SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Friday, December 4, 2009

NARASI DAN KONSTITUSI YANG HILANG



Pengetahuan mengalir lewat cerita, cerita tentang peristiwa,
tentang kehendak, tentang keberhasilan.
Guru yang baik adalah pencerita yang baik.
Kita sesungguhnya belajar dari cerita.”
Frank Smith


Alwy Rachman
Perspektif Analisis Wacana Kritis

Wacana kini menjadi fokus eksplorasi di kalangan ilmuan. Setidaknya, kini, terdapat dua ranah yang saling bergerak, untuk tidak mengatakan saling berhadapan . Di satu sisi, wacana didekati secara teknokratik yang hanya melihat bahasa dari sisi analisis penggunaan (language use), meskipun dikatakan analisis semacam ini tidak membatasi dirinya semata-mata pada deskripsi linguistis secara otonom. Di sisi lain, teorisi yang menyatakan dirinya sebagai intelektual critical discourse analysis berkecenderungan mengintegrasikan wacana ke dalam ilmu-ilmu sosial.

Dua fokus ini, secara historis, sesungguhnya dapat dirujuk pada perbedaan filosofi yang mendasar antara tradisi Plato dan tradisi Aristotle. Adalah Plato yang menganggap bahwa lambang bahasa, natural dan konvensional, adalah representasi yang tidak sempurna. “Kata” selalu bersifat inferior betapa pun canggihnya dan bagaimana pun cantiknya. Oleh karena itu, dalam pandangan Plato, pengetahuan yang termediasi lewat lambang bahasa (mediated knowledge) selalu berada pada posisi inferior terhadap kebenaran dibanding dengan pengetahuan langsung (immediate knowledge).

Aristotle sendiri memandang lambang bahasa sebagai simbol dari keserupaan (likeness). Keserupaan, dalam pandangan Aristotle, adalah kesan mental yang terhubung dengan aktualitas empirik. Tradisi Plato-Aristotle kemudian dikenal dengan tradisi langit-bumi. Plato meyakini kebenaran ultimate sementara Aristotle percaya pada kebenaran empirik.

Lima Wilayah Eksplorasi

Analisis wacana kritis menandai 5 (lima) wilayah eksplorasi. Pertama, analisis wacana kritis tidak dapat dipersamakan dengan analisis wacana linguistik. Jika analisis wacana linguistik, misalnya, diaplikasikan pada ranah sosiolinguitik atau analisis percakapan, analisis wacana kritis justru diaplikasikan melalui analisis tekstual ke dalam perspektif yang tersedia dan disediakan oleh teori-teori sosial.

Kedua, analisis wacana kritis mengabdikan diri pada masalah-masalah sosial. Oleh karena itu, analisis wacana kritis berfokus pada cara menjelaskan karakteristik linguistik sebagai produk dari proses sosial dan proses budaya dan menguak pola hubungan kekuasaan yang tersembunyi pada proses-proses tadi. Dengan cara seperti ini, analisis wacana kritis dapat menjelaskan tentang cara pola hubungan sosial dan pola kekuasaan dipraktikan dan dinegosiasi melalui wacana.

Ketiga, analisis wacana kritis juga berurusan dengan kerja-kerja ideologis. Kerja-kerja ideologis tentu saja tidak dapat dipahami melalui analisis teks, tetapi juga memerlukan pemahaman tentang tindakan-tindakan diskursif, termasuk cara teks dinterpretasi, dicerap, dimengerti, dan konsekuensinya terhadap kelompok-kelompok masyarakat tertentu.

Keempat, analisis wacana kritis menekankan konteks historis sebuah wacana. Elemen-elemen ekstralinguistik seperti proses dan interaksi sosial dan interaksi budaya dan cara wacana mengikatnya dan mengintegrasikannya menjadi bagian penting dari analisis wacana kritis.

Kelima, analisis wacana kritis bersifat interpretatif dan eksplanatori. Proses interpretasi berikut penjelasannya, tentu saja, memerlukan latar belakang bacaan sosial, budaya dan sejarah. Oleh karenanya, banyak ilmuan mengklaim bahwa kerja-kerja analisis wacana kritis bersifat terbuka dan dinamis, dan memerlukan prinsip-prinsip berpikir hermeneutik.

