SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Tuesday, May 24, 2011

Risk Society

Kaila ilona Meira

"Risk! Risk anything! Care no more for others!", begitu ungkapan Katherine Manfield, seorang esais dan cerpenis produktif di awal abad ke-19. Katherine, terlahir pada Oktober 1888 dan berpulang pada Januari 1923 akibat terpaan tuberculosis, mungkin tak pernah membayangkan bahwa dunia yang ditinggal 88 tahun lampau kini justru semakin beresiko. Dengan kepekaan yang sama, ilmuan sosial kontemporer kelahiran 1944, Ulrich Beck, ikut mengeraskan kata hati Katherine. Bagi Ulrich, institusi dan struktur sosial yang dipakai untuk hidup bersama di masa lampau berubah secara cepat dan radikal. Persisnya, masyarakat tradisional berubah dengan cepat menuju masyarakat pramodern dan bergegas ke masyarakat supermoderen.

Masyarakat tradisional hidup dengan struktur sosial dan pengalaman kemasyarakatan yang konkret yang kemudian ikut membentuk "kekitaan". Masyarakat seperti ini adalah masyarakat yang terintegrasi secara vertikal dan secara horizontal. Individu-manusia tradisional terbentuk dan dibentuk serta tertanam di dalam nilai-nilai komunal. Individu-manusia di sini tidak menyerahkan dirinya kepada institusi, tetapi loyalitasnya justru diserahkan kepada "kekitaan". Individu tradisional tahu dan sadar bahwa dirinya adalah bagian utama dari "kekitaan", bukan bagian dari kontrak dengan individu-manusia lain. "Saya yang tradisional" adalah "saya" yang tidak terikat dengan pola hubungan kontrak-transaksi dengan individu lain (I's who contract with others).

Di masyarakat pramoderen, kedirian individu yang direfleksikan ke kepentingan komunal berubah menjadi kesadaran atas nama kebebasan individu dan otonomi individu. Individu dimunculkan sebagai pusat kehidupan. Tatanan tradisional pun berubah dan ditempatkan pada lokasi baru, yaitu "The I". "Saya" yang komunal tergerus habis menjadi "Saya" yang "Aku".

Di masyarakat supermoderen, "Saya" yang "aku" kembali keluar dan menyerahkan dirinya ke institusi-institusi baru. Perusahaan-perusahaan yang biasa disebut korporasi-korporasi besar pun menjadi wahana bagi individu manusia supermoderen. Sekolah dan universitas pun tidak ketinggalan dalam upaya menyediakan pemimpin untuk struktur sosial baru. Maka, kesetiaan pun dipindahkan ke perusahaan ketimbang ke negara, apalagi ke komunitas. Para ekonom berimajinasi bahwa di depan tidak ada lagi rakyat sebagai pernyataan negara. The IBM people, The Microsofot people dan The Telkomsel People, sebagai contoh, mungkin akan terwujud. Yang ada adalah bukan lagi Rakyat Amerika atau Rakyat Indonesia, tetapi Rakyat IBM, Rakyat Microsoft atau Rakyat Telkomsel.

Justru di sinilah resikonya. Loyalitas kepada komunitas pada mulanya yang kemudian dipindahkan ke negara pada tahap berikutnya, akhirnya ditinggalkan. Individu pun mengembangkan kesadaran baru yang bukan lagi kesadaran komunal, bukan juga kesadaran bernegara. Kepentingan komunitas dan kepentingan negara pun tercecer dan terabaikan dimana-mana. Konflik komunal ikut menjadi instrumen dari aksi saling menghancurkan dan pelecehan terhadap lambang-lambang negara menjadi tontonan di jalan-jalan raya tanpa refleksi apalagi kepedulian. Stateless people, rakyat tak bernegara, menjadi bayang-bayang yang mengusik.

Bersamaan dengan itu, tumbuh pula dinamika baru yang dipercaya sebagai dampak dan reaksi terhadap gerak-cepat menuju tatanan masyarakat supermodern. Membesarnya insiden pewabahan HIV/Aids, meningkatnya jumlah anak-anak jalanan dari waktu ke waktu, serta meluasnya pengguna narkotik adalah tanda hilangnya kepedulian. Sementara, menguatnya eskalasi gerak fundamentalisme dan radikalisme mulai dicerna sebagai reaksi terhadap gerak-cepat menuju masyarakat supermodern. Banyak ilmuan sosial mulai melihat bahwa fundamentalisme dan radikalisme adalah reaksi untuk menghentikan sejenak atau sedikitnya menginterupsi laju percepatan supermodernitas. Pada akhirnya, individu-manusia sendiri akan melihat bahwa dirinya suka bicara atas nama perubahan, tetapi tanpa disadari perubahan itu meminta kesediaan mereka untuk menanggung dan menjinjing rasa sakit.































Tuesday, April 5, 2011

DAPATKAH KEARIFAN LOKAL FUNGSIONAL DALAM PENGELOLAAN KONFLIK DITENGAH PRESKRIPSI GLOBAL?

DARMAWAN SALMAN
Profesor Sosiologi Pedesaan pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian
Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin

Konteks

Di tengah ketakterprediksian konflik dan kekerasan dibalik fenomena kompleksitas dan kekacauan yang dideterminasi oleh globalisasi dan lokalisasi saat ini, diperlukan kontribusi berbagai macam pengetahuan untuk dijadikan acuan bagi individu dalam berdialektika dengan struktur sosial guna mewujudkan tatanan yang berkualitas baik. Salah satu pengetahuan yang potensil untuk itu adalah kearifan lokal, yakni hikmah kebijaksanaan yang terkristalkan dari pengalaman hidup secara jangka panjang pada sistem sosial-budaya masing-masing, yang menjelma dalam bentuk peribahasa, pesan-pesan, prosa/puisi, dan lainnya. Hampir setiap sistem sosial lokal di Indonesia memiliki butir-butir kearifan lokal yang pada era sekarang dapat difasilitasi untuk berkontribusi dalam pengelolaan konflik berkekerasan dan tindakan kekerasan. Untuk itu, (1) dibutuhkan perayaan dan panggung agar butir-butir kearifan lokal dapat menjadi sumber inspirasi bagi terlahirkannya budi baik dalam tatanan; (2) memperkuat dan meluaskan jangkau-ikatan dari kohesivitas sosial masyarakat melalui fasilitasi atas berfungsinya unsur modal sosial seperti kepatuhan atas norma kebersamaan, saling-percaya, hubungan resiprositas, serta organisasi dan jaringan, baik dalam ikatan keluarga, kerabat, kelompok dan golongan (bounding social capital) maupun lintas entitas kolektiva tersebut (bridging social capital); (3) memperluas ruang apresiasi atas praktek penyelesaian konflik berbasis kearifan lokal pada berbagai entitas adat/lokalitas di tanah-air.

Pembuka: Kabar Penting tentang Kekacauan Besar

Mengapakah pergeseran dari gemeinschaft ke gesselschaft pada tanah-air kita diwarnai oleh ketaktentuan arah? Mengapakah transformasi sosial-ekonomi pada tanah-air kita dari pertanian ke industri, dari subsisten ke komersil, dari feodalisme ke kapitalisme, dari otoritarian ke demokratis, diwarnai oleh transisi involutif? Tidak ada yang bisa memberi jawaban tunggal-komprehensif-memuaskan atas pertanyaan ini, dan tulisan ini juga tidak berambisi untuk itu. Yang ingin dikabarkan di sini adalah, bahwa great desruption (Fukuyama, 2002) atau kekacauan besar pada tatanan sosial, bisa semakin besar pada masa datang di tengah berlangsungnya keadaan berikut.

Pertama, perekonomian telah meloncat dari kapitalisme rasional ke kapitalisme libidinal (Lyotard, 1988), sedemikian rupa sehingga melahirkan tata produksi dan tata konsumsi yang hiper-rasional (Piliang, 1998), di tengah berubahnya uang dari alat tukar menjadi komoditas (Barnett dan Cavanagh, 1996). Kapitalisme libidinal adalah perekonomian dimana aktor dalam memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas di tengah sumberdaya yang terbatas, tidak lagi berbasis sepenuhnya pada ekspektasi rasional melainkan sudah lebih dipengaruhi oleh mesin hasrat, baik dalam produksi maupun konsumsi. Lompatan kapitalisme ini saling menunjang dengan perubahan eksistensi uang, dari fungsi sebagai alat tukar ke fungsi sebagai komoditas yang dipertukarkan itu sendiri.

