader yang dapat mengisi kemerdekaan dengan kualitas “percaya pada kemampuan sendiri."

***
Apakah lobotomy juga menggejala dalam pendidikan nasional? Adalah Anita Lie yang secara cemerlang mendeskripsikan gejala kontemporer yang terpapar di berbagai ranah dan jenjang pendidikan di Indonesia. Dengan mengutip Charles Dickens, it’s the best of times and the worst of times (ini adalah masa paling baik sekaligus masa paling buruk), Anita Lie meyakini bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dinikmati, tetapi kemajuan itu beriringan dengan kesengsaraan banyak anak manusia. Kemajuan dan kesengsaraan, oleh Anita Lie, dijelaskan melalui melalui tiga kerangka yang terhubung dengan wacana dan pengalaman globalisasi, yaitu: (1) Delokasi dan Lokasi, (2) Invasi Teknologi Informasi dan (3) Kebangkitan Korporasi Multinasional.

1. Delokasi dan Lokasi
Satu paradoks dalam proses globalisasi adalah transformasi budaya lokal dalam segala aspek, sebagai akibat interaksi dengan budaya asing dan adopsi unsur-unsur dari budaya asing menjadi bagian budaya lokal. Contoh sederhana, orang Indonesia usia 50 tahun ke atas yang terbiasa makan nasi pecel, rawon, dan nasi uduk, burger McDonald’s terasa amat asing dan tidak nikmat. Namun bagi anak-anak muda, McDonald’s sudah menjadi makanan favorit. Sebaliknya, McDonald’s pun melakukan upaya melokasi produknya sesuai budaya setempat. Di Indonesia, McDonald’s menjual paket nasi. Di Singapura ada paket kiatsu. Di China, McDonald’s menyediakan sup hangat dan sumpit. Padahal di negara asalnya, tambahan-tambahan itu tidak ada.

Salah satu gejala delokasi dalam pendidikan adalah penggunaan bahasa. Di Indonesia, bahasa Inggris resmi diajarkan dalam kurikulum, mulai dari kelas 1 sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP). Namun di daerah perkotaan, banyak sekolah mengajarkan bahasa Inggris sejak kelas I SD. Bahkan, taman kanak-kanak (TK) dan kelompok bermain tidak mau ketinggalan mengajarkan bahasa Inggris. Beberapa sekolah “unggulan” mengklaim penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Untuk memenuhi klaim ini, sekolah-sekolah ini sampai merekrut guru-guru asing, bukan hanya untuk mengajar bahasa Inggris tetapi juga untuk berbagai mata pelajaran lain. Guru-guru asing ini biasanya didatangkan dari Amerika Serikat, Australia, Singapura, Filipina, India, dan negara-negara di Eropa Barat.

Belajar bahasa Inggris di SD dan menengah memenuhi tiga tujuan. Pertama, siswa perlu menyiapkan diri agar bisa membaca buku teks dalam bahasa Inggris di perguruan tinggi. Kedua, kemampuan bahasa Inggris juga masih digunakan sebagai faktor penentu untuk mendapatkan posisi dan imbalan menarik dalam lapangan pekerjaan. Banyak iklan lowongan pekerjaan mencantumkan kemampuan bahasa Inggris sebagai salah satu persyaratan utama. Ketiga, kemampuan bahasa Inggris juga digunakan sebagai penanda sosial yang berfungsi sebagai garis pemisah dalam interaksi sosial di antara kelas-kelas ekonomis dan kultural yang berbeda di masyarakat.

Bahasa mewakili sekaligus membangun realitas sosial, memposisikan manusia dan menciptakan identitas dan relasi. Penggunaan bahasa Inggris (dan akhir-akhir ini bahasa Mandarin) di sekolah merupakan bagian dari strategi pemasaran banyak sekolah untuk merebut minat calon siswa dalam era persaingan global yang sudah melanda dunia pendidikan.