Narasi dan Konstitusi

Di negara-negara yang lebih maju, debat intelektual kini dibangun, menyangkut isu-isu di sekitar pengembangan kerangka dan perspektif pendidikan serta arah institusi bahasa dan institusi sastra. Debat ini sesungguhnya adalah refleksi dari ambang batas rasionalitas terhadap kerja-kerja teknokratis yang otonom terhadap bahasa dan sastra. Bahasa, misalnya, seringkali didefinisikan sebagai “alat”, sebagai “medium”, sebagai “ekspresi”, yang secara keseluruhan membuatnya diterima sebagai instrumen.

Dalam kapasitasnya sebagai instrumen, elemen-elemen linguistik, dari terkecil hingga terbesar, disusun secara hirarkis dan dijenjang secara taxonomi, dan diteknokrasi ke dalam teori. Di hadapan pendekatan teknokratis, bahasa kemudian kehilangan konteks, kehilangan pengalaman sosial, kehilangan sejarah, dan mungkin kehilangan power. Berpikir konstitutif yang tersembunyi di dalam konteks dan di dalam pengalaman tetapi menjadi manifest di dalam bahasa, kemudian mejadi samar, untuk tidak mengatakannya, hilang.

Nasib sastra setali tiga uang. Sastra tidak lagi menjadi narasi akulturasi bagi kelas menengah dan tidak lagi dipakai untuk melihat dan berempati pada proses marginalisasi manusia. Penguasaan teori sastra kemudian menggantikan peran sastra tinggi (high literature) dan menjadi penanda bagi mereka yang berpendidikan tinggi. Orang boleh saja mengatakan bahwa Shakespeare bukan lagi bankir sastra, tetapi generasi Shakespeare berkontribusi secara konkrit. Narasi sastranya diinstalasi ke dalam jenjang-jenjang pendidikan, dikonstitusi ke dalam interaksi sosial dan interaksi politik. Makanya, bukan suatu kebetulan jika negarawan-negarawan Inggris tidak memerlukan konstitusi tertulis dalam mengatur negaranya. Konstitusi tampaknya telah “tertanam di kepala” para negarawan Inggris. Pasti bukan kebetulan, jika narasi sastra berhubungan erat dengan cara berpikir konstitutif.

Di Sulawesi Selatan, kapasitas serupa bisa ditelusuri jauh ke belakang, di rentang abad 16-17. Interaksi kekuasaan antara raja dengan raja, antara raja dengan rakyat dilangsungkan melalui narasi, dan diekspresikan melalui kompetensi literer. Interaksi sosial dan transaksi ekonomi antarrakyat juga berlangsung secara serupa.

Kini, segalanya telah hilang, setidaknya dalam praktik kekuasaan dan praktik sosial. Satu diantara penyebabnya adalah, karena kita tidak berempati pada sejarah. Satu diantara penyebabnya adalah, karena kita tidak pernah menghormati pengalaman sendiri. Satu diantara penyebabnya adalah, karena kita tergesa-gesa menyeberangi pengalaman orang lain. Satu diantara penyebabnya, karena kita tidak lagi ingin bercerita. Satu per satu hilang. Akhirnya kita kehilangan banyak. Persis ungkapan Frank Smith, kita kehilangan pengetahuan karena kita kehilangan cerita. Kita kehilangan narasi.

Thursday, December 3, 2009

Pemberdayaan Media Tradisional

Alwy Rachman

Studi tentang pemanfaatan media tradisional (folk media) terbilang langka. Langka karena rumitnya memilih perspektif yang dapat dipakai. Lagipula, studi seperti ini kebanyakan dirumuskan ke dalam kerangka sistem dan pengetahuan indigenous (indigenous knowledge systems). Di kalangan antropolog sosial dan antropolog budaya, studi tentang media tradisional dihubungkan dengan berbagai macam disiplin; sistem pengetahuan, pertanian, teknik, perikanan, sains, linguistik dan sastra.

Pada umumnya, para antropolog tidak ingin menghabiskan waktu untuk mendefenisikan apa sesungguhnya yang dimaksud dengan indigenous media. Di sekitar tahun 1980-an, fokus utama dari kalangan ini tertuju pada seberapa besar perhatian yang harus dicurahkan dan apa yang menjadi titik tekan dari sisi kebutuhan perencana pembangunan terhadap akumulasi pengetahuan dan keterampilan tradisional serta teknologi komunitas lokal.

