SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Tuesday, February 9, 2016

‘Tikus’ dan ‘Kadal’ di Politik Cinderella

Alwy Rachman

Dalam literasi kanak-kanak, Cinderella adalah kisah penuh pesona. Cinderella adalah tokoh yang berdebu dan kotor. Di hikayat itu, istana menjadi impian. Terlepas dari kebaikan istana, orang-orang yang berdebu dianggap tak pantas memasukinya. Maka orang-orang yang berdebu dan dekil tak akan leluasa memasuki istana. Olehnya, hikayat Cinderella adalah hikayat “istana sentris”.

Karakter Cinderella, sebagaimana kisahnya, digambarkan menerima “mistik kekuasaan”. Ia mesti menerima “mistik tentang tikus” dan “mistik tentang kadal”. Penulis kisah ini seolah menyimpan pesan sindiran, “tikus” adalah kendaraan mewah dan ampuh untuk mengalahkan politikus istana, sedangkan “kadal” adalah laku andal memasuki Istana. “Tikus” dan “kadal” lalu menjadi politik mistik Cinderella menuju istana.

“Celaka” dan “sial” adalah dua atribut bagi suara yang berdebu tapi hendak ke istana. “Celaka” dan “sial” bagi Cinderella, karena ia harus melayani hasrat perut “sang tikus” dan “sang kadal” dengan labu. Tanpa makan, “sang tikus” enggan menjadi kendaraan. Tanpa suap, “sang kadal” tak mau menjadi pengendara. Begitu kira-kira nasib Cinderella berhadapan dengan mistik dan pakem istana kekuasaan.

Tapi “tikus” dan “kadal” juga menghadirkan sindrom yang kemudian disebut sebagai “Sindrom Cinderella”. Di kalangan ilmuwan lain, sindrom tak lebih dari kumpulan lambang yang menyatu dengan symptom. Symptom tak lain adalah “celaka” bercampur “sial”. Sindrom Cinderella lalu bisa dicerna sebagai “lambang kebesaran” yang dikonstitusi dari “kecelakaan” dan “kesialan”.

Masuk istana, sebagaimana diibaratkan dalam hikayat ini, memerlukan “sang tikus” dan “sang kadal”. Suara orang-orang berdebu direkayasa melewati “kendaraan politik” yang berpotensi mendatangkan “celaka”, dan aspirasi orang-orang ini bisa “sial” lewat “pengendara politik”.

***
Sindrom Cinderella adalah potret dari cermin retaknya kekuasaan, termasuk juga di negeri ini. Daulat rakyat yang dikukuhkan secara langsung di paruh pertama reformasi kini dipangkas kembali. Suara rakyat kini dianggap berdebu dan kotor, tak patut menunjuk langsung mereka yang mau masuk istana. Istana-istana kekuasaan, dari kursi presiden, gubernur, hingga wali kota dan bupati, tak lagi menjadi bagian dari orang-orang yang berdebu dan dekil. Istana kekuasaan ini hanya bisa dimasuki kendaraan dan pengendara politik.

Citra atas drama di istana parlemen baru-baru ini tak lepas dari refleksi atas sindrom Cinderella. Di parlemen, kendaraan dan pengendara politik bersitegang atas status suara rakyat. Koalisi pemenang pemilihan presiden masih mendudukkan daulat rakyat sebagai yang utama, sedangkan koalisi kalah ramai-ramai memotong akses rakyat ke istana kekuasaan. Alasannya, daulat rakyat secara langsung mahal dan menimbulkan celaka sosial.

Kelompok ketiga yang sedang berkuasa lain lagi. Tak mau disebut menentang daulat rakyat, tetapi memberi kesempatan bagi koalisi yang menganggap suara rakyat tak pantas langsung ke istana.

Alasan menghadang suara rakyat seakan rasional, apalagi kalau dihubungkan dengan soal uang yang dihabiskan oleh para pengendara. Tapi, di situ ada soal moral politik yang tak murah. Daulat rakyat akan menjadi mahal bukan karena para pemiliknya berdebu, melainkan sandaran moral “kendaraan politik” dan “pengendara politik” yang justru dekil. Tak terlalu sukar mencari jawab siapa yang membuat mahal. Mahal memang, kalau “tikus” dan “kadal” tak bisa menekan hasrat perut serta hasrat kuasa. Sejauh yang bisa dimengerti, bukan rakyat yang pertama kali mempromosikan jual suara.

Kebiasaan politikus menggunakan isu-isu sensitif, semacam agama, adalah laku yang amat dikenali masyarakat. Orang-orang juga tahu bahwa laku politikus sering tega menggunakan isu itu sebagai laku berkendara untuk meraih kemenangan. Jadi, alasan mahal dan memecah masyarakat sesungguhnya adalah alasan yang berakar dari para politikus sendiri.

Cinderella memang cuma hikayat, tapi resonansi dan refleksinya menjalar sedemikian rupa hingga ke panggung politik. Tapi hikayat ini masih menyembunyikan fakta lain. Siapa sebenarnya yang harus diposisikan sebagai penderita sindrom? Yang pasti, sejauh ini, suara rakyat tak pernah menyuap suara elite politikus. Yang ada, politikus menyuap rakyat. Yang nyata pula, politikus menerima suap di istana parlemen. Bisakah kita bilang, “laku politik kita tak begitu jauh dari analogi Cinderella, yaitu: laku “tikus” dan “kadal”?

 
Alwy Rachman.