Kedua, teknologi telah berkembang dari basis fisika atom ke basis fisika kuantum (Amien, 2006), sedemikian rupa sehingga digitalisasi televisi, telepon dan komputer memfasilitasi kehidupan manusia untuk proses komunikasi dan tayangan informasi dengan kecepatan tinggi dan lingkup tak berbatas. Fakta dan fiksi, berita dan gosip, realitas nyata dan realitas virtual, hadir bergantian sebagai tontonan, menjadikan obyek dapat tersaksikan pada waktu bersamaan di seantero bumi, menjadikan pirsawan dapat terpapar tontonan 24 jam sehari. Fantasmagoria informasi (meminjam konsep Baudrillard, 1987) telah berlangsung, ketika manusia menerima sejumlah tayangan dalam pergantian yang cepat, sedemikian rupa sehingga sebelum ia mencerna, memikirkan dan merefleksikan makna dari informasi itu, informasi berikutnya telah datang, berganti dan berputar lagi. Manusia tenggelam dalam ekstasi komunikasi (juga konsep Baudrillard, 1987), berada dalam puncak-puncak nikmat dari penyaluran hasrat berkomunikasi, tetapi dangkal dalam substansi dan makna dari pesan komunikasi itu sendiri.

Ketiga, patria, yakni tanah dan air dimana manusia merasai kehidupannya, serta patriotisme sebagai pemaknaan romantis dari rasa cinta kepada sang patria, telah mengalami sejumlah tarikan dibalik loncatan perekonomian dan loncatan komunikasi-informasi tersebut. Tarikan keatas menjelmakan regionalisme-globalisme, ketika identitas warga patria teromantisasi oleh identitas regional-global yang menembus batas-batas eksistensi negara-bangsa. Tarikan kebawah menjelmakan lokalisme-etnisisme, ketika identitas warga patria teromantisasi oleh identitas etnis-lokalitas yang membungkus batas-batas eksistensi indigenitas. Lalu romantika nasionalisme negara-bangsa berada dalam ayunan dari gerak pendulum regionalisme-globalisme dan lokalisme-etnisisme tersebut, dimana identitas warga patria selalu berada dalam titik peralihan eksistensi.

Loncatan dan tarikan itu telah menjelmakan kompleksitas tatanan. Inilah era kompleksitas. Era dimana tatanan meng-ada sebagai pertemuan antara keteraturan dan kekacauan, dimana setiap komponen memiliki identitas dan otonomi untuk bereaksi dalam proses interkoneksitasnya satu sama lain. Inilah era kekacauan. Era dimana perubahan pada tatanan tidak terprediksikan, berjalan dalam prinsip non-linearitas. Di tengah kompleksitas dan kekacauan itu, tatanan dapat memelihara eksistensinya bila mampu berswatata, sedemikian rupa sehingga dapat beradaptasi kreatif dengan perubahan, mampu bersesuai dengan spirit zaman.

Pengetahuan dan Kualitas Tatanan

Tatanan adalah hasil konstruksi sosial yang di dalamnya berlangsung dialektika antara aktor/individu dengan struktur/kolektivitas. Susunan vertikal masyarakat dalam bentuk stratifikasi lapisan maupun polarisasi kelas; penggolongan horizontal masyarakat berdasarkan ras, gender dan umur; serta aturan main kehidupan yang tersepakati pada tingkat kolektivitas sosial; lalu pada gilirannya semua itu mempreskripsi tindakan individu untuk boleh dan tidak boleh melakukan sesuatu; merupakan hasil saling tawar antara toleransi individu menerima kekangan kolektivitas dengan toleransi kolektivitas menerima penyimpangan individu.

Ada saatnya dimana individu menerima informasi tentang preskripsi struktur, terinternalisasi kedalam dirinya, dan melakukan tindakan patuh atas preskripsi tersebut. Ada saatnya individu memikirkan secara kritis preskripsi struktur, mengobyektivasi keberlakuannya atas dirinya dan individu lain, lalu bertindak diluar keterpenuhan preskripsi struktur, dan dengan itu mendapatkan sanksi sehingga preskripsi struktur tetap tertegakkan. Tetapi, ada saatnya dimana pelanggaran individu atas preskripsi struktur direspons oleh struktur dalam bentuk penyesuaian preskripsi atas pelanggaran tadi, dan preskripsi baru bekerja sebagai hasil dari penyesuaian itu (bandingkan dengan konsep internalisasi, obyektivasi dan eksternalisasi dari Berger dan Luhmann, 1987).

Pertanyaannya, apakah tawar menawar struktur/kolektivitas dengan aktor/individu dengan sendirinya membawa tatanan sosial pada kualitas yang tinggi? Kalau tawar-menawar struktur dengan aktor menyepakati plagiasi di dunia akademis, pencucian uang di dunia perbankan, penyalahgunaan kekuasaan di dunia politik, ataupun berita tidak berimbang di dunia pers (misalnya) sebagai sesuatu yang bisa ditoleransi, maka sampai mana tatanan yang dikonstruksinya berkualitas tinggi? Pertanyaan ini menuntun kita untuk mencari adanya kualitas yang harus dipenuhi agar dialektika aktor dan struktur bisa menghasilkan tatanan berkualitas.

Kualitas dimaksud adalah pengetahuan. Baik ketika aktor menyepakati substansi preskripsi struktur sebagai acuan bersama, maupun ketika aktor mengobyektivasi ataupun ketika membangkangi dan melanggarnya, pengetahuan yang menjadi dasarnya. Dalam kaitan ini, dengan pendekatan permainan bahasa, pengetahuan dipahami tidak sekedar sebuah pernyataan denotatif tentang sesuatu, atau sebuah pernyataan tentang determinasi dan aplikasi kriteria kebenaran (logika), kriteria keindahan (estetika), kriteria efisiensi/efektivitas (teknika), bahkan juga kriteria keadilan dan/atau kebahagiaan (moral).

Menurut Lyotard (2009) pengetahuan adalah “sesuatu yang menjadikan seseorang berkapabilitas menyatakan ucapan yang ‘baik’”. Ia tidak hanya mencakupi ucapan denotatif yang ‘baik’, tetapi juga mencakupi ucapan konotatif yang ‘baik’, ucapan evaluatif yang ‘baik’, ucapan preskriptif yang ‘baik’, dan ucapan transformatif yang ‘baik’. Pengetahuan bukanlah sekedar kompetensi relatif pada golongan khusus dari ucapan, sebaliknya ia membuat performa ‘baik’ dalam semua relasi dengan suatu varietas obyek wacana yang mungkin terjadi: obyek yang diketahui, obyek yang disimbolisasi, obyek diputuskan, obyek yang dievaluasi, obyek yang ditransformasi.

Pengetahuan adalah landasan kualitas dari suatu tatanan, dan pengetahuan menjadi landasan kualitas tatanan karena ia menjadikan seseorang berkapabilitas menyatakan ucapan yang baik dalam permainan bahasa pada sebuah tatanan. Apa yang dimaksud dengan ucapan yang ‘baik’; tentang denotasi, konotasi, evaluasi, preskripsi dan transformasi yang ‘baik’; adalah kebersesuaiannya dengan kriteria kebenaran, keindahan, keadilan, kebajikan; yang terterima oleh lingkungan sosial dimana permainan bahasa itu berlangsung, pada pentas dimana teman bicara “saling mengetahui” (Lyotard, 2009). Bila tatanan merupakan interkoneksitas dari entitas lokal dan non-lokal; maka kriteria baik atas ucapan dapat bersumber dari lingkungan sosial lokal/spesifik dan lingkungan sosial global/universal. Ada pengetahuan yang bersesuai dengan kriteria baik pada skala global/universal; ada pengetahuan yang bersesuai dengan kriteria baik pada skala lokal/spesifik; dimana kriteria baik pada skala global/universal pada hakekatnya adalah jelmaan kesamaan dari kriteria baik pada berbagai skala lokal/spesifik seantero dunia.

Agama adalah sumber kriteria baik yang paling global/universal bagi sebuah tatanan. Sementara pengalaman sehari-hari adalah sumber kriteria baik yang paling lokal/spesifik. Dan, ilmu/sains adalah sumber kriteria baik yang berupaya menemukan kesamaan dan perulangan pengalaman dari yang lokal/spesifik untuk menjadikannya pendasaran bagi sesuatu yang global/universal. Bila agama datang dan diinternalisasi dari kitab-kitab suci; sementara ilmu/sains datang dan diinternalisasi dari buku-buku disiplin ilmu; maka pengetahuan berbasis pengalaman datang dari hasil menjalani hidup dalam waktu lama, yang substansinya menjelma dalam bentuk pelajaran penting dari pengalaman, berupa butir-butir hikmah kebijaksanaan, yang kemudian lazim disebut sebagai kearifan lokal.

Dengan demikian, kebaikan sebagai dasar kualitas dari sebuah tatanan, menempatkan kearifan lokal sebagai salah satu sumber kriteria, selain sumber kriteria dari ayat-ayat suci agama, dan sumber kriteria pada teori-teori disiplin ilmu. Dalam pertemuan tiga sumber “baik” itulah, sebuah tatanan menjadi arena permainan bahasa, menjadi arena kompleksitasi pengetahuan, baik dalam substansi praktikal-denotatif, simbolis-konotatif, preskriptif-normatif, ataupun intervensionis-transformatif.

