SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Tuesday, May 24, 2011

Risk Society

Kaila ilona Meira

"Risk! Risk anything! Care no more for others!", begitu ungkapan Katherine Manfield, seorang esais dan cerpenis produktif di awal abad ke-19. Katherine, terlahir pada Oktober 1888 dan berpulang pada Januari 1923 akibat terpaan tuberculosis, mungkin tak pernah membayangkan bahwa dunia yang ditinggal 88 tahun lampau kini justru semakin beresiko. Dengan kepekaan yang sama, ilmuan sosial kontemporer kelahiran 1944, Ulrich Beck, ikut mengeraskan kata hati Katherine. Bagi Ulrich, institusi dan struktur sosial yang dipakai untuk hidup bersama di masa lampau berubah secara cepat dan radikal. Persisnya, masyarakat tradisional berubah dengan cepat menuju masyarakat pramodern dan bergegas ke masyarakat supermoderen.

Masyarakat tradisional hidup dengan struktur sosial dan pengalaman kemasyarakatan yang konkret yang kemudian ikut membentuk "kekitaan". Masyarakat seperti ini adalah masyarakat yang terintegrasi secara vertikal dan secara horizontal. Individu-manusia tradisional terbentuk dan dibentuk serta tertanam di dalam nilai-nilai komunal. Individu-manusia di sini tidak menyerahkan dirinya kepada institusi, tetapi loyalitasnya justru diserahkan kepada "kekitaan". Individu tradisional tahu dan sadar bahwa dirinya adalah bagian utama dari "kekitaan", bukan bagian dari kontrak dengan individu-manusia lain. "Saya yang tradisional" adalah "saya" yang tidak terikat dengan pola hubungan kontrak-transaksi dengan individu lain (I's who contract with others).

Di masyarakat pramoderen, kedirian individu yang direfleksikan ke kepentingan komunal berubah menjadi kesadaran atas nama kebebasan individu dan otonomi individu. Individu dimunculkan sebagai pusat kehidupan. Tatanan tradisional pun berubah dan ditempatkan pada lokasi baru, yaitu "The I". "Saya" yang komunal tergerus habis menjadi "Saya" yang "Aku".

Di masyarakat supermoderen, "Saya" yang "aku" kembali keluar dan menyerahkan dirinya ke institusi-institusi baru. Perusahaan-perusahaan yang biasa disebut korporasi-korporasi besar pun menjadi wahana bagi individu manusia supermoderen. Sekolah dan universitas pun tidak ketinggalan dalam upaya menyediakan pemimpin untuk struktur sosial baru. Maka, kesetiaan pun dipindahkan ke perusahaan ketimbang ke negara, apalagi ke komunitas. Para ekonom berimajinasi bahwa di depan tidak ada lagi rakyat sebagai pernyataan negara. The IBM people, The Microsofot people dan The Telkomsel People, sebagai contoh, mungkin akan terwujud. Yang ada adalah bukan lagi Rakyat Amerika atau Rakyat Indonesia, tetapi Rakyat IBM, Rakyat Microsoft atau Rakyat Telkomsel.

Justru di sinilah resikonya. Loyalitas kepada komunitas pada mulanya yang kemudian dipindahkan ke negara pada tahap berikutnya, akhirnya ditinggalkan. Individu pun mengembangkan kesadaran baru yang bukan lagi kesadaran komunal, bukan juga kesadaran bernegara. Kepentingan komunitas dan kepentingan negara pun tercecer dan terabaikan dimana-mana. Konflik komunal ikut menjadi instrumen dari aksi saling menghancurkan dan pelecehan terhadap lambang-lambang negara menjadi tontonan di jalan-jalan raya tanpa refleksi apalagi kepedulian. Stateless people, rakyat tak bernegara, menjadi bayang-bayang yang mengusik.

Bersamaan dengan itu, tumbuh pula dinamika baru yang dipercaya sebagai dampak dan reaksi terhadap gerak-cepat menuju tatanan masyarakat supermodern. Membesarnya insiden pewabahan HIV/Aids, meningkatnya jumlah anak-anak jalanan dari waktu ke waktu, serta meluasnya pengguna narkotik adalah tanda hilangnya kepedulian. Sementara, menguatnya eskalasi gerak fundamentalisme dan radikalisme mulai dicerna sebagai reaksi terhadap gerak-cepat menuju masyarakat supermodern. Banyak ilmuan sosial mulai melihat bahwa fundamentalisme dan radikalisme adalah reaksi untuk menghentikan sejenak atau sedikitnya menginterupsi laju percepatan supermodernitas. Pada akhirnya, individu-manusia sendiri akan melihat bahwa dirinya suka bicara atas nama perubahan, tetapi tanpa disadari perubahan itu meminta kesediaan mereka untuk menanggung dan menjinjing rasa sakit.































 
Alwy Rachman.