SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Monday, November 14, 2016

Politik Bahasamu, Bukan Bahasa Saya

Alwy Rachman

“The Language I am using against you
is not mine. It is merely your language”

                                         Michael Shapiro

Hari-hari ini, dan beberapa pekan ke depan, bahasa dan wacana politik semakin cerewet dan bersaing. Siapa lagi yang masih harus bersaing kalau bukan kelompok pemenang dan kelompok kalah? Koalisi kelompok kalah dalam pemilihan presiden tetapi menang di parlemen, di berbagai media, segera menghadirkan bahasa benderang yang secara diametral berlawanan dengan koalisi pemenang pemilihan presiden tapi kalah di parlemen.

Suasana politik “contentious” menjadikan para politikus Senayan menjadi cerewet, lalu terkesan antagonis. Di berbagai laporan media, antagonisme dalam berbahasa dimengerti sebagai bahasa yang beraroma penghalang. Tak mengherankan jika para analis membilangkan bahasa antagonis sebagai bahasa “sakit hati”, “bahasa balas dendam”. Dalam bahasa seperti ini, “sakit hati” dan “dendam” tidak hanya diekspresikan oleh kelompok politikus, tapi selanjutnya juga “menyakiti” rakyat kebanyakan. “Sakit hati” rakyat bermula dari “pembelokan kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin secara langsung” menjadi “kedaulatan yang diminta diwakilkan kepada para politikus”.

Sedemikian mengecewakan rakyat kebanyakan, ada yang mengatakan, kalau memang mereka meyakini bahwa pikiran mereka benar, “ayo kita bikin referendum” untuk tahu apakah mereka benar-benar mewakili suara rakyat. Orang kebanyakan kini meyakini bahwa para politikus hanya berbahasa di atas pikirannya sendiri. Mereka adalah para pencari kuasa yang gemar mendengarkan pikirannya sendiri. Itu sebabnya, bahasa politikus kini tak berkemampuan menggerakkan rakyat untuk kemaslahatan bangsa.

Politikus memang hanya bicara soal kalah atau menang. Yang menang biasanya “basa-basi” dan mengatakan kemenangan ini adalah kemenangan semua. Yang kalah juga “basa-basi” dan bilang “kita kalah terhormat” sembari mengganggu “kemenangan” lawan. “Basa-basi”, dengan demikian, menjadi laku bahasa dan wacana politik yang tak seluruhnya mewakili keperluan bangsa.

Hari-hari ini, sejak bersaing berebut jabatan-penting di publik di negeri ini, laku bahasa politikus menjadi tak enak didengar dan mencemaskan untuk dibaca. Bahasa politikus ibarat menyingkirkan harapan dan memangsa utopia kebangsaan. Laku bahasa mereka menggores emosi pendengar dan pembaca. Kini, laku bahasa mereka tak lebih dari bahasa kelompok yang mengabaikan ratusan juta anak bangsa. Laku bahasa mereka mendudukkan dirinya sendiri sebagai orang paling penting dalam menghidupi bangsanya.

Konflik kepentingan atas kuasa politik secara utuh hadir di berbagai ragam media, terlepas bahwa kelompok-kelompok media menjadi bagian dari konflik elite. Fabrikasi bahasa politik di berbagai televisi dan koran-koran nasional serta daerah adalah “mirroring” atau “pencerminan” utuh dari apa yang sedang terjadi. Televisi dan koran adalah wajah masyarakat. Paras televisi dan koran tak lebih dari paras para politikus.

Hari-hari ini, sesuai dengan pemberitaan media, kaum muda dari berbagai latar belakang segera menegaskan posisinya. Mereka mengatakan, “Kami akan datang ke pesta rakyat.” Mereka mengatakan, “Kami akan mengawal pelantikan presiden terpilih.” Di permukaan, bahasa kaum muda ini beraroma lunak, meski ini merupakan pernyataan pesan kuat. Pesan itu tak lain, “Kami juga akan berkoalisi menyanding koalisi kalian.” “Koalisi rakyat” akan bertanding dengan “koalisi para politikus”.