Kearifan Lokal dalam Preskripsi Global

Kearifan lokal dapat menjelma sebagai ‘substansi ucapan’ maupun sebagai ‘praktek kehidupan’. Sebagai ‘substansi ucapan’, kearifan lokal menjelma sebagai pernyataan hikmah kebijaksanaan dalam bentuk nyanyian, peribahasa, sasanti, petuah, semboyan dan pesan-pesan yang tersajikan secara prosais ataupun puitis. Sebagai ‘praktek kehidupan’, kearifan lokal menjelma dalam bentuk perilaku hidup yang penuh hikmah kebijaksanaan sebagai hasil preskripsi dari substansi nyanyian, peribahasa, sasanti, petuah, semboyan dan pesan-pesan prosais maupun puitis. Kualitas tatanan tentunya akan lebih dikontribusi tinggi oleh kearifan lokal yang menjelma tidak hanya sebagai ‘substansi ucapan baik’ tetapi juga sebagai ‘praktek kehidupan baik’. Penjelmaan kearifan lokal sebatas ‘substansi ucapan baik’ terutama terkait dengan ucapan denotatif dan konotatif; sementara penjelmaan kearifan lokal sebagai ‘praktek kehidupan baik’ terutama terkait dengan ucapan preskriptif dan transformatif; namun ucapan preskriptif dan transformatif menempatkan ucapan denotatif dan konotatif sebagai prakondisinya.

Kearifan lokal dan identitas tatanan terkait erat satu sama lain melalui dua basis keunikan yakni ‘bahasa yang digunakan’ dan ‘batas lingkungan sosial’ dari keberlakuan ‘substansi ucapan baik’ dan ‘praktek kehidupan baik’ itu. Ucapan baik Melayu seperti ‘berat sama dijinjing, ringan sama dipikul’, ‘bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian’, ‘kalah jadi abu, menang jadi arang’, ‘guru kencing berdiri, murid kencing berlari’, ‘rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya’, akan menemukan konteks manifestasinya pada lingkungan sosial yang paham bahasa Melayu, dimana Bahasa Melayu kemudian menjadi substrat Bahasa Indonesia, sehingga kelokalannya bermakna keIndonesiaan. Tetapi, ucapan baik Jawa Tengah seperti ‘alon-alon asal klakon’, atau ucapan baik Jawa Timur seperti ‘rawe-rawe rantas malang-malang putung’, akan menemukan konteks manifestasinya pada kelokalan yang lebih sempit yakni Jawa Tengah dan Jawa Timur. Begitu pula acapan baik ‘ikhlas kiai-ne manfaat ilmu-ne, patuh guru-ne barokah urip-e’ (Ridwan, 2007), akan menemukan konteks manifestasinya pada lingkungan sosial lebih sempit lagi yakni pesantren dan pesantren itu adanya di Jawa.

Bila ‘ucapan baik’ dari khazanah bahasa seluruh Nusantara di-Bahasa-Indonesia-kan semua, atau ‘ucapan baik’ dari khazanah bahasa seantero dunia di-Bahasa-Inggris-kan semua, maka ‘substansi ucapan’ itu akan kehilangan dukungan lingkungan sosial spesifiknya didalam ia terpatrikan sebagai ‘praktik kehidupan’. Daya gugah sebuah kearifan lokal, agar terpatrikan dalam praktik kehidupan, terletak pada ruh bahasa dan batas lingkungan sosial, dimana kearifan lokal itu meng-ada. Itulah budi-bahasa; itulah bahasa-budi. Satu pengertian dan makna bisa dinyatakan dalam berbagai bahasa, karena setiap bahasa bisa menyatakan pengertian dan makna apa saja; tetapi gaya dan nuansa pengucapan dari susunan huruf merangkai kata dan kata merangkai kalimat, niscaya berbeda antar bahasa, dan olehnya itu daya gugahnya berbeda pula antar lingkup sosial dimana ia meng-ada. Karena itu, kearifan lokal memang idealnya ditelisik pada permainan bahasa dalam kelokalan lingkungan sosialnya.

Berikut ini adalah telisik atas salah satu bentuk kearifan lokal Bugis-Makassar, yang menjelma dalam bentuk paseng (pesan-pesan kehidupan), baik secara prosais maupun puitis. Menurut Ibrahim (2009), masyarakat Bugis-Makassar memiliki pesan-pesan atau wasiat orang-orang tua yang disampaikan turun-temurun secara lisan dan literer yang lahir: (1) dari rahim budaya dan diwariskan turun temurun dalam masyarakat; (2) sebagai bentuk pengekspresian nilai budaya masyarakatnya; (3) mengemban fungsi-fungsi pemeliharaan dan pewarisan nilai-nilai budaya; (4) merupakan pemaduan dan intipati watak peradaban masyarakatnya. Berikut ini adalah paseng tentang “Ramalan Keadaan” (Ibrahim,2009).

Engka seuwa wettu
Napole sasarak marajae

Muttamakiki’ ri alek-‘e,

naposek-sopekkik macang

Nonnokkik ri salok-‘e,

naemmekkik buaja

Naiyami salamak

Massobu’e di padang tajannge’

makkatenning ri cinaguria

Ada suatu masa
Akan terjadi prahara besar
Kita masuk hutan
Dicabik-cabik macan
Kita turun ke sungai
Ditelan buaya
Yang selamat hanyalah
Yang bersembunyi di padang terang
Berpegang pada pohon cinaguri

Paseng lainnya adalah mengenai “Perilaku Manusia” (Ibrahim, 2009)

Engka seuwa wettu narirapik
Pole’ri timunna tauwe massuk

ada-ada alusuk na patuju

Takkajennekk maneng tauwe,

nakkacoek

Naiyakiya barangkauk

pangkaukanna pappada ulak’e

Macannge’, na lebbipa koritu

Sabak nanre’ muwisa inanna,

amanna, silessurenna, anakna

Elok cinanna naturusi, napopuang

Lisusikik sianre bale

Akan terjadi suatu waktu dan ditemukan
Dari mulut manusia terucap
Kata-kata halus dan berguna
Orang-orang pada terlena
Dan menjadi pengikut
Tetapi perbuatan
Dan perilakunya bagaikan ular
Atau macan, bahkan lebih dari itu
Sebab ia akan memangsa ayah,
Ibu, saudara dan anaknya sendiri
Nafsu dan kepentinganlah yang dipertaruhkan
Kita akan kembali saling memangsa bagai ikan

Dan ini adalah Paseng tentang “Pegangan Hidup” (Ibrahim, 2009; 2003).

Uappasengngeng makkatenning
ri lima akkatenninge:

Mammulana, ada tongeng e,

Maduanna, lempuk-e

Matelluna, gettenge,

Maeppakna, sipakataue,

Malimanna, mappesonae ri pawinruk seuae.

Aku memesankan untuk berpegang
pada lima pegangan hidup:
Pertama, perkataan yang benar,
Kedua, kejujuran,
Ketiga, keteguhan pada keyakinan,
Keempat, saling menghargai satu sama lain,
Kelima, berserah diri, Kepada Pencipta yang tunggal
Pesan prosais ini menunjukkan bahwa baik karena ‘perjalanan waktu’ maupun karena ‘perbuatan manusia’, kekacauan (kondisi chaos) dalam tatanan bisa terjadi kapan saja. Karena itu, manusia sebagai aktor-individual maupun struktur-kolektif, harus memiliki ‘pegangan hidup’ yang bersifat preskriptif dan transformatif, dan dengan itu kualitas tatanan tetap terjaga. Pesan prosais ini mengucapkan tidak hanya bahasa denotatif dan simbolik; ia juga berisi ucapan preskriptif dan transformatif; sebagai hikmah kebijaksanaan dari pengalaman hidup orang Bugis-Makassar; yang pada gilirannya menjadi sumber kriteria praktek kehidupan yang baik; oleh sistem sosial Bugis-Makassar dimana ucapan baik ini meng-ada. Daya gugahnya terletak pada fonem dan kosa kata bahasa Bugis, nuansa budi-bahasa yag terkandung didalamnya, akan terinternalisasi dengan baik hanya oleh lingkungan sosial yang memahami bahasa Bugis tersebut. Kita lihat paseng puitis orang Bugis-Makassar, yang ucapan baiknya betul-betul mempreskripsi kriteria baik dalam kehidupan, yang dengan kriteria baik itu, harkat sebagai manusia tertegakkan (Ibrahim, 2009; 2003).

Sadda mappabatti ada,
Ada mappabatti gauk,

Gauk mappanessa tau.

Temmettok nawa-nawa majak,

Tellessuk ada-ada belle

Teppugauk gauk mace’ko

Temmakkatuna ri padanna Tau

Tettakkalupa ri apolengenna

Suara mewujudkan kata,
Kata mewujudkan perbuatan,
Perbuatan membuktikan harkat manusia.
Tak membersitkan pikiran jahat,
Tak mengeluarkan kata dusta,
Tak melakukan perbuatan culas,
Tak menghinakan sesama manusia,
Tak melupakan asal kedatangan (pencipta).

