SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Monday, December 9, 2013

Politik Topeng dan Pembenci Parlemen*

Alwy Rachman


Parlemen bukanlah institusi yang berkisah manis, bukan juga institusi yang berkisah tentang orang-orang besar atau merasa besar yang melulu diagungkan, lalu dengan demikian selalu disetujui ataupun diiyakan. Boleh saja mereka membilangkan kehadirannya di parlemen atas kehendak “suara rakyat suara tuhan”, atau boleh juga mereka meyakini bahwa mereka adalah representasi “suara partai suara rakyat”. Tapi mereka juga sejatinya percaya bahwa selalu saja ada perlawanan terhadap parlemen, untuk tidak mengatakan ada saja rakyat yang menganggap dirinya tidak terwakili oleh parlemen. 

Jauh di masa lampau, pada sekitar 408 tahun lalu, di Inggris, ada kisah tentang seorang pembenci parlemen. Tokohnya dibilangkan sebagai Guy Fawkes. Sang tokoh, bersama dengan 12 orang lainnya dianggap berkonspirasi untuk meledakkan Parlemen Inggris, yaitu “The House of Lords”, “Parlemen para Bangsawan”. Tujuannya adalah membunuh Raja James I. Dalam sejarah parlemen Inggris, skenario konspirasi ini disebut sebagai "Gunpowder Plot , 5 November 1605". 

Skenario gagal ini diperkirakan akan menggunakan 36 barel bubuk peledak. Lalu, komplotan konspirator pun tertangkap, dan tentu saja, dihukum mati, kecuali Fawkes yang akhirnya meninggal dalam upayanya melarikan diri dari pelaksanaan eksekusi. Di masyarakat Inggris, kisah dan peristiwa ini kemudian dikukuhkan sebagai “Guy Fawkes Day”. Pada setiap 5 November setiap tahun, orang-orang di Inggris dan di bagian dunia lain memperingatinya dengan kembang api dan api unggun sembari membakar topeng dan patung Guy Fawkes. 

Tapi, akhir-akhir ini, kisah Guy Fawkes seolah menginspirasi perlawanan rakyat negara-negara maju terhadap apa yang dianggapnya sebagai “kapitalisme yang berkuasa” secara sepihak. Permisalannya dapat dilihat pada ratusan demonstran yang menduduki Wall Street selama berhari-hari, beberapa saat lalu, untuk melawan kapitalisme global sembari memakai topeng Guy Fawkes yang berparas “senyum  mengejek” dan “kumis tak biasa”.  

Lalu, kisah nyata Guy Fawkes pun berubah. Suka atau tidak, kisahnya kini dipakai secara simbolik. Wajahnya yang di abad ke 17 dianggap menjijikkan karena dianggap berkhianat, kini dipindahkan ke dalam tirai topeng yang dipakai untuk melawan. Wajah sang tokoh ditransformasikan untuk keperluan berpolitik di parlemen jalanan. Politik topeng, kira-kira begitu bahasa sederhananya.

Tentang politik topeng di parlemen jalanan, menarik juga membaca analisis Thomas Neil dari University of Denver. Neil mendaku bahwa politik topeng bertujuan menolak representasi politik partai dan negara. Politik topeng bisa dibilangkan sebagai strategi politik baru yang menolak representasi partai politik dan politik identitas. Politik topeng berkontribusi terhadap demokrasi langsung secara setara. 

Neil juga membilangkan bahwa politik topeng menciptakan universalisme politik . Dengan menggunakan tirai wajah topeng, siapapun dapat berpartisipasi dalam melawan neoliberalisme. Topeng mendukung demokrasi yang egaliter.  Politik topeng membantu menciptakan konsensus yang bertujuan memenuhi kebutuhan semua orang, bukan mendukung keputusan yang mengecualikan kebutuhan minoritas. 

Topeng, tambah Neil, memfasilitasi demokrasi dengan cara menciptakan lembaga politik kolektif anonim. Di kolektivitas anonim seperti ini, setiap orang tidak mendahulukan identitasnya, dan dengan demikian setiap orang dapat berpartisipasi secara bebas dalam memprotes parlemen. Identitas kelompok dan ideologi kelompok yang berbeda-beda tidak ditolak, tetapi didudukkan sebagai bagian dari universalisme politik.
Politik topeng juga dimaksudkan untuk melemahkan hirarki dan otoritarianisme dengan menghilangkan penanda otoritas, termasuk wajah para demonstran dalam gerakan ini. Contohnya, dengan ratusan orang berdemonstrasi dengan tirai topeng Guy Fawkes di Washington, akan membuat siapa pun yang menontonnya, tidak akan dapat membedakan kelompok siapa yang sesungguhnya sedang memperjuangkan kepentingannya.