Bahasa memang sebagai wahana untuk memanipulasi kuasa. Jangan percaya bahwa bahasa politik sebagai wahana mengekspresikan kepentingan semua. Bahasa politik menciptakan “dua arena perang” dalam waktu bersamaan. “Perang atas lawan politik” di satu pihak, dan “perang yang disebar” ke masyarakat di lain pihak. Perang memasuki wilayah-wilayah paling kecil dan dekat, yaitu di rumah sendiri.

Namanya juga berebut kuasa, bahasa politik nyaris tak bicara atas nama rakyat yang justru merupakan sumber legitimasinya. Peristiwa politik, setidaknya yang kita tonton dan kita baca, justru menciptakan separasi dan segregasi antara elite dan rakyat kebanyakan. Elite semakin cerewet dan kadang keterlaluan. Sedangkan rakyat tak lebih sebagai penonton yang mesti diam mengamati segenap laku para politikusnya. Rakyat mengalami “separation”, semacam “keterterpisahan” dari politikusnya sendiri.

Tapi, hari-hari ini, berbagai kalangan menyatakan “akan datang ke pesta rakyat”. Mereka kini mendefinisikan posisi dirinya sebagai pihak yang “tersegregasi”, “terbuang” dari ruang politik. Segregasi sosial politik yang dialami kaum muda akan “ditanganinya” dengan membawa “budaya tanding”. “Jika engkau berkoalisi, kami pun akan berkoalisi. Jika engkau merampas kedaulatan kami, kami akan merebutnya. Jika engkau menghalangi, kami akan mengawal,” begitu kira-kira posisi masyarakat atas kekecewaan akan laku politikusnya.

Kalau sudah begini, pernyataan seorang scholar sekaligus filsuf media dan politik, Michael Shapiro, menemukan momentumnya, “bahasa yang saya pakai melawanmu sesungguhnya bukan bahasa saya. Bahasa itu tak lebih dari bahasamu.”


Catatan:
Dimuat di rubrik Literasi, Harian Tempo Makassar, 14 Oktober 2014







Wednesday, June 22, 2016

Bunuh Diri Kelas dan Sang Pemaaf

Alwy Rachman

Bulan Ramadan semakin tua. Sehari-dua hari mendatang, bulan yang dibilang sebagai bulan suci akan pergi. Tapi, aktivitas menjelang kepergiannya membuka apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini. Satu di antaranya adalah tradisi mudik.

Tradisi mudik tidak hanya mempertontonkan fenomena perkotaan, tapi sekaligus memperlihatkan ketakadilan yang tersembunyi bagi kampung. Ibarat ritus raksasa, jutaan orang segera saja bergerak dari kota-kota besar ke kampung-kampung. Kota-kota yang gemerlap, penuh dengan fasilitas, tak serta-merta membuat orang tak akan meninggalkannya. Apalagi bagi mereka yang memang sejak awal tumbuh dengan identitas kampung. Pasti bukan kebencian pada kota, bukan juga keinginan kembali ke kampung untuk selamanya. Yang paling mungkin adalah kerinduan akan identitas masa lalu di kampung.

Tak ada duanya tempat untuk menyaksikan jutaan manusia bergerak dari kota ke kampung, kecuali di Indonesia. Manusia yang jutaan ini, setahun lamanya, secara sosial bisa dibilangkan melakukan “bunuh diri kelas”(class suicide), memilih meninggalkan struktur sosial kampung menuju kota-kota besar. Tujuannya sederhana, mencari hidup di tengah berbagai macam paradoks dan kekerasan sebagaimana yang menjadi ciri kota besar.

Mengikuti analogi almarhum Profesor Mattulada, “Kampung ibarat hulu dan kota sebagai hilir. Semakin ke hulu, air semakin bening. Semakin ke hilir, air semakin buram.” “Bunuh diri kelas” di wilayah-wilayah berair bening tampaknya tak terhindarkan. Kesantunan dan kesederhanaan kampung sebagai kualitas yang dibilangkan “bening” telanjur dikalahkan melalui kekuatan-kekuatan agresif modernitas yang menciptakan kota yang memunculkan kualitas “buram”.