Kearifan lokal lainnya adalah pasang-ri-Kajang, yang lingkup daya gugahnya terbatas pada komunitas Ammatoa atau Kajang Hitam di Desa Tanatoa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Komunitas ini menggunakan bahasa Konjo, sebuah bahasa yang merupakan substrat Bahasa Makassar, pengucapnya tersebar mencakup orang Konjo Pegunungan di Gowa, Maros hingga Sinjai serta orang Konjo Pesisir di Bulukumba. Lihat pengungkapan mereka tentang eksistensi dirinya (Usop, 1977).

inakke tau dodong kamase-masea
turunganna angkua
punna angnganre na rie
care-care na rie
pammalli juku’na rie
tana koko na galung rie
bola situju-tuju
gannami tallasaya

kami orang-orang sederhana
sudah takdirnya demikian
bila makanan ada,
pakaian ada,
pembeli ikan ada,
tanah kebun dan sawah ada,
rumah secukupnya ada,
maka sempurnalah hidup kami

Ucapan denotatif diatas melukiskan tentang siapa mereka, sebagai orang-orang yang memaknai hidup dalam kepasrahan dan kesederhanaan, dengan kriteria pemenuhan kebutuhan yang dianggapnya pantas. Kita lihat pesan selanjutnya (Usop, 1977).

lambusu’nu ji nu karaeng,
rigattang nu ji nu ada’,
risabbara’nu ji nu guru,

apisonanu ji nu sannro


karena jujurmu maka kau pemerintah,
karena teguhmu maka kau pemangku adat,

karena sabarmu maka kau guru,

karena pasrahmu maka kau dukun,

karena pasrahmu maka kau dukun.

Pesan diatas adalah kriteria mereka tentang manusia yang baik, tentang syarat menjadi pemerintah (jujur), pemangku adat (teguh), guru (sabar) ataupun dukun (pasrah). Sedangkan lirik berikut adalah kearifan mereka tentang lingkungan hidup (Nasrum, 1994).

punna nitabbangi kajua
nipappiranggai,
nasaba anggurangi borong,
angngurangi bosi,
appaka anre timbusu ere,
napau turioloa

bila ada yang menebang kayu
hendaknya diperingatkan,
karena akan menggundulkan hutan,
mengurangi hujan,
mengurangi mata air,
sebagaimana dipesankan pendahulu kami.

Atau kita telisik kearifan mereka tentang pemerintah yang baik, dimana kriterianya dikaitkan dengan kelestarian lingkungan. Bahwa keberlanjutan kehidupan hanya terjamin oleh pemerintahan yang beretika lingkungan (Nasrum, 1994).

kutappa jaki:
punna napararakkang juku’,
napaloloiko raung kaju,
nasinarriko mata alllo,
napaturungiko ere bosi,
napalo’lorang ere tua’,
na’jariangko tinanang

kami mempercayaimu (sebagai pemerintah):
bila ikan tetap berbiak,
daun kayu tetap bersemi,
matahari bersinar memberi panasnya,
air hujan turun berlimpah,
air tuak tetap menetes,
dan tanaman tumbuh subur

Itulah dua contoh kearifan lokal, contoh dari substansi ’ucapan baik’, yang satu lahir dari rahim budaya Bugis-Makassar, entitas besar di Sulawesi Selatan; yang satu lahir dari rahim budaya komunitas Konjo di Timur Bulukumba, sebuah entitas substrat dari budaya Makassar. Isinya tidak hanya berupa ucapan denotatif dan konotatif, tetapi didalamnya juga tersebar ucapan preskriptif dan transformatif.

Bila ucapan baik dari rahim budaya Bugis-Makassar, sebagaimana ditampilkan tersebut, mempreskripsi individu dalam daya gugah yang tidak langsung mendeterminasi praktek kehidupan, berhubung lingkup sosial dari keberlakuan budi-bahasanya sangat luas; maka ucapan baik dari rahim budaya komunitas Konjo, sebagaimana telah ditampilkan juga, mempreskripsi individu dalam daya gugah yang lebih langsung mendeterminasi praktek kehidupan, berhubung lingkup sosial dari keberlakuan budi bahasanya terbatas pada komunitas kecil. Namun keduanya tampil sama, ia memberi penggambaran, ia memberi peringatan, ia memberi kriteria, ia menawarkan arah perjalanan, yang kesemuanya menjadi pertimbangan individu untuk diinternalisasi ataupun diobyektivasi dan pada gilirannya menjelmakan praktek kehidupan sesuai kadar manifestasinya masing-masing.

Persoalannya, dalam era kompleksitas perubahan dan fantasmagoria informasi saat ini, ’ucapan baik’ yang bersumber dari hikmah kebijaksanaan pengalaman hidup pada rahim budaya lokal; bercampur-berbaur dengan berbagai ’ucapan lain’ dari rahim budaya lain, ia hanya menjadi satu dari berbagai pertimbangan yang terinternalisasi dan terobyektivasi dalam diri individu. Sehingga, toleransi aktor atas preskripsi strukturnya, tidak hanya dilandasi oleh pengetahuan dari konteks struktur lokal diimana ia hidup; melainkan juga dipengaruhi oleh pengetahuan dari suprastruktur globalnya, menjadikannya tidak selalu ’berpraktek hidup’ secara selaras dengan ucapan baik’ lokalitasnya.

Permainan bahasa dalam era kompleksitas saat ini, dalam era kekacauan dimana manusia bisa si-anre-bale (saling memangsa laiknya ikan), lebih banyak terisi oleh ucapan global dari pada ucapan lokal. Dan, ketika globalisasi lebih berdasar pada pengetahuan ilmiah, dimana pengetahuan ilmiah mengandalkan pengamatan empiris, maka kebenaran yang dihasilkannya tidak selalu bersama kebaikan, berhubung realitas empiris memang tidak selalu tentang baik. Ini menjadikan ucapan global tidak selalu ucapan baik, meskipun ia ucapan benar. Berbeda dengan kearifan lokal, ia memisahkan pengetahuan atas realitas tentang baik dari pengetahuan atas realitas tentang buruk, mengangkatnya menjadi butir hikmah kebijaksanaan, maka ia adalah ucapan baik. Artinya, saat ini kita hidup dalam permainan bahasa yang lebih diisi oleh ucapan benar dibanding ucapan baik.

Solusi Konflik Melalui Kearifan Lokal

Konflik berkekerasan dan tindakan kekerasan adalah dua praktek kehidupan tidak baik yang menjadikan sebuah tatanan berkualitas rendah. Meskipun konflik dan persaingan merupakan unsur proses sosial yang niscaya hadir dalam interaksi sosial sebagaimana niscayanya kerjasama dan damai, tetapi konflik berkekerasan tetaplah praktek kehidupan tidak baik dalam tatanan. Coser (1964) memang menunjukkan sejumlah fungsi konflik bagi tatanan sosial, tetapi ketika konflik laten menjadi manifest tidak sekedar sebagai konflik bertujuan tetapi sebagai konflik berkekerasan (violent conflict), maka ia adalah proses sosial yang tidak sekedar mendisintegrasi tatanan sosial pada aras struktur tetapi membawa derita-sengsara pada aras individu. Dalam pendasaran seperti itulah konflik berkekerasan dan tindakan kekerasan itu sendiri merupakan ketidakbaikan bagi tatanan.

Kajian Bank Dunia atas konflik berkekerasan di Kamboja, Rwanda, Guatemala dan Somalia menemukan bahwa efek globalisasi atas meningkatnya kesenjangan, ketidaksetaraan dan eksklusivitas sosial merupakan determinan melemahnya kohesi sosial dan pada gilirannya mendeterminasi konflik berkekerasan antar etnis, antar golongan, antar kelas sosial, dan antar subwilayah (Colletta dan Cullen, 2000). Kesenjangan, ketidaksetaraan, dan eksklusivitas sosial itu telah menyimpan benih ketegangan sedemikian rupa sehingga kohesi sosial tidak bisa mengatasi sekat etnis, golongan, kelas sosial, dan subwilayah yang sedikit saja tersulut konflik berkekerasan segera memanifest dan berekskalasi besar.

