SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Friday, December 4, 2009

NARASI DAN KONSTITUSI YANG HILANG



Pengetahuan mengalir lewat cerita, cerita tentang peristiwa,
tentang kehendak, tentang keberhasilan.
Guru yang baik adalah pencerita yang baik.
Kita sesungguhnya belajar dari cerita.”
Frank Smith


Alwy Rachman
Perspektif Analisis Wacana Kritis

Wacana kini menjadi fokus eksplorasi di kalangan ilmuan. Setidaknya, kini, terdapat dua ranah yang saling bergerak, untuk tidak mengatakan saling berhadapan . Di satu sisi, wacana didekati secara teknokratik yang hanya melihat bahasa dari sisi analisis penggunaan (language use), meskipun dikatakan analisis semacam ini tidak membatasi dirinya semata-mata pada deskripsi linguistis secara otonom. Di sisi lain, teorisi yang menyatakan dirinya sebagai intelektual critical discourse analysis berkecenderungan mengintegrasikan wacana ke dalam ilmu-ilmu sosial.

Dua fokus ini, secara historis, sesungguhnya dapat dirujuk pada perbedaan filosofi yang mendasar antara tradisi Plato dan tradisi Aristotle. Adalah Plato yang menganggap bahwa lambang bahasa, natural dan konvensional, adalah representasi yang tidak sempurna. “Kata” selalu bersifat inferior betapa pun canggihnya dan bagaimana pun cantiknya. Oleh karena itu, dalam pandangan Plato, pengetahuan yang termediasi lewat lambang bahasa (mediated knowledge) selalu berada pada posisi inferior terhadap kebenaran dibanding dengan pengetahuan langsung (immediate knowledge).

Aristotle sendiri memandang lambang bahasa sebagai simbol dari keserupaan (likeness). Keserupaan, dalam pandangan Aristotle, adalah kesan mental yang terhubung dengan aktualitas empirik. Tradisi Plato-Aristotle kemudian dikenal dengan tradisi langit-bumi. Plato meyakini kebenaran ultimate sementara Aristotle percaya pada kebenaran empirik.

Lima Wilayah Eksplorasi

Analisis wacana kritis menandai 5 (lima) wilayah eksplorasi. Pertama, analisis wacana kritis tidak dapat dipersamakan dengan analisis wacana linguistik. Jika analisis wacana linguistik, misalnya, diaplikasikan pada ranah sosiolinguitik atau analisis percakapan, analisis wacana kritis justru diaplikasikan melalui analisis tekstual ke dalam perspektif yang tersedia dan disediakan oleh teori-teori sosial.

Kedua, analisis wacana kritis mengabdikan diri pada masalah-masalah sosial. Oleh karena itu, analisis wacana kritis berfokus pada cara menjelaskan karakteristik linguistik sebagai produk dari proses sosial dan proses budaya dan menguak pola hubungan kekuasaan yang tersembunyi pada proses-proses tadi. Dengan cara seperti ini, analisis wacana kritis dapat menjelaskan tentang cara pola hubungan sosial dan pola kekuasaan dipraktikan dan dinegosiasi melalui wacana.

Ketiga, analisis wacana kritis juga berurusan dengan kerja-kerja ideologis. Kerja-kerja ideologis tentu saja tidak dapat dipahami melalui analisis teks, tetapi juga memerlukan pemahaman tentang tindakan-tindakan diskursif, termasuk cara teks dinterpretasi, dicerap, dimengerti, dan konsekuensinya terhadap kelompok-kelompok masyarakat tertentu.

Keempat, analisis wacana kritis menekankan konteks historis sebuah wacana. Elemen-elemen ekstralinguistik seperti proses dan interaksi sosial dan interaksi budaya dan cara wacana mengikatnya dan mengintegrasikannya menjadi bagian penting dari analisis wacana kritis.

Kelima, analisis wacana kritis bersifat interpretatif dan eksplanatori. Proses interpretasi berikut penjelasannya, tentu saja, memerlukan latar belakang bacaan sosial, budaya dan sejarah. Oleh karenanya, banyak ilmuan mengklaim bahwa kerja-kerja analisis wacana kritis bersifat terbuka dan dinamis, dan memerlukan prinsip-prinsip berpikir hermeneutik.

Narasi dan Konstitusi

Di negara-negara yang lebih maju, debat intelektual kini dibangun, menyangkut isu-isu di sekitar pengembangan kerangka dan perspektif pendidikan serta arah institusi bahasa dan institusi sastra. Debat ini sesungguhnya adalah refleksi dari ambang batas rasionalitas terhadap kerja-kerja teknokratis yang otonom terhadap bahasa dan sastra. Bahasa, misalnya, seringkali didefinisikan sebagai “alat”, sebagai “medium”, sebagai “ekspresi”, yang secara keseluruhan membuatnya diterima sebagai instrumen.