Pun kesahajaan kampung menjadi korban kebijakan politik. Akses yang serba miskin dan terbatas, ekonomi pas-pasan, dan penyelenggaraan pendidikan asal-asalan menyebabkan kampung menjelma menjadi etalase kemiskinan. Orang-orang kampung akhirnya tiba pada pilihan: lebih baik “bunuh diri kelas” daripada “bunuh diri ramai-ramai”. Mari kita mengepung kota.

Jadi, tradisi mudik ibarat “hidup kembali” dari reruntuhan “tradisi primordial kampung”. Atau, bisa juga dibalik, dengan mengatakan tradisi mudik adalah pelarian besar-besaran dari suasana dan aroma kota yang impersonal, paradoks, dan meletihkan.

“Bunuh diri kelas” adalah kisah lama. Gejalanya mulai terlihat di seputar Revolusi Industri di Prancis. Kemajuan dan perkembangan industri yang sedemikian pesat di kota-kota pada masa itu menjadikan para petani dan peternak sebagai pihak yang kalah dalam gerak peradaban. Petani dan peternak yang semula bekerja secara mandiri dan mampu menghidupi dirinya sendiri, pada akhirnya menyerahkan diri ke kota sebagai pekerja yang diupah oleh majikan. Etos kerja yang dikelola secara mandiri berubah menjadi etos kerja yang tergadai ke majikan-majikan di kota-kota. Petani dan peternak tak lagi menjadi majikan atas kerjanya sendiri.

Bulan Ramadan semakin tua. Sebentar lagi kita akan mengakhiri bulan ini dengan momentum “saling memaafkan”. Sikap memaafkan memang adalah bagian dari kualitas pemimpin. Tak ada gunanya menjadi atau mencari pemimpin yang pendendam. Apalagi kalau yang didendami adalah bagian dari bangsa sendiri. Pemimpin yang pemaaf adalah pemimpin yang dapat menjaga rasa keadilan di kota dan di kampung.

Nelson Mandela, negarawan Afrika Selatan, penerima Nobel perdamaian, adalah tokoh pemaaf yang paling dekat dilihat dari sisi waktu peradaban. Perlakuan kasar terhadapnya tiada tara. Ia dipenjara selama lebih 20 tahun oleh lawan-lawan politik yang berkulit putih.
Tapi, ketika momentum kemenangan politik tiba, ia berpidato di hadapan bangsanya, “Saya akan memerdekakan dua pihak. Pihak pertama adalah mereka yang tertindas karena harkat dan martabatnya telah dirampas oleh para penindas. Dan, pihak kedua yang akan saya merdekakan adalah para penindas karena harkat dan martabatnya telah terampas oleh hati nuraninya sendiri.”

Kisah tentang sang pemaaf tentu saja tidak hanya milik Mandela. Lebih jauh ke belakang, kisah tentang sang pemaaf juga bagian dari atribut para nabi. Jadi, pantas pula memaafkan menjadi bagian akhir dari babak kepergian sang bulan suci.

Ramadan sejatinya adalah bulan yang ujung-ujungnya menghasilkan pemimpin yang pemaaf, bukan pemimpin yang gemar menebar bom di tempat-tempat ibadah lain atau menyukai teror sembari teriak-teriak mengacung-acungkan pentungan. Atau sebaliknya, bukan pemimpin yang bersikap narsistik, bermewah-mewah, sembari membiarkan jutaan rakyatnya melakukan “bunuh diri kelas”.

Mereka yang tak mampu memaafkan pihak lain pada dasarnya adalah mereka yang tak bisa berdamai dengan dirinya sendiri. Dengarkan kitab-kitab suci, pun Tuhan menjaminkan dirinya di hadapan manusia sebagai pengampun dan pemaaf. 


Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, 6 Agustus 2013

Mencari ‘Jiwa dari Segala Jiwa’


Awy Rachman

Ada sebuah kisah dan refleksi lama tentang kualitas pemimpin. Kisahnya dibilangkan sebagai The Conference of the Birds (Pertemuan Para Burung). Kisah konferensi burung ini ditulis jauh di masa lampau, pada sekitar paruh akhir abad ke-11. Kisahnya dipaparkan ke dalam bahasa simbolik, ke dalam puisi panjang yang mencapai sekitar 4.500 baris. Pertemuan Para Burung ini ditulis oleh seniman Persia, Farid ad-Din Attar.