Ada korelasi positif antara kadar penggunaan bahasa Inggris di sekolah dan biaya sekolah (baik uang sumbangan masuk ataupun bulanan). Sekolah yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar biasanya mengenakan biaya amat tinggi dengan dalih penggajian guru-guru asing yang lebih tinggi dibandingkan dengan guru-guru lokal. Lebih menarik lagi, mentalitas pascakolonialisme juga tampak pada pemilahan asal negara guru-guru asing. Penghargaan (baik secara finansial maupun nonmaterial) yang diberikan pihak sekolah maupun stakeholders sekolah (orangtua dan siswa) kepada guru-guru bule (yang berasal dari negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia) cenderung lebih tinggi daripada yang diberikan kepada guru-guru nonbule (Filipina dan India).

Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar juga berkaitan erat dengan adopsi kurikulum asing di Indonesia. Beberapa produk kurikulum dan ujian dari luar negeri yang sudah (atau pernah dijajaki untuk) dipakai di sekolah-sekolah di Indonesia yang mengklaim diri sebagai sekolah internasional, semi-internasional, atau nasional plus adalah IB (International Baccalaureate), O dan A Level (Cambridge Examination), VCE (Victoria Certificate of Education), dan NSW HSC (New South Wales High School Certificate). Kurikulum IB dikelola oleh IBO (Organisasi Bakalaureat Internasional/ International Baccalaureate Organization) yang berpusat di Jenewa, Swiss.

Untuk menjadi sekolah IB, ada proses pengajuan, penilaian, dan akreditasi yang cukup serius dan mahal. Sekolah harus mengirim guru-gurunya untuk mengikuti berbagai pelatihan di luar negeri, membeli buku-buku impor untuk siswa, dan mendatangkan tim penilai dari IBO untuk meninjau apakah sekolah itu sudah pantas menjadi sekolah IB. Akhirnya, siswa harus menempuh ujian yang diselenggarakan IBO.

Ada enam kelompok mata pelajaran dan ujian yang ditawarkan program diploma IB: kelompok Bahasa Ibu (Bahasa Indonesia), kelompok Bahasa Inggris, kelompok Individu dan Masyarakat (Misalnya manajemen bisnis, psikologi) kelompok Ilmu Pengetahuan Eksperimental (misalnya biologi, kimia), kelompok Matematika, dan Kelompok Seni dan Pilihan (misalnya, seni teater). Siswa harus mengambil satu mata pelajaran dari masing-masing kelompok dan di akhir jenjang akan diuji dengan skala 1-7.

Selain itu, setiap siswa harus mengambil mata pelajaran Teori Pengetahuan (Theory of Knowledge), menulis esai 4.000 kata, dan melakukan program CAS (Creativity, Action, and Service/Kreativitas, Aksi, dan Pelayanan), dan bisa mendapatkan tambahan 3 poin. Angka sempurna untuk ujian IB adalah 45. Untuk bisa mendapatkan diploma, siswa harus mendapatkan minimal 24 poin. Jika tidak, siswa hanya akan mendapatkan sertifikat. Seperti McDonald’s yang menyediakan paket nasi untuk menyesuaikan dengan selera lokal, program IB pun menyisakan ruang untuk muatan lokal berupa mata pelajaran bahasa Indonesia dan program CAS.

2. Invasi Teknologi Informasi
Era industrialisasi kini berganti dengan era informasi. Laju informasi yang beredar sudah tidak bisa dikendalikan, dari sisi jumlah, jenis dan dampaknya. Melalui berbagai media elektronik (televisi, internet dengan segala macam variannya), anak-anak diserbu oleh informasi secara dahsyat. Informasi memang bermanfaat dan dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, tetapi pada saat bersamaan bisa merusak anak karena mengandung banyak unsur yang tidak sesuai untuk konsumsi anak (misalnya kekerasan dan pornografi). Maka dari itu, diperlukan keterampilan hidup dalam mencari, menjaring, memilah, dan memanfaatkan informasi dengan benar untuk kepentingan pemelajaran. Praktik-praktik di sekolah berdasarkan pendiktean, penghafalan dan indoktrinasi sudah tidak sesuai zamannya. Kesempatan menjelajahi kehidupan melalui proses pencarian dan penemuan di sekolah menjadi penting.