Di Indonesia, selain determinan struktural akibat globalisasi sebagai pemicu kesenjangan, ketidaksetaraan dan eksklusivitas; desentralisasi dan otonomi daerah yang mengkondisikan pergeseran struktur kekuasaan akibat demokratisasi di pusat maupun daerah; telah bercampur satu sama lain dalam mendegradasi kohesi sosial sedemikian rupa sehingga ikatannya tidak bisa melampaui sekat etnis, golongan, kelas sosial dan subwilayah; sehingga dalam dua dekade tatanan kita diwarnai konflik berkekerasan baik dalam ekskalasi daerah/lokal (konflik dan kekerasan dalam pemilihan kepala daerah, konflik dan kekerasan dalam pemilihan kepala desa, ataupun konflik komunal dan etnis sendiri, lihat misalnya: Nugroho, Dirdjosanyoto dan Kana, 2004; Pamungkas, 2006), lintas daerah (kasus pemekaran daerah, konflik pengelolaan sumberdaya alam, lihat misalnya: Nathan, 2004; Lintong, 2005), antara rakyat dengan negara (protes perlakuan tidak adil aparat, perlawanan atas pengambilan hak oleh negara, lihat misalnya: Salman, 1996; Pandjaitan, 2003), antara masyarakat dengan perusahaan (tuntutan hak pekerja, protes perusakan lingkungan oleh korporasi, perlawanan atas ekspansi tanah oleh perusahaan, lihat misalnya: Salman, 1996; Lintong, 2005) ataupun antara rakyat dengan rakyat (kekerasan oleh ormas, konflik komunal, tauran massal, main hakim sendiri).

Bila pun saat ini patria kita sudah relatif aman dari konflik berkekerasan dengan ekskalasi besar, tetapi tidak berarti bahwa konflik berkekerasan skala daerah dan antar identitas yang periodenya singkat tetapi intensitasnya tinggi, tidak perlu diwaspadai. Apalagi di tengah kecenderungan bahwa peristiwanya bukan hanya konflik berkekerasan tetapi tindakan kekerasan atas pihak lain yang tidak melawannya dengan kekerasan juga bertambah, maka kadar tidak baiknya bagi tatanan lebih signifikan lagi. Pemikiran dan upaya untuk menguatkan kohesi sosial agar memiliki toleransi tinggi atas terpicunya potensi laten konflik menjadi konflik berkekerasan, harus terus menjadi prioritas.

Dalam pemikiran dan upaya dimaksud, semua sumber pengetahuan harus dioptimalkan sebagai basis acuan dalam bertindak, semua multipihak harus difasilitasi berkontribusi. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, kearifan lokal sebagai hikmah kebijaksanaan dari pengetahuan berbasis pengalaman suatu masyarakat, memiliki potensi untuk berkontribusi bagi solusi konflik berkekerasan dan tindakan kekerasan. Dalam kerangka bagaimana kearifan lokal bisa berkontribusi untuk penyelesaian konflik berkekerasan dan tindakan kekerasan?

Pertama, artikulasi kearifan lokal sebagai penanam budi baik bagi individu/aktor. Bila hikmah kebijaksanaan yang menjadi isi kearifan lokal dapat menanamkan budi baik kepada warga lingkungan sosialnya; sementara menekan emosi, nafsu dan murka diri untuk toleran terhadap tindakan menyinggung, mengalahkan, menyakitkan dan menghinakan dari orang lain adalah budi baik; maka dorongan untuk konflik berkekerasan dan tindakan kekerasan dapat diredakan melalui penghayatan dan pengamalan atas ucapan denotatif, konotatif, preskriptif dan transformatif dari kearifan lokal. Dalam sejarah, peradaban manusia memang dikontribusi oleh penjaga-penjaga pengetahuan, sejak perpustakaan Alexandria hingga dunia maya internet sekarang (McNeely dan Wolverton, 2010).

Karena itu, jadikanlah butir-butir hikmah dari kearifan lokal sebagai wacana sosial, buatkan panggung untuk setiap lokalitas merayakan kearifan lokalnya, sehingga patria kita menjadi taman bagi bunga-bunga kearifan lokal yang berjalinan satu sama. Tayangan televisi, berita surat kabar, siaran radio, cerita sinetron, nyanyian lagu, wawancara tokoh, pesan face-book; fasilitasi LSM, pendampingan relawan, aplikasi pertangung-jawaban sosial perusahaan; nasehat orang tua, kuliah profesor, KKN mahasiswa, muatan lokal sekolah, diskusi warung kopi; orasi tokoh politik, arahan calon kepala daerah kepada pendukungnya, rehat anggota DPR, perilaku ormas; serta program dan kegiatan pembangunannya pemerintah; eloknya ikut perayaan dan mengisi panggung tersebut.

Kedua, artikulasi kearifan lokal sebagai basis modal sosial untuk menegakkan kohesi sosial. Kearifan lokal adalah sumber norma, ia adalah pranata sosial yang kepatuhan kepadanya karena kerelaan. Ia adalah bagian dari unsur yang secara informal menjadikan anggota tatanan dapat mengkordinasikan diri mewujudkan tujuan bersama, dan karena itu ia adalah bagian dari modal sosial (Fukuyama, 2002; Field, 2010). Ketika tujuan bersama itu tersepakati pada tingkat lokal, maka ia menguatkan kohesi sosial pada tingkat lokal; bila tujuan bersama itu bersesuai sama lain antar lintas lokal, maka ia menguatkan kohesi sosial lintas lokal; bila tujuan bersama itu bersesuai antara tingkat lokal dengan supra lokal, maka ia menguatkkan kohesi sosial vertikal (Colletta dan Cullen, 2000; Fukuyama, 2002).

Kohesi sosial yang kuat memiliki toleransi tinggi atas sensitivitas kesenjangan, ketidaksetaraan, eksklusivitas dan eksploitasi sebagai ladang bagi tersemainya konflik berkekerasan dan tindakan kekerasan. Karena itu, tempatkanlah kearifan lokal sebagai modal sosial yang sama urgensinya dengan modal sumberdaya alam, modal kecerdasan dan kompetensi SDM, modal fisik sarana/prasarana, modal teknologi dan finansial, didalam tata kelola tatanan. Dibalik preskripsi kearifan lokal secara informal; persentuhan multipihak pemerintah, civil society, dunia swasta, berbagai golongan dan lapisan masyarakat didalam tatanan lokal, lintas horizontal tatanan lokal dan lintas vertikal tatanan lokal; menjadi niscaya untuk difasilitasi secara berkala. Fasilitasi itu hendaknya mengkondisikan dialog otentik antar pihak, dalam pertukaran pengetahuan dan persinggungan latar kelembagaan yang berbeda; guna mendorong relasi resiprosikal pewacanaan isu bersama, produksi dan reproduksi saling kepercayaan, serta penumbuh-kembangan jejaring multipihak.

Ketiga, artikulasi kearifan lokal sebagai praktek teknis penyelesaian konflik dan kekerasan. Sejumlah tatanan lokal mengembangkan praktek teknis resolusi konflik dan kekerasan. Pada unit sangat kecil, di Desa Terawas, Musirawas, Sumatera Selatan, dikenal tradisi punjung mentah. Bila terjadi pertentangan antar warga, pihak bersalah difasilitasi membawa punjung mentah kepada keluarga korban atau tidak bersalah, di dalamnya berisi kopi, gula, beras, ayam dan rokok. Punjung mentah adalah simbol ungkapan penyesalan dan permohonan maaf kepada keluarga korban. Kalau punjung mentah sudah dibawa, biasanya keluarga korban merasa puas, dihormati, menerimanya dan menahan dendamnya. Usai pemberian punjung mentah, dilanjutkan dengan tradisi tepung tawar, orang yang saling bertikai kemudian saling mengoleskan tepung tawar di badannya, maka keduanya diianggap bersaudara. Cara demikian menahan konflik perorangan menjadi konfik kelompok bahkan konflik komunal. (Cerita ini dikutip dari Abdur Rozaki, peneliti IRE Yogyakarta, Resolusi Konflik Berbasis Kearifan Lokal, 2010).

Contoh lain, di Kabupaten Soe, Nusa Tenggara Timur, dikenal tradisi okomama, yakni sebuah kotak dengan aneka ukuran yang diluarnya dibalut dan dilapisi kain tenunan adat dan di dalamnya diisi sirih pinang dan kapur. Bila ada konflik atau pertikaian dalam masyarakat, pihak bertikai dimasukkan kedua tangannya dalam okomama sambil berjanji dan bersumpah untuk tidak lagi permusuhan dan selanjutnya menjaga perdamaian. Dengan itu, damai antar pihak bertikai terfasilitasi, dendam teredam, konflik kelompok bahkan komunal terhindari. (Cerita ini dikutip dari Abdur Rozaki, peneliti IRE Yogyakarta, Resolusi Konflik Berbasis Kearifan Lokal, 2010).

