SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Saturday, September 26, 2009

SITUASI TEKS, DI TENGAH KONFLIK ANTARMUKA


Konteks 1
Bahasa yang kita gunakan bukanlah refleksi sejati atas dunia. Bahasa justru merupakan pembiasan dunia, tempat kita berada lalu bersaing untuk mengalami perubahan.
Ronald Carter dan Paul Sipmson,
dalam Bahasa, Wacana dan Sastra


Alwy Rachman

Konteks 2
Sastra yang hidup selalu menyediakan refleksi sensitif terhadap nilai dan cara-pandang-dunia. Sastra yang hidup meng-alir-alur-kan sejarah dan kebudayaan dari generasi ke generasi dan dari wilayah ke wilayah.

J. Lin Compton,
dalam Indigenous Konwledge system and development.

Jikalau bahasa adalah ‘teks’ dan jikalau sastra adalah ’teks’, teks kemudian menjadi terma bersaing. Teks kemudian menjadikan dirinya ’agak kepala batu’ untuk dipahami dan digunakan secara netral. Oleh karenanya, konflik pemaknaan atas teks menjadi tidak terhindarkan. Di dunia akademis, konflik antarmuka di antara pemuka pemikir bahasa dan pemuka pemikir sastra tentang teks telah dan akan berlangsung terus menerus tanpa henti. Secara intuitif, aspirasi kawasan di antara keduanya tidak akan menuju ’aspirasi ketiga’ sebagai pintu keluar yang dapat menghubungkan pemikiran tentang teks bahasa dan pemikiran tentang teks sastra. Terma teks kemudian menjadi problematik, digunakan untuk dua kepentingan, untuk tidak mengatakan untuk dua mainstream --- bahasa dan sastra. Meskipun demikian, secara akademis, teks bahasa dan teks sastra dicoba dijembatani melalui pengembangan model analisis oleh sekelompok ilmuan.

Dua konteks di atas, jika ditelusuri, berakar dari dua mazhab berpikir yang secara radikal berbeda. Konteks 1 dapat ditelusuri ke hulu pemikiran Bourdieu, seorang pemikir sosial kritis yang oleh kalangan ilmuan lain dianggap ”pemikir kiri”. Posisi akademis Bourdieu yang paling kontroversial adalah ketika ia memandang bahwa ”manusia adalah mahluk yang tidak bermoral”. Man is plastic man, "manusia adalah mahluk plastik" yang sangat ditentukan oleh habitus dan arena. Jika manusia hidup dalam habitus dan arena yang bermoral, maka manusia menjadi bermoral. Jika ia hidup dalam habitus dan arena yang jahat, maka ia menjadi manusia jahat.

Habitus, dalam pandangan Bourdieu, terdiri atas 3 hal. Pertama, apa yang ada ”di dalam kepala” seorang aktor. Kedua, interaksi sedemikian rupa dari apa yang ada ”di dalam kepala” seorang aktor dengan apa yang ada ”di dalam kepala” aktor lain. Dengan latar lingkungan yang tersedia, cara berbahasa, cara bergerak, cara mencipta diproduksi melalui interaksi ini. Ketiga, apa yang ada ”di dalam kepala” dan ”interaksi yang menyertainya” inilah yang membentuk pengalaman indrawi manusia. Dengan kata lain, Bourdieu meletakkan tubuh manusia sebagai ”sarana ingatan mnemonic” yang merupakan dasar utama kebudayaan dan dasar utama sejarah.

Di dalam habitus terdapat arena. Arena adalah panggung sosial dimana manusia bertarung, bermanuver dan bersaing untuk merebut sumber-sumber spesisfik, memperjuangkan kepentingan dan mencari akses. Gaya hidup (life style), gaya tutur, gaya rumah, pendidikan, penguasaan tanah, kekuasaan politik dan prestise adalah produk nyata dari struktur pertarungan yang diterima begitu saja. Oleh karenanya, dengan bahasa sederhana, arena dapat dimengerti sebagai sistem posisi sosial yang terstruktur dan dikuasai oleh individu dan institusi.

***
Konteks 2, jika dicermati, lebih terhubung dengan kawasan berpikir Paulo Freire. Kawasan berpikir Freire tidak melihat sastra hanya sebagai sastra, atau sastra untuk sastra. Dayaguna (utility) sastra harus dicari dan ditransformasikan ke dalam sistem pengetahuan dan ke dalam pendidikan budaya dan pendidikan teknis lainnya. Dengan kawasan berpikir seperti ini, Freire sebenarnya menghubungkan sastra (literature) dan keaksaraan (literacy). Sastra tanpa keaksaraan adalah titik tolak keprihatinan Freire.

Argumentasi Freire dibangun di atas pengalaman eksprerimentasi-keaksaraan. Eksperimentasi-keaksaraan (literacy-experiment) disusun melalui tiga tahap. Tahap pertama disebutnya sebagai tahap riset. Pada tahap ini, keunikan dan kode-kode prilaku, kesadaran atas ruang dan situasi, termasuk di dalamnya gaya tutur, idiom-idiom yang terpakai, kosa kata, dan pengucapan ditelusuri sedemikian rupa. Tahap ini bertujuan untuk mengumpulkan tema-tema generatif dari suatu komunitas, yang kemudian akan dipakai untuk tahap berikutnya.

Tahap kedua adalah tahap pendidikan kebudayaan. Tahap ini bertujuan mendialogkan tema-tema generatif dengan komunitasnya. Tema-tema ini kemudian dirancang untuk menemukan pikiran dan pengetahuan komunitas (cultural insight).

Tahap ketiga adalah tahap pendidikan teknis. Tahap ini untuk membuka keaksaraan komunitas dengan tiga pengetahuan; (1) pengetahuan untuk membedakan alam (nature) dan budaya (culture), (2) pengetahuan bahwa kebudayaan dibangun oleh lelaki dan perempuan, dan (3) keaksaraan harus dibuka melalui lelaki dan perempuan karena keduanya adalah kreator budaya.

Melalui tiga tahap ini, Freire meyakini bahwa sastra dan keaksaraan adalah jalan untuk membuka kebutaaksaraan dan dapat dipakai untuk memobilisasi penduduk lokal. Pendekatan tiga-tahap ini berakar dari kepercayaan bahwa manusia --- apa pun sebutannya, ”moderen” atau ”tradisional” --- adalah makhluk kreatif dan kreativitasnya dieskpresikan melalui budaya. Formalisasi idiom-idiom lokal pasti mengandung pengetahuan dan dapat dipakai untuk mengembangkan kredibilitas dan empati terhadap kebudayaan.

***
Di manakah kita harus meletakkan sastra kepulauan? Apakah teks sastra kepulauan harus dilihat dari sisi dinamika konflik etnik-negara (etno-state conflict)? Atau teks sastra kepulauan harus dibangun berdasarkan akar keaksaraan lokal? Mengapa kita harus melawan mainstream? Apa dan siapakah mainstream? Inilah sederetan pertanyaan yang tidak perlu dijawab dengan segera, apalagi terburu-buru. Anakronisme sebaiknya dihindari.

Refleksi terhadap sebelas tahun reformasi bisa dijadikan pijakan. Setidaknya terdapat tiga isu yang semestinya direspon. Pertama, pada paruh pertama reformasi, terjadi pendarahan budaya (cultural bleeding). Konflik Aceh, Sampit, Ambon, Poso, dan Papua adalah contoh telanjang. Dari konflik di kawasan-kawasan kebudayaan ini, kita ternyata tidak memiliki data dan pengetahuan tentang apa yang terjadi pada sastra dan keaksaraan di wilayah-wilayah itu. Jika habitus dan arena budaya berdarah, maka dapat dipastikan bahwa sastra dan keaksaraan juga ikut berdarah. Itu pun kalau kita meyakini hulu pikir Bourdieu. Oleh karenanya, strategi yang dapat dibangun adalah:

Strategi 1

  • Menjernihkan kembali teks sastra dan mentransformasikan keaksaraan lokal menjadi pengetahuan lokal. Utilitas teks sastra harus dicari melalui pendidikan keaksaraan.
Kedua, konflik antaretnik (inter-ethnic-conflict) atau antara negara dengan etnik (etno-state conflict), selama era reformasi, telah membuka mata kita bahwa struktur dan mozaik kebudayaan Indonesia tidak sama besar dan tidak sama lebar. Kawasan budaya Jawa yang relatif lebar dan stabil tidak sebanding dengan budaya-budaya kecil di luar Jawa yang relatif kecil dan fragil. Membiarkan budaya-budaya kecil tetap fragil tidak hanya mengingkari prinsip-prinsip kesetaraan, tetapi juga berakibat meluasnya konflik yang membawa dampak pada sastra dan keaksaraan. Moralitas habitus dan arena budaya-budaya kecil pun akan terancam. Strategi yang diperlukan di sini adalah strategi membangun kesetaraan budaya di hadapan negara.

Strategi 2

  • Mengamandemen kedudukan budaya dalam konstitusi. Pernyataan “Budaya Indonesia adalah puncak-puncak budaya daerah” tidak lagi memadai menampung gagasan kesetaraan kebudayaan di hadapan negara.
Ketiga, praktik pemekaran wilayah yang justru membesar di kawasan-kawasan budaya kecil berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di kawasan budaya Jawa. Di tengah praktik pemekaran itu, idiom lokal dan sastra lokal serta keaksaraan lokal sering dipakai dalam dua modus; memperbesar konflik lokal atau mengukuhkan kekuasaan lokal. Strategi yang diperlukan di sini adalah:

Strategi 3

  • Mengembalikan sastra ke habitat dan ke arena yang fungsional bagi keperluan pengembangan kesadaran, pengetahuan, dan kolektivitas komunitas. Bukan untuk kekuasaan politik.
Sastra kepulauan dapat direfleksi dari sini. Metafor ”pulau”, tanpa bermaksud memenjarakan kreativitas berekspresi, tidak perlu dibawa ke mana-mana. Negeri ini adalah negeri kepulauan, budayanya adalah budaya kepulauan, pengetahuannya adalah pengetahuan yang tumbuh dari keaksaraan kepulauan. Kepulauan mewakili diversitas dan dengan demikian diversitas adalah keniscayaan bagi habitat dan arena kepulauan. Maka, teks-teks penyeragam dan etos-etos institusi penyeragam perlu direspon secara kritis dan radikal.


Bacaan Pemerkaya

Bourdieu, Pierre, 1992, Language and Symbolic Power, Cambridge: Polity Press.
Brokensha, David, dkk. 1980. Indigenous Knowledge Systems and Development, London: University Press of America.

Carter, Ronald,. dan Paul Simpson., 1992. Bahasa, Wacana, dan Sastra (terjemahan), Wellington: Unwin Hyman. Ltd.

Jenkins, Richard, 2002, Pierre Bourdieu, edisi revisi, Canada: Routledge.

Pruitt Dean G., dan Feffrey Z. Rubin, 1986, Teori konflik Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Roderick, Rick, 1986, Habermas and The Foundation of Critical Theory, Hampshire; MacMillan.

PS.
Tulisan ini pernah didiskusikan pada pertemuan “Sastra Kepulauan dan Kampung Budaya VII", Baruga Colliq Pujie, Desa Pancana, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, 15-17 Mei 2009.



Friday, September 25, 2009

DEMOKRASI, NARSISME DAN KEAKSARAAN BUDAYA

Alwy Rachman

Di dalam satu ulasan tentang perubahan sosial yang di tulis oleh Jean dan Keith dalam “The Narcissism Epidemic“ (2009), digambarkan bahwa masyarakat Amerika kini menghadapi dua apungan tenet kebudayaan, yaitu obesitas (kegemukan) dan narsisme (pemujaan diri). Sebagai sebuah tenet, keduanya berjalan dan bermunculan ibarat doktrin yang tak tersadari. Di luar obesitas, tenet narsisme dianggap sebagai perubahan sosial yang paling membahayakan. Kaum muda Amerika dianggap telah terjerumus ke dalam satu arena yang telah menggelincirkan pendidikan harga diri (self-esteem) dan pengaguman diri (self-admiration) ke pemujaan diri secara berlebihan (narcissism). Pendidikan formal dan pendidikan keluarga serta institusi-institusi sosial lainnya dikritik karena dianggap berkontribusi terhadap munculnya fenomena sosial yang membahayakan ini. Dianggap membahayakan karena narsisme tidak akan pernah menciptakan ruang empati bagi orang lain dan jauh dari toleransi terhadap kehidupan bersama.