Penguasaan komputer dan internet merupakan salah satu keterampilan hidup. Siswa/mahasiswa perlu dikondisikan dan diberi kesempatan untuk menguasainya. Beberapa sekolah dan perguruan tinggi memang sudah menyediakan sarana/prasarana teknologi informasi.

Implikasi dari inovasi teknologi adalah, batasan antara pendidikan formal, informal, dan nonformal menjadi kabur. Kini tersedia banyak situs yang menawarkan program atau modul pemelajaran yang dapat diakses dengan mudah. Pemelajaran dunia maya --- yang kadang dimanfaatkan oleh segelintir sekolah --- tidak mengenal batasan formal dan nonformal.

3. Kebangkitan Korporasi Multinasional
Pendidikan sudah menjadi komoditas yang makin menarik. Sekarang ini, pendidikan sudah dikelola menyerupai industri. Seolah-olah semua orang bercita-cita mendirikan sekolah sebagai tempat untuk bisnis. Artinya, seseorang atau lembaga membisniskan sekolah karena mengetahui masyarakat membutuhkan pendidikan, mulai dari tingkat kelompok bermain hingga ke perguruan tinggi.

Pembiayaan pendidikan menunjukkan gejala industri. Semakin mahal suatu sekolah, justru semakin laku. Semakin sekolah dikatakan plus, unggulan, atau berbau internasional, orang semakin tergiur untuk memasukinya. Bahkan pemain-pemain kalangan bisnis mengalihkan perhatian dan investasi mereka pada industri persekolahan. Sekolah-sekolah nasional di kota-kota besar di Indonesia dimiliki pebisnis tingkat nasional dan didirikan dengan mengandalkan jaringan multinasional berupa adopsi kurikulum dan staf pengajar asing.

Seperti layaknya perusahaan, banyak lembaga pendidikan mempunyai tim khusus pemasaran (marketing), meskipun mereka masih sungkan menggunakan istilah marketing. Umumnya, tim ini bekerja dengan bendera humas, tim informasi studi atau biro informasi. Tim ini bekerja melakukan pembenahan internal, merancang media, dan mengkoordinasi dosen dan wakil mahasiswa untuk kegiatan promosi.

Kegiatan promosi dilakukan di dalam dan diluar negeri. Seleksi tes bisa dilakukan di kota yang dikunjungi. Kini adalah era sekolah berburu konsumen. Setiap tahun pameran pendidikan mendatangkan tim pameran dari sekolah-sekolah di Australia, Selandia Baru, Kanada, Singapura, dan China dan berupaya menjaring siswa/mahasiswa dari Indonesia.

***
Pada akhirnya, dengan membaca kisah hidup Liz Murray dan dengan mengikuti paparan A.A. Navis tentang rekam jejak ideologi dan kiprah pendidikan nasional prakemerdekaan serta uraian lugas dan kritis Anita Lie, para pelaksana pendidikan perlu berempati pada substansi pernyataan Mahatma Gandhi, “Saya tidak ingin rumah saya ditembok pada semua bagian dan jendela saya ditutup. Saya ingin budaya-budaya dari semua tempat berhembus di seputar rumah saya sebebas mungkin. Tetapi, saya tetap menolak untuk terbawa dan terhempas”.

Jika terbawa dan terhempas, kita semua akan menjadi pelaku utama lobotomy, yang ikut berdiri di meja operasi dan secara aktif memangkas dan menyingkirkan otak kaum miskin. Kalau itu yang kita pilih, perasaan kita sama dan sebangun dengan para Panglosian, kaum yang selalu merasa aman justru pada saat menjalankan mesin raksasa pencipta ketidakadilan.


***

Bacaan Pemerkaya

Oetama, Jacob (pengantar). 2000 Indonesia Abad XXI, Di Tengah Kepungan Perubahan Global, Jakarta: Gramedia

Oetama, Jacob (pengantar). 2000. Seribu Tahun Nusantara, Jakarta: Gramedia

Widiastono, Tonny D. 2004. Pendidikan Manusia Indonesia, Jakarta: Kompas-Yayasan Toyota & Astra

 
Alwy Rachman.