Di literasi puisi Attar itu, burung-burung disebutkan datang dari berbagai belahan dunia. Di tengah zaman kegelapan dan penuh kekacauan, para burung ini berkumpul dan berdiskusi tentang dunia yang gelap. Burung-burung sedunia disergap rasa ingin tahu cara keluar dari kegelapan. Kegelapan adalah kekacauan, begitu anggapan pertemuan itu. Di tengah kegelapan, jatuhlah sehelai bulu burung yang kemilau bercahaya.

Burung yang dibilang paling bijaksana, Meragai, mengatakan, “Kemilau bulu yang jatuh adalah tanda dari sebuah ramalan visioner” dari sang legenda Simorgh. Meragai pun segera memimpin burung dari segala jenis, segala bentuk, untuk terbang bersama. Pencarian besar-besaran pun dimulai.

Terbang bagaikan guntur ke langit gelap untuk mencari sumber sang cahaya. Sang legenda dipercaya akan menerangi kegelapan. Tapi pencaharian itu sejatinya melewati tujuh lembah, sebagaimana dikisahkan. Wilayah pencarian terbentang tak terbatas, dari lembah kerinduan hingga lembah kecintaan dan dari lembah kefanaan hingga lembah ketauhidan.

Dari lembah ke lembah, kelompok burung demi kelompok burung tersesat habis. Pada akhirnya, hanya tiga puluh burung yang mencapai tempat sang legenda Simorgh. Simorgh tak lain adalah sebuah danau, tempat yang memungkinkan bagi ketiga puluh burung itu melakukan refleksi. Refleksi akhirnya: “kita hanya bisa tiba jika ada kesediaan, pengorbanan, dan kesetiaan”.
***
Bagi ilmuwan Barat seperti Clarissa Pinkola Estes, kisah Simorgh dan Meragai dalam Pertemuan Para Burung adalah kisah simbolik. Clarissa, penyair yang juga berprofesi sebagai spesialis pasca-trauma dan sekaligus psikoanalis, mengatakan, “Bukankah Farid ad-Din Attar ingin menyampaikan bahwa angka 30 adalah angka siklus hidup. Angka 30 hari membentuk nama-nama bulan,” begitu argumennya. Angka 30 adalah siklus lengkap di mana manusia dapat melihat, mencari, jatuh, mati, lahir dan bangun, dia menambahkan. 

Clarissa, sarjana psikoanalis yang sering menggunakan puisi dan seni panggung untuk terapi ekspresif untuk orang lain, menambahkan bahwa kisah Pertemuan Para Burung adalah deskripsi tentang “psyche” manusia. Kisah perjalanan ke tujuh lembah, dengan tingkat kesulitan masing-masing, memetakan kondisi “psyche” manusia. Sebagian “psyche” akan menyerah karena tak tahan menderita, sebagian lagi merasa sengsara. Sebagian “psyche” diliputi rasa permusuhan, sebagian lagi tak mampu menanggung visi yang menakutkan. Sebagian mengalami “psyche” yang tersobek oleh keraguan, sementara yang lain memelihara “psyche” yang penuh sesal.

Esensi 30 hari adalah wadah untuk membangun “psyche” kesediaan, “psyche” kerelaan berkorban, dan “psyche” memelihara kesetiaan. Kemilau bulu Simorgh yang dikisahkan jatuh dari langit dan menerangi bumi tak lain adalah representasi dari ketiga kualitas “psyche” tadi. Di luar dari itu, dunia tetap saja gelap.

Kisah dalam Pertemuan Para Burung bukan satu-satunya sumber hikayat yang dapat dipakai secara akademis untuk merefleksi kualitas “psyche” manusia. Di tengah kegelapan, kekacauan, kekerasan, dan penindasan, manusia biasanya kembali belajar tentang kualitas binatang. Nelson Mandela, misalnya, membawa Afrika Selatan dengan menumpang literasi The Flamingo, yaitu burung bangau. Burung bangau, katanya, adalah gambaran “psyche” tahu diri.