Dalam kapasitasnya sebagai instrumen, elemen-elemen linguistik, dari terkecil hingga terbesar, disusun secara hirarkis dan dijenjang secara taxonomi, dan diteknokrasi ke dalam teori. Di hadapan pendekatan teknokratis, bahasa kemudian kehilangan konteks, kehilangan pengalaman sosial, kehilangan sejarah, dan mungkin kehilangan power. Berpikir konstitutif yang tersembunyi di dalam konteks dan di dalam pengalaman tetapi menjadi manifest di dalam bahasa, kemudian mejadi samar, untuk tidak mengatakannya, hilang.

Nasib sastra setali tiga uang. Sastra tidak lagi menjadi narasi akulturasi bagi kelas menengah dan tidak lagi dipakai untuk melihat dan berempati pada proses marginalisasi manusia. Penguasaan teori sastra kemudian menggantikan peran sastra tinggi (high literature) dan menjadi penanda bagi mereka yang berpendidikan tinggi. Orang boleh saja mengatakan bahwa Shakespeare bukan lagi bankir sastra, tetapi generasi Shakespeare berkontribusi secara konkrit. Narasi sastranya diinstalasi ke dalam jenjang-jenjang pendidikan, dikonstitusi ke dalam interaksi sosial dan interaksi politik. Makanya, bukan suatu kebetulan jika negarawan-negarawan Inggris tidak memerlukan konstitusi tertulis dalam mengatur negaranya. Konstitusi tampaknya telah “tertanam di kepala” para negarawan Inggris. Pasti bukan kebetulan, jika narasi sastra berhubungan erat dengan cara berpikir konstitutif.

Di Sulawesi Selatan, kapasitas serupa bisa ditelusuri jauh ke belakang, di rentang abad 16-17. Interaksi kekuasaan antara raja dengan raja, antara raja dengan rakyat dilangsungkan melalui narasi, dan diekspresikan melalui kompetensi literer. Interaksi sosial dan transaksi ekonomi antarrakyat juga berlangsung secara serupa.

Kini, segalanya telah hilang, setidaknya dalam praktik kekuasaan dan praktik sosial. Satu diantara penyebabnya adalah, karena kita tidak berempati pada sejarah. Satu diantara penyebabnya adalah, karena kita tidak pernah menghormati pengalaman sendiri. Satu diantara penyebabnya adalah, karena kita tergesa-gesa menyeberangi pengalaman orang lain. Satu diantara penyebabnya, karena kita tidak lagi ingin bercerita. Satu per satu hilang. Akhirnya kita kehilangan banyak. Persis ungkapan Frank Smith, kita kehilangan pengetahuan karena kita kehilangan cerita. Kita kehilangan narasi.

Thursday, December 3, 2009

Pemberdayaan Media Tradisional

Alwy Rachman

Studi tentang pemanfaatan media tradisional (folk media) terbilang langka. Langka karena rumitnya memilih perspektif yang dapat dipakai. Lagipula, studi seperti ini kebanyakan dirumuskan ke dalam kerangka sistem dan pengetahuan indigenous (indigenous knowledge systems). Di kalangan antropolog sosial dan antropolog budaya, studi tentang media tradisional dihubungkan dengan berbagai macam disiplin; sistem pengetahuan, pertanian, teknik, perikanan, sains, linguistik dan sastra.

Pada umumnya, para antropolog tidak ingin menghabiskan waktu untuk mendefenisikan apa sesungguhnya yang dimaksud dengan indigenous media. Di sekitar tahun 1980-an, fokus utama dari kalangan ini tertuju pada seberapa besar perhatian yang harus dicurahkan dan apa yang menjadi titik tekan dari sisi kebutuhan perencana pembangunan terhadap akumulasi pengetahuan dan keterampilan tradisional serta teknologi komunitas lokal.

Melalui beberapa studi di era 1980-an, para antropolog tiba pada beberapa kesimpulan. Pertama, media tradisional menyimpan kekayaan (richness) dari sisi modus, berperan sebagai wadah pembawa nilai-nilai (value carrier), dan memiliki keanekaragaman bentuk (variety). Kedua, dengan kualitas seperti ini, media tradisional dipercaya dapat diperlakukan sebagai complementary knowledge terhadap sains konvensional yang pada dirinya sendiri terbukti tidak memadai dalam merespon ataupun menyelesaikan masalah-masalah pembangunan.