Penyelesaian konflik melalui pengadilan adat juga dapat dijadikan contoh dalam konteks ini. Pada klan Selupu Lebong, Bengkulu, dikenal pengadilan yang melibatkan pelindung adat, ketua kutai dan ketua sukau/klan. Pada proses awal: pihak korban melaporkan kejadian kepada Ketua Sukaunya; Ketua Sukau korban melaporkan kejadian tersebut kepada Ketua Sukau pelaku; Ketua Sukau pelaku memanggil pelaku untuk meminta keterangan tentang laporan Ketua Sukau korban; Setelah mendengar pengakuan pelaku, Ketua Sukau pelaku mendatangi Ketua Sukau korban untuk membahas permasalahan anak Sukau mereka; Hasil musyawarah Ketua Sukau pelaku dan korban kemudian dibawa ke Ketua Kutai (Hakim Desa); Setelah menerima laporan Ketua Sukau korban dan pelaku, Ketua Kutai memanggil seluruh Ketua Sukau untuk melaksanakan proses Peradilan Adat. Tahap selanjutnya, proses penyelesaian sengketa: Ketua Kutai meminta penjelasan Ketua Sukau korban dan pelaku; Ketua Kutai meminta keterangan korban dan pelaku untuk mengklarifikasi keterangan Ketua Sukau pelaku dan korban; Ketua Kutai menanyakan kepada korban dan pelaku apakah mereka bersedia permasalahannya diselesaikan secara Adat (bila keduanya sepakat, Ketua Kutai melanjutkan proses peradilan); Dalam persidangan, Ketua Kutai menanyakan persoalan sesungguhnya kepada pihak bertikai. Tahap terakhir, proses penentuan putusan: Sebelum menetapkan putusan Ketua Kutai selalu menghayati pokok-pokok adat selain mengunakan falsafah ’ayam hitam terbang malam hinggap di kayu rindang pohon’ atau azas praduga tidak bersalah, juga meminta pertimbangan dan nasehat Rajo atau Pelindung Adat dan cerdik pandai, alim ulama dan orang yang dianggap pintar di Kutai tersebut; Dari masukan dan nasehat itu Ketua Kutai meminta saran dan pendapat dari empat orang Ketua Sukau baik kepada Sukau yang bersengketa maupun Sukau lain; Setelah memper-timbangkan saran dan nasehat pelindung adat dan para Ketua Sukau maka Ketua Kutai memutuskan perkara tersebut dengan menggunakan sekapur sirih sebagai lambang kesepakatan disaksikan Anok Sukau dan para pihak lainnya. (Cerita ini dikutip dari tulisan Abdul Kholik, Mengagas Penyelesaian Konflik Berbasis Kearifan Lokal, diposting oleh ‘Revolusi Jalanan’ pada 16 Juni 2010).

Cukup banyak lokalitas di Indonesia yang memiliki mekanisme penyelesaian konflik di luar pengadilan. Tentu saja efektivitas keberlakuannya tergantung pada kepatuhan warga tatanan atas preskripsi tersebut, karena di luar itu berkembang mekanisme hukum formal berbasis pengadilan fasal-fasal kitab pidana, sementara pengadilan adat lebih berbasis pada musyawarah. Persoalannya terletak pada pengetahuan mana yang dilegitimasi sebagai penghasil kebenaran sekaligus kebaikan, bukan hanya kebenaran saja, apalagi itu hanya kebenaran empirik.

Pernyataan dan ilustrasi diatas menunjukkan bahwa potensi kearifan lokal sebagai solusi bagi penyelesaian konflik berkekerasan dapat memanifest dalam berbagai skenario. Tantangannya terletak pada bagaimana setiap kita memulai menjalankan langkah untuk berkontribusi pada perayaan ataupun penciptaan panggung kearifan lokal tersebut.

Penutup: Sinergi Kearifan Lokal dengan Kearifan Non Lokal

Tulisan ini tidak bermaksud mengatakan bahwa kearifan lokal sebagai buah pengetahuan dari hikmah kebijaksanaan pengalaman hidup adalah satu-satunya kontributor bagi kebaikan tatanan. Sudah dua abad teryakini bahwa pengetahuan ilmiah adalah kontributor nyata peradaban manusia, sebuah pengetahuan yang mengandalkan alur logico-hypothetico-verificatif sebagai landasan kebenaran yang dihasilkannya, yang terbukti berhasil memproduksi narasi-narasi besar sebagai acuan tatanan.

Tulisan ini hanya ingin menggugah bahwa sisakanlah juga ruang untuk perayaan narasi-narasi kecil kearifan lokal, buatkanlah juga panggung untuk presentasi hikmah kebijaksanaan, sebagai acuan bagi tatanan. Tulisan ini tidaklah mengikuti ambisi besar kalangan postmodernisme untuk mendekonstruksi habis sang narasi besar, untuk hanya mengisi muka bumi dengan narasi-narasi kecil.

Tulisan ini hanya mendorong untuk diadakannya perayaan atas sinergi kearifan lokal dengan kearifan non lokal, dibawah payung kearifan dari agama sebagai sumber kebenaran dan kebaikan yang permanen. Bila selama ini taman peradaban telah diisi hampir penuh oleh bunga-bunga kearifan non lokal dari sains modern; sementara kearifan lokal terpinggirkan dan terinjak oleh kehadiran mereka; maka kini, demi peradaban yang lebih baik; ikhlaskanlah pojok demi pojok, celah demi celah, ruang demi ruang, untuk artikulasi kearifan lokal dalam taman tersebut. Karena, bila peminggiran terus berlanjut, penghancuran terus terjadi, maka itu juga adalah bagian dari kekerasan yang bisa memicu konflik berkekerasan. Quo Vadis?


Daftar Pustaka

Amien, M.A., 2005. Kemandirian Lokal: Konsepsi Pembangunan, Organisasi, dan Pendidikan dari Perspektif Sains Baru. Jakarta: Gramedia.

Barnett, R., and J. Cavanagh, 1996. “Electronic Money and the Casino Economy”, in J. Mander and E. Goldsmith (eds.), The Case Against The Global Economy and For a Turn Toward The Local. San Fransisco: Sierra Club Books.

Baudrillard, J., 1987. The Ecstacy of Communication. New York: Semiotex(e)

Baudrillard, J., 1987. Simulations. New York: Semiotex(e).

Berger, P dan Luhmann, T., 1988. Konstruksi Sosial atas Realitas (Terjemahan). Jakarta: LP3ES

Colletta, N.J. dan M.L. Cullen, 2000. Violent Conflict and the Transformation of Social Capital. Washington D.C.: The World Bank.

Edgerton, R.B., 2006. “Kepercayaan dan Praktik Tradisional-Apakah Sebagian Lebih Baik daripada yang Lainnya?”, dalam L.E. Harrison dan S.P. Huntington (Eds.), Kebangkitan Peran Budaya: Bagaimana Nilai-Nilai Membentuk Kemajuan Manusia. Jakarta:LP3ES.

Ibrahim, A., 2003. Sulesana: Kumpulan Esai tentang Demokrasi dan Kearifan Lokal. Makassar: Lephas.

Ibrahim, A., 2009. “Sastra Paseng”, dalam www.alwyrachman.blogspot.com. Diakses Juli 2010.

Field, J. 2010. Modal Sosial (Terjemahan). Bantul: Kreasi Wacana.

Fukuyama, F., 2002. The Great Disruption: Hakikat Manusia dan Rekonstitusi Tatanan Sosial. Yogyakarta: Qalam Press.

Kholik, Abd., “Menggagas Penyelesaian Konflik Berbasis Kearifan Lokal (local wisdom) (Studi pada Mekanisme Peradilan Adat Clan Selupu Lebong, Bengkulu)”, http://blog.unsri.ac.id/revolusi-jalanan/artikel-sosial-budaya/diakses 28 Juli 2010.

Lawalata, J., 2004. “Fakta Tak Terlihat: Posisi Perempuan dalam Konflik Sosial di Maluku”. Jurnal Perempuan, No.33.

Lawang, R.M.Z., 2004. Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik: Suatu Pengantar. Jakarta: Fisip UI Press.

Lintong, E.E., 2005. “Resolusi Konflik Pertambangan di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Sulawesi Utara”, Wacana (Jurnal Ilmu Sosial Transformatif), Edisi 20, Tahun VI. Yogyakarta: Insist.

Lyotard, J. F., 1994. Economy Libidinale. New York: Althone Press.

Lyotard, J.F., 2009. Kondisi Postmodernisme: Suatu Laporan untuk Pengetahuan (Terjemahan). Yogyakarta: Selasar Publishing.

McNeely, I.F. dan L. Wolverton, 2010. Para Penjaga Ilmu dari Alexandria sampai Internet. Jakarta: Literati.

Nasrum, M., 1994. Persepsi Masyarakat Kajang terhadap Pelestarian Nilai-Nilai Budaya Kaitannya dengan Lingkungan Hidup (Skripsi). Makassar: Jurusan Sosial Ekonomi Partanian Unhas.

Nathan, M., 2004. “Decentralization and Konflict: A Case-Study of Luwu, South Sulawesi, dalam Nugroho, Dirdjosanyoto dan Kana (Eds.), Konflik dan Kekerasan pada Aras Lokal. Yogyakarta: Pustaka Percik-Pustaka Pelajar.

Nugroho, F., P. Dirdjosanyoto dan N.L. Kana, 2004. Konflik dan Kekerasan pada Aras Lokal. Yogyakarta: Pustaka Percik-Pustaka Pelajar.