Melalui beberapa studi di era 1980-an, para antropolog tiba pada beberapa kesimpulan. Pertama, media tradisional menyimpan kekayaan (richness) dari sisi modus, berperan sebagai wadah pembawa nilai-nilai (value carrier), dan memiliki keanekaragaman bentuk (variety). Kedua, dengan kualitas seperti ini, media tradisional dipercaya dapat diperlakukan sebagai complementary knowledge terhadap sains konvensional yang pada dirinya sendiri terbukti tidak memadai dalam merespon ataupun menyelesaikan masalah-masalah pembangunan.

Selain kedua kekuatan di atas, di India misalnya, media tradisional dipakai untuk mengatasi konflik komunal dan dipergunakan sebagai sarana mempromosikan perdamaian. Dengan kata lain, media tradisional telah ditempatkan sebagai bagian dari piranti resolusi konflik.

Pemanfaatan media tradisional, setidaknya dengan pengalaman India, terumuskan ke dalam beberapa tujuan. Media tradisional dianggap dapat membantu individu dan kelompok-kelompok sosial lainnya dalam membangun kemawasan (awareness) dan kepekaan terhadap lingkungan sosial secara menyeluruh.

Media tradisional juga bisa menolong individu-individu dan kelompok-kelompok sosial lainnya untuk membangun pemahaman dasar tentang lingkungan sosial secara menyeluruh dan memampukan mereka merumuskan peran dalam menangani masalah-masalah kemanusiaan. Selain keterampilan menangani masalah, media tradisional juga dapat diandalkan untuk memberikan kemampuan bagi masyarakat untuk mengevaluasi masalah-masalah sosial, politik, ekonomi, dan estetika. Pada akhirnya, media tradisional dapat mendorong partisipasi dan tanggungjawab sosial terhadap cara menangani masalah-masalah lingkungan.

Dewasa ini, dalam berbagai wacana, isu dan tema tentang media tradisional dihubungkan dengan proses globalisasi. Debat di kalangan teorisi, misalnya, isu dan tema globalisasi menghadirkan ketidak-sepahaman substansial mencakup cara mengkonseptualisasi globalisasi, cara mengenali dan mengatasi dampaknya terhadap media tradisional, serta implikasinya terhadap kekuatan negara dan pada penyelenggaraan good governance.

Ketidaksepahaman ini dilatari oleh 3 (tiga) pijakan perspektif. Pertama, mereka yang berperspektif globalist menganggap bahwa globalisasi adalah bagian dari pembangunan (termasuk piranti medianya) yang tidak dapat ditolak dan secara signifikan dipengaruhi oleh intervensi manusia.

Kedua, mereka yang tergolong traditionalist memandang bahwa globalisasi adalah tahap baru yang telah membuat manusia terasing dari budayanya sendiri dan kemudian tidak dapat lagi memahami kebenaran entitas yang terpapar secara tidak proporsional. Ketiga, mereka yang tergolong transformationalist mempercayai bahwa globalisasi menghadirkan dorongan dan perubahan, tetapi membawa bermacam dampak sosial budaya.

Di luar dari perspektif di atas, para peneliti pada akhirnya dapat membuktikan bahwa media budaya tidak gampang tergusur. Riset terhadap pengaruh media global terhadap media kebudayaan di kawasan China, Hongkong, Taiwan, Filipina, India dan Jepang baru-baru ini menunjukkan bahwa produk media kebudayaan domestik --- meskipun diintegrasikan ke dalam media modern --- dapat bersaing dengan produk media global.

Produk media budaya lokal menunjukkan 3 (tiga) kekuatan utama; bahasanya familiar, konteksnya kultural, dan bermanfaat bagi upaya merawat proksimitas kultural. Kekuatan inilah yang membuat produk media budaya lokal di kawasan-kawasan di atas dapat menduduki posisi puncak dari 20 program televisi lainnya. Studi media di Taiwan juga menunjukkan bahwa perilaku pemirsa TV berusia muda sangat tergantung pada genre program (program genre) dan proksimitas isi (content proximity), termasuk di dalamnya proksimitas kultural (cultural proximity).

