SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Monday, June 23, 2014

Politik Tua dan Kisah Sang Kodok*



Alwy Rachman

Tidak ada masalah yang dapat
”menyelesaikan”  dirinya sendiri tanpa informasi,
tanpa bahasa, tanpa pengetahuan, dan tanpa kebudayaan.
                                                   Alvin Toffler, Powershift, 1990

Ingat!, dunia berubah. Begitu pesan Alvin Toffler, penulis yang diberi julukan “pemikir masa depan”. Tak ada gunanya menangisi tatanan lama, karena perubahan adalah hukum besi sejarah. Berubah adalah inti kebudayaan, demikian pendakuan banyak budayawan, untuk ikut memperkuat pendakuan Toffler.
Menjadi tua bukan pilihan. Cepat atau lambat, suka atau tidak, segalanya menjadi tua. Bagaikan tirani roda pedati, waktu berputar terus dan bergerak menjadikan segalanya jadi tua. Zoon politicon menjadi tua, dan laku berpolitik pun bisa menjadi tua. Jurgen Habermas, filsuf dari tradisi berpikir kritis, memisalkan laku  politik tua dengan penyebutan ”gramatika politik tua”.
Politik tua gampang dikenali, begitu pendakuan Habermas. Gramatika politik tua lebih suka menjawab masalah-masalah keamanan sosial, ekonomi,  militer, dan masalah domestik. Sebaliknya, gramatika politik baru berfokus pada  isu kesetaraan, partisipasi, kualitas hidup, dan hak azasi. Gramatika politik tua didukung oleh pengusaha, pekerja, dan kalangan profesional kelas menengah,  sementara gramatika politik baru didukung oleh kelas menengah baru, kaum muda, dan kelompok lain yang berlatar pendidikan tinggi.
Gramatika politik tua tak asing di negeri sendiri. Pergantian dari satu laku politik  ke laku politik lain, dari satu rezim ke rezim lain, tak kunjung menghadirkan gramatika politik baru, kecuali peristiwa dramatik yang dilengkapi bahasa politik baru. Lalu, kata “lama” dan “baru” terapung dan tenggelam di setiap perubahan: rezim Soekarno dibilangkan “orde Lama”  oleh rezim Soeharto, lalu  rezim Soeharto dianggap sebagai “rezim tua” oleh rezim reformasi. Di hari-hari ini, rezim reformasi ini mulai berparas  tua: compang-camping dan menghembuskan aroma dekil, jauh dari pesonanya 16 tahun silam.
***
Gramatika politik tua ibarat kisah sang kodok di titik didih, “the parable of the boiled frog”.  Kisah ini menandai sindrom kodok yang direbus hidup-hidup. Premisnya, kalau sang kodok ditempatkan dalam air mendidih, ia bereaksi untuk melompat keluar. Tapi, jika ditempatkan di air dingin yang dipanaskan secara perlahan, sang kodok tak akan menyadari bahaya, tetap nyaman berdiam diri lalu akhirnya terjebak di titik didih sampai mati.
Kisah  ini dibilangkan sebagai metafor untuk menyindir ketakmampuan atau keengganan “orang-orang besar” untuk bereaksi terhadap perubahan yang berlangsung pelan dan bertahap. Sang kodok juga difungsikan sebagai anekdot untuk mengingatkan rezim status quo yang tak menyadari dampak dramatik di ujung perubahan yang berlangsung pelan. Dikira airnya masih dingin, padahal mulai hangat. Dikira hangat-hangat biasa, padahal sebentar lagi akan mendidih.
Jatuhnya rezim tua karena ia tak menyadari dan tak bereaksi terhadap rakyatnya yang lagi hangat. Reaksinya datang setelah rakyatnya mendidih. Kalau titik didihnya sampai di titik tak kenal balik, “No point of return”, rezim akan jatuh dan mati.
***
Bayang-bayang politik tua, di sana-sini, masih menandai gramatika politik akhir-akhir ini. Akibatnya, rakyat kebanyakan hanya mendapat informasi hitam, sebagai bagian kampanye hitam. Ujungnya, rakyat di lapis bawah terkurung di kubangan “informasi hitam”. Sisi gemerlap politikus akhirnya tak terlihat secara kritis oleh masyarakat. Penumpang gelap demokrasi atau kuda troya demokrasi tetap saja tak tampak di tengah gulita. Masyarakat akhirnya tak mampu mengenali para pengendara demokrasi.
Yang menjadi korban adalah rakyat lapis bawah, karena arena informasi hitam dan kampanye hitam didorong ke wadah dan modus sosial kelas bawah, seperti; gossip, desas-desus, bisik-bisik,  dan lain-lain. Kalangan kelas menengah terdidik agak tertolong karena kelas ini berkemampuan mengakses teknologi media. Kelas menengah dan kelas atas berkemampuan mengakses tiga media komunikasi: verbal, visual, dan virtual dari berbagai sumber dan dari berbagai institusi.
Pada ujungnya, kedaulatan informasi menjadi soal penting. Kedaulatan informasi akan memampukan masyarakat untuk mandiri dalam menentukan pilihan politiknya, bukan menyerahkan diri sebagai pemilik suara yang tak berdaya, lalu menyerah pada ajakan gramatika politik tua. Sejatinya,  struktur dan sistem politik mempromosikan gramatika politik baru sebagaimana yang dibilangkan Habermas, disertai  high-tech democracy sebagaimana yang disebut Toffler. 