Fenomena narsisme ini ditelusuri melalui pertumbuhan institusi di tengah masyarakat. Institusi bisnis tattoo, bisnis salon, bisnis tindik bermunculan di mana-mana. Di keluarga-keluarga Amerika, anak-anak selalu diperlakukan sebagai manusia unik dan istimewa secara berlebihan, dan oleh karenanya mereka harus memuja dirinya pertama kali. Penamaan anak-anak Amerika semakin hari semakin “kedengaran lain”, semakin membedakan dirinya dengan generasi pendahulunya. Di sekolah-sekolah dan di universitas-universitas, individu pelajar dan mahasiswa dipicu untuk berkompetisi secara habis-habisan tanpa perduli kepada pelajar dan mahasiswa lain. Di sebagian besar kaum muda Amerika, di baju kaos T-Shirt yang mereka pakai, kata “I love me” (saya mencintai diri sendiri) paling sering ditemukan. Kata-kata “I love you” menjadi kata-kata para pecundang, tergantikan oleh kata-kata “I love me” yang menjadi pemenang. Persepsi tentang “saya” mengalami hiperbola sedemikian rupa dan menggerus habis persepsi tentang “engkau” yang bukan "saya". Maka, persepsi tentang “kita” dan “kekitaan” menjadi kritis dan problematik, untuk tidak mengatakannya menjadi nihil. Obsesi Amerika yang sedang tumbuh kini mengapungkan sebuah simptom budaya narsisme yang hanya mencintai diri sendiri berdasarkan refleksi terhadap keperluan diri sendiri, bukan refleksi terhadap keperluan kehidupan bersama. Perubahan sosial di Amerika kini terjerat oleh rasa sakit dari dunia yang sarat dengan penyebutan (the world of entitlement).

*****

Di dalam A Nation in Waiting (1999), ditulis oleh Adam Schwarz, gambaran tentang Indonesia sebagai bangsa yang "sedang menunggu" rasanya secara keseluruhan terwakili oleh dua kata yang menjadi judul bagian 1 buku ini, yaitu: Growing Pains (rasa sakit yang tumbuh). Rasa sakit yang telah ada sejak perjuangan kemerdekaan, hingga rasa sakit yang bermunculan di babakan sejarah perubahan sosial di Indonesia. Jika rasa sakit berhadapan dengan penjajah dinyatakan dengan kebersamaan merebut kemerdekaan, rasa sakit berikutnya dinyatakan dengan benturan antarsesama. Konflik politik, konflik wilayah, konflik budaya hingga konflik komunal telah menyeret “keyakinan paling dalam” untuk kemudian secara sedemikian rupa diekspresikan ke dalam berbagai bentuk kekerasan di berbagai arena.

Hari-hari ini, rasa sakit belum hilang. Meski secara sosial politik, Indonesia kini berada di arena reformasi dimana desentralisasi kekuasaan dilangsungkan sedemikian rupa dengan cara mendistribusi sumber-sumber kekuasaan yang dahulu dikonsolidasi secara nasional ke tingkat lokal, gejala sosial yang korup pun tidak hilang begitu saja. Hakikat kebebasan (state of liberty) dan hakikat kesetaraan (state of equity) serta hakikat pengaturan yang adil (state of lisence) menjadi tetap terlanggar. Praktik-praktik kekuasaan yang dikuasakan ke kelompok-kelompok pemenang di tingkat lokal masih juga membutuhkan harga mahal. Praktik-praktik kekuasaan di tingkat lokal, dengan demikian, memunculkan venalitas, suatu gejala yang menandai terjadinya peristiwa membeli dan menjual hak-hak rakyat. Immoralitas demokrasi masih menampakkan diri. Laporan-laporan media, melalui cara yang jelas dan terang, menggambarkan bahwa pemegang state of licence pun ikut mengukuhkan fakta-fakta venalitas. Dari sini, kita bisa tahu bahwa demokrasi dijalankan dengan cara tidak bermoral dan tanpa jiwa.

Moralitas suara rakyat sesungguhnya telah diulas oleh para pemikir demokrasi. Robert Dhal, misalnya, menyebut bahwa moralitas suara rakyat terhubung dengan 10 hal. Pertama, suara rakyat adalah pernyataan kesetaraan dalam voting. Kedua, suara rakyat adalah wujud dari partisipasi efektif. Ketiga, suara rakyat adalah bagian dari kesadaran politik yang tercerahkan. Keempat, suara rakyat adalah pernyataan demos untuk mengendalikan agenda pemerintahnya. Kelima, suara rakyat adalah pernyataan orang dewasa untuk mengikatkan diri pada hukum. Keenam, suara rakyat adalah pernyataan damai tanpa kekerasan dalam memilih pemimpin. Ketujuh, suara rakyat adalah pernyataan bahwa jabatan publik adalah milik demos. Kedelapan, suara rakyat adalah pernyataan kewargaan (citizenry) dalam mengekspresikan hak-haknya tanpa rasa takut. Kesembilan, suara rakyat adalah pernyataan kewargaan untuk mencari informasi alternatif, yang dilindungi oleh hukum. Dan, kesepuluh, suara rakyat adalah pernyataan kewargaan atas kebebasan berorganisasi.

*****

Amerika bukan Indonesia, sebagaimana Indonesia bukan Amerika. Meskipun demikian, situasi sosial sebagai akibat dari perubahan sosial, kedua kawasan ini menandai sedang terjadi perubahan sosial. Jika dipotret, keduanya dapat dijelaskan melalui dyadic conflict model (model konflik bermatra antarmuka). Amerika berhadapan dengan warganya yang hanya dapat melihat diri sendiri (narcissism) sebagaimana Indonesia yang warganya hanya dapat berhadapan dengan sesama bangsanya (adversary). Dyadic conflict model menandai bahwa konflik terjadi karena adanya selisih aspirasi di antara kelompok-kelompok yang berkonflik.

Terdapat dua perspektif untuk memahami perilaku manusia di dalam dyadic conflict (konflik antarmuka). Perspektif pertama dapat ditelusuri ke hulu pemikiran Bourdieu, seorang pemikir sosial kritis, yang oleh kalangan ilmuan dianggap ”kontroversial”. Posisi akademis Bourdieu paling kontroversial adalah ketika ia memandang bahwa ”manusia adalah mahluk yang tidak bermoral”. Man is plastic man, manusia adalah mahluk plastik, yang sangat ditentukan oleh habitus dan arena. Jika manusia hidup dalam habitus dan arena yang bermoral, maka manusia menjadi bermoral. Sebaliknya, jika ia hidup dalam habitus dan arena yang jahat, maka ia menjadi manusia jahat.

Habitus, dalam pandangan Bourdieu, terdiri atas 3 hal. Pertama adalah, apa yang ada ”di dalam kepala” seorang aktor. Kedua, interaksi sedemikian rupa dari apa yang ada ”di dalam kepala” seorang aktor dengan apa yang ada ”di dalam kepala” aktor lain. Dengan latar lingkungan yang tersedia, cara berbahasa, cara bergerak dan cara mencipta, diproduksi melalui interaksi ini. Ketiga, apa yang ada ”di dalam kepala” dan ”interaksi yang menyertainya” inilah yang membentuk pengalaman indrawi manusia. Dengan kata lain, Bourdieu meletakkan tubuh manusia sebagai ”sarana ingatan mnemonic kebudayaan” yang merupakan dasar utama untuk menstrukturkan kebudayaan dan dasar utama dalam mengalur-alirkan sejarah.

Di dalam habitus terdapat arena. Arena adalah panggung sosial dimana manusia bertarung, bermanuver dan bersaing untuk merebut sumber-sumber spesisfik, memperjuangkan kepentingan dan mencari akses. Gaya hidup (life style), gaya tutur, gaya rumah, pendidikan, penguasaan tanah, kekuasaan politik dan prestise adalah produk nyata dari struktur pertarungan yang diterima begitu saja. Oleh karenanya, dengan bahasa sederhana, arena dapat dimengerti sebagai sistem posisi sosial yang terstruktur dan dikuasai oleh individu dan institusi. Itu pula sebabnya, perubahan sosial yang damai hanya bisa dipahami jika habitus dan arena juga tercerahkan secara damai.

Perspektif kedua bisa dirujuk ke inti kawasan pikir Paulo Freire. Kawasan pikir Freire melihat keaksaraan atau literacy di semua aspek kehidupan harus dicari dan kemudian dielaborasi. Dayaguna (utilitas) keaksaraan kemudian ditransformasikan ke dalam sistem pengetahuan dan ke dalam pendidikan budaya dan pendidikan teknis lainnya. Dengan kawasan berpikir seperti ini, Freire sebenarnya sangat prihatin terhadap literacy yang terlupakan dan cenderung tertimbun dalam rentang panjang pengalaman manusia.

Argumentasi Freire dibangun di atas pengalaman eksprerimentasi-keaksaraan. Eksperimentasi-keaksaraan (literacy-experiment) disusun melalui tiga tahap. Tahap pertama disebutnya sebagai tahap riset. Pada tahap ini, keunikan dan kode-kode prilaku, kesadaran atas ruang dan situasi, termasuk di dalamnya gaya tutur, idiom-idiom yang terpakai, kosa kata, dan pengucapan diamati dan direkam. Tahap ini bertujuan untuk mengumpulkan tema-tema generatif dari suatu komunitas, yang kemudian akan dipakai untuk tahap berikutnya.

Tahap kedua adalah tahap pendidikan kebudayaan. Tahap ini bertujuan mendialogkan tema-tema generatif dengan komunitasnya. Tema-tema ini kemudian dirancang untuk menemukan pikiran dan pengetahuan komunitas secara reflektif (cultural insight).

Tahap ketiga adalah tahap pendidikan teknis. Tahap ini untuk membuka keaksaraan komunitas dengan tiga pengetahuan; (1) pengetahuan untuk membedakan alam (nature) dan budaya (culture), (2) pengetahuan bahwa kebudayaan dibangun oleh lelaki dan perempuan, dan (3) keaksaraan harus dibuka melalui lelaki dan perempuan karena keduanya adalah kreator budaya.

Melalui tiga tahap ini, Freire meyakini bahwa keaksaraan adalah jalan untuk membuka membuka pengetahuan dan dapat dipakai untuk memobilisasi penduduk lokal. Pendekatan tiga-tahap ini berakar dari kepercayaan bahwa manusia --- apa pun sebutannya, ”moderen” atau ”tradisional” --- adalah makhluk kreatif dan kreativitasnya dieskpresikan melalui budaya. Formalisasi idiom-idiom lokal pasti mengandung pengetahuan dan dapat dipakai untuk mengembangkan kredibilitas dan empati terhadap kebudayaan. Dengan demikian pluralitas kebudayaan bisa dicerna sebagai pluralitas pengetahuan. Keaksaraan dalam perspektif ini, sama sekali bukan lawan dari buta huruf, tetapi timbunan pengalaman dan pengetahuan yang tersimpan dalam satu kebudayaan. Upaya membukanya kemudian disebut dengan upaya keaksaraan (literacy).

*****

Di manakah kita harus meletakkan keaksaraan agama-agama? Sebagaimana diyakini, agama-agama memiliki keaksaraan tentang perdamaian, kesetaraan, keadilan, kemaslahatan, dan tentang keselamatan. Justru karena keaksaraan seperti ini lah yang membuat agama-agama tetap kokoh dan kedap terhadap perubahan zaman dan selalu memiliki fleksibilitas dalam merespon perubahan-perubahan sosial. Keaksaraan agama-agama tidak harus dilangsungkan hanya pada dirinya sendiri, tetapi lebih maslahat jika keaksaraan agama-agama ditransformasikan ke keaksaraan antaragama. Perdamaian, kesetaraan, keadilan, kemaslahatan, dan keselamatan seharusnya menjadi tema generatif bersama. Dari sini, pengetahuan antaragama dapat dibuka dan dapat ditransformasikan ke dalam bentuk utilitas sosial untuk kepentingan bersama.

