SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Saturday, December 4, 2010

THE “BOSSLESS SOCIETY"

Alwy Rachman

Disadur ulang sebagian dari Orasi Ilmiah Makaminan Makagiansar 

di Universitas Hasanuddin, 2000

Laboratoria, perpustakaan (yang tidak mengikuti jam kantor) selalu dipenuhi pengunjung sampai larut malam. Bukankah ini kultur akademik yang wajar dan patut? Situasi laboratoria adalah kultur komunitas kampus “tanpa boss”. Tanpa kehadiran “boss” sekalipun, civitas akademia bergerak mencari pengetahuan dan mengasah keterampilan. “Bossless society” adalah ciri dari lembaga perguruan tinggi yang berhasil dan berprestise. Komunitas dan civitas akademia seperti ini akan mengembangkan kultur saling menghormati dengan kriteria utama “keunggulan sebagai ilmuan”.

Tetapi jangan salah paham. Jangan menganggap bahwa kultur dan komunitas “tanpa boss” sama artinya dengan “tidak memerlukan dan dengan demikian tidak perlu ada pemimpin”. Seorang “boss” yang berkarakter pemimpin malah diperlukan karena pada suatu waktu dan suatu tempat, keputusan perlu diambil. Dalam konsep “bossless society”, sang “boss” yang pemimpin adalah sosok kreatif dan produktif dalam berperan sebagai pengayom, sebagai mitra, dan sebagai fasilitator bagi semua orang yang berada di bawah pengasuhannya, agar semua orang yang berada di bawah kepemimpinannya dapat mengembangkan secara produktif talenta yang melekat atau yang masih terpendam dalam dirinya.

Prinsip “bossless society” sangat penting bagi kelompok sosial dimana pengetahuan dan ilmu menjadi andalan pertama. Bobot keilmuan, sudah dapat dipastikan, akan dapat dimunculkan di lembaga-lembaga yang memiliki kultur “bossless society”. Kultur seperti ini sama sekali tidak mengembangkan sikap otoriter. Sang pemimpin justru merupakan “prima inter pares” atau “yang pertama antara yang pertama” (the first among the first). Semakin renggang hubungan antarperorangan dan semakin kaku proses pengambilan keputusan, serta semakin rendahnya prioritas yang diletakkan pada kepentingan pembelajaran, riset, dan nilai-nilai akademik, semakin besar kemungkinan bahwa lembaga perguruan tinggi itu tidak berada pada posisi tinggi.

Indikator-indikator keperilakuan (behavioral) adalah penting selain indikator-indikator kualitatif dan kuantitatif, dan ketiganya pun seharusnya dihubungkan secara sangat erat. Dalam berbagai tulisan tentang perguruan tinggi, indikator keperilakuan sering diabaikan. Tetapi, justru indikator-indikator terakhir inilah --- yang berakar pada persepsi dan nilai --- yang ikut menentukan apakah suatu perguruan tinggi itu unggul atau tidak sama sekali.





Friday, December 3, 2010

PEMBUDAYAAN PENDIDIKAN


Alwy Rachman

Disari ulang dari Tulisan Fuad Hasan, 2004

 Pendidikan jelas lebih luas dari penyekolahan. Pendidikan melekat pada kebutuhan manusia. Selain sebagai animal educandum, yaitu makhluk yang dididik, manusia sekaligus adalah animal educandus, yaitu makhluk yang mendidik. Kedua julukan ini sama artinya bahwa manusia adalah makhluk yang terlibat dalam proses pendidikan, terhadap dirinya sendiri dan terhadap orang lain. Kedua julukan inilah yang dijadikan rujukan oleh Organisasi Pendidikan Dunia (Unesco) untuk mencanangkan konsep “pendidikan sepanjang hayat” (life long education), yang seharusnya berlangsung dari buaian ke liang lahat (from the cradle to the grave).

Penyekolahan hanya salah satu bentuk upaya pendidikan, yang penyelenggaraannya tidak terbebas dari pengaruh luar. Pembiasaan dan peneladanan, baik yang dibentuk oleh orang tuanya maupun orang lain, yang dimulai dari masa prasekolah, akan memantapkan pola perilaku pada anak dalam berbagai situasi dan interaksi. Pembiasaan dan peneladanan juga terjadi pada orang dewasa. Jika pembiasaan dan peneladanan di usia kanak-kanak diperkenalkan dan dimantapkan melalui aturan dan tatakrama, orang dewasa mengalami pembiasaan dan peneladanan  berdasarkan atas pilihan sendiri atau atas bentukan orang lain. Interaksi di akademi militer misalnya akan berbeda dengan yang berlangsung di lingkungan pendidikan pesantren.
            
Peneladanan tidak selalu berlangsung melalui institusi pendidikan. Peneladanan seringkali berlangsung lewat proses pembelajaran sosial (social learning). Peneladanan positif yang dirancang dan diselenggarakan di lingkungan universitas dan akademi, dalam realitasnya, tidak selalu berhubungan secara simetris dengan pembelajaran sosial. Keanekaan perilaku menyimpang yang terpapar lewat media menjelma “menjadi pembelajaran sosial” bagi anak-anak. Kesaksian anak-anak terhadap kekerasan yang terjadi di wilayah-wilayah konflik akan membekas pada perilaku dan sikap mereka. Kekerasan pun menjadi kultur dan sekaligus dikultuskan. Bahkan permainan dan mainan anak-anak di wilayah-wilayah seperti ini cenderung bermatra kekerasan. Anak-anak akan berkecenderungan mengunggulkan nilai yang mendukung kemungkinan untuk “menang”. Kekuatan, kekuasaan, dan keberanian dipakai untuk menimbulkan ketakutan pada lawan (fear provoking). Kecenderungan ini ditemukan di berbagai wilayah konflik, antara lain: di wilayah Balkan, di beberapa negara Afrika, dan di beberapa daerah di Indonesia. Peneladanan seperti ini dianggap sebagai peneladanan negatif.