Tapi, Guy Fawkes adalah kisah warisan dari masa lalu. Kisah serupa tak ada dalam literasi demokrasi di Indonesia, meski parlemen Indonesia pernah diduduki oleh mahasiswa 15 tahun silam. Pun kisah para demonstran yang menggunakan  “topeng Guy Fawkes” hanya terjadi di luar sana. 

Di negeri sendiri, kisah mutakhir tentang parlemen kaya akan aroma korupsi. Barangkali ini satu tanda bahwa yang ada di negeri ini bukan politik topeng, tapi topeng politik. Topeng politik memang menjadi modus bagi banyak politikus untuk bersembunyi di balik politik demi memperkaya diri, kelompok atau keluarga.  Tanda bahaya di masa depan adalah jika setiap orang di republik ini akan memilih posisi dirinya sebagai “pembenci parlemen”.  

*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, Selasa, 26 November 2013, di rubrik Literasi, di halaman A15.
   

Tuesday, December 3, 2013

Literasi Pendidikan dan Kontrak Kebangsaan


Kaila ilona Meira

Sejarah politik pendidikan di Indonesia, lewat empat tokoh utamanya, menyimpan jejak dan pesan benderang: kesukarelaan atas nama kebangsaan. Siapa lagi keempat relawan pendidikan Indonesia kalau bukan Ki Hajar Dewantara, R.H. Oemar Said Tjokroaminoto, Kyai Ahmad Dahlan, dan Muh. Syafei. Keempatnya, dengan ideologi dan keyakinan yang beda, telah mempraktekkan aksi pedagogis yang juga beda tapi dengan satu tujuan: atas nama bangsa, untuk kebangsaan, dan untuk anak-anak bangsa.

Secara akademia, aksi pedagogis diartikan sebagai manifestasi langsung dari pesan dan ideologi yang tersimpan pada literasi pendidikan.  Itu sebabnya, literasi pendidikan setara dengan model representasi politik pendidikan untuk dapat menjawab “atas nama siapa, untuk apa, dan untuk siapa pendidikan dijalankan?”. Jawaban atas pertanyaan ini, sesungguhnya, akan menjelaskan dengan benderang kepada siapa pendidikan itu memihak.

Kita tak perlu meragukan keempat bangsawan pendidikan Indonesia di atas. Ki Hajar Dewantara, misalnya, memfokuskan diri pada “nasionalisme”, “atas nama bangsa dan untuk bangsa sendiri”.  Oemar Said Tjokroaminoto mendedikasikan diri pada pendidikan untuk kebangsaan Indonesia. Kyai Haji Ahmad Dahlan,  pendiri Organisasi Islam Muhammadiyah, menyerahkan dirinya untuk pendidikan anak-anak yatim. Dan Muh. Syafei, sang entrepreneur ini, mengkontribusikan  aksi pedagogiknya untuk kemandirian dan kemerdekaan anak-anak bangsa. Jadi, dengan aksi pedagogis berbeda, keempat bangsawan pendidikan ini berada pada arah yang sama: pendidikan untuk dan atas nama kebangsaan.

***
 “Atas nama siapa, untuk apa dan untuk siapa pendidikan dijalankan”  adalah pertanyaan kontraktual yang berisi perjanjian sosial antara masyarakat dan bangsa dengan lembaga-lembaga pendidikan, termasuk perguruan tinggi. Lebih sederhana, apakah lembaga-lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud memenuhi janjinya. Bukankah pembiayaan lembaga-lembaga pendidikan ikut ditanggung oleh masyarakat?. Pertanyaan kontraktual seperti ini pula yang dipakai oleh Henry A. Giroux dan Susan Searls Giroux, dua kritikus pendidikan bagi kaum muda di Amerika, dalam menagih janji universitas. Dalam publikasi Take Back Higher Education, 2004, kedua kritikus ini menyusun afirmasi, “anak-anak muda semestinya didudukkan sebagai bagian dari masa depan, bukan malah dilihat sebagai pembawa masalah”.

Keprihatinan kedua kritikus ini berfokus pada gejala kapitalisme neoliberal dalam praktek-praktek aksi pedagogis di pendidikan tinggi. Sedemikian kerasnya, Henry dan Susan menganggap kapitalisme neoliberal telah menerobos sekolah-sekolah dan universitas-universitas. Di sana, kapitalisme neoliberal menyerang dan memerangi anak-anak muda. Perang ini dapat ditelusuri melalui praktek-praktek rakus dan anti sosial. Di sana, kultur akademis yang diturunkan dari Plato dan Aristoteles, kultur yang mengabdikan diri pada kebaikan publik, digantikan dengan kultur “privat” yang berwatak korporat. Di sana, “ruang sosial” pembelajar dianggap evil dan pembawa masalah.