Pamungkas, C., 2006. “Membaca Dinamika Konflik Poso: Dari Kekerasan Komunal ke Kekerasan Politik”, Masyarakat Indonesia (Majalah Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia), Jilid XXXII, No.2. Jakarta: LIPI

Pandjaitan, E., 2003. “Tapasadama Rohanta Menutup Indorayon: Kisah Perjuangan Rakyat Toba Samosir Sumatera Utara melawan PT Inti Indorayon Utama”, dalam N. Kusuma dan F.Agustina (Eds.), Gelombang Perlawanan Rakyat: Kasus-Kasus Gerakan Sosial di Indonesia. Yogyakarta: Insist.

Piliang, Y.M., 1998. Sebuah Dunia yang Dilipat. Bandung: Mizan.

Ridwan, N.A., 2007. “Landasan Keilmuan Kearifan Lokal”, Ibda’, Vol.5, No.1. Purwokerto: P3M STAIN.

Rozaki, Abd., “Resolusi Konflik Berbasis Kearifan Lokal”, http://www.ireyogya.org/adat/flamme-adat-vol1-gagas-.htm, diakses 28 Juli 2010.

The World Bank, 1998. Post Conflict Reconstruction: The Role of the World Bank. Washington D.C.: The World Bank.


catatan:
Tulisan ini telah diterbitkan sebagai salah satu bab dalam buku “Makna Bhinneka Tunggal Ika sebagai Bingkai Budaya Ke-Indonesiaan”, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta, 2010.

Saturday, January 1, 2011

Dua Realitas, Dua Prasangka

ITA ROSVITA DAHRI
PSGBD
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin

Barang atau objek ternyata mempunyai peran aktif
dalam mengatur dan mengonstruksi identitas.
Secara timbal balik, terjadi sebuah relasi pemaknaan
antara barang yang diberikan makna oleh seseorang
dan makna seseorang yang memiliki barang tersebut.
-Marcel Mauss-

KONTEKS:
Ketika Anda berada di atas angkutan, Anda duduk di samping orang-orang yang tengah bertutur dengan menggunakan bahasa yang ‘aneh’, apa reaksi Anda? Atau, Anda dihadapkan pada sebuah kondisi ketika menghadiri kenduri salah satu teman yang berbeda etnis dengan Anda, lalu orang kebanyakan menggunakan bahasa yang sulit diolah dan diterima oleh pikiran Anda, bagaimana pula reaksi Anda?

Indonesia adalah negara yang ditakdirkan sebagai negara multietnik. Survey Badan Pusat Statistik di Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia memiliki etnis yang sangat tidak sedikit. Tidak tanggung-tanggung, Indonesia memiliki 1.128 etnik. Tidak hanya ditakdirkan sebagai negara multietnik, Indonesia juga ditakdirkan sebagai negara multibahasa. Tercatat di Pulau Sumatera terdapat 35 ragam bahasa asli, di Pulau Jawa-Bali terdapat 13 ragam bahasa asli, di Pulau Nusa Tenggara dan Maluku Barat Daya terdapat 74 ragam bahasa asli. Sementara itu, di Pulau Maluku yang terbagi atas Maluku Tengah dengan 54 ragam bahasa asli dan Maluku Utara dengan 25 ragam bahasa asli, di Maluku Selatan terdapat 46 ragam bahasa asli. Lain pula etnik di Pulau Kalimantan, yang terdapat 74 ragam bahasa asli, di Sulawesi terdapat 114 ragam bahasa asli, di Papua yang terbagi atas Papua Barat Laut dengan 62 ragam bahasa asli, dan Papua Timur dengan 272 ragam bahasa asli. Ada pula sumber lain yang merincikan jumlah bahasa asli sebanyak 726, yang terdiri atas 719 bahasa lokal/daerah (masih aktif digunakan sampai sekarang), dua bahasa sekunder tanpa penutur asli, dan lima bahasa tanpa diketahui penuturnya. Jadi wajarlah, jika Indonesia memiliki 36 rekor dunia, salah satunya yaitu “Negara dengan bahasa etnik terbanyak”.

John Naisbitt dalam Global Paradox (1994) berpandangan bahwa era globalisasi telah memunculkan kecenderungan paradoksal. Pada satu sisi, kecenderungan terbentuknya kota buana (global city) semakin deras sebagai akibat dari dua penggerak utama --- kemajuan teknologi transformasi dan revolusi informatika --- yang kemudian menghadirkan “masyarakat modern”. Pada sisi lain, di saat yang hampir bersamaan, komunitas “masyarakat modern” seakan merindukan kembali nilai-nilai dan gaya primordial, terutama pada romantisme etnis. Paradoks terjadi karena bertemunya dua pengalaman. Pengalaman yang dibentuk oleh penggerak utama dari dunia “modern” dan pengalaman “primordial” yang terstruktur dan tertanam pada diri melalui proses panjang budaya etnis. Pengalaman yang satu datang dari luar dan pengalaman yang lain datang dari dalam. Kata “paradoks” sendiri berasal dari “para” yang berarti “di luar” dan “doksa” yang berarti “pengalaman sosial”. Pertemuan dua “doksa” ini lah kemudian disebut dengan “paradoks” yang secara faktual menimbulkan guncangan, gesekan dan konflik.

Naisbitt menyerukan bahwa kecenderungan paradoksal ini telah begitu mengeras, menjangkau berbagai kawasan di dunia, sehingga menjelma ke dalam berbagai peristiwa konflik. Naisbitt menggambarkan situasi seperti ini dengan menggunakan analogi menjalarnya “virus tribalisme”. Meskipun terma “tribalisme” dapat dianggap sebagai bagian dari cara menstigmatisasi negara-negara ketiga, ramalan Naisbitt perlu dicerna dalam konteks Indonesia sebagai bangsa. Indonesia memang adalah sebuah bangsa yang terdiri atas kaki-kaki bangsa (suku bangsa) dari berbagai macam latar etnik, agama, ras, budaya, dan bahasa. Sebagai bangsa, dua keping realitas menjadi tidak terhindarkan bagi Indonesia --- sebagai negara multietnik dan sebagai negara multibahasa. Dalam pengalaman kebudayaan, konflik yang terstruktur di dalam dua realitas di atas tersimpan secara laten, ibarat “api dalam sekam”. Prasangka etnik dan prasangka bahasa (linguistic prejudice) pun berlangsung secara diam-diam.

Adalah Worchel dan kawan-kawan mendefinisikan prasangka sebagai sifat negatif yang tidak dapat dibenarkan terhadap suatu kelompok dan individu anggotanya. Prasangka atau prejudice merupakan perilaku negatif yang mengarahkan kelompok pada individualis berdasarkan pada keterbatasan atau kesalahan informasi tentang kelompok. Prasangka juga dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat emosional, yang akan mudah sekali menjadi motivator munculnya ledakan sosial. Bertalian dengan definisi Worchel tersebut, dapat dikatakan bahwa prasangka bahasa adalah sikap negatif yang tidak dapat dibenarkan terhadap suatu bahasa dan kelompok pengguna bahasa atau individu anggota pemakai bahasa tertentu.

Prasangka bahasa merupakan sikap negatif yang bersumber pada favoritisme dan etnosentrisme, yang dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, ketidaksetaraan status dengan prasangka. Hal ini akan menggiring kepada hal yang negatif. Misalnya menganggap bahasa etnis komunitas lain tidak sebaik dengan bahasa etnis yang kita miliki. Kedua, identitas etnik dan bahasa. Identitas etnik dan bahasa merupakan bagian untuk menjawab “Siapa aku?” yang dapat dijawab bila kita memiliki keanggotaan terhadap sebuah bahasa atau etnik. Kita mengidentifikasikan diri kita dengan kelompok bahasa tertentu (language in group), sedangkan ketika kita dengan kelompok bahasa lain, kita cenderung untuk memuji kebaikan kelompok bahasa kita sendiri. Ketiga, kepribadian yang dinamis. Untuk dapat merasakan diri kita memiliki status, kita memerlukan adanya orang yang memiliki status di bawah kita. Adanya perasaan superior terhadap bahasa etnis sendiri. Misalnya, jika kita menggunakan bahasa etnik kita, kita akan merasa dianggap memiliki status yang lebih baik. Keempat, bahasa mayoritas versus bahasa minoritas. Penutur bahasa yang mayoritas akan merasa hebat ketika mereka bertutur di antara penutur bahasa yang minoritas. Sebaliknya, penutur bahasa yang minoritas akan terkerdilkan dengan adanya penutur bahasa mayoritas.