Dengan demikian, teks-teks kitab-kitab suci tidak hanya dipersepsi secara normatif simbolik, tetapi utilitasnya dapat dicari dan dikontekstualisasi ke dalam keperluan hidup bersama, terutama dalam menangani konflik sosial dan gejala sosial lain yang membahayakan sebagaimana tergambar pada awal tulisan ini.


Bacaan Pemerkaya

Bourdieu, Pierre, 1992, Language and Symbolic Power, Cambridge: Polity Press.

Brokensha, David, dkk. 1980. Indigenous Knowledge Systems and Development, London: University Press of America.

Jenkins, Richard, 2002, Pierre Bourdieu, edisi revisi, Canada: Routledge.

Pruitt Dean G., dan Feffrey Z. Rubin, 1986, Teori konflik Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Roderick, Rick, 1986, Habermas and The Foundation of Critical Theory, Hampshire; MacMillan.

Schwarz, Adam, 1999, A Nation in Waiting; Indonesia’s Search for Stability, Australia: Allen & Unwin.

Twenge, Jean M., dan W. Keith Campbell, 2009, The Narcissism Epidemic, New York: Free Press.


Catatan
Tulisan ini diturunkan dari makalah yang dipresentasekan dan didiskusikan pada pertemuan “Workshop Penguatan Kapasitas Gerakan Antariman”, diselenggarakan di Manado, Sulawesi Utara, 22-27 Juni 2009.

Monday, September 21, 2009

MEDIA TRADISIONAL

Analisis Ringkas terhadap
Kebutuhan-Kebutuhan Pemberdayaan

Alwy Rachman

STUDI tentang pemanfaatan media tradisional (folk media) terbilang langka. Kelangkaan ini lebih disebabkan oleh rumitnya memilih perspektif yang dapat dipakai. Lagipula, studi seperti ini kebanyakan dirumuskan ke dalam kerangka sistem dan pengetahuan lokal (indigenous knowledge systems). Di kalangan antropolog sosial dan antropolog budaya, studi tentang media tradisional dihubungkan dengan berbagai macam disiplin; sistem pengetahuan, pertanian, teknik, perikanan, sains, linguistik dan sastra.

Pada umumnya, para antropolog tidak ingin menghabiskan waktu untuk mendefenisikan apa sesungguhnya yang dimaksud dengan indigenous media. Di sekitar tahun 1980-an, fokus utama dari kalangan ini tertuju pada seberapa besar perhatian yang harus dicurahkan dan apa yang menjadi titik tekan dari sisi kebutuhan perencana pembangunan terhadap akumulasi pengetahuan dan keterampilan tradisional serta teknologi komunitas lokal. Melalui beberapa studi di era 1980-an, para antropolog tiba pada beberapa kesimpulan. Pertama, media tradisional menyimpan kekayaan (richness) dari sisi modus, berperan sebagai wadah pembawa nilai-nilai (value carrier), dan memiliki keanekaragaman bentuk (variety). Kedua, dengan kualitas seperti ini, media tradisional dipercaya dapat diperlakukan sebagai complementary knowledge terhadap sains konvensional yang pada dirinya sendiri, dalam banyak kasus, terbukti tidak memadai dalam merespon ataupun menyelesaikan masalah-masalah pembangunan.

Selain kedua kekuatan di atas, di India misalnya, media tradisional dipakai untuk mengatasi konflik komunal dan dipergunakan sebagai sarana mempromosikan perdamaian. Dengan kata lain, media tradisional telah ditempatkan sebagai bagian dari piranti resolusi konflik. Pemanfaatan media tradisional, setidaknya dengan pengalaman India, terumuskan ke dalam beberapa tujuan. Media tradisional dianggap dapat membantu individu dan kelompok-kelompok sosial lainnya dalam membangun kemawasan (awareness) dan kepekaan terhadap lingkungan sosial secara menyeluruh. Media tradisional juga menolong individu-individu dan kelompok-kelompok sosial lainnya untuk membangun pemahaman dasar tentang lingkungan sosial secara menyeluruh dan memampukan mereka merumuskan peran dalam menangani masalah-masalah kemanusiaan. Selain keterampilan menangani masalah, media tradisional dapat memampukan masyarakat untuk mengevaluasi masalah-masalah sosial, politik, ekonomi, dan estetika. Pada akhirnya, media tradisional dapat mendorong partisipasi dan tanggungjawab sosial terhadap cara menangani masalah-masalah lingkungan.

Dewasa ini, dalam berbagai wacana, isu dan tema tentang media tradisional dihubungkan dengan proses globalisasi. Di kalangan teorisi, misalnya, debat tentang isu dan tema globalisasi menghadirkan ketidak-sepahaman substansial mencakup cara mengkonseptualisasi globalisasi, cara mengenali dan mengatasi dampaknya terhadap media tradisional, serta implikasinya terhadap kekuatan negara dan pada penyelenggaraan good-and-responsible-governance.

Ketidaksepahaman ini dilatari oleh 3 (tiga) pijakan perspektif. Pertama, mereka yang berperspektif globalist menganggap bahwa globalisasi adalah bagian dari pembangunan (termasuk piranti medianya) yang tidak dapat ditolak dan secara signifikan dipengaruhi oleh intervensi manusia. Kedua, mereka yang tergolong traditionalist memandang bahwa globalisasi adalah tahap baru yang telah membuat manusia terasing dari budayanya sendiri dan kemudian tidak dapat lagi memahami kebenaran di antara setumpuk entitas yang terpapar secara tidak proporsional. Ketiga, mereka yang tergolong transformationalist mempercayai bahwa globalisasi menghadirkan dorongan dan perubahan, tetapi membawa bermacam dampak sosial budaya.

Di luar dari perspektif di atas, para peneliti pada akhirnya dapat membuktikan bahwa media budaya tradisional pada dasarnya tidak gampang tergusur. Riset terhadap media tradisional di kawasan China, Hongkong, Taiwan, Filipina, India dan Jepang baru-baru ini menunjukkan produk media kebudayaan domestik --- meskipun sering diintegrasikan ke dalam media modern --- dapat bersaing dengan produk media global. Produk media budaya lokal menunjukkan 3 (tiga) kekuatan utama; bahasanya familiar, konteksnya kultural, dan bermanfaat bagi upaya merawat kerampatan kultural (cultural proximity). Kekuatan inilah yang membuat produk media budaya lokal di kawasan-kawasan di atas dapat menduduki posisi puncak dari 20 program televisi lainnya.

Studi media di Taiwan juga menunjukkan bahwa perilaku pemirsa televisi berusia muda sangat tergantung pada genre program dan kerampatan isi (content proximity), termasuk di dalamnya kerampatan kultural (cultural proximity). Di hadapan para peneliti, masalah utama di dalam mengintegrasikan produk media budaya lokal ke media global terletak pada adanya kekuatan wacana publik yang menginginkan proteksi secara menyeluruh terhadap produk media budaya lokal. Wacana seperti ini sering muncul di kawasan-kawasan yang kebudayaannya dianggap maladaptive terhadap perubahan, dan kawasan-kawasan yang arus kebudayaannya berlangsung secara asimetris dengan kebutuhan atas perubahan. Di kawasan-kawasan seperti ini, industri media budaya lokal sering dibiarkan merana --- kekurangan modal, kekurangan talenta, dan ketinggalan teknologi.

Di negara-negara yang relatif maju, isu pemberdayaan media tradisional dihubungkan dengan berbagai aspek, mencakup; akses, perencanaan dan kebijakan kebudayaan, pendidikan seni tradisional, lembaga bisnis non-profit, dan cara menyediakan pelanjut generasi seniman. Dari sisi akses, kekuatan teknologi media modern seperti internet, surat kabar dan majalah serta radio membuat media tradisional kehilangan ruang. Apalagi, prinsip-prinsip non-profit sulit ditemukan di media seperti ini. Dengan situasi seperti ini, peran museum dan organisasi kesenian menjadi penting.

Jika aspek-aspek di atas dikontekstualisasi menurut kebutuhan Sulawesi Selatan, beberapa hal memang harus dipertimbangkan. Dari sisi perencanaan dan kebijakan, upaya merawat seni tradisional memerlukan kebijakan dan perencanaan kebudayaan. Kebijakan dan perencanaan kebudayaan itu ditujukan untuk mendorong partisipasi publik dan kelompok-kelompok swasta lainnya. Industri-industri hiburan yang bekerja berdasarkan asas non-profit juga bisa memainkan peran penting di sini. Partisipasi ini mungkin dapat diatur melalui proses-proses legislasi dan regulasi. Misalnya, pemberian insentif pajak bagi industri-industri hiburan yang dapat memberi akses bagi seni tradisional.

Dari sisi pendidikan seni tradisional, pemerintah berkepentingan untuk merintis ataupun mendayagunakan institusi-institusi yang telah tersedia. Pemerintah misalnya dapat merintis institusi yang berfungsi sebagai council dalam menangani pemberdayaan seni tradisional. Selain akses, pemerintah juga dapat memainkan fungsi diplomasi budaya melalui institusi seperti ini. Sekolah-sekolah --- dari dasar, menengah, hingga universitas --- juga dapat dilihat sebagai institusi yang dapat dipakai untuk melanggengkan pendidikan seni tradisional.

Tujuan akhir dari semua ini adalah agar institusi sekolah dapat menjadikan dirinya sebagai determinan utama dalam membangun kemampuan estetik dan humanistik secara lebih awal. Mengajak industri rekaman yang dapat bekerja secara non-profit (khusus dalam menangani kebutuhan seni tradisional) menjadi penting. Dengan kecanggihan teknologi dan manajemen distribusi yang dimiliki oleh industri rekaman, produk-produk seni tradisional seperti musik, tari, teater, seni rupa, dapat diakses ke publik dengan cara yang lebih cepat.

Aspek yang paling rumit adalah cara menyediakan generasi pelanjut seniman. Kerumitan ini terletak pada empat kenyataan utama. Pertama, secara vertikal, seni tradisional lokal akan berjumpa dengan seni tradisional dari kebudayaan lain. Perjumpaan ini akan mendorong perubahan sekaligus menciptakan kompetisi. Dengan kata lain, seni tradisional akan semakin cepat berubah dan akan semakin kompetitif. Kedua, secara horizontal, seni tradisional akan berjumpa dengan media komunikasi modern yang lebih canggih, lebih masif, lebih padat modal, dan lebih manajerial. Konsekuensi dari situasi ini adalah, perlunya leadership yang kuat dan efektif yang dapat menggerakkan organisasi kesenian tradisional di tengah perubahan situasional.

Pada akhirnya, pemberdayaan seni tradisional memerlukan pemahaman atas realitas kebudayaan. Sulawesi Selatan, pada kenyataannya berada di Kawasan Timur Indonesia, kawasan yang terstruktur dari mozaik kebudayaan yang kecil-kecil. Ibarat kristal, mozaik ini gampang retak, gampang pecah, gampang terhambur dan kemudian dengan gampang pula terjerumus ke dalam konflik dilihat dari sisi sosial-politik. Konflik di berbagai kawasan Timur merupakan bukti yang paling nyata.

Tesis yang perlu dibangun adalah strategi media budaya lokal apa yang dapat dibangun secara adil dan dapat dipakai secara demokratis untuk memperkukuh kerampatan kultural. Jika ini tercapai, seni tradisional pasti dapat berperan untuk kepentingan luas, misalnya untuk kepentingan penanganan kemiskinan, kebutahurufan dan demokratisasi, bukan sekedar seni tradisional yang diam-diam berada pada kondisi maladaptive terhadap kebutuhan-kebutuhan baru bagi perubahan sosial. Pemberdayaan seni budaya tradisional seharusnya bisa menghindari berbagai macam paradoks; sebagai produk atau sebagai proses, sebagai specific culture atau sebagai subculture.

Bacaan Pemerkaya

Brokensha, David, dkk, 1980, Indigenous knowledge systems and Development, America: University of Press America Servaes.

J. and Lie, R. (eds.)(1997) Media and politics in transition: Cultural identity in the age of globalization. Louvain: Acco.

