SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Thursday, March 18, 2010

DEMOKRASI DAN SITUASI MULTIKULTURAL MUTAKHIR

Tulisan ini masih berbentuk "draft". Oleh karenanya, tidak layak dikutip.


Alwy Rachman

Staf Pengajar pada Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Hasanuddin

Pendulum Sistem Politik
Pendulum sistem politik Indonesia benar-benar begerak secara radikal dan dengan ekstrim bergeser dari satu sistem totalitarian di bawah regim Orde Baru ke sistem yang lebih terbuka di bawah regim Reformasi. Penanganan masalah-masalah pemerintahan pun ikut bergeser dari cara-cara teknoratis ke cara-cara yang berbasiskan konstituensi. Di era Orde Baru, praktik pembangunan ---- kemudian dikenal dengan ideologi pembangunanisme --- dirancang, dikendalikan, dan diimpelentasikan oleh kelompok-kelompok teknokrat yang dianggap ahli dan terampil dalam bidangnya. Bayaran termahal dari semua ini adalah, tertutupnya aspirasi dan partisipasi terhadap semua proses-proses pembangunan; politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Pendulum sistem politik Indonesia benar-benar begerak secara radikal dan dengan ekstrim bergeser dari satu sistem totalitarian di bawah regim Orde Baru ke sistem yang lebih terbuka di bawah regim Reformasi. Penanganan masalah-masalah pemerintahan pun ikut bergeser dari cara-cara teknoratis ke cara-cara yang berbasiskan konstituensi. Di era Orde Baru, praktik pembangunan ---- kemudian dikenal dengan ideologi pembangunanisme --- dirancang, dikendalikan, dan diimpelentasikan oleh kelompok-kelompok teknokrat yang dianggap ahli dan terampil dalam bidangnya. Bayaran termahal dari semua ini adalah, tertutupnya aspirasi dan partisipasi terhadap semua proses-proses pembangunan; politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Di era reformasi, desentralisasi kekuasaan dilangsungkan sedemikian rupa. Sumber-sumber kekuasaan yang dahulu dikonsolidasi secara nasional disebar ke tingkat lokal. Praktik-praktik pembangunan pun dikuasakan ke kelompok-kelompok pemenang di tingkat lokal. Bayarannya juga tidak murah. Proses-proses politik untuk memperebutkan kekuasaan politik, menandai munculnya gejala venalitas, suatu gejala dimana uang ikut bermain dengan cara sedemikian rupa, sehingga para ahli menyebutnya money politics. Sedemikian buruknya, suara pemilih sebagai bagian penting dari pernyataan hak politik warga bisa termanipulasi sedemikian rupa, untuk tidak mengatakan tergadai. Venalitas di dalam partai pun menjadi isu kritis yang dipersoalkan oleh publik.Di era reformasi, desentralisasi kekuasaan dilangsungkan sedemikian rupa. Sumber-sumber kekuasaan yang dahulu dikonsolidasi secara nasional disebar ke tingkat lokal. Praktik-praktik pembangunan pun dikuasakan ke kelompok-kelompok pemenang di tingkat lokal. Bayarannya juga tidak murah. Proses-proses politik untuk memperebutkan kekuasaan politik, menandai munculnya gejala venalitas, suatu gejala dimana uang ikut bermain dengan cara sedemikian rupa, sehingga para ahli menyebutnya money politics. Sedemikian buruknya, suara pemilih sebagai bagian penting dari pernyataan hak politik warga bisa termanipulasi sedemikian rupa, untuk tidak mengatakan tergadai. Venalitas di dalam partai pun menjadi isu kritis yang dipersoalkan oleh publik.

Di rentang waktu pergeseran pendulum --- dari regim pembangunanisme ke regim reformasi --- terdapat gejala yang sangat mengusik, yaitu gejala yang disebut "cultural bleeding" (pendarahan di antara hubungan-hubungan antaretnik dan antarkebudayaan). Hingga kini, proses penyembuhan terhadap pendarahan ini mesti diambil dengan cara merekatkan kembali apa yang telah tercerai berai.

Empat Isu Multikultural
Reformasi di tingkat makro, di tingkat negara, tidak serta merta menyelesaikan masalah-masalah politik, pemerintahan, ekonomi serta masalah budaya di tingkat lokal. Di dalam suatu simposium tentang situasi multikultural di Indonesia Kawasan Timur dan Tengah, di selenggarakan di Manado di bulan Januari 2010, sedikitnya terdapat 4 isu yang berhasil di petakan.