Ketika muda, bangau akan memimpin, mengajak bersama, tapi kalau sudah tua ia segera tahu diri. Bangau tua akan lengser ke pinggir, memberi kesempatan kepada bangau muda, tanpa perlu meninggalkannya. “Psyche” tua tak lain adalah kesediaan untuk lengser sebagai pemimpin, rela berkorban untuk generasi mudanya, dan tetap setia pada jalan kebenaran. Di luar itu, yang ada hanya “burung kertas” yang merasa bisa mencapai matahari.

Pada akhirnya, Clarissa meyakini bahwa penyair Persia, Farid ad-Din Attar, adalah sosok seniman mistik sufistik yang bercerita tentang potensi bahaya yang mengancam “psyche” manusia. Hikayat Simorgh dalam Pertemuan Para Burung adalah gambaran representatif tentang risiko yang benderang dalam perjalanan psycheThe Soul of souls (Jiwa dari segala jiwa).


Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, 9 September 2014

Sunday, June 12, 2016

Dua Lidah, Dua Dunia

 Alwy Rachman

“Jika engkau punya dua lidah, punya dua bahasa,
Aku ingin bertanya, apa yang engkau akan lakukan,
jika engkau kehilangan lidah pertama, kehilangan bahasa ibu,
Padahal engkau tak tahu betul lidah kedua, bahasa asing,
…..”
                                                                            Sujata Bhatt

Baris-baris kalimat di atas diambil dari puisi seorang penyair India, Sujata Bhatt. Syair yang menginspirasi banyak kalangan ini, nyatanya tak hanya mempersoalkan keselamatan bahasa ibu, tapi bukan juga pada kebencian pada dominasi bahasa asing. Syair Sujata dianggap sebagai ekspresi sastra yang berkelana menyoal berbagai ancaman terhadap kekayaan lokal, termasuk pengetahuan lokal (local knowledge), dari dominasi pengetahuan perusahaan-perusahaan global (global knowledge).

Sujata Bhatt lahir pada 6 Mei 1956 di Ahmedabad. Ia seorang perempuan penyair yang memenangi penghargaan bergengsi seperti Commonwealth Poetry Prize pada 1988, Commonwealth Prize Award pada 1991, dan Tratti Prize pada 2000. Literasi puisi Sujata dianggap sebagai produk seorang seniman yang peka luar biasa, khususnya terhadap ketimpangan yang menganga di antara konflik budaya lokal dan peradaban global. Kumpulan puisi Sujata, oleh kalangan penyair, didudukkan sebagai cara kritis dalam menyoal rasisme di antara budaya Asia, Eropa, dan Amerika Utara.

Di kalangan ilmuwan keanekaragaman hayati, syair-syair Sujata dilihat sebagai kritik terhadap globalisasi dan westernisasi yang berkecenderungan menyeragamkan. Susan Hawthorne, seorang penyair sekaligus aktivis feminis, misalnya, mengaitkan literasi Sujata dengan kerakusan peradaban Barat atas keanekaragaman hayati di semua kawasan suku kecil, kawasan yang dibilangkan oleh Dunia Barat sebagai kawasan liar.

Retorika Barat mengatakan, “Semua pengetahuan dapat diakses oleh semua orang.” Dunia Barat yang memotori peradaban global, lambat atau cepat, akan menggeser habis teknologi manusia-manusia lokal. Peradaban Internet, misalnya, telah membuktikan adagium ini. Mesin Internet, selain nyaris menyeragamkan sistem aksara bangsa-bangsa, mengindividualisasi sistem pengetahuan sedunia. Lalu, “akses teknologi sejagat” ini diterima sebagai bagian dari demokratisasi pengetahuan.

Tapi, seperti kata Susan Hawthorne, demokratisasi di atas sistem pengetahuan ini penuh masalah. Selain terjadinya individualisasi pengetahuan, demokratisasi pengetahuan melalui teknologi cyber tak bisa menyelesaikan keadilan dan kesetaraan. Keadilan di Internet tak bisa dicapai, kalau saja kelaparan, diare, epidemi, serta penyakit-penyakit lainnya masih saja menimpa banyak orang di dunia. Individualisasi pengetahuan tidak menolong peradaban-peradaban kecil.

