SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Tuesday, December 3, 2013

Literasi Pendidikan dan Kontrak Kebangsaan


Kaila ilona Meira

Sejarah politik pendidikan di Indonesia, lewat empat tokoh utamanya, menyimpan jejak dan pesan benderang: kesukarelaan atas nama kebangsaan. Siapa lagi keempat relawan pendidikan Indonesia kalau bukan Ki Hajar Dewantara, R.H. Oemar Said Tjokroaminoto, Kyai Ahmad Dahlan, dan Muh. Syafei. Keempatnya, dengan ideologi dan keyakinan yang beda, telah mempraktekkan aksi pedagogis yang juga beda tapi dengan satu tujuan: atas nama bangsa, untuk kebangsaan, dan untuk anak-anak bangsa.

Secara akademia, aksi pedagogis diartikan sebagai manifestasi langsung dari pesan dan ideologi yang tersimpan pada literasi pendidikan.  Itu sebabnya, literasi pendidikan setara dengan model representasi politik pendidikan untuk dapat menjawab “atas nama siapa, untuk apa, dan untuk siapa pendidikan dijalankan?”. Jawaban atas pertanyaan ini, sesungguhnya, akan menjelaskan dengan benderang kepada siapa pendidikan itu memihak.

Kita tak perlu meragukan keempat bangsawan pendidikan Indonesia di atas. Ki Hajar Dewantara, misalnya, memfokuskan diri pada “nasionalisme”, “atas nama bangsa dan untuk bangsa sendiri”.  Oemar Said Tjokroaminoto mendedikasikan diri pada pendidikan untuk kebangsaan Indonesia. Kyai Haji Ahmad Dahlan,  pendiri Organisasi Islam Muhammadiyah, menyerahkan dirinya untuk pendidikan anak-anak yatim. Dan Muh. Syafei, sang entrepreneur ini, mengkontribusikan  aksi pedagogiknya untuk kemandirian dan kemerdekaan anak-anak bangsa. Jadi, dengan aksi pedagogis berbeda, keempat bangsawan pendidikan ini berada pada arah yang sama: pendidikan untuk dan atas nama kebangsaan.

***
 “Atas nama siapa, untuk apa dan untuk siapa pendidikan dijalankan”  adalah pertanyaan kontraktual yang berisi perjanjian sosial antara masyarakat dan bangsa dengan lembaga-lembaga pendidikan, termasuk perguruan tinggi. Lebih sederhana, apakah lembaga-lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud memenuhi janjinya. Bukankah pembiayaan lembaga-lembaga pendidikan ikut ditanggung oleh masyarakat?. Pertanyaan kontraktual seperti ini pula yang dipakai oleh Henry A. Giroux dan Susan Searls Giroux, dua kritikus pendidikan bagi kaum muda di Amerika, dalam menagih janji universitas. Dalam publikasi Take Back Higher Education, 2004, kedua kritikus ini menyusun afirmasi, “anak-anak muda semestinya didudukkan sebagai bagian dari masa depan, bukan malah dilihat sebagai pembawa masalah”.

Keprihatinan kedua kritikus ini berfokus pada gejala kapitalisme neoliberal dalam praktek-praktek aksi pedagogis di pendidikan tinggi. Sedemikian kerasnya, Henry dan Susan menganggap kapitalisme neoliberal telah menerobos sekolah-sekolah dan universitas-universitas. Di sana, kapitalisme neoliberal menyerang dan memerangi anak-anak muda. Perang ini dapat ditelusuri melalui praktek-praktek rakus dan anti sosial. Di sana, kultur akademis yang diturunkan dari Plato dan Aristoteles, kultur yang mengabdikan diri pada kebaikan publik, digantikan dengan kultur “privat” yang berwatak korporat. Di sana, “ruang sosial” pembelajar dianggap evil dan pembawa masalah.

Itu sebabnya, Stanley Aronowitz menyebutkan, "Presiden universitas bukan lagi intelektual publik. Presiden universitas adalah intelektual yang mirip dan setara dengan Pejabat Chief Executive perusahaan, yang bekerja menggalang dana dan mencari untung. Sang presiden dengan segenap perangkatnya akan bekerja berdasarkan logika dan budaya korporat. Lihatlah Bill Gates dan Michael Eisner yang kini menggantikan pemimpin-pemimpin pendidikan seperti John Dewey dan Robert Hutchins. Dengan cara ini, kampus-kampus akademis berubah menjadi kampus korporat yang berfokus pada upaya menjual jasa ke kontraktor, bermitra dengan perusahaan lokal, mencari paten baru, dan membuat perjanjian lisensi.  

Globalisasi yang ditandai oleh kecanggihan teknologi dan sarat modal pada akhirnya akan menempatkan lembaga-lembaga pendidikan, termasuk perguruan tinggi, khusus di Indonesia untuk memilih dua jalan. Jalan pertama adalah tetap setia pada ideologi literasi awal, yaitu setia pada perjanjian kebangsaan. Jalan kedua adalah tunduk dan takluk pada neoliberal yang akan memaksakan syarat-syarat pengelolaan pendidikan. Ahli-ahli di bidang hubungan internasional menyebutnya tunduk pada globalution. Jika pilihan jatuh pada yang jalan kedua, mari kita lupakan dan ucapkan “selamat tinggal untuk keempat bangsawan pendidikan” di republik ini.
 
Alwy Rachman.