Catatan

Tulisan ini pernah dipresentasikan sebagai materi pengantar pada diskusi panel di acara “Sarasehan Kelompok Media Tradisional Tingkat Provinsi Sulawesi Selatan 2006”, yang diselenggarakan oleh Badan Informasi, Komunikasi dan Pengolahan Data Elektronik Provinsi Sulawesi Selatan, di Grand Palace Hotel, Makassar, 29 November 2006.





Sunday, September 13, 2009

NEGARA KESEJAHTERAAN VERSI MACCAÉ RI LUWU

Anwar Ibrahim

PEMIKIRAN dan wasiat-wasiat Maccaé ri Luwu, cerdik cendekia dari Tana Luwu, untuk waktu yang lama telah menjadi pedoman kehidupan manusia dan masyarakat di kerajaan Luwu. Pemikirannya bahkan menembus jauh ke daerah-daerah sekitarnya, antara lain ke kerajaan Soppeng. Pemikiran itu dipelajari, dikaji, dihayati, dan disyaratkan untuk terwujudkan dalam praktik kehidupan terutama oleh raja dan kaum bangsawan Luwu dan Soppeng. Hubungan historik[1]antara kerajaan Luwu dengan Soppeng sebelum kedatangan tomanurung di Soppeng yang disebut Manurunngé ri Sékkanyili agaknya masih tetap terjalin sampai lama setelah kedatangan tomanurung itu. Seorang calon datu Soppeng, La Basok To Akkarangeng[2] sebelum dilantik menjadi Datu Soppeng, secara khusus melakukan perjalanan berkunjung ke Tana Luwu, ke kediaman Maccaé ri Luwu, guna memperoleh bekal yang berupa pengajaran dan pendidikan mengenai berbagai aspek dalam kehidupan, terutama dalam hal pengaturan masyarakat dan kerajaan[3].

Pemikiran Maccaé ri Luwu seperti yang diturunkannya kepada La Basok sangat besar pengaruhnya, mempedomani berbagai aktivitas kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan di kerajaan Soppeng. Pengetahuan Maccaé mengenai keadaan masyarakat dan karakter manusia Luwu serta keadaan masyarakat dan karakter manusia Soppeng beserta lingkungan alam dan lingkungan sosialnya, menyebabkan pemikiran itu menjadi relevan sebagai pegangan dalam pengaturan negara dan masyarakat. Oleh karena itu pemikiran Maccaé, telah menembus batas-batas wilayah kerajaan tempat Maccaé melakoni kehidupannya.

Maccaé ri Luwu sebagai seorang cerdik cendekia tampaknya telah pula berkomunikasi dan mempelajari pemikiran to acca lain yang lahir sebelumnya. Pemikiran yang berkembang sekitar 50 tahun sebelum Maccaé ri Luwu, seperti pemikiran La Méllong Kajaolaliddo (1508-1583) dari Boné dan Puang ri Maggalatung dari Wajo turut memberi warna dalam pemikiran Maccaé ri Luwu. Berbagai aspek dalam kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan, beserta nilai-nilai utama yang mendasarinya yang diungkapkan Kajaolaliddo dan Puang ri Maggalatung, menjadi pokok-pokok pembahasan yang kritis dalam pemikiran Maccaé ri Luwu. Cerdik cendekia Luwu ini melakukan interpretasi dan reinterpretasi secara kritis dan kreatif, menyesuaikannya dengan semangat zaman dan ruang, latar kehidupan sosial, serta masalah-masalah kenegaraan dan kemasyarakatan yang dihadapi Maccaé tersebut. Tidaklah mengherankan bila berbagai hal yang dikemukakan Kajaolaliddo dan Puang ri Maggalatung lebih diuraikan, lebih dijelaskan dan diberi penekanan tertentu di dalam pemikiran to acca dari Luwu ini. Namun demikian, nilai-nilai dasar yang sifatnya prinsipil yang diungkapkan Kajaolaliddo dan Puang ri Maggalatung tetap bertahan dalam pemikiran Maccaé ri Luwu, seperti nilai-nilai dasar ada tongeng (berkata-kata benar), lempuk (kejujuran), getteng (keteguhan, konsistensi), sipakatau (saling menghargai sebagai sesama manusia); penegakan dan kepatuhan pada hukum serta norma-norma panngadereng, tetap merupakan warna dasar yang dominan dalam pemikiran to acca tersebut, yang bentuk perwujudannya disesuaikan dengan semangat latar, ruang dan zamannya.

Tujuan negara untuk menciptakan kesejahteraan rakyat dan segenap warga masyarakat atau tujuan yang mengarah pada penciptaan kerajaan atau negara kesejahteraan, yang menjamin tercapainya kesejahteraan segenap warga masyarakat dengan jelas dan tegas tampak dalam pemikiran dan wasiat Maccaé ri Luwu. Cerdik cendekia dari Luwu ini menegaskan bahwa penciptaan kesejahteraan masyarakat, justru sangat terkait dengan perilaku warga masyarakat sendiri, terutama perilaku raja, pejabat-pejabat dan aparat-aparat kerajaan. Perilaku yang dianggap ideal mendorong penciptaan kesejahteraan rakyat adalah perilaku yang didasari oleh kedalaman penghayatan dan pengamalan terhadap berbagai nilai dasar yang dikemukakannya. Dalam mengemukakan pandangan-pandangannya yang disampaikan dengan cara berdialog dengan La Baso To Akkarangeng, Maccaé ri Luwu cenderung lebih banyak melakukan penguraian. Sifat moralistik religius yang tercermin dalam pemikirannya menandai penghayatannya terhadap inti hakikat kepercayaan yang bersumber dari surek Galigo yang dianut secara turun temurun oleh masyarakat Luwu pada masanya, serta pemahaman dan pendalamannya mengenai ilmu pappéjeppu, yaitu ilmu makrifat Bugis, yang terkesan sudah bersentuhan dengan nilai-nilai kepercayaan yang Islami. Dasar moralistik religius itulah yang membedakannya dengan pemikiran Kajaolaliddo, Puang ri Maggalatung, Arung Bila[4] dari Soppeng, dan Nénék Mallomo dari Sidénréng. Dua to acca terakhir ini seangkatan dengan Maccaé ri Luwu dan merupakan tiga serangkai cendekiawan Bugis pada masanya.

Konsep ‘Pawinruk’, ‘Tajang’ dan ‘Sadda’

Tidak lepas dari pengaruh mitos mengenai kosmologi orang Luwu yang berkembang sejak zaman La Galigo yang membagi kosmos ke dalam tiga bagian, yaitu botinglangik (dunia atas), alékawa (dunia tengah), dan uringliung (dunia bawah atau dasar kedalaman), Maccaé ri Luwu memulai pemikirannya mengenai Sang Pencipta, Pawinruk-é yang diyakininya sebagai sumber segala nilai-nilai. Bila dalam mitos tomanurung, Sang Penentu Nasib, Patotoé mengirim Batara Guru secara fisik turun dari botinglangik ke alékawa untuk mengatur kehidupan manusia dan kerajaan di bumi, maka dalam pemikiran Maccaé, sang Pencipta tidak lagi menurunkan seorang oknum dewa turunannya secara fisik ke alékawa melainkan menurunkan tajang dan sadda, menurunkan nilai-nilai sebagai pedoman untuk menata kehidupan di dunia manusia. Dinyatakan dalam ungkapan ilmu makrifatnya, pappéjeppu, bahwa ketika manusia akan lahir di dunia, pada dirinya telah tersimpan cahaya, tajang yang diletakkan pawinruk-é pada hati nurani, ati macinnong manusia. Hal itu dinyatakan dalam ungkapan: “sebelum manusia (disebut La Ugi) lahir melihat cahaya dunia, telah ada cahaya yang dibawanya serta, barulah dia lahir bersama kembarannya yang bernama I Campugi (placenta)”. (Ri wettu tellessukna La Ugi mita tajang, engka mémeng tona tajang natiwi, nainappani lessuk silessureng sibawa selessurenna ri asenngé I Campugi). Placenta dianggap sebagai kembaran manusia.

Tajang yang diletakkan dalam hati nurani manusia itu dianggap bagian dari cahaya sang pencipta, tajanna pawinruk-é yang berfungsi sebagai penjaga dan pemelihara hati nurani manusia, sehingga ati macinnong tetap jernih berkilau dan suci. Oleh karena itulah ati macinnong tidak akan pernah bisa berdusta dan tersesat. Hati nurani yang diterangi tajanna pawinruk-é itulah satu-satunya organ dalam diri manusia yang dapat menerima suara ilham, sadda, (wahyu, firman, dalam terminologi agama), yang diturunkan sang pencipta kepada manusia. Akal pikiran manusia bisa tersesat, tetapi hati nurani itulah yang selalu menemukan kebenaran, seperti diungkapkan secara puitis: “Menyuruk aku ke hutan belantara, akal pikiran tersesat, hati nurani menemukan jalan kebenaran” (sellukkak ri alek kabo, pusa nawa-nawa, ati mallolongang). Sadda dari pawinruk-é itulah yang merupakan nilai-nilai dasar sebagai pedoman dalam penataan kehidupan manusia di alékawa.

Hati nurani, ati macinnong, dianggap sebagai tempat bersumber dari seluruh sikap jiwa yang baik dan bersih, yang mendorong manusia melakukan perbuatan dan berperilaku baik, perilaku yang menimbulkan kebaikan dan kemujuran. Ati macinnong dipercaya sebagai hakikat sesungguhnya dari manusia, “yaitu manusia sesungguhnya yang berada di dalam manusia”, (Iyaritu tau tongettongeng ri lalenna tauwé). Mata, telinga, lidah, hidung dan anggota tubuh lainnya hanyalah penumpang dalam diri manusia. Kemampuan fungsional anggota tubuh manusia itu bersumber dari hati nurani. Sesungguhnyalah, mereka adalah tamu di dalam diri manusia. Tuan rumah sesungguhnya adalah hati nurani itu. Dialah yang menjadikan mata melihat, yang menjadikan telinga mendengar, menggerakkan lidah, dan penciuman. Oleh karena dialah, maka mata melihat tidak sembarang melihat, telinga mendengar tidak sembarang mendengar, lidah berkata-kata tidak sembarang berkata-kata, membaui tidak sembarang membaui, dan bergerak tidak sembarang bergerak (makkita tekkémata-mata, maréngkalinga tekkéculing-culing, makkeda tekkélessuk-lessuk, marémmau tekké-émmau-émmau, kédo teccakédo-kédo).

Manusia yang memiliki sikap jiwa yang baik, madécéng kalawing ati[5] akan selalu memelihara diri, perkataan dan perbuatannya. Manusia yang demikian memiliki kesadaran, maingek. Kesadaran itulah tempatnya ingatan, parénngerang. Semua perbuatannya dilakukan dengan pertimbangan dari hati nurani, pétannga mappong ri ati macinnonngé. Oleh karena itulah, perilaku manusia harus disertai kesadaran, yang memungkinkannya dapat memelihara dan mewujudkan lima pegangan, lima akkatenningeng dalam kehidupannya, yaitu nilai-nilai dasar ada tongeng (kata-kata yang benar), lempuk (kejujuran), getteng (keteguhan atau konsistensi), sipakatau (saling menghargai sesama manusia) dan mappésona ri déwata seuwaé (berserah diri pada pencipta yang esa). Hanya manusia yang sadar, manusia yang melakukan dialog dengan hati-nuraninya, dapat menemukan kebenaran sesungguhnya. Pada hati nuranilah dapat ditemukan cahaya sang Pencipta, tajanna pawinruk-é, yang merupakan sumber segala kebenaran.

Akan tetapi, cahaya dalam hati nurani manusia dapat ditutupi berbagai noda, sebagai akibat dari diturutinya segala godaan keinginan, cinna, sehingga hati nurani itu mengalami kegelapan. Cinna yang tidak terkendali akan membawa manusia menjadi kehilangan hakikat kemanusiaannya, dan berubah menjadi hanya bagaikan boneka berwajah manusia, rapang-rapang tau, atau turun martabat menjadi sekedar binatang, olokolok. Manusia yang terlalu mengikuti keinginan dan kepentingannya, tau turuk cinnaé, tidak akan mampu menemukan kebenaran sesungguhnya, karena “kebenaran yang sesungguhnya itu sifat tempatnya rahasia. Manusia yang terikat keinginan dan kepentingan, hanya mampu menemukan yang tampak nyata, yang kasat mata”. Manusia yang menuruti seluruh keinginannya menjadikan hati nuraninya tidak fungsional sehingga tidak lagi mampu menerima saddanna pawinruk-é. Itulah sumber segala kejahatan dan keangkaramurkaan yang merusak seluruh tatanan dalam kehidupan manusia beradab.