Susan menambahkan, di beberapa kebudayaan, akses ke sistem pengetahuan diperlakukan secara ketat dari pencurian publik. Susan mencontohkan, di Brasil, masyarakat lokal menyusun Akta Perlindungan Pengetahuan Lokal pada 1994. Meski belum diproklamasikan, Akta Perlindungan itu memuat “hak untuk melindungi pengetahuan lokal dan menolak akses bagi lembaga perlindungan hak intelektual”. Masyarakat lokal menganggap pengetahuan lokal tidak untuk diperjualbelikan dan tak dapat dipindahkan sebagai milik individu. Tak ada jalan bagi individualisasi sistem pengetahuan. Sistem pengetahuan lokal adalah tanggung jawab komunitas lokal.

Kisah-kisah penculikan pengetahuan lokal dan pencurian kekayaan lokal bukan khayalan. Di negeri sendiri, pengetahuan lokal tentang kerja-kerja pertanian telah tercuri dan terampas secara canggih. Belum jauh di masa lampau, jutaan petani dilarang menyimpan bibit padi sesuai dengan tradisi dan pengetahuan budaya Nusantara. Para petani digiring ke sistem pengetahuan pertanian berkaki tiga: bibit, pupuk, dan pestisida. Lalu jutaan petani terperangkap oleh logika pertanian baru: membeli bibit, berburu pupuk, dan bergantung pada pestisida. Para petani segera menjadi konsumen sembari kehilangan pengetahuan lokal. Bahasa lokal tentang pengetahuan pertanian tak lagi terekspresi dari lidah-lidah lokal.

Bahasa-bahasa global, Susan menambahkan, adalah bahasa para pemuja integrasi. Secara spesifik, Susan membilangkannya sebagai integrationist language. Lewat integrationist language, segenap lidah lokal dipotong dan dipaksa menjadi bagian dari lidah global. Lalu, lidah-lidah lokal tak lagi mahir meneruskan sistem pengetahuan lokal ke generasi selanjutnya.

Integrationist language memisalkan hukum-hukum yang diproduksi oleh Dunia Barat sebagai universal. Segenap lidah Barat segera menghasilkan bahasa-bahasa ekonomi pasar. Kata-kata seperti “pasar bebas”, “perdagangan bebas”, “ekonomi pengetahuan”, dan “kampung global” adalah produksi sehari-hari dari lidah peradaban global yang menyembunyikan motif mengambil keuntungan ekonomi. Itu sebabnya, kata-kata seperti ini menjadi tulang punggung di naskah-naskah perjanjian perdagangan multilateral.

Tak susah menduga siapa yang untung dan siapa yang buntung di bahasa global ini. Tapi, apa yang engkau akan lakukan, jika engkau kehilangan lidah pertama. Padahal engkau tak tahu betul apa yang tersembunyi di lidah kedua, di bahasa asing, begitu tanya Sujata Bhatt.


Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, 16 September 2014

Tuesday, February 9, 2016

‘Tikus’ dan ‘Kadal’ di Politik Cinderella

Alwy Rachman

Dalam literasi kanak-kanak, Cinderella adalah kisah penuh pesona. Cinderella adalah tokoh yang berdebu dan kotor. Di hikayat itu, istana menjadi impian. Terlepas dari kebaikan istana, orang-orang yang berdebu dianggap tak pantas memasukinya. Maka orang-orang yang berdebu dan dekil tak akan leluasa memasuki istana. Olehnya, hikayat Cinderella adalah hikayat “istana sentris”.

Karakter Cinderella, sebagaimana kisahnya, digambarkan menerima “mistik kekuasaan”. Ia mesti menerima “mistik tentang tikus” dan “mistik tentang kadal”. Penulis kisah ini seolah menyimpan pesan sindiran, “tikus” adalah kendaraan mewah dan ampuh untuk mengalahkan politikus istana, sedangkan “kadal” adalah laku andal memasuki Istana. “Tikus” dan “kadal” lalu menjadi politik mistik Cinderella menuju istana.

