SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Saturday, April 3, 2010

BAHASA DAERAH, IBARAT Id Card

ITA ROSVITA DAHRI
Mahasiswa Program Sarjana Guru Bahasa Daerah
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin

“Dihadapan homogenisasi yang semakin bertumbuh,
Kita semua akan berusaha melestarikan identitas kita,
Apakah itu agama, kultur, kebangsaan, bahasa, atau ras.”

                                        John Naisbitt dan Patricia Aburdene

Pada saat anda menghadiri seminar atau pertemuan lainnya, lazimnya anda mendapat Id Card, Kartu Identitas. Di kartu itu, anda menuliskan nama dan kualitas diri anda. Lalu anda menyemat kartu itu di bagian depan baju anda. Melalui kartu itu, anda dikenali, disapa dan dihormati oleh orang lain. Anda menghadir dan mengada melalui nama dan kualitas yang dimediasi melalui kartu identitas --- “Saya ada karena saya punya identitas”. Lalu, apa kira-kira yang terjadi jika tanda diri anda tercecer dan hilang?

Ibarat Id Card, bahasa daerah merupakan lambang identitas lokal. Ia merupakan cipta-rasa-karsa yang kemudian membentuk semesta budaya yang berfungsi sebagai identitas. Ia patut dipertahankan dengan cara menyediakannya ruang hidup agar ia tetap berkembang, berfungsi, dan tetap menjadi sumber mata air bagi pembelajaran semesta budaya dari satu kaum.

Bahasa adalah kepemilikan khas yang membedakan secara signifikan antara manusia dan hewan. Ia tidak dibawa lahir secara serta merta. Bahasa justru dibudayakan pada paska kelahiran manusia berdasarkan konteks dan habitus kebudayaan dimana manusia lahir. Pembudayaan bahasa berlangsung dalam bentang waktu yang panjang dan berpindah dari satu ranah ke ranah lain dengan segala dinamikanya. Bahasa dibudayakan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dan dipindahkan dari ranah bahasa abjektif ke bahasa objektif, dari ranah bahasa ibu ke ranah bahasa rasional, dari bahasa daerah ke bahasa nasional serta internasional.

Gerak zaman yang demikian cepat dan revolusi teknologi komunikasi yang demikian radikal memunculkan proses homogenisasi sebagaimana tesis John Naisbitt. Proses ini mempercepat perpindahan bahasa, dari bahasa abjektif ke bahasa objektif atau dari bahasa daerah ke bahasa nasional serta internasional yang kemudian membawa sejumlah konsekuensi. Pertama, fungsi bahasa daerah sebagai penanda diri dan semesta budaya secara perlahan akan tercecer dan kemudian hilang. Semesta identitas lokal dan kehormatan etnik seperti Bugis, Makassar, dan Tana Toraja akan tergerus dari satu generasi ke generasi lain.

Kedua, homogenisasi akan meminggirkan kekayaan etnik yang sebagian tersimpan di bahasa-bahasa etnik. Terdapat dua penanda penyebab proses peminggiran ini. Penanda pertama adalah lahirnya generasi 1980-an dan 2000-an yang bahasa pertamanya adalah bahasa Indonesia. Dua generasi ini mencerap doktrin bahasa nasional sebagai bahasa yang lebih bergengsi dan memiliki fungsi-fungsi lintas etnik. Penanda kedua adalah hadirnya kebutuhan terhadap bahasa asing untuk merespon interaksi internasional dan kerja-kerja lintas negara.

Ketiga, homogenisasi secara faktual telah menghilangkan satu bahasa etnik setiap dua pekan. Pada abad ke-21, homogenisasi diperkirakan akan menelan 50% dari 5000 bahasa di planet ini. Para pakar bahasa berargumen bahwa bahasa-bahasa yang tidak memiliki 100 ribu penutur akan sulit bertahan melawan homogenisasi. Dengan argumen seperti ini, para pakar bahasa mencemaskan bahasa-bahasa yang penuturnya tidak lebih dari 10.000 orang. Bahasa-bahasa etnik hanya bisa bertahan jika penuturnya minimal satu juta orang. (Mer/L-4, 2009)

Pernyataan UNESCO juga mencemaskan. Menurut UNESCO, sepuluh bahasa punah setiap tahun. Kepunahan ini lebih disebabkan oleh doktrin ataupun keterpaksaan bahwa bahasa lain diasosiasikan lebih maju dan lebih moderen. Di luar pernyataan UNESCO, terdapat 726 bahasa etnik yang berhadapan dengan konsekuensi dari proses homogenisasi, globalisasi dan revolusi teknologi.