Konsep Kesejahteraan

Penciptaan Kesejahteraan masyarakat menjadi topik yang ditekankan secara tegas dalam pemikiran Maccaé ri Luwu. Kesejahteraan masyarakat dan negara terjadi bila raja menjalankan fungsi pengayoman dan pemayungan kepada rakyatnya, sehingga memungkinkan: 1) warga masyarakat memperluas jaringan kekerabatan, merimbunkan pepohonan, palorong wélareng, pakdaung raung kaju; 2) warga masyarakat memiliki harapan hidup (usia) lebih panjang, malampék sungek, 3) meningkatkan jumlah manusia dan mengembangbiakkan binatang ternak, pasawé tau, pabbija olokolok; 4) mempersubur tanaman buah-buahan dan meningkatkan hasil panen, pasawé bua-bua ajukkajung, mapato laopolé sangiaserri; serta 5) adanya persatuan jiwa dan semangat seluruh rakyat. Hal-hal tersebut sekaligus memungkinkan terciptanya kejayaan negara.

Kejayaan negara sangat dipengaruhi dan berhubungan erat dengan perilaku manusia: raja, para bangsawan, pemangku adat, dan segenap warga masyarakat. Perilaku manusia seharusnya berdasar pada sikap jiwa yang baik dan bersih. Perilaku yang baik dan bersih itu bersumber pada hati nurani manusia. Warga masyarakat secara keseluruhan memelihara diri dan kesadarannya, serta memfungsikan hati nuraninya. Pertanyaan Datu Soppeng La Basok Toakkarangeng, dijawab Maccaé ri Luwu bahwa yang dapat memperluas jaringan kekerabatan dan merimbunkan pepohonan (palorong welareng, pakdaung raungkaju) adalah dengan mempraktikkan perilaku yang menempatkan segala sesuatunya pada tempatnya secara proporsional, sesuai asas kepatutan, asitinajang. Demikian juga yang dapat memberikan harapan hidup yang panjang, memanjangkan usia, lampéri sungek, adalah dengan mengembangkan perilaku yang memelihara kejujujuran, lempuk, dengan membuktikan serta mewujudkan perbuatan yang: memaafkan orang yang bersalah padanya, tidak culas bila diberi kepercayaan, tidak serakah terhadap yang bukan haknya, dan tidak mencari kebaikan bila hanya dia menikmatinya, (riasalaiyé nakdampeng, riparennuangié tennapajékkoi, bettuanna risanrésié tennapabelléang, temmangoangiwi taniyaé anunna, tessessek décéng rékkok alénami podécénngi).

Untuk meningkatkan (jumlah) manusia dan membiakkan ternak, pasawé tau, pabbija olokolok, diperlukan pemeliharaan perilaku yang menunjukkan nilai keteguhan dan ketegasan, konsisten dalam prinsip yang benar, getteng, dengan bukti perbuatan: tidak mengingkari janji, tidak menghkianati ikrar (perjanjian) antarkerajaan, tidak merusak ketetapan yang telah dibuat pendahulunya, tidak mengubah permufakatan, dan menyelesaikan dengan tuntas bila mengadili perkara, (tessalaié janci, tessorosié uluada, tellukaé anu pura, teppinraé assituruseng, narékkok mabbicarai purapi napajaiwi). Ditunjukkannya delapan jenis perilaku yang menjadi bukti sikap getteng yaitu:
  1. tidak melebih-lebihkan perkataan,
  2. tidak mengurangi perkataan,
  3. melaksanakan tugas dengan baik,
  4. mengucapkan perkataan yang benar,
  5. melakukan perbuatan yang bermanfaat pada manusia,
  6. melakukan perbuatan dan mengucapkan kata-kata yang patut,
  7. memberikan bantuan kepada orang lain sesuai kewajaran, dan
  8. merendahkan diri sepatutnya.

Kesejahteraan masyarakat ditandai oleh melimpahnya bahan makanan, baik buah-buahan maupun meningkatnya hasil panen, terutama padi-padian. Hal itu terjadi bila:

  • hakim berpantang,
  • bila raja memerintah bersikap baik terhadap seisi rumahnya,
  • bila bersatu-padu rakyat di dalam negeri, dan bila tidak ada pantangan sangiaserri di dalam negeri, (mappémmaliwi pabbicaraé, madécéng ri lalempolai arung mangkauk-é, masséuwana taué ri lalempanuwa, dékpa sapakna sangiaserri ri wanuwaé).

Kebaikan dalam istana raja ditandai perilaku raja yang jujur, teguh dan tegas berpegang pada kebenaran, raja tidak menjamah isi rumahnya, maksudnya raja tidak melakukan perbuatan tidak senonoh menurut aturan adat kepada dayang-dayangnya, dan tidak masuk ke istana raja barang hasil perbuatan sewenang-wenang.

Persatuan seluruh rakyat di dalam negeri yang merupakan salah satu tanda kesejahteraan masyarakat dibuktikan dengan

  1. rakyat yang seia sekata; dengan bersikap jujur kepada sesamanya;
  2. saling berkata benar di antara mereka;
  3. saling memelihara martabat dan harga diri;
  4. bersatu dalam duka dan suka;
  5. ke gunung sama mendaki dan tidak saling menarik ke lembah;
  6. tidak saling berhitung-hitung antarsesama; dan
  7. saling membenarkan dalam kebenaran sesuai apa adanya.
Sedangkan perilaku yang menjadi pantangan sangiaserri, ada delapan jenis, yaitu:
  1. Wanita hidup bersama (seketiduran) dengan pria;
  2. hidup seketiduran dengan saudaranya;
  3. orang seketiduran dengan hamba sahayanya[6];
  4. wanita yang berzinah atau beronani dengan alat kelamin buatan, mallaso pattik-é[7];
  5. pria yang hidup seketiduran dengan sesamanya pria;
  6. bersengketa rakyat di dalam negeri;
  7. hakim tidak berpantang dalam peradilan; dan
  8. raja yang memerintah berlaku tak senonoh terhadap isi rumahnya.
Oleh karena eratnya hubungan kesejahteraan masyarakat dengan perilaku manusia, maka ditegaskannya lima sifat yang akan mencegah timbulnya penyesalan dalam kehidupan, yaitu:
  • berpikiran panjang (nawa-nawa malampék) sebelum melakukan sesuatu perbuatan atau mengucapkan sesuatu perkataan;
  • menggunakan pertimbangan matang (tanngak);
  • menggunakan akal dan kemampuan menentukan pilihan (pangilé);
  • selalu memelihara martabat dan harga diri (sirik-é); dan
  • memiliki sikap yang selalu berhati-hati (tikek-é).

Perilaku yang benar serta kata-kata yang benar, tempatnya pada orang yang berpikiran panjang; perbuatan yang patut dan tepat, tempatnya pada orang yang menggunakan pertimbangan matang; perkataan yang baik dan tidak serampangan, tempatnya pada orang pintar. Sedangkan perilaku jelek dan perkataan buruk tempatnya pada orang yang sesat; dan perilaku salah serta perkataan salah, tempatnya pada orang dungu.

Penegakan Supremasi Hukum

Kesejahteraan masyarakat sangat terkait dengan penegakan dan pelaksanaan hukum, panngadereng. Maccaé ri Luwu menguraikan pejelasan yang dimaksudkannya sebagai berikut: Adapun yang disebut peradatan lima jenisnya: pertama ialah adek maraja, adat agung; kedua, adek puraonro, adat yang telah mantap; ketiga ialah tuppu, pengurutan; keempat, ialah warik, pemilah, tatacara protokoler; kelima ialah rapang, ibarat, jurisprudensi. Itulah yang kujaga jangan sampai kupertukarkan. Kurentang beccik, garis pelurus yang telah kutetapkan. ("Naiya ri asenngé panngadereng, lima mpuangenngi: séuwani, adek maraja; maduanna, adek puraonro; matellunna, tuppu; maeppakna, warik; malimanna, rapang. Iyanaro uwalitutui ala upasisapik-sapik-i: sibawa upakgettenna beccik pura utaroé").

Maccaé ri Luwu kemudian menjelaskan pengertian tuppu, warik, dan rapang. Adapun yang disebut tuppu itu, merujuk pada kepatutan: berbuat sepatutnya dan berkata-kata sepatutnya (Naiya riasenngé tuppu, iyanaritu makjellok ri sitinajaé, appogauk ri sitinajaé, appoada ri sitinajaé). Warik disebutnya sebagai pembeda, pemilah dan penata. Warik ialah membedakan, memilah sesuai kewajarannya dan menata menurut kewajarannya. (Naiya riasenngé warik, mappallaisenngi ri silasannaé, mappassusungenngi ri silasannaé). Rapang disebutnya sebagai mempersamakan dan menyetarakan. “Adapun rapang itu, menyamakan yang berpatutan, menyetarakan yang berkewajaran dan membuktikan sesuai apa yang pernah terjadi”, (naiya riasenngé rapang, mappapada-padai ri sillempukna, mappasenrupai ri sillempukna, mappaddupai ri purallaloé)

Dalam pelaksanaan dan penegakan hukum, ditegaskan lagi pentingnya memelihara sikap adatongeng, lempuk dan getteng, terutama pada para penegak hukum, dengan berpegang pada prinsip sitinaja, silasanna dan sillempuk, yang mengandung makna kepatutan dan kewajaran; yang menjadi pedoman penting dalam pemikiran budaya hukum dalam pemikiran Maccaé ri Luwu. Kepercayaan masyarakat terhadap kebenaran kata-kata, kejujuran, ketegasan, dan kebijaksanaan para penegak hukum yang menempatkan segala sesuatunya secara proporsional sesuai dengan prinsip kewajaran atau kepatutan, menjadi sendi bagi penegakan hukum itu sendiri. Khusus mengenai kejujuran, lempuk, Maccaé ri Luwu mengemukakan bahwa bukti kejujuran adalah dengan menempatkan segala sesuatunya pada tempatnya yang wajar, sitinaja: di ataskannya yang di atas, di bawahkannya yang di bawah, di depankannya yang di depan, di kirikannya yang di kiri, di kanankannya yang di kanan, di belakangkannya yang di belakang, di luarkannya yang di luar, dan di dalamkannya yang di dalam'. ('Napariwawoi ri wawoé, napariawai ri awaé, naparioloi ri oloé, napariabeoi ri abéoé, napariataui ri ataué, naparimunriwi ri munrié, naparisaliwenngi ri saliwenngé, naparilalenngi ri lalenngé). Sekali pun kata-kata adil tidak pernah secara eksplisit disebutkan Maccaé ri Luwu, namun secara implisit hakikat keadilan dapat ditemukakan pada keseluruhan pandangannya.

Kemudian, Maccaé ri Luwu mengemukakan perlunya kehati-hatian menghadapi empat jenis manusia yang kepadanya perlu dibentangkan tali pelurus yang tegas, ripagettengi beccik'[8] yaitu:
  1. orang yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, to mawatanngé,
  2. orang culas, to majékkoé,
  3. orang pintar, to maccaé, dan
  4. orang dungu, to benngoé.
Keempat jenis manusia itu akan dapat mempengaruhi penegakan hukum. Orang yang memiliki kekuatan dan kekuasaan akan dapat menggunakan kekuatannya melakukan tekanan pada penegak hukum, pabbicara; orang culas dapat memutarbalikkan fakta dan kesaksian dengan keculasannya; orang pintar dapat menyusun argumentasi dan pembenaran atas perbuatan-perbuatannya yang salah; sedang orang dungu dapat menimbulkan rasa kasihan, sehingga ditinggalkanlah prinsip asitinajang, kewajaran.