Di mata para peneliti, masalah utama di dalam mengintegrasikan produk media budaya lokal ke media global justru terletak pada adanya kekuatan wacana publik yang menginginkan proteksi secara menyeluruh terhadap produk media budaya lokal. Wacana seperti ini sering muncul di kawasan-kawasan yang kebudayaannya dianggap maladaptive terhadap perubahan, dan kawasan-kawasan yang arus kebudayaannya berlangsung secara asimetris dengan kebutuhan atas perubahan. Di kawasan-kawasan seperti ini, industri media budaya lokal sering dibiarkan merana; kekurangan modal, kekurangan talenta, dan ketinggalan teknologi.

                                                                             ***
Di negara-negara yang relatif maju, isu pemberdayaan media tradisional dihubungkan dengan berbagai aspek; akses, perencanaan dan kebijakan kebudayaan, pendidikan seni tradisional, lembaga bisnis non-profit, dan cara menyediakan pelanjut generasi seniman. Dari sisi akses, kekuatan teknologi media modern seperti media internet, media cetak dan media radio membuat media tradisional kehilangan ruang. Apalagi, prinsip-prinsip non-profit sulit ditemukan di media seperti ini. Dengan situasi seperti ini, peran museum dan organisasi kesenian menjadi penting.

Jika aspek-aspek di atas dikontekstualisasi menurut kebutuhan Sulawesi Selatan, beberapa hal memang harus dipertimbangkan. Dari sisi perencanaan dan kebijakan, upaya merawat seni tradisional memerlukan kebijakan dan perencanaan kebudayaan. Kebijakan dan perencanaan kebudayaan itu ditujukan untuk mendorong partisipasi publik dan kelompok-kelompok swasta lainnya. Industri-industri hiburan yang bekerja dengan asas non-profit juga bisa memainkan peran penting di sini. Partisipasi ini mungkin dapat diatur melalui proses-proses legislasi dan regulasi. Misalnya, pemberian insentif pajak bagi industri-industri hiburan yang dapat memberi akses bagi seni tradisional.

Dari sisi pendidikan seni tradisional, pemerintah berkepentingan untuk merintis ataupun mendayagunakan institusi-institusi yang telah tersedia. Pemerintah misalnya dapat merintis institusi yang berfungsi sebagai council dalam menangani pemberdayaan seni tradisional. Selain sebagai akses, pemerintah juga dapat memainkan fungsi diplomasi budaya melalui institusi seperti ini.

Sekolah-sekolah --- dari dasar, menengah, hingga universitas --- juga dapat dilihat sebagai institusi yang dapat dipakai untuk melanggengkan pendidikan seni tradisional. Tujuan akhir dari semua ini adalah agar institusi sekolah dapat menjadikan dirinya sebagai determinan utama dalam membangun kemampuan estetik dan humanistik sejak usia dini.

Mengajak industri rekaman yang dapat bekerja secara non-profit (khusus dalam menangani kebutuhan seni tradisional) menjadi penting. Dengan kecanggihan teknologi dan manajemen distribusi yang dimiliki oleh industri rekaman, produk-produk seni tradisional seperti musik, tari, teater, seni rupa, dapat diakses ke publik dengan cara yang lebih cepat.

Aspek yang paling rumit adalah aspek yang menyangkut cara menyediakan generasi pelanjut seniman. Kerumitan ini terletak pada empat kenyataan utama. Pertama, secara vertikal, seni tradisional lokal akan berjumpa dengan seni tradisional dari kebudayaan lain.

Perjumpaan ini akan mendorong perubahan sekaligus menciptakan kompetisi. Dengan kata lain, seni tradisional akan semakin cepat berubah dan akan semakin kompetitif. Kedua, secara horizontal, seni tradisional akan berjumpa dengan media komunikasi modern yang lebih canggih, lebih masif, lebih padat modal, dan lebih manajerial. Konsekuensi dari situasi ini adalah, perlunya leadership yang kuat dan efektif yang dapat menggerakkan organisasi kesenian tradisional di tengah perubahan situasional.