Itu sebabnya, Stanley Aronowitz menyebutkan, "Presiden universitas bukan lagi intelektual publik. Presiden universitas adalah intelektual yang mirip dan setara dengan Pejabat Chief Executive perusahaan, yang bekerja menggalang dana dan mencari untung. Sang presiden dengan segenap perangkatnya akan bekerja berdasarkan logika dan budaya korporat. Lihatlah Bill Gates dan Michael Eisner yang kini menggantikan pemimpin-pemimpin pendidikan seperti John Dewey dan Robert Hutchins. Dengan cara ini, kampus-kampus akademis berubah menjadi kampus korporat yang berfokus pada upaya menjual jasa ke kontraktor, bermitra dengan perusahaan lokal, mencari paten baru, dan membuat perjanjian lisensi.  

Globalisasi yang ditandai oleh kecanggihan teknologi dan sarat modal pada akhirnya akan menempatkan lembaga-lembaga pendidikan, termasuk perguruan tinggi, khusus di Indonesia untuk memilih dua jalan. Jalan pertama adalah tetap setia pada ideologi literasi awal, yaitu setia pada perjanjian kebangsaan. Jalan kedua adalah tunduk dan takluk pada neoliberal yang akan memaksakan syarat-syarat pengelolaan pendidikan. Ahli-ahli di bidang hubungan internasional menyebutnya tunduk pada globalution. Jika pilihan jatuh pada yang jalan kedua, mari kita lupakan dan ucapkan “selamat tinggal untuk keempat bangsawan pendidikan” di republik ini.

Tuesday, September 24, 2013

Konstitusi yang Hilang

Alwy Rachman

“Kata” selalu bersifat inferior betapa pun canggihnya dan bagaimana pun cantiknya. Karena itu, pengetahuan yang kita terima lewat bahasa akan menjadi pengetahuan yang—oleh kalangan filsuf—dibilangkan sebagai mediated knowledge. Kebenaran di atas pengetahuan seperti ini selalu berada di posisi yang berbeda dengan kebenaran yang didasarkan pada pengetahuan langsung (immediate knowledge).

Dalil seperti ini tampaknya dapat dipakai untuk mengamati “kata-kata” yang diproduksi oleh para politikus era Reformasi di tingkat lokal dan di tingkat nasional. “Kata-kata” yang disebar serta ditebar di berbagai peraga kampanye agaknya tak melampaui hal itu, meminjam bahasa gaul kaum muda, yakni bahasa “lebay” dan juga “alay”. “Kata-kata” yang bercampur aduk sedemikian rupa menimbulkan “makna yang campur aduk” pula. Lagi pula, “kata-kata”-nya sering kali menjadi akronim yang anakronis.

Tak usah berharap bahwa “kata-kata” politikus tergolong bahasa konstitusional. Aroma konstitusi dalam “kata-kata” peraga kampanye menjadi hilang tak berjejak. Meski agak risi saat mendengar sindiran beberapa kalangan, barangkali ada benarnya, bahwa bahasa politikus lebih baik dianggap sebagai “bahasa pesolek”.

Aristotle, seorang pemikir Yunani Kuno, mendaku bahwa kata adalah simbol dari keserupaan (likeness). Keserupaan adalah gambaran mental sang aktor yang terhubung dengan dunia empiris. Jadi, kalau berpegang pada pendakuan Aristotle, “kata-kata” yang diproduksi oleh politikus adalah gambaran langsung dari mental sang politikus. Kata-kata yang dipakainya tak lain adalah cermin dari cara sang politikus memandang bangsanya dan cara mendudukkan rakyat sebagai pemilik sah atas kekuasaan.

Di negara-negara yang menerapkan high-tech democracy, bahasa didudukkan sebagai institusi. Cakrawala yang menempatkan bahasa sebagai institusi—termasuk sastra—mengharuskan bahasa politiknya mencerminkan sistem politiknya, bukan bahasa politik yang di sana-sini memistifikasi diri sang politikus. Bukan juga bahasa politik yang membuat sang politikus berharap rakyat memandangnya sebagai “tokoh mistik” yang penuh pesona.