Isu pertama adalah Jakartanisasi Indonesia. Melalui perdebatan yang agak garang, Jakarta dianggap mewakili genesis mental ambtenar pemimpin bangsa. Genesis mental ambtenar menyebabkan common cultural platform di tingkat arus bawah menjadi isu kritis. Di forum-forum arus bawah yang berdiskusi tentang demokrasi, common cultural platform yang menyangkut kualitas dan moralitas pemimpin selalu mengemuka dan dipertanyakan kembali. Common cultural platform yang menyiratkan konstitutif kutural di hampir semua etnik menandai beberapa dalil kepemimpinan. Pertama, proses memilih pemimpin dianggap sebagai proses istimewa. Kedua, oleh karena prosesnya istimewa, jabatan kepemimpinan harus diisi oleh pribadi-pribadi istimewa. Kenyataan bahwa reformasi memunculkan pemimpin yang agak mengganggu common cultural platform menyebabkan munculnya kesangsian. Sikap sangsi ini sesunguhnya adalah konsekuensi dari "belum berubahnya tata nilai tentang kekuasaan" di arus bawah dan efek transisi dari proses demokratisasi di tingkat negara. Oleh karenanya, common cultural platform masih menjadi tawaran di dalam menjustifikasi sang pemimpin. Dengan kesangsian seperti itu, pemimpin-pemimpin di Jakarta dianggap sebagai orang-orang yang merupakan bagian dari pengembangbiakan budaya urban yang kemudian menyeret manusia keluar dari habitat kebudayaannya dan membiarkan kebudayaannya tidak lagi berfungsi sebagai penyanggah kehidupan. Jakarta lalu menjadi pusat pengendali atas cara kita berbahasa, cara kita berpakaian, cara kita memilih pendidikan, dan cara kita mengkomsumsi makanan. Pokoknya, Jakarta menjadi pusat fundamentalisme pasar yang mengundang reaksi berkembangnya fundamentalisme agama-agama di berbagai wilayah.

Isu kedua adalah Keindonesiaan di Pulau-Pulau Kecil dan di Wilayah Perbatasan. Hasil pemetaan menggambarkan bahwa Kawasan Timur Indonesia adalah kawasan yang salah urus, untuk tidak mengatakannya tidak terurus. Pulau-pulau kecil tempat berdiamnya etnik-etnik kecil dibiarkan tak bernama. Ekonomi di pulau-pulau ini juga menjadi soal karena regulasi yang tak memihak, sehingga pengembangan infrastruktur tidak menjadi perhatian. Proses mentransformasikan etnik-etnik di pulau-pulau ini menjadi tidak memungkinkan karena tidak adanya akses ke Bappenas.

Isu ketiga adalah Keindonesiaan di Wilayah-Wilayah Terjarah. Kawasan Tengah dan Timur Indonesia dinilai sebagai kawasan-kawasan yang banyak dijarah. Proses penjarahan berlangsung dengan cara dan modus yang canggih tetapi sistematik. Mulai dari pengambilan tanah-tanah rakyat secara murah, hingga penggunaan regulasi dan kekerasan. Program transmigrasi, kebijakan mengkapitalisasi kawasan serta kebijakan investasi tanpa menegakkan tataruang nasional adalah sumber malapetaka bagi etnik-etnik kecil di kawasan Tengah dan Timur Indonesia.