Pada akhirnya, pemberdayaan seni tradisional memerlukan pemahaman atas realitas kebudayaan. Sulawesi Selatan, pada kenyataannya berada di Kawasan Timur Indonesia, kawasan yang terstruktur dari mozaik-mozaik kebudayaan yang kecil-kecil. Ibarat kristal, mozaik ini gampang retak, gampang pecah, terhambur dan kemudian dengan gampang pula terjerumus ke dalam konflik dilihat dari sisi sosial-politik. Konflik di berbagai kawasan Timur merupakan bukti yang paling nyata.

Tesis yang perlu dibangun adalah strategi media budaya lokal apa yang dapat dibangun secara adil dan dipakai secara demokratis untuk memperkukuh proksimitas kultural. Jika ini tercapai, seni tradisional pasti dapat berperan untuk kepentingan luas, misalnya untuk kepentingan penanganan kemiskinan, kebutahurufan dan demokratisasi, bukan sekedar seni tradisional yang diam-diam berada pada kondisi maladaptive terhadap kebutuhan-kebutuhan baru bagi perubahan sosial. Pemberdayaan seni budaya tradisional seharusnya bisa menghindari berbagai macam paradoks; sebagai produk atau sebagai proses, sebagai specific culture atau sebagai subculture.



Catatan:
Judul tulisan ini telah disesuaikan, pernah disajikan sebagai pengantar diskusi panel pada acara “Sarasehan Kelompok Media Tradisional Tingkat Provinsi Sulawesi Selatan 2006”, diselenggarakan oleh Badan Informasi, Komunikasi dan Pengolahan Data Elektronik Provinsi Sulawesi Selatan, di Grand Palace Hotel, Makassar, 29 November 2006.

Saturday, November 28, 2009

TUMANURUNG, KONTRAK POLITIK 13 PASAL

Anwar Ibrahim

Tentang Mitos ‘Tomanurung’ di Sulawesi Selatan
Mitos tomanurung (Bugis) tumanurung (Makassar) di Sulawesi Selatan telah banyak disinggung dalam hasil penelitian pakar-pakar kesusastraan, antropologi, sejarah, hukum dan pakar lain yang melakukan penelitian dan pengkajian kebudayaan orang-orang Bugis Makassar. Walaupun penelitian mereka tidak terfokus pada mitos tomanurung, namun hasil penelitian mereka sangat berharga dan penting diperhatikan.

Mattulada (1995) mengemukakan, legitimasi politik yang diperoleh raja-raja Bugis-Makassar berdasar pada mitos Tomanurung. Mitos tersebut yang menceritakan asal muasal raja-raja dan awal sistem politik kerajaan di Sulawesi Selatan, sesungguhnya merupakan salah satu bentuk strategi untuk memperoleh legitimasi kekuasaan dan kewenangan. Mattulada memandang, kedatangan Tomanurung memang amat dihajatkan untuk mengakhiri keadaan kacau balau yang telah berlangsung dalam waktu yang sudah cukup lama, mengakhiri situasi yang disebut dengan ungkapan simbolik sianré balé tauwé. Kedatangan Tomanurung diperlukan untuk menuntun bagaimana kebebasan, kemerdekaan pribadi dan kelompok-kelompok kaum itu dapat berguna bagi kesejahteraan bersama. Mattulada berpendapat:
“kisah Tomanurung itu merupakan awal terbentuknya kerajaan-kerajaan lokal di Sulawesi Selatan, dengan pimpinan kekuasaan yang diciptakan dengan cara luar biasa dan amat cerdik menghadirkan Arung (Raja), dan lapisan kaum bangsawan (Anakarung) sebagai lapisan sosial yang baru, berasal dari luar satuan kelompok anang yang ada.” (Mattulada, 1998a)
Mitos Tomanurung memberikan legitimasi bukan hanya pada kekuasaan dan kewenangan Tomanurung dan keturunannya untuk menjadi ‘yang dipertuan’, melainkan juga memberi legitimasi pada sistem pelapisan atau stratifikasi sosial dalam masyarakat.

