Alwy Rachman
Disari
ulang dari Tulisan Fuad Hasan, 2004
Pendidikan jelas lebih luas dari penyekolahan.
Pendidikan melekat pada kebutuhan manusia. Selain sebagai animal educandum, yaitu makhluk yang dididik, manusia sekaligus adalah animal educandus, yaitu makhluk yang mendidik. Kedua julukan ini sama artinya bahwa manusia
adalah makhluk yang terlibat dalam proses pendidikan, terhadap dirinya sendiri
dan terhadap orang lain. Kedua julukan inilah yang dijadikan rujukan oleh
Organisasi Pendidikan Dunia (Unesco) untuk mencanangkan konsep “pendidikan
sepanjang hayat” (life long education),
yang seharusnya berlangsung dari buaian ke liang lahat (from the cradle to the grave).
Penyekolahan
hanya salah satu bentuk upaya pendidikan, yang penyelenggaraannya tidak
terbebas dari pengaruh luar. Pembiasaan dan peneladanan, baik yang dibentuk
oleh orang tuanya maupun orang lain, yang dimulai dari masa prasekolah, akan
memantapkan pola perilaku pada anak dalam berbagai situasi dan interaksi.
Pembiasaan dan peneladanan juga terjadi pada orang dewasa. Jika pembiasaan dan
peneladanan di usia kanak-kanak diperkenalkan dan dimantapkan melalui aturan
dan tatakrama, orang dewasa mengalami pembiasaan dan peneladanan berdasarkan atas pilihan sendiri atau atas
bentukan orang lain. Interaksi di akademi militer misalnya akan berbeda dengan
yang berlangsung di lingkungan pendidikan pesantren.
Peneladanan
tidak selalu berlangsung melalui institusi pendidikan. Peneladanan seringkali
berlangsung lewat proses pembelajaran sosial (social learning). Peneladanan positif yang dirancang dan diselenggarakan
di lingkungan universitas dan akademi, dalam realitasnya, tidak selalu
berhubungan secara simetris dengan pembelajaran sosial. Keanekaan perilaku
menyimpang yang terpapar lewat media menjelma “menjadi pembelajaran sosial”
bagi anak-anak. Kesaksian anak-anak terhadap kekerasan yang terjadi di
wilayah-wilayah konflik akan membekas pada perilaku dan sikap mereka. Kekerasan
pun menjadi kultur dan sekaligus dikultuskan. Bahkan permainan dan mainan
anak-anak di wilayah-wilayah seperti ini cenderung bermatra kekerasan.
Anak-anak akan berkecenderungan mengunggulkan nilai yang mendukung kemungkinan untuk “menang”. Kekuatan, kekuasaan, dan keberanian dipakai untuk
menimbulkan ketakutan pada lawan (fear
provoking). Kecenderungan ini ditemukan di berbagai wilayah konflik, antara
lain: di wilayah Balkan, di beberapa negara Afrika, dan di beberapa daerah di Indonesia.
Peneladanan seperti ini dianggap sebagai peneladanan negatif.
Dampak
didik pembelajaran sosial, tentu saja, tidak selalu berfungsi negatif. Fungsi positif
pembelajaran sosial juga dapat dikenali di berbagai ranah pembelajaran. Anak
didik dan juga pendidik dapat mengenali model peran dan sosok tokoh, yang
disadari atau tidak, sering dirujuk untuk keperluan identifikasi diri. Pengaruh
tokoh seringkali dijadikan citra identifikasi diri yang kemudian membekaskan
pengaruhnya pada pembentukan kepribadian, bukan hanya pada perilaku dan sikap,
tetapi juga pada gagasan dan wawasan. Pengaruh ini tidak selalu dalam bentuk in concreto, tetapi lambat laun menjulang
dalam bentuk in abstracto. Dampak
didik positif seringkali menjadikan mahasiswa mampu melampaui keterikatan pada
guru besarnya sebagai tokoh identifikasi, dan menyediakan peluang untuk
mengukuhkan dirinya sebagai homo academicus.