Kecemasan serupa juga muncul pada pidato pengukuhan Arief Rachman sebagai guru besar di Universitas Negeri Jakarta pada 22 Mei 2007. Arief Rachman dalam “Kepunahan Bahasa Daerah karena Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris serta Upaya Penyelamatannya” merinci kepunahan bahasa derah sebagai berikut. Dari 50 bahasa daerah di Kalimantan, satu terancam punah. Di Sumatra, dari 13 bahasa daerah yang ada, satu terancam punah dan satu sudah punah. Di Jawa, tidak ada bahasa daerah yang terancam punah. Di Sulawesi, dari 110 bahasa daerah, 36 terancam punah dan satu sudah punah. Di Maluku, dari 80 bahasa daerah, 22 terancam punah dan 11 punah. Di daerah Timor, Flores, Bima dan Sumba, 8 dari 50 bahasa terancam punah. Di Papua dan Halmaherah, 56 dari 271 bahasa terancam punah. Frans Rumbrawer lebih menegaskan bahwa pada tahun 2006, sembilan bahasa dinyatakan punah, 32 segera punah dan 208 terancam punah. (jurnalnet, 2007)

Apa yang harus dilakukan sekarang dalam menghadapi kecemasan seperti ini di Sulawesi Selatan? Peran apa yang patut dimainkan oleh kaum muda sebagai pemilik kepentingan dalam mempertahankan identitas dan semesta budaya etnik Sulawesi Selatan? Setidaknya ada tiga jawaban untuk ini. Pertama, memfungsikan bahasa Bahasa Bugis, Makassar dan Bahasa Toraja serta bahasa-bahasa etnik lainnya sebagai semesta pengungkapan kreativitas dan suasana batin. Kedua, menyediakan alih generasi seniman-seniman etnik yang tetap dapat memfungsikan keterampilan dan keaksaraan kultural. Sebut saja, passinrilik di Makassar dan pammosong di Bugis. Ketiga, menginstalasi susastra daerah beserta nilai-nilai etik yang menyertainya ke dalam berbagai ranah dan jenjang pendidikan.

Pada akhirnya, dengan meminjam pepatah-petitih etnik, kaum muda jangan ibarat “kacang yang lupa pada kulitnya”. Jika lupa, Id Card kaum muda akan tercecer. Kaum muda akan segera kehilangan kartu identitas. Jika semuanya tercecer dan hilang, maka: “saya tidak ada karena saya tidak punya identitas”. Oleh karenanya, John Naisbitt benar bahwa kita semua seharusnya berusaha melestarikan identitas kita.


Bacaan Pemerkaya
Art van Zoest. 1993. Semiotika, Jakarta: Yayasan Sumber Agung.
Anwar, Ahyar, 2007. “Bahasa sebagai Genetika Kultural: Materialisme Bahasa dan Habitus Orang Bugis Makassar”. Makalah disajikan pada Kongres Internasional Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan I. Pusat Bahasa Depdiknas dan Pemrov Sulsel, Hotel Clarion Makassar, 22-25 Juli 2007.
Kridalaksana, Harimurti. 1986. Pengembangan Ilmu Bahasa dan Pembinaan Bangsa. Jakarta: Nusa Indah.
Mer/L-4. 2009. Rekan Jejak Kemusnahan Bahasa. http://www.koran-jakarta.com/. Diakses 20 Desember 2009.
Muhammad Darwis. 2007. “Hubungan antara Pemertahanan Bahasa dan Pemertahanan Budaya: Kasus Bahasa Bugis”. Makalah disajikan pada Kongres Internasional Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan I. Pusat Bahasa Depdiknas dan Pemrov Sulsel, Hotel Clarion Makassar, 22-25 Juli 2007.
Nurdin Yatim. 2008. “Problematika Pembelajaran Bahasa Bugis-Makassar sebagai Bahasa Ibu (Mother Tongues)”. Makalah disajikan pada Seminar Internasional Pertemuan Linguistik Tahunan Pertama (Pelita I) kerjasama Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) dengan Jurusan Sastra`Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Makassar, 22 Mei 2008.
Rht. 2007. Waspadai Kepunahan Bahasa Daerah. Jurnalnet. http://www.jurnalnet.com/ Diakses 20 Desember 2009.
Taha, Zainuddin. 2008. Gapura Bahasa: Kumpulan Makalah Pilihan tentang Bahasa dan Pengajaran Bahasa. Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar.

Catatan:
Tulisan ini bersumber dari tugas akhir semester mahasiswa Program Sarjana Guru Bahasa Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin untuk tahun 2009. Judul asli tulisan adalah “Pemertahanan Bahasa Daerah Demi Lestarinya Identitas Diri”. Atas seizin penulisnya, naskah asli diedit ulang dan judul tulisan diubah oleh Alwy Rachman.
 
Alwy Rachman.