Abu Hamid (2002) memandang, ide atas kedatangan Tomanurung dipahami warga sebagai pembawa pembaharuan, pembawa tata tertib, melindungi rakyat dari musuh luar dan konflik antara mereka, dan pembawa kesejahteraan. Perjanjian antara Gallarang (Makassar), Matowa (Bugis) dengan Tomanurung yang disebut contract social, dilihat menurut ukuran zamannya, sudah mengandung ciri-ciri modern. Legitimasi dan ketaatan rakyat kepada Tomanurung dan raja-raja berikutnya berdasar pada isi dan ide-ide yang terkandung di dalam perjanjian tersebut. Mitos Tomanurung dan kontrak sosial yang menyertainya merupakan stategi untuk menyatukan kaum-kaum yang selalu bertikai dan untuk menciptakan tertib sosial, serta legitimasi kepemimpinan, kekuasaan dan kewenangan Tomanurung.

Pakar ilmu Hukum Andi Zainal Abidin Faried (1999a; 1999b) memandang mitos Tomanurung sebagai mitos politik, yang memberikan legitimasi politik kepada Tomanurung dan anak cucu pewarisnya untuk memegang kekuasaan dan pemerintahan. Menurut Zainal Abidin, unsur mitologi politik terdapat pula pada pendahuluan lontarak-lontarak Bugis yang mengisahkan tentang Tomanurung, dengan adanya ungkapan: ‘Konon kabarnya, orang bilang bahwa ia Tomanurung (orang yang turun dari langit), tidak diketahui namanya, tidak diketahui pula siapa ayah dan ibunya, serta tidak diketahui asal-usulnya’ (Zainal Abidin, 1999a).

Sebagai imbangan terhadap mitos politik Tomanurung yang memberikan legitimasi kepada Tomanurung dan raja-raja pewarisnya untuk memerintah, dihadirkan pula ‘mitos politik’ rakyat yang menyatakan bahwa Tomanurung mempunyai sirik yang paling lengkap.

“Di Sulawesi Selatan raja pertama yang diberi julukan Tomanurung, dan dipercayai mempunyai darah ‘putih’ (murni) dan oleh karena itu dianggap sebagai manusia paling sempurna siriknya. Counter political myth itu memberikan hak kepada rakyat untuk meragukan asal usul raja yang konon turun dari langit, …dan oleh karena itu ia dipandang tidak berhak untuk memerintah. ….. Banyak raja di Sulawesi Selatan yang dipecat. Faktor itulah yang mengekang raja untuk bertindak sewenang-wenang oleh karena takut dicap sebagai orang yang kurang siriknya.” (Zainal Abidin, 1999a)

Pernyataan tersebut dihubungkan dengan adanya perjanjian atau ikrar antara Tomanurung dengan wakil-wakil rakyat yaitu para Matowa Uluanang. Ideal sirik tersebut tercermin di dalam perjanjian yang menetapkan sifat, watak dan perilaku yang harus dilakonkan dan yang harus
dipantangkan oleh Tomanurung dan raja-raja pewarisnya.

Mitos Tomanurung dan perjanjian antara para Matowa Uluanang dengan Tomanurung, dilihat Laica Marzuki sebagai awal pembabakan sejarah kerajaan Bugis-Makassar periode lontarak, sekaligus menandai pula mula pencatatan sejarah kerajaan Bugis-Makassar dalam pelbagai lontarak attoriolong. Seperti dikatakan Mattulada mengenai dihajatkannya kehadiran Tomanurung, Marzuki mengemukakan, keadaan sebagian besar masyarakat ketika itu berada dalam situasi makkalawangeng yang diibaratkan sebagai kehidupan ikan-ikan yang saling memakan atau dengan ungkapan simbolik sianré balé tauwé. Situasi itu membuka jalan penerimaan dan pemberian legitimasi pada seseorang yang ditokohkan secara kharismatik dan diberi peranan mempersatukan kaum yang bertikai. Untuk mencegah absolutisme diperlukan pembatasan kekuasaan yang dituangkan dalam bentuk perjanjian yang disebut Marzuki governmental contract atau perjanjian pemerintahan:
“Dalam perjanjian pemerintahan terdapat pembatasan (limitasi) ketaatan para galarang, matowa beserta rakyat kepada Tomanurung, yakni ketaatan hanya berlaku sepanjang Tomanurung menjaga dan memuliakan harkat sirik para abdi (kawula). Tomanurung beserta raja-raja berikutnya wajib senantiasa menjaga, memelihara dan memuliakan harkat sirik para gallarang, matowa serta rakyat yang mempertuan dirinya, terlebih-lebih adalah tabu bagi Tomanurung serta raja-raja berikutnya menistakan harkat sirik para abdi (kawula)”. (Marzuki, 1995)
Hedy Ahimsa Putra (1988) yang menekankan penelitiannya pada hubungan patron-klien di Sulawesi Selatan menyebutkan “tokoh mitos Tomanurung, tokoh yang dianggap telah turun dari langit ke bumi dengan tujuan menegakkan ketenteraman serta mengatur daerah tempat Tomanurung tersebut datang”. Mitos itu merupakan salah satu bentuk strategi legitimasi yang menyebabkan raja-raja kecil dan rakyat tunduk kepada Tomanurung dan turunan-turunannya secara sukarela, setelah melalui proses perjanjian yang mengikat kedua belah pihak, Tomanurung dan para matowa atau gallarang. Pandangan Hedy Ahimsa dikembangkan dan diperluas dalam disertasinya (1993), dengan pernyataan:

“Jelaslah, ideologi patron-client tampak ditanamkan dalam cerita-cerita mitos mengenai asal-usul kerajaan, dan hubungan politik dengan bagian-bagiannya yang dinyatakan dengan istilah minawang (Mks.: mengikut)."
Cerita mitos ini juga berisi catatan-catatan mengenai regalia, yang bagi keduanya, raja dan rakyat, dijadikan dasar legitimasi atas kekuasaan dan kewenangannya. Mitos juga menunjukkan hubungan reciprocal antara raja dan kepala kaum, perwakilan-perwakilan rakyat, di atas dasar mana patronase dibangun.

Dalam mitos senantiasa disebutkan bahwa pemunculan tokoh Tomanurung selalu membawa serta benda-benda tertentu yang kemudian dijadikan arajang (Bugis) atau kalompoang (Makassar), yaitu benda-benda simbol yang menunjukkan legitimasi kekuasaan dan kewenangan. Dalam hubungan tersebut, pakar ilmu sejarah, Edward L. Poelinggomang (2004) mengemukakan, pengesahan atau legitimasi kekuasaan dan kewenangan berhubungan dengan kalompoang dan gaukang.

Kalompoang adalah benda-benda tanda kebesaran dari satu kesatuan pemerintahan atau kerajaan. Keseluruhan benda-benda itu pada dasarnya terdiri dari sebuah benda yang disebut gaukang dan benda-benda lainnya yang disebut kalompoang. Benda-benda kalompoang itu diberikan kepada gaukang sebagai tanda kebesarannya, baik berupa senjata, perhiasan maupun peralatan rumah tangga. Gaukang dan kalompoang dipandang sebagai benda suci, sakti dan memiliki kekuatan luar biasa, karena merupakan peninggalan tokoh-tokoh luar biasa (Tumanurung, dan tokoh legendaris lain) yang diberikan kepada gaukang. Benda-benda tersebut merupakan benda-benda simbolik yang menunjukkan legitimasi dan validasi kekuasaan serta kewenangan pemegangnya.

Benda-benda simbolik kalompoang dan pemegangnya merupakan kesatuan yang menunjukkan kepemimpinan, untuk memikat ketaatan dan pengakuan yang dipimpin. Poelinggomang menunjukkan sejumlah contoh sejarah, memperlihatkan hubungan antara pengakuan dan ketaatan pada pemegang kalompoang sebagai pemimpin. Dalam kehidupan pemerintahan benda itu digunakan sebagai alat pengesahan kedudukan penguasa, disimpan, dijaga, dirawat, dan dipegang oleh penguasa. Pada pihak lain contoh-contoh keberadaan kalompoang dalam pemerintahan yang diutarakan jelas menunjukkan kesetiaan dan ketaatan rakyat pada pemimpin atau penguasa bergantung pada adanya kalompoang padanya. Poelinggomang sampai pada suatu kesimpulan:

“Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemimpin atau penguasa itu sesungguhnya di mata rakyat merupakan wakil atau perantara atau juru bicara dari kalompoang yang ada padanya. Penguasa, pemimpin dalam menjalankan pemerintahan meminjam kekuasaan dari benda-benda itu. Itulah sebabnya setiap orang yang dipandang dapat melaksanakan pemerintahan dan erkuasa adalah mereka yang menyimpan, menjaga, mengurus dan memegang kalompoang karena kepada mereka akan diberikan perwalian kekuasaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam masyarakat ini kalompoang yang dipandang sebagai pemilik utama kekuasaan. Dalam masyarakat itu tanpa kalompoang tidak ada kekuasaan”. (Poelinggomang, 2004)