Selain kedua kekuatan di atas, di India misalnya, media tradisional dipakai untuk mengatasi konflik komunal dan dipergunakan sebagai sarana mempromosikan perdamaian. Dengan kata lain, media tradisional telah ditempatkan sebagai bagian dari piranti resolusi konflik.

Pemanfaatan media tradisional, setidaknya dengan pengalaman India, terumuskan ke dalam beberapa tujuan. Media tradisional dianggap dapat membantu individu dan kelompok-kelompok sosial lainnya dalam membangun kemawasan (awareness) dan kepekaan terhadap lingkungan sosial secara menyeluruh.

Media tradisional juga bisa menolong individu-individu dan kelompok-kelompok sosial lainnya untuk membangun pemahaman dasar tentang lingkungan sosial secara menyeluruh dan memampukan mereka merumuskan peran dalam menangani masalah-masalah kemanusiaan. Selain keterampilan menangani masalah, media tradisional juga dapat diandalkan untuk memberikan kemampuan bagi masyarakat untuk mengevaluasi masalah-masalah sosial, politik, ekonomi, dan estetika. Pada akhirnya, media tradisional dapat mendorong partisipasi dan tanggungjawab sosial terhadap cara menangani masalah-masalah lingkungan.

Dewasa ini, dalam berbagai wacana, isu dan tema tentang media tradisional dihubungkan dengan proses globalisasi. Debat di kalangan teorisi, misalnya, isu dan tema globalisasi menghadirkan ketidak-sepahaman substansial mencakup cara mengkonseptualisasi globalisasi, cara mengenali dan mengatasi dampaknya terhadap media tradisional, serta implikasinya terhadap kekuatan negara dan pada penyelenggaraan good governance.

Ketidaksepahaman ini dilatari oleh 3 (tiga) pijakan perspektif. Pertama, mereka yang berperspektif globalist menganggap bahwa globalisasi adalah bagian dari pembangunan (termasuk piranti medianya) yang tidak dapat ditolak dan secara signifikan dipengaruhi oleh intervensi manusia.

Kedua, mereka yang tergolong traditionalist memandang bahwa globalisasi adalah tahap baru yang telah membuat manusia terasing dari budayanya sendiri dan kemudian tidak dapat lagi memahami kebenaran entitas yang terpapar secara tidak proporsional. Ketiga, mereka yang tergolong transformationalist mempercayai bahwa globalisasi menghadirkan dorongan dan perubahan, tetapi membawa bermacam dampak sosial budaya.

Di luar dari perspektif di atas, para peneliti pada akhirnya dapat membuktikan bahwa media budaya tidak gampang tergusur. Riset terhadap pengaruh media global terhadap media kebudayaan di kawasan China, Hongkong, Taiwan, Filipina, India dan Jepang baru-baru ini menunjukkan bahwa produk media kebudayaan domestik --- meskipun diintegrasikan ke dalam media modern --- dapat bersaing dengan produk media global.

Produk media budaya lokal menunjukkan 3 (tiga) kekuatan utama; bahasanya familiar, konteksnya kultural, dan bermanfaat bagi upaya merawat proksimitas kultural. Kekuatan inilah yang membuat produk media budaya lokal di kawasan-kawasan di atas dapat menduduki posisi puncak dari 20 program televisi lainnya. Studi media di Taiwan juga menunjukkan bahwa perilaku pemirsa TV berusia muda sangat tergantung pada genre program (program genre) dan proksimitas isi (content proximity), termasuk di dalamnya proksimitas kultural (cultural proximity).

Di mata para peneliti, masalah utama di dalam mengintegrasikan produk media budaya lokal ke media global justru terletak pada adanya kekuatan wacana publik yang menginginkan proteksi secara menyeluruh terhadap produk media budaya lokal. Wacana seperti ini sering muncul di kawasan-kawasan yang kebudayaannya dianggap maladaptive terhadap perubahan, dan kawasan-kawasan yang arus kebudayaannya berlangsung secara asimetris dengan kebutuhan atas perubahan. Di kawasan-kawasan seperti ini, industri media budaya lokal sering dibiarkan merana; kekurangan modal, kekurangan talenta, dan ketinggalan teknologi.

                                                                             ***
Di negara-negara yang relatif maju, isu pemberdayaan media tradisional dihubungkan dengan berbagai aspek; akses, perencanaan dan kebijakan kebudayaan, pendidikan seni tradisional, lembaga bisnis non-profit, dan cara menyediakan pelanjut generasi seniman. Dari sisi akses, kekuatan teknologi media modern seperti media internet, media cetak dan media radio membuat media tradisional kehilangan ruang. Apalagi, prinsip-prinsip non-profit sulit ditemukan di media seperti ini. Dengan situasi seperti ini, peran museum dan organisasi kesenian menjadi penting.