Cakrawala seperti ini adalah refleksi untuk mengatasi ambang batas kerja-kerja teknokratis demokrasi. Dengan kata lain, sejauh ini bahasa politik demokrasi yang berwatak prosedural hanya menempatkan bahasa sebagai “peralatan politikus ” yang secara keseluruhan membuatnya diterima sebagai instrumen, bukan sebagai gambaran mental sang politikus dalam berdemokrasi.

Di hadapan demokrasi yang bermatra teknokratis, transaksional, dan bersuasana pasar malam, bahasa politik kemudian kehilangan konteks, kehilangan pengalaman sosial, kehilangan sejarah, dan mungkin kehilangan konstitusi sebagai sumber moral kekuasaan.

Akhirnya, “kata-kata” yang diproduksi oleh politikus bukanlah gambaran berpikir konstitutif yang tersembunyi di dalam konteks pengalaman politik kebangsaan. “Kata-kata” mereka, sejauh ini, adalah ekspresi yang samar, untuk tak mengatakannya “kata-kata inkonstitusional”.

Bahasa politik seperti ini tak akan menjadi institusi yang akan membiarkan akulturasi demokrasi bagi kelas menengah dan tak juga akan menjadi institusi yang mentransformasikan kelas bawah dalam berdemokrasi. Bahasa politik masa kini bukan lagi penanda bagi politikus yang berpendidikan tinggi.

Para kritikus membilangkan bahwa Shakespeare bukan lagi bankir bahasa dan sastra. Tapi, bahasa Shakespeare berkontribusi secara konkret bagi generasi bangsanya. Bahasa sastranya diinstalasikan ke dalam jenjang pendidikan, dikonstitusikan ke dalam interaksi politik, dan dilembagakan ke dalam interaksi sosial.

Makanya, bukan suatu kebetulan jika negarawan-negarawan Inggris tak memerlukan konstitusi tertulis dalam mengatur negaranya. Bahasa konstitusi telah “tertanam di kepala” para negarawan Inggris. Pasti bukan kebetulan bila bahasa sastra berhubungan erat dengan cara berpikir konstitutif.

Di Sulawesi Selatan, kemampuan serupa bisa ditelusuri jauh ke belakang, di rentang abad ke-16-17. Interaksi kekuasaan antara raja dan raja, antara raja dan rakyat dilangsungkan melalui narasi, dan diekspresikan melalui kompetensi atas literasi kebudayaan lokal.

Kini, segalanya telah hilang, setidaknya dalam praktek bahasa politik. Penyebabnya adalah karena kita tak lagi berempati pada sejarah tutur kita sendiri. Kita tak lagi menghormati pengalaman dalam berbahasa dengan orang lain sesama bangsa. Rupanya, kita amat tergesa-gesa menyeberangi pengalaman demokrasi orang lain. Lalu kita kehilangan kemampuan berbahasa politik secara jujur, dan tak lagi elegan bertutur dengan adab budaya sendiri.

Satu per satu hilang. Akhirnya kita kehilangan banyak. Kita kehilangan adab tutur karena kita tak mau tahu lagi tentang semesta bahasa konstitusi bangsa sendiri. 




Catatan: Pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, 30 Juli 2013

Thursday, June 6, 2013

KUDA TROYA DEMOKRASI*


Alwy Rachman

Kuda Troya adalah kisah klasik tentang penyelundup dan penyusup.   Kisahnya diperkirakan dimulai pada sekitar abad ke-13 Sebelum Masehi. Kuda Troya tak lain adalah wahana perang yang terbuat dari kuda kayu raksasa yang dirancang pasukan Yunani berdasarkan ide Odisseus. Wahana perang itu memuat sekitar 25 prajurit Yunani yang ditugasi menyelundup ke dalam kota Troya. Tugas utama para prajurit ini adalah membuka gerbang kota Troya sebagai jalan masuk bagi pasukan Yunani ke kota.

Sebagaimana dikisahkan, Perang Troya ini terjadi karena Paris menculik Helene dari suaminya Menelaos, raja Sparta. Perang ini dianggap kisah paling penting di antara kisah-kisah mitos Yunani purba dan diceritakan di banyak karya literasi Yunani. Dua naskah penting tentang perang ini adalah Iliad dan Odisseia karya Homeros. Iliad berkisah tentang tahun-tahun terakhir dari sepuluh tahun pengepungan Troya, sedangkan Odisseia bercerita tentang perjalanan pulang Odisseus.

Perang Troya bermula dari perselisihan antarperempuan---dewi Athena, Hera, dan Aphrodite ---tentang siapa yang paling pantas menyandang “status paling cantik”. Persaingan untuk dibilang “paling cantik” muncul setelah Dewi Eris marah karena tak diundang dalam satu pertemuan. Dewi Eris melemparkan buah apel emas yang bertuliskan "untuk yang paling cantik." 