Isu yang keempat adalah isu Perjumpaan Budaya. Perjumpaan budaya di kawasan-kawasan konflik dan kawasan-kawasan terjarah menandai beberapa hal. Pertama, terdapat kecenderungan bahwa kawasan-kawasan etnik yang kecil mengalami pemiskinan sebagai akibat dari tidak tersedianya akses dan kendali atas keputusan-keputusan politik dan ekonomi serta pemanfaatan sumber daya alam. Kedua, struktur dan sistem sosial etnik mengalami penggumpalan sedemikian rupa, sehingga kekuatan-kekuatan etnik disusun dan distrukturkan mirip negara. Di beberapa wilayah kalimantan, sebagai permisalan, membentuk laskar-laskar etnik, sebagai mekanisme mempertahankan diri dan sebagai reaksi terhadap terbentuknya laskar-laskar oleh kekuatan-kekuatan sosial politik lainnya. Ketiga, pertarungan dalam memperebutkan otoritas sosial paska konflik masih tetap berlangsung tanpa diwadahi oleh platform-flatform negara. Di kawasan Maluku, misalnya, terdapat 300 raja-raja yang bergulat dalam persoalan hirarki. Problem komunikasi antarbudaya yang menjadi masalah menjadikan kekuatan-kekuatan etnik ini menggumpal pada dua solidaritas --- solidaritas agama dan solidaritas kampung. Keempat, residu konflik etnik dan konflik sosial ikut meneguhkan stereotipi dan stigma antara satu kelompok berhadapan dengan kelompok lain. Kelompok Islam distigmatisasi sebagai kelompok teroris dan kelompok Kristen distigmatisasi sebagai kelompok separatis. Kelima, ketiadaan regulasi yang memihak pada kebudayaan dan tidak tersedianya strategi kebudayaan menjadikan budaya etnik yang kecil menjadi fragil dan rapuh. Perapuhan budaya sebagaimana yang dimaksud dapat dilihat pada cara etnik merawat dan menyelenggarakan pengetahuan etnik yang mengikat secara sosial. Perawatan pengetahuan etnik yang terabaikan justru lebih disebabkan oleh regulasi yang bertentangan dengan pengetahuan etnik. Regulasi Kementrian Kelautan misalnya dianggap tidak mengakomodasi pengetahuan etnik tentang cara-cara menkonservasi sumber ikan di Maluku atau bertentangan dengan pengetahuan etnik Papua dalam mengkonservasi ikan Paus.

Demokrasi dan Narasi Kultural
Di hampir semua kebudayaan, kerangka nilai demokrasi bisa ditelusuri melalui narasi kultural. Narasi tentang komitmen seorang raja (pemimpin) terhadap rakyat, tentang kesetiaan rakyat terhadap pemimpin, tentang kritik rakyat terhadap pemimpin, sesungguhnya tersedia. Sayang narasi seperti ini tidak dipakai sebagai latar untuk membangkitkan kesadaran politik arus bawah. Akibatnya, di hadapan demokrasi yang diselenggarakan di Indoneaia, narasi kultural kehilangan konteks, atau tidak dikontekstualisasi ke pengalaman-pengalaman demokrasi. Demokrasi yang diselenggarakan kemudian sulit diinstalasi ke dalam pengalaman-pengalaman kultural. Sesungguhnya, berpikir konstitutif yang tersembunyi di dalam konteks dan pengalaman kultural bisa dijadikan latar untuk memasuki pengalaman-pengalaman demokrasi moderen. Semestinya, narasi seperti ini dijadikan sebagai media akulturasi dan dipakai untuk melihat dan berempati pada proses pemanusiaan lewat demokrasi. Di masyarakat Inggris, misalnya, generasi Shakespeare dianggap berkontribusi secara konkrit di berbagai ranah untuk bangsanya. Narasi kulturalnya diinstalasi ke dalam jenjang-jenjang pendidikan, dikonstitusi ke dalam interaksi sosial dan interaksi politik. Makanya, bukan suatu kebetulan jika negarawan-negarawan Inggris "tidak memerlukan" konstitusi tertulis dalam mengatur negaranya. Konstitusi-bukan-teks tampaknya telah "tertanam di kepala" para negarawan Inggris. Pasti bukan kebetulan, jika narasi kultural berhubungan erat dengan cara berpikir konstitutif.

Pada akhirnya, demokrasi yang dibutuhkan bukan demokrasi Barat yang berfokus pada keutamaan dan kebebasan individu. Demokrasi di Indonesia seharusnya demokrasi yang mampu menghormati dan memberi tempat terhadap semua cara hidup di setiap etnik, bukan demokrasi yang menyeragamkan semua cara hidup dan merusak serta meniadakan kebhinekaan bangsa.


Bacaan Pemerkaya

Bourdieu, Pierre, 1992, Language and Simbolic Power, Cambridge: Polite Press.
Manning, Chris dan Peter Van Diermen, 2000, Indonesia in Transition, Sosial Aspects of Reform and Crisis, Singapore: ISEAS.
Ringkasan Laporan Penelitian, "Studi atas Pelaksanaan Desentralisasi di 15 Kabupaten/Kota dan 4 Provinsi", (tidak dipublikasikan).
Priyono, A.E. Stanley Adi Prasetyo, dan Olle Törnquist (editor), 2003. Gerakan Demokrasi di Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: Demos
 
Alwy Rachman.