Pada akhirnya, mari kita merefleksi laku gramatika politik akhir-akhir ini di bangsa sendiri, untuk menjawab adakah peluang mempromosikan gramatika politik baru. Jika tidak, gramatika politik kita tetap saja renta, lalu menderita sindrom sebagaimana sang kodok. Gramatika politik baru memang tak terhindarkan, kecuali kita menyerah pada nasib sebagaimana di kisah sang kodok. Hidup sang kodok berakhir di air yang mendidih, gramatika regim tua mati di rakyat yang mendidih. 

*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar

               
















Wednesday, June 4, 2014

TOKOH HERO DAN TOKOH BIJAK*

Alwy Rachman |alwy.rachman@yahoo.com
                                |alwyrachman@gmail.com

Citra hero muncul dan hadir di paras berbagai kisah. Di kisah peperangan, kisah penindasan, kisah kemiskinan dan di kisah politik. Munculnya sang hero sering diromantisasi sedemikian rupa, hingga batas kualitas antara hero dan bijak menjadi samar. Malah, sang hero, di sana-sini, kadangkala sekaligus ditempatkan sebagai tokoh bijak. Kehadiran sang hero lalu menjadi mimpi bersama, terutama di saat masyarakat sedang menderita. Sang hero lalu dipersonifikasi sebagai “Sosok Mesias” yang datang untuk mengatasi situasi buruk.

Laku sang hero dibilang sebagai laku penolong. Di filem layar lebar dan di layar televisi serta di dunia literasi, laku penolong menandai pesona sang hero. Hero dicerna sebagai karakter yang menyelamatkan banyak orang dari bahaya, membantu orang-orang lemah tak berdaya dari berbagai wajah penindasan. Lalu, laku hero segera menjadi wadah memindahkan kecemasan dan menjelma sebagai media memindahkan rasa sakit. Itu sebabnya, di dunia tontonan, sang hero menciptakan suasana ekstasi bagi para penonton. Di suasana ini, sensasi terhadap sang hero akan membebaskan penonton dari derita, setidaknya untuk sementara.

Di beberapa filem layar lebar, hero dihadirkan lewat karakter jagoan, seperti Ramboo yang dibintangi Sylvester Stallone. Karakter Ramboo di tahun 1980-an menjadi konsumsi publik di Amerika dan di bagian dunia lain. Ramboo menjadi personifikasi untuk memindahkan rasa sakit atas kekalahan Amerika dalam perang Vietnam. Ramboo dirancang sebagai karakter pemenang untuk menggantikan rasa pedih atas tewasnya lebih dari 58.000 tentara Amerika. Ramboo menjadi candu untuk suasana psikologis yang nyaman.