Sebuah komunitas kultural secara eksistensial ditunjukkan melalui komposisi bahasa yang dimiliki untuk menangkup dan menuangkan kompleksitas gagasan dunia mereka. Sejalan dengan seluk-beluk yang melingkari prasangka bahasa, Koentjaraningrat di dalam Pengantar Ilmu Antropologi yang membahas tentang ras, bahasa, dan kebudayaan, mengungkapkan bahwa sejumlah manusia yang memiliki ciri-ciri ras tertentu sama, belum tentu juga mempunyai bahasa induk yang termasuk satu keluarga bahasa, apalagi mempunyai satu kebudayaan yang tergolong satu daerah kebudayaan. Perbedaan bahasa induk dan perbedaan daerah kebudayaan menimbulkan prasangka laten dan prasangka manifes. Di satu sisi multibudaya menjadi sumber perekat keragaman etnis, tetapi secara bersamaan, keberagaman ini juga merupakan potensi konflik yang sewaktu-waktu manifes saat semangat primordialisme tidak mampu dikelola dan dikendalikan secara mawas dan bijaksana.

Pengetahuan tentang seluk-beluk dan proses kebudayaan yang melatenkan prasangka bahasa ternyata memberikan manfaat. Begitu pun dengan pengetahuan tentang prasangka bahasa itu sendiri. Pertama, memahamkan posisi dan perilaku kita terhadap pengguna bahasa-bahasa etnik lain yang ada di sekeliling kita. Kedua, memahamkan tentang cara dan sikap kita memperlakukan dan berkomunikasi terhadap penutur bahasa yang berbeda etnik dengan kita. Ketiga, memahamkan bahayanya berprasangka bahasa terhadap bahasa etnik lain dan dampak yang akan ditimbulkan dengan menghadirnya prasangka bahasa. Keempat, memahamkan kita bahwa betapa bermaknanya pilar negara kita “Bhinneka Tunggal Ika”, berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Perbedaan bahasa pada setiap etnis bukanlah sebagai pemecah, tetapi perbedaan itu adalah pemerkaya. Tak hanya manfaat pada diri yang diberikan dengan adanya pengetahuan tentang prasangka bahasa. Lembaga akademis, termasuk pihak universitas bersama fakultas yang terkait dapat memiliki kepekaan untuk menyediakan ruang kepada etnik-etnik minoritas yang ada di Sulawesi Selatan untuk merawat keberlangsungan bahasa etniknya.

Prasangka bahasa yang dapat dipahami melalui interaksi tutur di antara etnik di Sulawesi Selatan dapat terjadi pada kehidupan sehari-hari yang kadang tidak disadari. Misalnya saja pendatang Bugis yang belajar di Makassar. Ketika berada di tengah-tengah mahasiswa penutur bahasa Makassar, tentu saja sang pendatang akan merasa risih bahkan boleh jadi berpikiran negatif. Muncul sense pada dirinya kalau yang diperbincangkan mahasiswa Makassar itu adalah hal buruk tentang dirinya.

Bahasa etnik adalah bagian dari grand perspective tentang bahasa yang membentuk sebuah kesatuan dan kompleksitas sebuah komunal etnik. Bahasa etnik adalah sebuah sistem simbolis yang merupakan ekspresi makna dari keseluruhan representasi kehidupan manusia. Bahasa etnik menjadi sebuah ruang besar yang mengekspresikan sebuah relasi kompleks dari ekspresi diri dan realitas kehidupan manusia dan komunalitasnya yang bersifat historis, materialis, politis, ideologis, dan kultural. Bahasa etnik adalah bagian penting yang menangkup sebuah keutuhan dimensi sebuah komunitas etnik. Sebagai penghormatan terhadap bahasa-bahasa etnik, diperlukanlah langkah-langkah untuk merawat bahasa etnik itu sendiri. Paling tidak, ada beberapa tindakan untuk mengapresiasi bahasa-bahasa etnik, terutama etnik minoritas. Pertama, menghidupkan muatan-muatan lokal dalam pembelajaran dengan memanfaatkan bahasa etnik sebagai media penyampaian pembelajaran. Kedua, pemerintah tetap menghormati hak-hak etnik. Ketiga, negara memberikan perlindungan terhadap wilayah-wilayah keadatan bagi suatu etnik. Keempat, menyelenggarakan pendidikan multikultural. Masih lemahnya pemahaman kita dalam membina hubungan harmonis antarsesama menempatkan pendidikan multikultural sebagai alat wahana penting untuk penanaman nila-nilai kebhinekaan. Multiculturalism menekankan penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak minoritas, dilihat dari sisi etnik, agama, ras dan warna kulit. Ini adalah sebuah konsep untuk membangun kekuatan sebuah bangsa yang terdiri atas berbagai latar belakang etnik, agama, ras, budaya, dan bahasa.

Peneguhan konstitusional terhadap hak etnik atas bahasa asli telah lama ‘diprasastikan’ dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia yang diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III). Peneguhan ini termaktub pada Hak Budaya pasal 28 (3) yang berbunyi: Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Pada pasal 32 (2) berbunyi: Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan kebudayaan nasional. Jelaslah kedua pasal di atas adalah bentuk penghormatan hak etnik atas bahasa asli.

Sebelum akhir, ada dua pertanyaan yang mengemuka. Pertanyaan pertama adalah “Mengapa hak etnik atas bahasa asli perlu dibela?”. Paling tidak ada beberapa jawaban untuk ini. Pertama, bahasa asli adalah bagian penting dari kerangka kerja pengetahuan dari tafsir sosial sebuah etnik. Bahasa etnik harus menunjukkan sebuah fakta tentang indegeneous lokal yang terkait dengan posisi bahasa yang dimiliki oleh suatu etnik dan tafsir sosial tentang sebuah situasi spesifik yang menjadi ciri antropologikultural manusia di dalam etnik itu. Kedua, sebab bahasa etnik merupakan bagian penting yang mengakomodasi kekayaan simbolis dan makna-makna yang berperan secara fungsional yang menunjukkan sebuah pengalaman sosial komunitas suatu etnik. Ketiga, sebab bahasa etnik adalah simbol spiritual dan ritual secara kultural. Pertanyaan kedua adalah “Apa kerugian jika etnik-etnik minoritas Sulawesi Selatan kehilangan bahasa aslinya?”. Pun ada beberapa jawaban untuk ini. Pertama, akan terjadi kegagalan spiritual dan kesalahan ritual secara kultural. Kedua, simbol-simbol dan nilai makna akan mengendap. Ketiga, pemikiran terhadap suatu etnis tidak akan terkonstruksi dalam sebuah pengalaman sosial yang dikenal. Keempat, pencitraan atau penceritaan sejarah suatu etnik akan mengalami diskontinuitas yang mengakibatkan etnik minoritas kehilangan keutuhan diri secara eksistensial. Kelima, budaya etnik minoritas tidak akan menemukan budayanya. Sebab, bahasa adalah bagian penting dari cultural boundary yang menjadi induk konseptualisasi dunia yang menghubungkan antara logika internal dalam budaya dengan realitas sosial. Paling tragis, jika etnik minoritas kehilangan bahasa aslinya, maka ia akan miskin simbol, simbol yang menyimpan nilai makna otentik yang pernah dimilikinya, sebagai identitasnya.

Kalau bahasa adalah bagian dari identitas yang “dipertukarkan”, ungkapan Marcel Mauss yang disemat di awal tulisan ini menjadi benar. Peran aktif di antara pemilik dan penerima akan menciptakan “makna” dalam mengatur dan mengonstruksi identitas bagi kepentingan keduanya. Secara timbal balik akan tercipta relasi pemaknaan penutur dan petutur. Tentu saja, bukan relasi yang menyuburkan prasangka bahasa dan prasangka etnik atau mengerdilkannya dengan cara menyuburkan pemartabatan etnik diri sendiri secara berlebihan.


Bacaan Pemerkaya

Anwar, Ahyar, 2007. “Bahasa sebagai Genetika Kultural: Materialisme Bahasa dan Habitus Orang Bugis Makassar”. Makalah disajikan pada Kongres Internasional Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan I. Pusat Bahasa Depdiknas dan Pemrov Sulsel, Hotel Clarion Makassar, 22-25 Juli 2007.

Arya Hadi Dharmawan. 2006. Konflik Sosial dan Resolusi Konflik: Analisis Sosio Budaya. www.psp3ipb.or.id./ diakses 27 Desember 2010.

Dahri, Ita Rosvita. 2010. Bahasa Daerah Ibarat ID Card. (Online) http://www.alwyrachman.blogspot.com. diakses 25 Oktober 2010.

Echols, John.M & Hassan Shadily. 2003 Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia.

JPM Nasional. 2010. Indonesia memiliki 1.128 Suku Bangsa. Nasional Sosial. (Online) www.jpnn.com. Diakses 27 Desember 2010.

Kaskus. 2009. Jumlah Ragam Bahasa di Indonesia. (Online) http://archive.kaskus.us. Diakses 27 Desember 2010.

Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. 1990. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Kridalaksana, Harimurti. 1986. Pengembangan Ilmu Bahasa dan Pembinaan Bahasa. Flores: Nusa Indah.

Nababan, P.W.J. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.Poerwadarminta.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Taha, Zainuddin. 2008. Gapura Bahasa: Kumpulan Makalah Pilihan tentang Bahasa dan Pengajaran Bahasa. Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar.

 
Alwy Rachman.