Persatuan

Persatuan (masséuwana tauwé) menjadi salah satu hal penting di dalam pemikiran Maccaé ri Luwu. Ditegaskannya bahwa mattau séuwa (keadaan bersatu) menjadi salah satu kunci pencapaian kesejahtreraan masyarakat, yang “merimbunkan buah-buahan serta memudahkan keberhasilan panen padi” (pasawéi bua-buana ajukkajunngé, namapato laopolé sangiaserri). Maccaé ri Luwu mengemukakan bahwa terdapat 8 (delapan) sifat yang perlu dipelihara untuk penciptaan persatuan, yaitu:
  1. seia sekata di dalam negeri (massituruk-i ri lalempanuwa),
  2. jujur kepada sesamanya (sialempurenngi),
  3. saling berkata benar di antara mereka (siakkeda tongengenngi);
  4. saling memelihara sirik (siarisik-i;)
  5. dalam duka dan dalam suka mereka bersatu (jak nauruk, décéng nauruk);
  6. ke gunung sama mendaki, tidak saling menurunkan ke lembah, (sitéreng ribuluk-é, tessinoreng ri lompok-é);
  7. tidak saling berhitung-hitung di antara sesamanya dalam kewajaran (tessicirinnaianngi ri silasanaé);
  8. saling membenarkan menurut apa adanya (sipattongenngi ri akkunaé).

Terpeliharanya delapan sifat tersebut dalam masyarakat menyebabkannya disebut ”berbuluh sebatang, berbundar telur” (makbulo silappa, mallébu ittello). Maccaé ri Luwu menjelaskan makna persatuan yang bundar telur itu, dengan pendeskripsian: "Adapun telur itu, putih lagi bundar, intinya itulah menjadi ayam. Ayam itu menghasilkan telur. Maka yang dinamai bundar bagaikan telur, tak ada yang mendahuluinya, tidak ada pula di belakangnya." (Naiya ittellok-é, maputé na mallébu tampuk ulawu. Ulawué mancaji manuk. Manuk-é makkittelloreng ittello. Aga naiya riasenngé mallébu ittello, dék maddioloiwi, dékto makdimunringiwi)

Sifat bersatu bulatnya masyarakat dibaginya menjadi tiga macam, yaitu 1) bersatu bulat bagaikan telor ayam, 2) bersatu bulat bagaikan beras, dan 3) bersatu bulat bagaikan buluh (bambu). Persatuan bulat telur warga masyarakat adalah hasil dari perjanjian akan bersama-sama menghadapi keburukan dan kebaikan; tak ada di atas tak ada di bawah; tak di kiri tak di kanan, tak di depan tak di belakang, tak di dalam tak di luar. Telur ayam itu, mengandung inti yang akan menjadi anak ayam. Negeri yang memelihara persatuan bulat telur akan memperoleh kesejahteraannya, (naiya riasenngé mallébu ittello, allébunna tauwé ri lalempanuwa, nasabak makjancinna jak nauruk décéng nauruk; tenriasek, tenriawa; tenriatau tenriabéo; tenriolo tenrimunri; tenrilaleng tenrisaliweng. Naiya ittellok-é tampuk ulawu; ulawué mancaji anak. Naiya narékko engka wanuwa simata mallébu ittello, asawéng napucappak).

Dalam konsep ini, persatuan lahir akibat adanya kesepakatan akan kebersamaan (assamaturuseng) untuk menghadapi dan mengatasi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, serta adanya rasa kesesamaan dalam kehidupan bermasyarakat. Bila bersatu bulat bagaikan telur lebih terarah pada persatuan antarwarga masyarakat secara horizontal, maka persatuan 'bulat bagaikan beras' merupakan persatuan yang bersifat vertikal, yang terbina antara raja dengan rakyatnya. Persatuan bulat beras (mallébu berek) adalah persatuan bulat, berpalut dalam kebulatan antara raja, rakyat dan kerajaan, yang terjadi oleh adanya perjanjian antara raja dengan rakyat: "Tenggelam bersama dalam keburukan; muncul bersama dalam kebaikan. Tuan adalah angin, daun pepohonan si hamba; dibawa ke dalam duka dan suka, jauh maupun dekat. Apa yang akan menjadi kebesaran sang raja, akan menjadi kekuatan bagi sang hamba. Tidak saling curiga, tidak saling memandang sebagai orang lain. Si hamba tidak tengadah menginginkan kerajaan sang raja. Sang raja tidak merunduk menginginkan perhambaan sang hamba. Tidak saling merampas hak antara tuan dengan hamba. Tidak saling mendendam, tidak saling memarahi, sebab beras itu tidak punya dendam, tidak punya marah. Hanya kebulatan dan panjangnyalah yang menjadi miliknya. Maka yang disebut bundar beras, berkepanjangan baiknya terus hingga ke anak cucunya" (Sitellengeng ri majak-é, siomporeng rimadécénngé. Anging puanngé, raung kaju ataé; nariwawari perrik nyameng, ri mawék ri mabéla. Iya-iya napoarajang puanngé, napowatanngi ataé. Tessikira-kirai ataé, puanngé; tessitau-laingeng. Ata tecconga macinnaiwi akkarungenna puang-é, puang teccukuk maéloriwi angatangenna atanna. Tessiala olo ataé puanngé. Tessitampuk-tampukeng, tessiokkoreng wiwé. Apa iya berek-é dék tampukna, dékto wiwéna. Lébunnami napunnai enrenngé lampékna. Aga naiya riasenngé mallébu berek, malampék-i décénna, namannennungeng lettuk ri pakdimunrinna).

Hubungan persatuan antara negeri dengan negeri, raja dengan raja, baik hubungan antarnegeri di dalam kerajaan maupun hubungan antarkerajaan disebutnya sebagai persatuan bulat bambu (mallébu bulo). Konsep ini menunjukkan hubungan dan pembinaan persatuan antara satu negeri dengan negeri lainnya di dalam kerajaan, dengan mengamalkan perjanjian: "Satu dalam duka dan satu dalam suka. Tidak saling menghadang perbekalan. Berkata saling mempercayai, khilaf saling mengingatkan, hanyut saling menyelamatkan, jatuh saling membangkitkan, tidak saling menyembunyikan orang salah, tidak pula saling mengambil hak. Tidak saling berperkara; tidak akan mengurai yang sudah kukuh, tessiluka taro'[9]; tidak saling mengambil warisan. Tak mencegat orang melarikan barang yang sudah sepatutnya. Berumah terpencil, mabbola silellang'[10], satu khasanah, satu harta benda. Saling hormat bagaikan tamu di rumah masing-masing. Harta benda dan hewan ternak aman di tempatnya. Tidak saling menggeser batas, tidak menggunakan kekuatan. Ke gunung sama mendaki, ke lembah sama menurun. Tidak saling menunjukkan semak belukar (bukan aturan). Tak saling mengambil telur, tak saling menangkap (sembunyi-sembunyi) ikan di lubuk. Sama-sama beradatkan adatnya masing-masing, sama-sama melaksanakan peradilannya sendiri. Mereka juga mufakat, tak saling membunuh, tidak saling mengangkat senjata, tak saling diterbangkan asap api (tak saling membakar), 'tennarettek bessi, tennaluttureng rumpu api'[11]. Payung jadi robek, tongkat jadi aus, betis jadi penat (karena) terus-menerus saling mengunjungi, demi mencapai kebaikan bersama. Demikian itulah kebulatan antara negeri dengan negeri, dan raja dengan raja, sehingga disebut bulat bagaikan buluh sebatang. Sebab buluh itu bulat di dalam dan bulat pula di luar. Jika pecah, akan rusaklah yang di dalam maupun yang di luar. Mereka menamai negerinya bersatu dalam suka dan duka".

Kejayaan Negara atau Kerajaan

Pemikiran Maccaé ri Luwu dikembangkan dengan mengemukakan mengenai kejayaan kerajaan yang akan mengantarkan masyarakatnya mencapai kesejahteraannya. Raja sebagai pengayom masyarakat menjalankan peranannya dengan mengamalkan perilaku yang merupakan perwujudan madécéng kalawing ati, perilaku yang lahir dan berkembang dari dialog dengan hati nurani. Demikian pula sebaliknya, perilaku rakyat dan warga masyarakat pun merupakan pula perwujudan dari madécéng kalawing ati itu. Raja dan rakyat memberikan penghargaan tinggi pada pengamalan panngadereng yang berupa adek, bicara, rapang dan warik.

Selain hal-hal tersebut, kejayaan suatu kerajaan dimungkinkan bila raja sungguh-sungguh memahami aspirasi, kebiasaan dan watak warganya dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai pengayom warga negara dan warga masyarakat. Bisikannya kepada calon Datu Soppeng, mengenai bagaimana kiat menghadapi orang Soppeng menjelaskan hal tersebut: "Kupesankan pula kepadamu, cucuku, jangan engkau terlalu manis, dan jangan pula terlalu pahit. Sebab jika engkau terlalu manis, engkau akan ditelan, dan jika terlalu pahit, engkau dimuntahkan" (Iya topa upasengekko, eppo, ajak mumacenning peggang, ajakto mumapaik weggang. Apak iya narekkok macennimpeggangko, riemmekko. Naiya narekkok mapaik weggangko, riluako").

Oleh karena itulah, Maccaé ri Luwu menegaskan perlunya kebijaksanaan seorang raja untuk selalu mengambil ukuran pada diri sendiri dan kemampuannya, serta tetap menjalankan kebijaksanaan itu sesuai penggarisan dan di atas rel panngadereng dan hukum yang berlaku. "Olakku uakkolaki, sibawa uwatutuinna pangaderenngé…" (takaranku kupakai menakar serta kujaga peradatan…). Pandangan itu dijelaskannya dengan contoh praktis: "Tidak kusuruh seseorang tidur pada suatu tempat jika hatinya tidak mengiyakan menidurinya. Tidak juga kubebani seseorang, di luar kehendaknya. Tidak juga kusuruh seseorang membawa sesuatu yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Tidak juga kukenakan pada seseorang dua beban yang berat: tidak kusuruh ia mengerjakan dua pekerjaan yang sama, pada saat bersamaan" (Dék upaléwuriwi tauwé narékkok tennakadoiwi lléuriwi. Dékto upawawai tauwé ti tenngélokna. Dékto upatiwiriwi tauwé tennaulléwé. Dékto upakennaiwi tauwé dua doddosok, dékto upattenniwi dua alu).

Pelaksanaan kebijakan yang demikian merupakan penjabaran dari sikap 'tidak terlalu manis, dan tidak terlalu pahit' terhadap rakyat, serta pandangan yang menempatkan segala sesuatunya secara proporsional, yang dianggap oleh Maccaé ri Luwu akan menimbulkan perasaan tenteram dan terayomi pada warga masyarakat. Kejayaan negara dimungkinkan dengan terpenuhinya delapan persyaratan utama bagi para pejabat negara, paréwa tana, dan terutama oleh raja dan pejabat-pejabat negeri:
  1. melempukpi (memelihara kejujuran);
  2. makkeda tongeppi (selalu berkata benar);
  3. magettengpi (teguh pada pendirian yang benar);
  4. malélengpi (mawas diri);
  5. masémpopi (bermurah hati);
  6. manyameng-kininnawapi (memelihara sikap peramah);
  7. waranipi (memelihara keberanian) dan
  8. temmappasilaingeppi (tidak pilih kasih).
Kejujuran yang dimaksudkan Maccaé ri Luwu adalah yang menggunakan ukuran dari diri dan kemampuan diri sendiri, massukek ri alénai, sehingga tidak menyuruh orang lain melalui jalan yang ia sendiri tidak bersedia melaluinya, (ajak mupaolai tauwé laleng, temmumaélok-é molai). Selalu berkata benar yang dimaksudkannya ialah yang memelihara mulutnya sehingga tidak mengucapkan kata-kata dusta, sekali pun kedustaan itu tidak diketahui oleh seorang pun. Sikap teguh pada pendirian ialah dengan mengamalkan dalam kehidupan sikap dan perilaku yang tidak akan mengingkari janji. Kata maléleng (mawas diri) diartikannya sebagai tidak terpejam mata dan pikirannya mencarikan kebaikan negeri dan rakyatnya. Perilaku murah hati dan dermawan adalah dengan menjamu makan minum kepada rakyatnya yang bertamu, baik pada siang maupun pada malam hari[12]. Perilaku peramah diberinya contoh sederhana, yaitu dalam hubungan utang-piutang, tidak marah bila ditagih. Kemudian yang dimaksud Maccaé dengan keberanian adalah yang memelihara keyakinan yang tidak memisahkan antara kematian dengan kehidupan. Tidak pilih kasih yaitu tidak membedakan orang berada dengan orang yang tak berpunya.

