SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Saturday, June 17, 2017

Panggung Perang Tanding

Alwy Rachman

When I born, I black
When I grow up, I black
When I go in Sun, I black
When I scared, I black
When I sick, I black
And when I die, I still black

And you white fellow

When you born, you pink
When you grow up, you white
When you go in sun, you red
When you cold, you blue
When you scared, you yellow
When you sick, you green
And when you die, you gray

And you calling me colored? 


“Engkau masih saja memanggilku, Kulit Berwarna?”, begitu larik akhir dari puisi yang dinominasi sebagai puisi terbaik oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2006. Meski banyak tak percaya ditulis oleh seorang bocah, puisi ini didakukan atas nama Estel, gadis kecil Afrika.

Pertanyaan puitik seperti ini ibarat menggugat ketidakadilan di atas “kerasnya peradaban”, tempat segenap manusia saling memandang dengan prasangka, antara yang maju dan yang terbelakang, antara yang berpendidikan dan yang tidak , antara yang kaya dan yang miskin, antara yang putih dan hitam, antara yang berkuasa dan yang biasa-biasa, antara lelaki dan perempuan, dan antara berbagai macam atribut lainnya.

Kegemaran berprasangka terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain menjadikan tubuh manusia diperlakukan sebagai panggung perang tanding, baik di kebudayaan sendiri maupun di hadapan kebudayaan lain. Perang tanding di panggung tubuh bisa berlangsung lunak, tapi dapat juga berlangsung keras. Benar juga anggapan yang membilang bahwa tubuh manusia punya dua kebutuhan, yakni menonton dan ditonton.

Jika perang tanding berlangsung lunak, tubuh akan dijadikan sebagai lambang identitas kelas. Tubuh menjadi persinggahan segala macam pernak-pernik fashion mutakhir yang sesuai dengan selera. Kalau perlu, tubuh dipoles di sana-sini demi menegakkan pembeda simbolik dengan tubuh milik orang lain. Dengan cara ini, tubuh manusia menjelma sebagai ajang pernyataan pemiliknya. Kekayaan, ketinggian, dan kehormatan dinyatakan di sini.

Atau tubuh justru menjadi sasaran kekecewaan. Bukankah kita juga sedang menyaksikan tumbuhnya kreasi bisnis di masyarakat yang memusatkan diri pada cara mengoreksi dimensi-dimensi tubuh yang mengecewakan. Dari mengoreksi hidung yang pesek, kulit yang kasar dan hitam, hingga ke bentuk-bentuk tubuh lainnya.

Jika perang tanding berlangsung keras, tubuh dijadikan sebagai sasaran stereotip, stigma, dan kekerasan. Tubuh orang lain diberi label negatif, dipenuhi dengan prasangka buruk, dan kalau perlu diperlakukan dengan menggunakan kekerasan. Irigaray, seorang sarjana feminis, mendaku bahwa di banyak kebudayaan, tubuh serta-merta dikategorikan menjadi dua, yakni tubuh lelaki dianggap mewakili prinsip otoritas Tuhan (the authoritative principle of God) dan tubuh perempuan dipandang mewakili prinsip pemberontakan setan (the rebellious principle of Satan).

Di masa lalu, di salah satu etnik bangsa ini, tubuh perempuan dijadikan wahana untuk menyimpan apa yang disebut kenangan dan kehormatan keluarga. Sang perempuan harus merelakan satu ruas jari tangannya dipenggal untuk setiap kematian anggota keluarga terdekat. Semakin habis ruas jari sang ibu, semakin dianggap sebagai perempuan mulia. Kemuliaan yang dipersepsi di atas kekerasan kira-kira begitu kejadiannya.

Di kampung sendiri, tubuh perempuan sering dianggap hanya berhubungan dengan tiga hal, yaitu sumur, dapur, dan kasur. Begitulah contoh-contoh sederhana tentang domestikasi panggung perang tanding yang keras. Sedemikian kerasnya, muncul seloroh di kalangan ilmuwan bahwa kebudayaan sesekali mesti dilihat sebagai penjahat kemanusiaan.

Panggung prasangka ibarat cadas yang menjadi dasar dari semua perbedaan. Semakin besar perbedaan semakin tinggi pula derajat prasangka. Tanpa disadari, anak-anak pun dilibatkan sebagai pembawa prasangka yang kelak melanjutkan dan mengisi panggung perang tanding.

Panggung perang tanding sejatinya diakhiri. Anak-anak semestinya diberi pemawasan tentang sosok kebudayaan berparas jahat. Kualitas bangsa yang dibilang ramah, santun, dan berempati sejatinya dihidupkan kembali pada diri anak-anak. Jika tidak, mereka akan menjadi pribadi-pribadi yang membenci orang lain sekaligus membenci dirinya sendiri.

Menyediakan bangsa ini dengan generasi muda pemarah (the angry young generation) hanya akan menjerumuskan bangsa ini ke tirani baru. Tirani memang dijalankan oleh mereka yang sedang marah kepada diri sendiri sembari mengumbar kemarahan kepada orang-orang tak bersalah.


Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar beberapa saat silam.












 
Alwy Rachman.