Di kisah klasik, ada karakter Robinhood. Sang jagoan yang dijuluki “Pangeran para Pencuri” juga dipersonifikasi sebagai hero, sedikitnya di kelompok miskin. Tak peduli bahwa laku sang pangeran adalah mencuri harta benda orang-orang kaya. Apapun namanya, laku sang pangeran dianggap bermoral hanya karena hasil rampokan dibagi kelompok tak berpunya. Nyatanya, filem sang pencuri laku keras untuk ditonton.

***

Orang bijak tak hero sebagaimana hero. Orang bijak, begitu pendakuan banyak orang, adalah karakter yang menilai situasi sejak awal, bertindak mencegah sebelum situasi menjadi buruk. Orang bijak tak mengandalkan pertarungan di medan laga. Ada juga yang bilang, karakter bijak adalah “diam”. Tokoh bijak dituntun dari dalam dirinya sendiri sementara hero dipandu oleh dari luar dirinya. Makanya, tokoh hero lebih bising ketimbang tokoh bijak yang lebih senyap. Itu sebabnya, dalam budaya tontonan, dihadirkan di berbagai medan laga, sementara sang bijak “diam” jauh di sana.

Hari-hari ini, Indonesia sedang mencari pemimpin atas nama demokrasi. Namanya demokrasi, kompetisi para politikus tak terhindarkan. Karakter hero dan karakter bijak muncul dan dimunculkan. Orang bijak segera dipersonifikasi ke para alim-ulama di pesantren-pesantren, pemuka-pemuka berbagai agama di pelosok-pelosok, atau ke sesepuh masyarakat di kampung-kampung, yang sejauh ini “diam” secara politik. Sang Hero, pada gilirannya, menempatkan orang bijak menjadi penting untuk dicari demi dukungan politik dan demi legitimasi kekuasaan.

“Tokoh hero mencari tokoh bijak” nyaris tak muncul dalam budaya tontonan. Momen-momen ini hadir di dunia politik faktual, setidaknya di negeri ini. Momen “mencari sang bijak” akhirnya menjadi tontonan, sedikitnya tontonan atas perjumpaan dua kultur: kultur egaliter dan sarungan yang berinteraksi dengan kultur kepejabatan dan kekuasaan di satu pihak, dan kultur senyap yang berjumpa dengan kultur bising di lain pihak. Di akhir perjumpaan, kultur senyap tetap saja senyap sementara kultur bising sebagaimana biasanya tetap bising. Di ujung peristiwa, sang hero yang paling bising memberikan penjelasan.

Tapi, ada peristiwa politik di masa lampau yang menandai kehadiran pemimpin politik yang senyap. Karakter Gandhi dan karakter Mandela adalah contohnya. Keduanya tak mengandalkan sikap heroik di tengah penindasan yang menimpa bangsanya. Keduanya memenangkan pertarungan politik tidak berdasarkan kesediaan berlaga secara kasar dengan lawan politiknya. Keduanya menang besar dalam politik karena menempatkan diri sebagai persona yang bijak. Keduanya menistakan kekerasan sembari meninggikan kemanusiaan. Meletakkan atribut etis bagi kemanusiaan di atas penindasan yang tak etis adalah capaian monumental kedua sosok besar ini.

***

Kalau begitu, hero sejatinya direfleksi sebagai pejalan yang hidupnya dihidupi oleh sang bijak. Tanpa tokoh bijak, tokoh hero akan menjadi antagonis dan antilogika. Perjalanan sang hero semestinya berakhir ketika ia mengubah diri dan menjelmakan dirinya sebagai sosok bijak.

Satu lagi, tokoh bijak tak akan pernah membiarkan dirinya kembali menjadi hero. “No point of return”, “tak ada titik balik”. Menjadi hero terus menerus adalah tak bijak, begitu kira-kira ajakan akademis Joseph Campbell, penulis buku “The hero with a thousand faces”, “ Sang hero dengan seribu wajah”, enam puluh lima tahun lampau.

*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, di Kolom Literasi, tanggal 3 Juni 2014, di halaman A-15

 
Alwy Rachman.