Dewi Athena, Hera dan Aphrodite segera saja berkompetisi dan mendatangi Zeus untuk memastikan siapa yang paling berhak atas apel emas itu. Tapi, Zeus tak ingin memihak dan meminta mereka mengikuti keputusan Paris. Paris pun menjadi sasaran rayuan.  Hera bersedia menyuap Paris dengan kekayaan sementara  Athena menjanjikan promosi  jabatan sebagai jenderal.

Aphrodite lain lagi. Ia menawarkan ke Paris perempuan tercantik di dunia yaitu Helene. Paris akhirnya memilih Helene. Dengan begitu, Aphrodite pun keluar sebagai pemilik apel emas sekaligus pemenang julukan  “paling cantik”. 

Tapi masalahnya tidak berhenti di sini. Helene sebenarnya punya suami. Ia adalah permaisuri Menelaos, sang raja Sparta. Karena sudah bersuami, anak Aphrodite yang bernama Eros dan bergelar dewa cinta segera saja membusur Helene dengan anak panah cinta. Helene pun terkena dan jatuh cinta kepada Paris. Helene akhirnya bersedia dibawa ke Troya.

Suami Helene, sang raja Menelaos marah bukan kepalang. Dibantu saudaranya, Agamemnon yang dibilangkan sebagai raja Mikenai dan raja-raja Yunani lainnya, Menelaos kemudian menyerang kota Troya. Pecahlah Perang Troya.

Sekuel mitos di atas adalah kisah tentang kekuasaan yang memasukkan perempuan sebagai pernak-pernik. Kisah yang sarat dengan janji dan suap yang kemudian diikuti dengan taktik menyelundup dan menyusup.  Kini, kisah ini dipakai sebagai permisalan untuk menandai tipu daya politik. Lalu, Kuda Troya pun menjadi metafor simbolik untuk mengenali perilaku politik para politikus dalam mencari dan mengejar kekuasaan. Pun Kuda Troya menjadi istilah yang dilekatkan ke dalam demokrasi. “Kuda Troya demokrasi” lalu menjadi frasa yang dipakai secara luas untuk menemukenali siapa saja dan apa saja yang tak kelihatan di latar depan praktik-praktik berdemokrasi dari seorang politikus.

Mereka yang menyelundup dan menyusup di Kuda Troya Demokrasi bisa bermacam-macam. Penyelundup dan penyusupnya boleh saja perusahaan-perusahaan besar dari negara lain atau dari negeri sendiri. Bisa juga kelompok geng politikus, anggota keluarga para politikus, atau kelompok-kelompok despotik politik. Mereka-mereka ini yang membiayai, mengelolah, dan mengerahkan kekuatan untuk memenangkan sang politikus menuju kursi kekuasaan. Kalau perlu, para penyelundup dan penyusup memakai broker atau makelar.

Modusnya  juga macam-macam, mulai dari suap, beli suara rakyat, curang terhadap suara rakyat, hingga korupsi atas nama jabatan.  Para penyelundup dan penyusup ini berupaya mengijon keputusan-keputusan penting atau menyusupkan aturan-aturan yang akan ditetapkan kelak oleh sang politikus. Tujuannya sangat pragmatis, yaitu memperoleh  keuntungan sebesar-besarnya. Suara rakyat suara tuhan adalah adegium klise dan tak masuk akal bagi mereka. 

Pernak-pernik yang mengikuti modusnya pun tak jauh dari kisah Kuda Troya, yaitu sederetan “perempuan paling cantik”. Baca saja cerita di media tentang sang jenderal atau simak dengan baik kisah tentang seorang presiden partai. Di situ ada kisah tentang perempuan. Jangan juga lupa tentang kisah segelintir politikus di parlemen yang mengijon keputusan-keputusan ke pihak-pihak penerima anggaran. 

Perilaku Kuda Troya memang hanya beda dalam soal waktu. Kisah Kuda Troya terjadi sebelum Masehi, sementara kisah “Kuda Troya Demokrasi” sang jenderal dan sang presiden partai berlangsung di abad moderen. Rupanya, di atas kekuasaan, politikus dan pemimpin tak mau berubah. Mereka tetap saja berwatak purba meski melewati bentangan waktu ribuan tahun.

*catatan:
Tulisan ini dimuat di Harian Tempo Makassar, 4 Juni 2013, di halaman B15.
 
Alwy Rachman.