Jika aspek-aspek di atas dikontekstualisasi menurut kebutuhan Sulawesi Selatan, beberapa hal memang harus dipertimbangkan. Dari sisi perencanaan dan kebijakan, upaya merawat seni tradisional memerlukan kebijakan dan perencanaan kebudayaan. Kebijakan dan perencanaan kebudayaan itu ditujukan untuk mendorong partisipasi publik dan kelompok-kelompok swasta lainnya. Industri-industri hiburan yang bekerja dengan asas non-profit juga bisa memainkan peran penting di sini. Partisipasi ini mungkin dapat diatur melalui proses-proses legislasi dan regulasi. Misalnya, pemberian insentif pajak bagi industri-industri hiburan yang dapat memberi akses bagi seni tradisional.

Dari sisi pendidikan seni tradisional, pemerintah berkepentingan untuk merintis ataupun mendayagunakan institusi-institusi yang telah tersedia. Pemerintah misalnya dapat merintis institusi yang berfungsi sebagai council dalam menangani pemberdayaan seni tradisional. Selain sebagai akses, pemerintah juga dapat memainkan fungsi diplomasi budaya melalui institusi seperti ini.

Sekolah-sekolah --- dari dasar, menengah, hingga universitas --- juga dapat dilihat sebagai institusi yang dapat dipakai untuk melanggengkan pendidikan seni tradisional. Tujuan akhir dari semua ini adalah agar institusi sekolah dapat menjadikan dirinya sebagai determinan utama dalam membangun kemampuan estetik dan humanistik sejak usia dini.

Mengajak industri rekaman yang dapat bekerja secara non-profit (khusus dalam menangani kebutuhan seni tradisional) menjadi penting. Dengan kecanggihan teknologi dan manajemen distribusi yang dimiliki oleh industri rekaman, produk-produk seni tradisional seperti musik, tari, teater, seni rupa, dapat diakses ke publik dengan cara yang lebih cepat.

Aspek yang paling rumit adalah aspek yang menyangkut cara menyediakan generasi pelanjut seniman. Kerumitan ini terletak pada empat kenyataan utama. Pertama, secara vertikal, seni tradisional lokal akan berjumpa dengan seni tradisional dari kebudayaan lain.

Perjumpaan ini akan mendorong perubahan sekaligus menciptakan kompetisi. Dengan kata lain, seni tradisional akan semakin cepat berubah dan akan semakin kompetitif. Kedua, secara horizontal, seni tradisional akan berjumpa dengan media komunikasi modern yang lebih canggih, lebih masif, lebih padat modal, dan lebih manajerial. Konsekuensi dari situasi ini adalah, perlunya leadership yang kuat dan efektif yang dapat menggerakkan organisasi kesenian tradisional di tengah perubahan situasional.

Pada akhirnya, pemberdayaan seni tradisional memerlukan pemahaman atas realitas kebudayaan. Sulawesi Selatan, pada kenyataannya berada di Kawasan Timur Indonesia, kawasan yang terstruktur dari mozaik-mozaik kebudayaan yang kecil-kecil. Ibarat kristal, mozaik ini gampang retak, gampang pecah, terhambur dan kemudian dengan gampang pula terjerumus ke dalam konflik dilihat dari sisi sosial-politik. Konflik di berbagai kawasan Timur merupakan bukti yang paling nyata.

Tesis yang perlu dibangun adalah strategi media budaya lokal apa yang dapat dibangun secara adil dan dipakai secara demokratis untuk memperkukuh proksimitas kultural. Jika ini tercapai, seni tradisional pasti dapat berperan untuk kepentingan luas, misalnya untuk kepentingan penanganan kemiskinan, kebutahurufan dan demokratisasi, bukan sekedar seni tradisional yang diam-diam berada pada kondisi maladaptive terhadap kebutuhan-kebutuhan baru bagi perubahan sosial. Pemberdayaan seni budaya tradisional seharusnya bisa menghindari berbagai macam paradoks; sebagai produk atau sebagai proses, sebagai specific culture atau sebagai subculture.



Catatan:
Judul tulisan ini telah disesuaikan, pernah disajikan sebagai pengantar diskusi panel pada acara “Sarasehan Kelompok Media Tradisional Tingkat Provinsi Sulawesi Selatan 2006”, diselenggarakan oleh Badan Informasi, Komunikasi dan Pengolahan Data Elektronik Provinsi Sulawesi Selatan, di Grand Palace Hotel, Makassar, 29 November 2006.
 
Alwy Rachman.