Dampak didik pembelajaran sosial, tentu saja, tidak selalu berfungsi negatif. Fungsi positif pembelajaran sosial juga dapat dikenali di berbagai ranah pembelajaran. Anak didik dan juga pendidik dapat mengenali model peran dan sosok tokoh, yang disadari atau tidak, sering dirujuk untuk keperluan identifikasi diri. Pengaruh tokoh seringkali dijadikan citra identifikasi diri yang kemudian membekaskan pengaruhnya pada pembentukan kepribadian, bukan hanya pada perilaku dan sikap, tetapi juga pada gagasan dan wawasan. Pengaruh ini tidak selalu dalam bentuk in concreto, tetapi lambat laun menjulang dalam bentuk in abstracto. Dampak didik positif seringkali menjadikan mahasiswa mampu melampaui keterikatan pada guru besarnya sebagai tokoh identifikasi, dan menyediakan peluang untuk mengukuhkan dirinya sebagai homo academicus.

Animal educandum dan animal educandus mengandung konsekuensi ikhtiar pembudayaan, upaya yang melatari sejarah kemanusiaan sebagai sejarah peradaban. Prakarsa pendidikan tidak hanya berbentuk pengalihan pengetahuan dan keterampilan (transfer of knowledge and skills), tetapi sekaligus meliputi aksi pengalihan nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial (transmission of cultural values and social norms). Masyarakat di mana pun niscaya berkepentingan memelihara keterjalinan antara ikhtiar pendidikan dan prakarsa pengembangan kebudayaannya.  Tugas pendidikan secara luas adalah mengalihkan seluruh spektrum kebudayaan --- sistem kepercayaan, bahasa, seni, sejarah, dan ilmu --- dari satu generasi ke generasi lain. Orientasi pada nilai-nilai budaya akan mengukuhkan manusia sebagai anggota masyarakat dengan peradabannya yang khas. Meskipun demikian, proses sejarah telah mengenali jatuh bangunnya peradaban. Peneguhan pengalihan nilai budaya dan norma sosial melalui perkenalan dan pengenalan atas sumber-sumber belajar yang dewasa ini digolongkan ke dalam ilmu-ilmu humaniora akan bermuara pada terbangunnya peradaban, sementara budaya masyarakat yang menyerah atas dominasi budaya luar, apalagi masyarakatnya melakukan glorifikasi terhadapnya, akan mengalami kepunahan peradaban.

Earnst Cassirer, melalui sebuah karya tulis An Essay on Man, an Introduction to a Philosophy of Human Culture (1944), mengingatkan bahwa kebudayaan digerakkan oleh dua kekuatan yang arahnya saling bertentangan. Kekuatan pertama disebut dengan kekuatan preservatif yang bergerak melestarikan berbagai manifestasi budaya (sistem kepercayaan, bahasa, seni, dan sejarah), sementara kekuatan kedua disebut dengan kekuatan progresif yang bergerak mencari dan menemukan hal-hal baru. Kekuatan progresif ilmu pengetahuan seringkali mengundang reorientasi moral yang problematik. Euthanasia dan cloning adalah dua contoh sederhana. Keduanya dapat dilakukan secara teknologi dan ilmu pengetahuan, tetapi keduanya sekaligus menghadirkan perdebatan tentang moralitas. Ilmu dan teknologi dapat juga menghadirkan senjata pemusnah massal (weapons of mass-destruction), meskipun semboyan “No more Hiroshima’s!” telah dikumandangkan setelah bom atom dijatuhkan di kota ini pada tahun 1945.

Kemajuan ilmu dan teknologi dapat menciptakan kesenjangan, bagi mereka yang menguasainya dan bagi mereka yang tertinggal. Kelompok diskusi yang menamakan dirinya Forum Fairmont (1995), diketuai oleh Mikhail Gorbachev, beranggotakan wartawan, mantan kepala negara/pemerintahan, politisi, filsuf, dan usahawan, telah memprediksi kemungkinan munculnya tatanan masyarakat 20:80 (the 20:80 society) dengan segala macam permasalahannya sebagai akibatnya. Tatanan masyarakat 20:80 akan mendistribusi populasi masyarakat dunia ke dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama, sejumlah 20%, akan sanggup menggerakkan ekonominya dan berprestasi secara produktif dan kelompok kedua, sebesar 80%, akan tertinggal dan menjadi kelompok konsumptif. Konfigurasi ini bisa terjadi secara nasional, karena proses modernisasi menjadikan tak terhindarinya pemilahan masyarakat berdasarkan tingkat penguasaan ilmu dan teknologi. Besarnya insiden kemiskinan dan jumlah putus sekolah dapat dicerna secara kritis untuk menganalisis apakah konfigurasi ini terjadi atau tidak.

Kesenjangan di masyarakat dapat ditutup melalui analisis yang cermat terhadap akibat-akibat teknorasi dan teknopoli. Adalah tugas pendidik membawa peserta didik pada perkenalan dengan nilai-nilai budaya. Perkenalan seperti ini akan membawa pendidik dan peserta didik pada kemampuan untuk membedakan ciri teknologi sebagai kekuatan penyeragam yang efektif dan kebudayaan sebagai kekuatan untuk memanifetasikan keanekaragaman, meskipun ilmu dan teknologi adalah bagian dari penjelmaan budaya dari masyarakat pengembannya.




 
Alwy Rachman.