Animal educandum dan animal educandus mengandung konsekuensi
ikhtiar pembudayaan, upaya yang melatari sejarah kemanusiaan sebagai sejarah
peradaban. Prakarsa pendidikan tidak hanya berbentuk pengalihan pengetahuan dan
keterampilan (transfer of knowledge and
skills), tetapi sekaligus meliputi aksi pengalihan nilai-nilai budaya dan
norma-norma sosial (transmission of
cultural values and social norms). Masyarakat di mana pun niscaya berkepentingan
memelihara keterjalinan antara ikhtiar pendidikan dan prakarsa pengembangan kebudayaannya. Tugas pendidikan secara luas adalah
mengalihkan seluruh spektrum kebudayaan --- sistem kepercayaan, bahasa, seni,
sejarah, dan ilmu --- dari satu generasi ke generasi lain. Orientasi pada
nilai-nilai budaya akan mengukuhkan manusia sebagai anggota masyarakat dengan
peradabannya yang khas. Meskipun demikian, proses sejarah telah mengenali jatuh
bangunnya peradaban. Peneguhan pengalihan nilai budaya dan norma sosial melalui
perkenalan dan pengenalan atas sumber-sumber belajar yang dewasa ini digolongkan
ke dalam ilmu-ilmu humaniora akan bermuara pada terbangunnya peradaban, sementara
budaya masyarakat yang menyerah atas dominasi budaya luar, apalagi
masyarakatnya melakukan glorifikasi terhadapnya, akan mengalami kepunahan
peradaban.
Earnst
Cassirer, melalui sebuah karya tulis An
Essay on Man, an Introduction to a Philosophy of Human Culture (1944),
mengingatkan bahwa kebudayaan digerakkan oleh dua kekuatan yang arahnya saling
bertentangan. Kekuatan pertama disebut dengan kekuatan preservatif yang bergerak melestarikan berbagai
manifestasi budaya (sistem kepercayaan, bahasa, seni, dan sejarah), sementara
kekuatan kedua disebut dengan kekuatan
progresif yang bergerak mencari dan menemukan hal-hal baru. Kekuatan
progresif ilmu pengetahuan seringkali mengundang reorientasi moral yang
problematik. Euthanasia dan cloning adalah dua contoh sederhana.
Keduanya dapat dilakukan secara teknologi dan ilmu pengetahuan, tetapi keduanya
sekaligus menghadirkan perdebatan tentang moralitas. Ilmu dan teknologi dapat
juga menghadirkan senjata pemusnah massal (weapons
of mass-destruction), meskipun semboyan “No
more Hiroshima’s!” telah dikumandangkan
setelah bom atom dijatuhkan di kota
ini pada tahun 1945.
Kemajuan
ilmu dan teknologi dapat menciptakan kesenjangan, bagi mereka yang menguasainya
dan bagi mereka yang tertinggal. Kelompok diskusi yang menamakan dirinya Forum Fairmont (1995), diketuai oleh
Mikhail Gorbachev, beranggotakan wartawan, mantan kepala negara/pemerintahan,
politisi, filsuf, dan usahawan, telah memprediksi kemungkinan munculnya tatanan
masyarakat 20:80 (the 20:80 society)
dengan segala macam permasalahannya sebagai akibatnya. Tatanan masyarakat 20:80
akan mendistribusi populasi masyarakat dunia ke dalam dua kelompok besar.
Kelompok pertama, sejumlah 20%, akan sanggup menggerakkan ekonominya dan
berprestasi secara produktif dan kelompok kedua, sebesar 80%, akan tertinggal
dan menjadi kelompok konsumptif. Konfigurasi ini bisa terjadi secara nasional,
karena proses modernisasi menjadikan tak terhindarinya pemilahan masyarakat
berdasarkan tingkat penguasaan ilmu dan teknologi. Besarnya insiden kemiskinan
dan jumlah putus sekolah dapat dicerna secara kritis untuk menganalisis apakah
konfigurasi ini terjadi atau tidak.
Kesenjangan
di masyarakat dapat ditutup melalui analisis yang cermat terhadap akibat-akibat
teknorasi dan teknopoli. Adalah tugas pendidik membawa peserta didik pada
perkenalan dengan nilai-nilai budaya. Perkenalan seperti ini akan membawa
pendidik dan peserta didik pada kemampuan untuk membedakan ciri teknologi sebagai
kekuatan penyeragam yang efektif dan kebudayaan sebagai kekuatan untuk
memanifetasikan keanekaragaman, meskipun ilmu dan teknologi adalah bagian dari
penjelmaan budaya dari masyarakat pengembannya.