“Celaka” dan “sial” adalah dua atribut bagi suara yang berdebu tapi hendak ke istana. “Celaka” dan “sial” bagi Cinderella, karena ia harus melayani hasrat perut “sang tikus” dan “sang kadal” dengan labu. Tanpa makan, “sang tikus” enggan menjadi kendaraan. Tanpa suap, “sang kadal” tak mau menjadi pengendara. Begitu kira-kira nasib Cinderella berhadapan dengan mistik dan pakem istana kekuasaan.

Tapi “tikus” dan “kadal” juga menghadirkan sindrom yang kemudian disebut sebagai “Sindrom Cinderella”. Di kalangan ilmuwan lain, sindrom tak lebih dari kumpulan lambang yang menyatu dengan symptom. Symptom tak lain adalah “celaka” bercampur “sial”. Sindrom Cinderella lalu bisa dicerna sebagai “lambang kebesaran” yang dikonstitusi dari “kecelakaan” dan “kesialan”.

Masuk istana, sebagaimana diibaratkan dalam hikayat ini, memerlukan “sang tikus” dan “sang kadal”. Suara orang-orang berdebu direkayasa melewati “kendaraan politik” yang berpotensi mendatangkan “celaka”, dan aspirasi orang-orang ini bisa “sial” lewat “pengendara politik”.

***
Sindrom Cinderella adalah potret dari cermin retaknya kekuasaan, termasuk juga di negeri ini. Daulat rakyat yang dikukuhkan secara langsung di paruh pertama reformasi kini dipangkas kembali. Suara rakyat kini dianggap berdebu dan kotor, tak patut menunjuk langsung mereka yang mau masuk istana. Istana-istana kekuasaan, dari kursi presiden, gubernur, hingga wali kota dan bupati, tak lagi menjadi bagian dari orang-orang yang berdebu dan dekil. Istana kekuasaan ini hanya bisa dimasuki kendaraan dan pengendara politik.

Citra atas drama di istana parlemen baru-baru ini tak lepas dari refleksi atas sindrom Cinderella. Di parlemen, kendaraan dan pengendara politik bersitegang atas status suara rakyat. Koalisi pemenang pemilihan presiden masih mendudukkan daulat rakyat sebagai yang utama, sedangkan koalisi kalah ramai-ramai memotong akses rakyat ke istana kekuasaan. Alasannya, daulat rakyat secara langsung mahal dan menimbulkan celaka sosial.

Kelompok ketiga yang sedang berkuasa lain lagi. Tak mau disebut menentang daulat rakyat, tetapi memberi kesempatan bagi koalisi yang menganggap suara rakyat tak pantas langsung ke istana.

Alasan menghadang suara rakyat seakan rasional, apalagi kalau dihubungkan dengan soal uang yang dihabiskan oleh para pengendara. Tapi, di situ ada soal moral politik yang tak murah. Daulat rakyat akan menjadi mahal bukan karena para pemiliknya berdebu, melainkan sandaran moral “kendaraan politik” dan “pengendara politik” yang justru dekil. Tak terlalu sukar mencari jawab siapa yang membuat mahal. Mahal memang, kalau “tikus” dan “kadal” tak bisa menekan hasrat perut serta hasrat kuasa. Sejauh yang bisa dimengerti, bukan rakyat yang pertama kali mempromosikan jual suara.

Kebiasaan politikus menggunakan isu-isu sensitif, semacam agama, adalah laku yang amat dikenali masyarakat. Orang-orang juga tahu bahwa laku politikus sering tega menggunakan isu itu sebagai laku berkendara untuk meraih kemenangan. Jadi, alasan mahal dan memecah masyarakat sesungguhnya adalah alasan yang berakar dari para politikus sendiri.

Cinderella memang cuma hikayat, tapi resonansi dan refleksinya menjalar sedemikian rupa hingga ke panggung politik. Tapi hikayat ini masih menyembunyikan fakta lain. Siapa sebenarnya yang harus diposisikan sebagai penderita sindrom? Yang pasti, sejauh ini, suara rakyat tak pernah menyuap suara elite politikus. Yang ada, politikus menyuap rakyat. Yang nyata pula, politikus menerima suap di istana parlemen. Bisakah kita bilang, “laku politik kita tak begitu jauh dari analogi Cinderella, yaitu: laku “tikus” dan “kadal”?

 
Alwy Rachman.