SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Thursday, June 6, 2013

KUDA TROYA DEMOKRASI*


Alwy Rachman

Kuda Troya adalah kisah klasik tentang penyelundup dan penyusup.   Kisahnya diperkirakan dimulai pada sekitar abad ke-13 Sebelum Masehi. Kuda Troya tak lain adalah wahana perang yang terbuat dari kuda kayu raksasa yang dirancang pasukan Yunani berdasarkan ide Odisseus. Wahana perang itu memuat sekitar 25 prajurit Yunani yang ditugasi menyelundup ke dalam kota Troya. Tugas utama para prajurit ini adalah membuka gerbang kota Troya sebagai jalan masuk bagi pasukan Yunani ke kota.

Sebagaimana dikisahkan, Perang Troya ini terjadi karena Paris menculik Helene dari suaminya Menelaos, raja Sparta. Perang ini dianggap kisah paling penting di antara kisah-kisah mitos Yunani purba dan diceritakan di banyak karya literasi Yunani. Dua naskah penting tentang perang ini adalah Iliad dan Odisseia karya Homeros. Iliad berkisah tentang tahun-tahun terakhir dari sepuluh tahun pengepungan Troya, sedangkan Odisseia bercerita tentang perjalanan pulang Odisseus.

Perang Troya bermula dari perselisihan antarperempuan---dewi Athena, Hera, dan Aphrodite ---tentang siapa yang paling pantas menyandang “status paling cantik”. Persaingan untuk dibilang “paling cantik” muncul setelah Dewi Eris marah karena tak diundang dalam satu pertemuan. Dewi Eris melemparkan buah apel emas yang bertuliskan "untuk yang paling cantik." 

Dewi Athena, Hera dan Aphrodite segera saja berkompetisi dan mendatangi Zeus untuk memastikan siapa yang paling berhak atas apel emas itu. Tapi, Zeus tak ingin memihak dan meminta mereka mengikuti keputusan Paris. Paris pun menjadi sasaran rayuan.  Hera bersedia menyuap Paris dengan kekayaan sementara  Athena menjanjikan promosi  jabatan sebagai jenderal.

Aphrodite lain lagi. Ia menawarkan ke Paris perempuan tercantik di dunia yaitu Helene. Paris akhirnya memilih Helene. Dengan begitu, Aphrodite pun keluar sebagai pemilik apel emas sekaligus pemenang julukan  “paling cantik”. 

Tapi masalahnya tidak berhenti di sini. Helene sebenarnya punya suami. Ia adalah permaisuri Menelaos, sang raja Sparta. Karena sudah bersuami, anak Aphrodite yang bernama Eros dan bergelar dewa cinta segera saja membusur Helene dengan anak panah cinta. Helene pun terkena dan jatuh cinta kepada Paris. Helene akhirnya bersedia dibawa ke Troya.

Suami Helene, sang raja Menelaos marah bukan kepalang. Dibantu saudaranya, Agamemnon yang dibilangkan sebagai raja Mikenai dan raja-raja Yunani lainnya, Menelaos kemudian menyerang kota Troya. Pecahlah Perang Troya.

Sekuel mitos di atas adalah kisah tentang kekuasaan yang memasukkan perempuan sebagai pernak-pernik. Kisah yang sarat dengan janji dan suap yang kemudian diikuti dengan taktik menyelundup dan menyusup.  Kini, kisah ini dipakai sebagai permisalan untuk menandai tipu daya politik. Lalu, Kuda Troya pun menjadi metafor simbolik untuk mengenali perilaku politik para politikus dalam mencari dan mengejar kekuasaan. Pun Kuda Troya menjadi istilah yang dilekatkan ke dalam demokrasi. “Kuda Troya demokrasi” lalu menjadi frasa yang dipakai secara luas untuk menemukenali siapa saja dan apa saja yang tak kelihatan di latar depan praktik-praktik berdemokrasi dari seorang politikus.

Mereka yang menyelundup dan menyusup di Kuda Troya Demokrasi bisa bermacam-macam. Penyelundup dan penyusupnya boleh saja perusahaan-perusahaan besar dari negara lain atau dari negeri sendiri. Bisa juga kelompok geng politikus, anggota keluarga para politikus, atau kelompok-kelompok despotik politik. Mereka-mereka ini yang membiayai, mengelolah, dan mengerahkan kekuatan untuk memenangkan sang politikus menuju kursi kekuasaan. Kalau perlu, para penyelundup dan penyusup memakai broker atau makelar.

Modusnya  juga macam-macam, mulai dari suap, beli suara rakyat, curang terhadap suara rakyat, hingga korupsi atas nama jabatan.  Para penyelundup dan penyusup ini berupaya mengijon keputusan-keputusan penting atau menyusupkan aturan-aturan yang akan ditetapkan kelak oleh sang politikus. Tujuannya sangat pragmatis, yaitu memperoleh  keuntungan sebesar-besarnya. Suara rakyat suara tuhan adalah adegium klise dan tak masuk akal bagi mereka. 

Pernak-pernik yang mengikuti modusnya pun tak jauh dari kisah Kuda Troya, yaitu sederetan “perempuan paling cantik”. Baca saja cerita di media tentang sang jenderal atau simak dengan baik kisah tentang seorang presiden partai. Di situ ada kisah tentang perempuan. Jangan juga lupa tentang kisah segelintir politikus di parlemen yang mengijon keputusan-keputusan ke pihak-pihak penerima anggaran. 

Perilaku Kuda Troya memang hanya beda dalam soal waktu. Kisah Kuda Troya terjadi sebelum Masehi, sementara kisah “Kuda Troya Demokrasi” sang jenderal dan sang presiden partai berlangsung di abad moderen. Rupanya, di atas kekuasaan, politikus dan pemimpin tak mau berubah. Mereka tetap saja berwatak purba meski melewati bentangan waktu ribuan tahun.

*catatan:
Tulisan ini dimuat di Harian Tempo Makassar, 4 Juni 2013, di halaman B15.
 
Alwy Rachman.