Kata janci (janji) yang dihubungkan dengan sikap getteng (keteguhan dan ketegasan pada prinsip yang benar), dijelaskannya sebagai bukan hanya janji secara personal antarorang perorang, melainkan terutama pada janji untuk melaksanakan adek allébung (adat keberpaduan) dan bicara assituruseng (hukum permufakatan). Adek allébung ialah yang berpatutan pada keserasian, wajar dalam tatacara dan aturan stratifikasi, sesuai dengan peraturan dan keteguhan pada janji-janji, (sitinajai ri tuppuk-é, na silasa ri warik-é, nasellempuk ri rapanngé, namassek ri jancié). Adek assituruseng dijelaskannya sebagai berikut: Adapun sehingga disebut permufakatan karena disepakati membuatnya sepadan dengan keserasian, serta menjadikannya berpatutan dengan keperingkatan, bersesuaian dengan peraturan, (naiya nariaseng bicara assituruseng, sabak riassiturusinna pasitinajai ri tuppuk-é, enrenngé pasitinajai ri warik-é, passellempuk-i ri rapanngé). Hal-hal itulah yang disebut sebagai dipegang teguhnya janji-janji, dan disebut pula hukum kebenaran tiga serangkai, bicara tongettellu, yaitu tuppu, warik dan rapang.

Seluruh pemikiran Maccaé ri Luwu untuk penciptaan negara/kerajaan yang jaya, berdasar pada nilai-nilai ada tongeng, lempuk, getteng dan beberapa nilai lainnya. Untuk menopang kejayaan kerajaan/negara, diperlukan adanya pejabat negara, paréwa tana, yang harus memenuhi minimal empat kriteria, yaitu 1) malempukpi (kejujuran), 2) kénawa-nawapi (berpikiran panjang), 3) sugikpi (kekayaan) dan 4) waranipi (keberanian). Untuk menjelaskan apa yang dimaksudkannya, Maccaé ri Luwu memberi keterangan:

Adapun tanda orang jujur (malempuk) ialah: a) orang yang bersalah padanya dimaafkannya, b) ia dipercaya dan tidak mengkhianati kepercayaan itu, c) tidak serakah atau tidak menginginkan yang bukan haknya, d) tidak dituntutnya suatu kebaikan, kalau hanya dia yang menikmatinya, atau hanya untuk kepentingannya sendiri.

Adapun tanda orang yang berpikiran panjang ialah: a) ia menyukai perilaku yang benar, b) ia menyukai perkataan yang benar, c) jika menghadapi semak-belukar (hal-hal yang menyesatkan), ia mundur menghindarinya, d) kalau ia melalui jalan, ia berhati-hati.

Adapun tanda orang kaya (sugik)[13] ialah : a) kaya perkataan, b) kaya pemikiran, c) kaya pekerjaan, dan d) kaya belanja.

Adapun tanda orang berani ialah : a) tidak gentar menghadapi perkatan jelek atau perkataan baik, b) ia tidak mendengarkan berita, tetapi didengarkannya juga,[14] c) tidak takut ditempatkan di depan atau di belakang.

Berbagai prinsip yang dikemukakan Maccaé ri Luwu untuk kejayaan negara/kerajaan selalu dikaitkannya dengan kejujuran, lempuk. Seorang raja yang menginginkan ketenangan dan kekekalan dalam kerajaannya, raddek ri akkarungenna, harus mempraktikkan lima hal:
  1. Jujur kepada 'dewata', kepada sesamanya raja, kepada negeri tetangganya dan kepada rakyatnya. Selain itu, jujur kepada dirinya sendiri dan kepada seisi rumahnya. Jujur kepada semua yang terpandang mata, terdengar telinga. Itulah kejujuran yang sesungguhnya;
  2. apa saja yang akan dilakukan atau mau diperkatakan, terlebih dahulu dipertimbangkan latar depan dan latar belakangnya. Dimintakannya pertimbangan pada pabbicara, kepada rakyatnya dan kepada hati nuraninya;
  3. bersikap murah (mudah) melakukan perbuatan membantu orang lain dalam suka dan duka dalam batas-batas kewajarannya; murah perkataan dan nasihatnya dalam batas-batas kepatutannya; murah kasih sayang kepada sesamanya manusia;
  4. teguh pada prinsip kebenaran (getteng) dengan tidak mengingkari janji, tidak mengkhianati ikrar (-antarnegara), dan tidak membatalkan hukum yang telah tetap, adek puraonro. Demikian juga tidak melampaui garis-pemisah, pembatas (beccik), tidak melebih-lebihkan perilakunya atau mengurangi perilakunya[15], tidak melebih-lebihkan atau mengurangi perkataannya, atau melebih-lebihkan penyaksian pengalaman dari apa yang telah dilihatnya;
  5. berani melakukan perbuatan yang sepatutnya dalam keadaan sulit atau tidak sulit; berani memutuskan kebenaran perkara berat atau perkara ringan; berani memberi peringatan atau nasihat kepada para pembesar, dan kepada rakyat kecil; berani membuat perjanjian dengan sesamanya raja sesuai kewajaran; berani melihat yang luas dan yang sempit, yang mulia dan yang hina, yang besar yang kecil; berani mendengar kata-kata yang jelek atau kata-kata yang baik.

Kejayaan kerajaan atau negara tergantung pula pada cara seorang raja menjalankan pemerintahan. Maccaé ri Luwu mengemukakan bahwa rakyat dalam suatu kerajaan harus: a) diperintah sesuai dengan kesenangan dan aspirasinya, cenning atinna; b) diperintah dengan menjaga harga diri dan martabatnya, sirikna, dan c) diperintah dengan menimbulkan keseganannya. Hal tersebut dijelaskan Maccaé, sebagai berikut:

  • Rakyat diperintah dengan cenning atinna ialah bila pemerintahan dijalankan sesuai dengan hukum yang tetap, adek pura onro, serta dilaksanakan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku. Tidak pula dimentahkan aturan hukum yang telah mereka (rakyat) putuskan bersama, serta tidak dihalangi melakukan perjanjian dengan sesamanya orang merdeka. Raja tidak memaksakan kehendaknya, dan raja menegakkan kebenaran rakyat. Kepada rakyat pun tidak diberikan beban di luar kemampuannya, dan tidak diberi dua beban berat secara bersamaan.
  • Rakyat diperintah dengan sirikna ialah dengan mengasihi rakyat sekali pun rakyat belum menunjukkan jasanya, dibujuk agar mau bekerja dan diberi penghargaan setelah melaksanakan pekerjaan. Kesalahan rakyat dimaafkan baik kata-kata maupun perbuatannya yang patut dimaafkan. Raja harus menghindarkan mengeluarkan kata-kata atau perbuatan kurang baik pada mereka. Maccaé ri Luwu menegaskan: 'jangan lakukan perbuatan yang menimbulkan rasa malu dan menurunkan martabat seseorang. Hanya karena sirik-nya itulah yang hendak dijagakan, maka rakyat menghambakan dirinya'.
  • Diperintah dengan menimbulkan rasa keseganan rakyat kepada rajanya ialah dengan tidak memperlakukan rakyat secara sewenang-wenang, serta raja tidak melakukan tindakan semena-mena, serta tidak menegur rakyatnya dengan perkataan yang tak senonoh. Dengan melakukan hal-hal tersebut di atas, kerajaan/negara akan menjadi lebih jaya dan memberi pengayoman bagi rakyat untuk mencapai kesejahteraannya.

Alur Pemikiran Maccaé ri Luwu

Pemikiran Maccaé ri Luwu yang mengarah pada penciptaan kesejahteraan masyarakat, secara sistematis dapat digambarkan sebagai berikut: Ati macinnong (hati nurani) adalah instansi awal dan utama dalam diri manusia. Ati macinnong adalah esensi manusia. Dialah manusia yang sesungguhnya manusia, tau tongeng-tongeng, tempat tajang (cahaya, nur) pada diri manusia dan yang mampu menerima tajang dari pawinruk-é (Sang Pencipta). Hanya ati macinnong yang dapat menerima sadda, firman sang Pencipta. Ati macinnong menjadi penerima kebenaran sang Pencipta dan menjadi sumber kebenaran manusia. Makanya ati macinnong tidak pernah dapat berdusta. Bila akal pikiran manusia masih dapat tersesat, karena masih terikat oleh berbagai keinginan dan kepentingan, maka ati macinnong yang dapat membawa manusia keluar dari kesesatan, dan menemukan kebenaran.

Melakukan 'dialog' terus-menerus dengan ati macinnong, menjadikan manusia madécéng kalawing ati, memiliki sikap-jiwa yang baik, yang terpelihara sehingga tidak memiliki sikap yang: 'membersitkan pikiran jahat, mengucapkan kata dusta, melakukan perbuatan culas, menghina sesamanya manusia, dan melupakan asal kejadiannya (penciptanya)'.'[16] Manusia yang medécéng kalawing ati akan mengeluarkan ada patuju (kata-kata benar dan berharga) dan melakukan gauk patuju (berperilaku benar dan berharga) sebagai hasil 'dialog'nya dengan ati macinnong, serta menyandarkan semua kata-kata dan perbuatannya pada lima hal, yaitu: panjang-pikir, pertimbangan matang, kemampuan menentukan pilihan, memelihara sirik (malu dan harga-diri), dan kehati-hatian. Oleh karena itu, kata-kata, perilaku, dan perbuatannya tidak akan melahirkan penyesalan.[17] Gauk patuju dan ada patuju tempatnya pada orang yang panjang pikir; sedang ciptaan (hasil perbuatan) yang patut dan tepat, tempatnya pada orang yang petimbangannya matang. Perkataan baik, tidak serampangan, tempatnya pada orang pintar. Perkataan buruk serta perilaku jelek, tempatnya pada orang sesat. Perilaku salah serta perkataan salah, tempatnya pada orang dungu. (Naiya gauk patujué enrenngé ada patujué, kuwi ri tomapanré nawa-nawaé. Naiya winruk sitinajaé nasituju, kuwi ri topanré tanngak-é. Naiya ada madécénngé tennasuromeoseng kuwi ri to Maccaé. Naiya ada-majak-é, enrenngé gauk majak-é, kuwi ri topusaé. Naiya gauk salaé, enrenngé ada salaé, kuwi ri tobonngok-é")

Gauk patuju dan ada patuju yang sesungguhnya berasal dari dan dipraktikkan dalam kehidupan nyata sehari-hari oleh manusia yang madécéng kalawing ati, memperoleh 'pengawalan' dan pengarahan panngadereng atau penegakan supremasi hukum yang konsisten. Manusia adalah makhluk yang setiap saat dapat melakukan kekhilafan dan kesesatan, sehingga segenap perilakunya harus dijaga dan diarahkan oleh hukum. Panngadereng dan penegakan supremasinya, mencegah manusia melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai ilahiyah (tajanna pawinruk-é). Dalam pemikiran Maccaé ri Luwu, penegakan supremasi hukum merupakan syarat-mutlak untuk menjaga perilaku manusia dan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat.

Perilaku manusia yang dituntun oleh décéng kalawing ati, dan yang diarahkan oleh panngadereng, selain akan menciptakan persatuan juga akan lebih memperkokoh kerajaan/negara. Persatuan yang dimaksudnya adalah persatuan antara rakyat dengan rakyat yang terbina di dalam hubungan horizontal, persatuan antara rakyat dengan raja dan kaum bangsawan dalam hubungan vertikal, dan persatuan antara kerajaan dengan kerajaan-kerajaan lain atas dasar hubungan saling menghargai eksistensi dan kedaulatan masing-masing, saling menjaga sistem peradatan dan saling menjaga kehormatan masing-masing. Hal itu pun akan menjadikan negara/kerajaan menjadi jaya dan kokoh. Dalam pemikiran Macccaé ri Luwu, dengan hal-hal tersebut, kesejahteraan rakyat, kesejahteraan masyarakat dan kerajaan akan tercipta.

