SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Wednesday, December 3, 2014

PENDIDIKAN KARAKTER


Kaila ilona Meira

Pengarusutamaan (mainstreaming) pendidikan karakter kini dimulai. Dentang dan resonansi tentang perlunya pendidikan karakter di berbagai sekolah dan universitas di Indonesia berbunyi dan bergetar keras, membuat segenap pemilik kepentingan (stakeowner) dan pemangku kepentingan pendidikan (stakeholder) seharusnya bertanya secara reflektif, “apakah gunanya sekolah” dan “apa pula manfaatnya universitas” kalau segenap pengajar dan pembelajarnya mengalami peracunan dan pembusukan. 

Peracunan dan pembusukan di sekolah-sekolah dan di kampus-kampus akan membuat institusi pendidikan sebagai tapal batas peradaban akan kehilangan jatidiri lalu runtuh di hadapan sang waktu dan akan kehilangan muka lalu malu di hadapan sang peradaban. Demi masa, begitu peringatan dari bahasa langit dan demi peradaban, begitu peringatan dari bahasa bumi.

“Karakter” adalah “kata yang licin” (slippery word). Sedemikian licinnya, kata ini sering dibawa ke mana-mana. Ia sering dihubungkan dengan moral, disetarakan dengan nilai-nilai, dipersamakan dengan kebajikan, atau diasosiasikan secara heroik ke sang hero, atau dilabelkan secara negatif kepada sang pecundang. Kata ini memang licin sebagaimana licin dan terjalnya peradaban. Tergelincir dalam memahami maknanya setara dengan tergelincir dalam mengartikan peradaban. Alur dan alir pikirnya sederhana, yaitu; karakter adalah tulang sum-sum peradaban.

Pendidikan karakter memerlukan pembangun peradaban, bukan penidur peradaban. Bangun ataupun tidur sama-sama menentukan muncul-tenggelamnya peradaban. Pun pendidikan karakter memerlukan pribadi-pribadi tulus dalam melihat bahaya di masa depan bagi generasi muda. Itu pula sebabnya, Thomas Lickona dengan teguh berpendirian bahwa tujuan pendidikan karakter cuma dua. 

Pertama, menyediakan pengetahuan, keterampilan, kepemimpinan dan karakter untuk menghadapi bahaya masa depan yang tak pernah dilihat dan dialami oleh generasi pendahulunya. Kedua, menjadikan generasi muda sebagai generasi cerdas (smart) dan berprilaku baik. 

Pendidikan karakter bukan pendidikan untuk sang hero ataupun sang pecundang dan bukan untuk pihak pemenang ataupun pihak pengalah. Pun bukan untuk tokoh protagonis atau tokoh antagonis. Adalah pendidikan karakter yang dibangun di atas pilar-pilar etik yang dapat diterima secara bersama dan difungsikan untuk kehidupan bersama. Keselamatan bersama, terutama di masa sana, di masa depan adalah segalanya. Jika tidak ada etik dan jika tiada karakter, hukum besi sejarah dan tirani waktu akan menghempaskan segalanya.

Pendidikan karakter memerlukan antidote learning, interaksi pembelajaran secara bersama yang bersedia dan berkomitmen memangkas akar dari gejala peracunan dan pembusukan yang menyerang simpul-simpul tatanan peradaban pendidikan, di sekolah-sekolah dan di universitas-universitas. Hanya dengan demikian, peradaban pendidikan tinggi tidak mengikuti dalil “lahir lalu mati” atau “tumbuh lalu membusuk”.  

Afirmasi tentang perlunya pendidikan karakter bukanlah hal baru. Paling tidak, begitu ungkapan Lickona. Ia setua dengan sejarah pendidikan. Ia diabdikan bagi generasi muda yang mempersonifikasi media sebagai guru. Ia diperuntukkan bagi pembelajar yang kehilangan “home”. Pun ia dirancang, dijalankan dan dirawat agar generasi muda dapat menangani gegar dan guncangan nun jauh di sana, di masa depan. 

Maka, “no education without character” sepatutnya didengungkan agar mata-pikir dan mata-hati dapat berfungsi bagi upaya membangun peradaban pendidikan tinggi. Maka, afirmasi pemerkaya dari Jose Ortega Gasset, penulis buku The Mission of The University, perlu dihayati. Bunyinya, “tanpa nilai, universitas hanya menamatkan orang biadab baru yang terpelajar” (new educated barbarian). Atau, afirmasi dan pesan moral dari Mahatma Gandhi untuk generasi muda India, yang ditulisnya dalam “Young India”. Nadanya, “knowledge without character”, pengetahuan tanpa karakter, adalah satu diantara tujuh dosa sosial.   




 
Alwy Rachman.