Pandangan Moralistik Religius

Pemikiran Maccaé ri Luwu yang bersifat moralistik religius tampak jelas mengarah pada penciptaan kerajaan, negara kesejahteraan. Pandangannya mengenai ati macinnong berdasar pada pandangan makrifat Bugis, pappéjeppu, yang beranggapan bahwa inti manusia adalah pada ati macinnong, hati nurani manusia, yang satu dan menyatukan segenap umat manusia di muka bumi ini.

Ati-macinnong inilah yang dapat menerima sadda (firman) dan tajang (cahaya) kebenaran absolut dari sang pencipta (pawinruk-é). Manusia yang senantiasa melakukan dialog dengan hati-nuraninya, manusia yang madécéng kalawing ati, akan memperlihatkan perilaku yang mencerminkan moralitas yang memelihara dan mengekspresikan nilai-nilai ada patuju (kata-kata bermanfaat), ada tongeng (kata-kata yang benar) dan gauk patuju (perbuatan bermanfaat) disertai sifat malempuk (jujur) dan magetteng (teguh pada pendirian/keyakinan yang benar). Hubungannya dengan sesama manusia dibina atas dasar nilai sipakatau, saling memanusiakan.

Hukum atau panngadereng yang berlaku diyakini sebagai perwujudan dari nilai-nilai dasar yang bersumber dari saddanna pawinruk-é, firmannya sang pencipta, sehingga pelaksanaannya akan berarti penjagaan dan pemeliharaan keseimbangan kosmos. Oleh karena itulah menjadi kewajiban raja dan kerajaan serta aparat jaksa dan hakimnya (Arung dan Pabbicara) untuk menegakkan hukum tanpa memandang bulu. Tassala ri adek-é, melakukan pelanggaran atas hukum serta kelalaian raja dan para hakim menegakkan hukum akan menimbulkan bencana mala-petaka atas seluruh negeri/kerajaan, sebagai hukuman dari sang Pencipta.

Dalam pandangan moral religius ini, perilaku manusia berdasar pada nilai-nilai utama yang dianggap sebagai manifestasi dari tajang, cahaya dan sadda, firman Pawinruk-é, sang pencipta, yang diamanahkan untuk dijaga, dipelihara dan diwujudkan dalam kehidupan umat manusia. Raja yang dianggap sebagai turunan Tomanurung, memiliki tanggung-jawab yang lebih besar dari rakyat awam, jemmak tebbek-é, untuk pertama-tama memelihara dirinya dari perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma panngadereng; dan kedua, memberikan pengayoman kepada seluruh anak-negeri agar rakyat memperoleh perlakuan yang sesuai dengan panngadereng; serta ketiga, menjaga agar rakyat selalu mewujudkan perilaku sesuai panngadereng.

Pelanggaran atas nilai dan norma panngadereng, yang tidak memperoleh sanksi atau hukuman akan berakibat terjadinya ketidakseimbangan kosmos dan menimbulkan kemurkaan sang Pencipta. Bencana alam, gagalnya panen dan mala petaka lain yang terjadi, dianggap sebagai hukuman atas perilaku manusia yang melanggar nilai dan norma-norma panngadereng , serta kelalaian raja dan/atau pabbicara, jaksa dan hakim menegakkan panngadereng.

Sebagai tanggung jawab moral, bilamana mala petaka, bencana alam atau panen gagal terjadi di dalam negeri, maka raja pertama-tama harus berkaca-diri, nyilik-i ati macinnonna, memeriksa diri dan hati nuraninya, mempertanyakan perbuatan yang telah dilakukannya yang melanggar nilai-nilai dan norma-norma panngadereng.[18] Selanjutnya raja memeriksa isi rumahnya, lisek saorajana, kemudian hakim dan jaksanya, serta kepada rakyatnya, sampai ditemukannya pelanggaran panngadereng yang mengakibatkan bencana yang terjadi itu.

Rangkuman dan Penutup

Pemikiran Maccaé ri Luwu yang moralistik religius menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Oleh karena itu, segenap perilaku manusia, terutama perilaku raja dan pejabat kerajaan haruslah sejalan dengan nilai dan norma-norma panngadereng. Panngadereng itu sesungguhnya merupakan penjabaran dari nilai-nilai dasar, yang merupakan perwujudan tajang (cahaya) dan sadda (firman) Pawinruk-é, sang Pencipta.

Perilaku yang terwujud dari dialog dengan ati macinnong, hati nurani manusia, yang selanjutnya diatur dengan mewujudkan pelaksanaan panngadereng, selain akan menciptakan persatuan antarrakyat, antara raja dengan rakyat, dan antara kerajaan dengan kerajaan; juga akan menciptakan negara yang kokoh dan jaya; yang memberikan pengayoman kepada seluruh rakyatnya.

Raja yang dianggap sebagai turunan tomanurung, berkewajiban menjaga perilakunya agar tetap sesuai dengan nilai dan norma-norma panngadereng hukum, disamping menjaga agar norma-norma panngadereng itu terwujud dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dengan demikian, di bawah pengayoman sang raja, kesejahteraan akan dinikmati oleh seluruh rakyat.


DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Andi Zainal, 1999a, CAPITA SELECTA SEJARAH SULAWESI SELATAN, Hasanuddin University Press, Ujung Pandang

------ 1999b, CAPITA SELECTA KEBUDAYAAN SUlAWESI SELATAN, Hasanuddin University Press, Ujung Pandang

Enre, Fachruddin A. ddk., (1986) Pappasenna To Maccaé ri Luwuq sibawa Kajao Laliqdong ri Bone, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sulawesi Selatan La Galigo, Makassar

Hamid, Abu, 1996, "Sistem Nilai Islam Dalam Budaya Budaya Makassar" di dalam Ruh Islam dalam Budaya Bangsa, Jakarta, Yayasan Mesjid Istiqlal

Ibrahim, Anwar, 2002, Sulesana, Kumpulan Esai tentang Demokrasi dan Kearifan Lokal, Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin, Makassar

Kern, R.A. 198.. I LAGALIGO, Gajah Mada University Press, Jogyakarta.

Kolhoof, Sirtjo & Roger Tol, 1995, I LAGALIGO, Menurut Naskah NBG 188 yang disusun oleh Arung Pancana Toa, KITLV & Djambatan, Jakarta

Machmud, A. Hasan, 1976, SILASA, Setetes Embun Ditanah Gersang, Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, Makassar

Matthes, B.F, 1872, Boegeenesche Chrestomatie, Amsterdam, C.A. Spin & Zoom

-- -- 1883, MACASSARSCHE CHRESTOMATHIE. C.A. Spin & Zoom. Amsterdam

Mattulada, H.A. 1995, LATOA, Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, Hasanuddin University Press, Ujung Pandang,

----- 1998, SEJARAH, MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN SULAWESI SELATAN, Hasanuddin University Press, Ujung Pandang

Marzuki, Laica, H.M., 1995, SIRI', Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar (Sebuah Telaah Filsafat Hukum), Hasanuddin University Press. Ujung Pandang

Millar, Susan Bolyard, 1989, BUGIS WEDDINGS, Rituals of Social Location in Modern Indonesia, Center for South and Southeast Asia Studies, University of California at Berkeley

Patunru, Abdurrazak Daeng, 2003, Bingkisan Patunru, Sejarah Lokal Sulawesi Selatan, Pusat Kajian Indonesia Timur dan Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin. Makassar

Pelras, Christian, 1996, The Bugis, Blackwell Publishers, Cambridge, Massachussetts, USA
Rahim, A. Rahman, 1985, NILAI-NILAI UTAMA KEBUDAYAAN BUGIS, Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang

Yoesoef, Wiwiek P., 1982, Biografi Kajaolaliddo di Bone, Ujung Pandang, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Koleksi Pribadi: Lontarak, Pappaseng dan karya-karya Sastra Bugis-Makassar.

catatan:

[1] Abdurrazak Daéng Patunru menulis: pada umumnya orang berpendapat bahwa orang Soppéng berasal dari Luwu, dan seorang pejabat yang disebut Arung Bila ditugaskan mewakili Datu Luwu untuk mengatur negeri Soppéng.

[2]
Datu Soppeng ke-9, La Manussak To Akkarangeng Matinroé ri Tanana.

[3]
Tulisan ini menguraikan pemikiran Maccaé yang tertuang dalam dialog Maccaé dengan La Basok

[4]
Arung Bila adalah gelar. Sebelum Manurunngé ri Sekkanyili, Arung Bila adalah pejabat yang mewakili Datu Luwu di Soppeng. Setelah Manurunngé, Arung Bila memegang jabatan sebagai seorang panngépak pejabat yang mendampingi raja di dalam menjalankan pemerintahan. Seorang Arung Bila yang bernama La Waniaga terkenal sebagai seorang cendekiawan, to acca.

[5]
'madécéng kalawing ati', sesungguhnya bermakna selalu memperhatikan bisikan hati nurani. Dalam budaya Bugis, ati macinnong, adalah inti manusia yang sesungguhnya, sedangkan anggota-anggota tubuh lainnya, hanyalah 'organ orang' yang menumpang pada 'manusia'.

[6]
ungkapan 'nasoppa tekkenna', 'tertusuk oleh tongkatnya', bermakna 'wanita bangsawan yang mempersuamikan atau melakukan hubungan seks dengan hambanya. Petta MatinroE ri Lariang Banngi secara panjang lebar mengemukakan 'bicara' (hukum) yang berkenaan dengan 'tau-nasoppa tekkenna' ini. (Lihat: Boegeeneesche Chrtestomathie)

[7]
'mallaso-pattik', semacam alat kelamin laki-laki yang terbuat dari kemenyan, yang digunakan wanita untuk memuaskan diri.

[8]
ripagettengi beccik' bermakna ukuran-ukuran sesuai aturan hukum sungguh-sungguh dilaksanakan dengan tegas, sesuai prinsip 'getteng'.

[9]
Ungkapan 'tessiluka taro', tidak akan mengurai yang sudah kukuh, mengandung makna tidak akan menggugat, mengkhianati, atau membatalkan secara sepihak, perjanjian yang sudah dikukuhkan bersama.

[10]
'mabbola silellang', berumah terpencil (tunggal), mengandung makna menghormati hak-hak orang lain, tidak saling mengganggu satu dengan yang lain.

[11]
'tennarettek besi, tennaluttureng rumpu api', secara harfiah berarti 'tidak terpotong besi, tak diterbangkan asap api', yang bermakna antara keduanya tidak saling memerangi dan tidak membumihanguskan kerajaan.

[12]
Menjadi keharusan tradisi bahwa seorang raja atau bangsawan senantiasa mempersiapkan makanan yang lebih banyak pada waktu-waktu makan, siang dan malam, sebagai persiapan bila ada rakyatnya yang bertamu.

[13]
Kata 'sugik' dalam penjelasan Maccaé ri Luwu, lebih mengarah pada makna kata 'masagéna' yang digunakan oleh Kajaolaliddo.

[14]
Maksudnya, ketika mendengarkan 'kareba' (berita) ia tidak memperlihatkan perubahan wajah, namun demikian setiap berita yang didengarnya dipertimbangkannya dengan matang.

[15]
Artinya, tidak menutup-nutupi perilakunya; bertindak selalu sesuai kewajarannya

[16]
Puisi Bugis: Temmetto nawa-nawa majak, tellessuk ada-ada bellé, teppugauk gauk macéko, temmakkatuna ri padanna Tau, tettakkalupa ri apoléngenna

[17]
Lima mpuangenngi tennakdimunringi sessekalé. Mula-mulanna, nawa-nawaé; maduanna, tanngak-é; matellunna, pangiléwé; maeppakna, sirik-é; malimanna, tikek-é.

[18]
Datu Soppeng La Baso To Akkarangeng, misalnya pernah menghukum dirinya sendiri, akibat terjadinya kegagalan panen di Soppeng. Gagal-panen itu dianggap hukuman Pawinruk-E, karena Datu Soppeng pernah memungut sekantung barang dan tidak disalurkan sebagaimana mestinya. Untuk mencegah hukuman Pawinruk-E terhadap seluruh rakyat kerajaannya, Datu Soppeng menjalani hukuman yang diputuskannya sendiri sesuai petunjuk panngadereng/hukum.
 
Alwy Rachman.