Mukhlis Paéni (1986) membahas lebih jauh mengenai simbol legitimasi, yaitu benda-benda suci yang disebut gaukang. Riwayat penemuan benda-benda itu diceritakan sebagai suatu kejadian yang ajaib. Benda-benda itu yang mereka percaya sebagai benda titisan dewa oleh masyarakat dipuja, disembah, dan dipandang memiliki kekuatan luar biasa yang menguasai dunia ini, sehingga gaukang merupakan pelindung kehidupan masyarakat. Pemegang gaukang sebagai penguasa dengan wewenang kekuatan ilahi (kultus dewa raja) telah menempatkan dirinya sebagai pusat pengendalian masyarakat, sekaligus sebagai iman yang mengkultuskan kekuatan ilahi. ….. Dapat dikatakan benda itu memiliki superioritas mutlak: yaitu pada dewa-dewa atau kekuatan yang menguasai alam semesta ini, kepada penguasa atau raja, dan pada tata tertib politik yang menguasai hubungan-hubungan sosial. (Mukhlis, 1986:7-9).

Perjanjian Politik
Legitimasi kekuasaan dan kewenangan politik yang diberikan kepada tumanurung, berdasar pada perjanjian yang berlangsung antara tumanurung dengan sembilan gallarang atau pemimpin kaum di Gowa, yang kemudian disebut Baték Salapang atau Kasuwiyang Salapang. Perjanjian itulah yang disebut Abu Hamid sebagai kontrak sosial dan Zainal Abidin Faried dan oleh Laica Marzuki disebut governmental contract. Dalam esei ini perjanjian tersebut dipandang sebagai kontrak politik karena isi yang terkandung dalam perjanjian tersebut lebih mengarah pada pengaturan hak-hak, kekuasaan, kewenangan, dan tanggung jawab politik kedua belah pihak.

Kontrak politik tersebut dimulai dengan kesepakatan para gallarang menjadikan tumanurung sebagai raja (karaéng) di Gowa, yang diterima tumanurung. Setelah itu tumanurung yang diwakili Karaéng Bayo berkata:

Anné nualléku Karaéng,
Akkanamak numammiyo,
Anginnga nu léko kayu ”.

Dengan kau mengangkatku menjadi raja,
Maka aku bertitah dan kamu mengiyakan
Aku adalah angin, kau daun kayu.

Pernyataan Karaéng Bayo tersebut cenderung menekankan pada status kedua pihak; Raja yang bertitah dan abdi yang mengiyakan. Raja bagaikan angin yang dapat menerbangkan daun kayu ke manapun. Bilamana kerajan Gowa didirikan berdasarkan pandangan Karaéng Bayo yang demikian itu, maka raja memiliki kemungkinan berlaku sewenang-wenang dan menjadi raja dengan kekuasaan absolut. Maka pendapat Karaéng Bayo ditanggapi Kasuwiyang Salapanga dengan mengemukakan 13 pasal penegasan, yang memberikan pembatasan hak, kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab masing-masing:

Pasal 1.
” Anné niallénu kikaraéngang,
Karaéng mako ikau,
atamakkang ikambé”.

Dengan dijadikannya kamu menjadi raja kami,
maka Rajalah kamu, dan
kami adalah abdimu.

Pasal 2
” Tangkairammako Ikau,
Laumakkang Ikambé ”.

Tangkai tempat bergantunglah kamu
Labu yang tergantunglah kami

Pasal 3
” Punna sappé tangkairanga
réppék tommi laua,
Napunna sappé tangkairanga,
nataréppéka laua,
ikambé maté”.

Bila patah tangkai tempat bergantung,
pecah jugalah labu.
Bila patah tangkai tempat bergantung,
dan tidak pecah labunya,
kami semua akan mati

Pasal 4
” Ikambé tanakaddok bassinu,
ikau tanakaddo bassimang ”.

Kami tidak ditikam besimu
Kamu tidak ditikam besi kami

Pasal 5
” Ikambé réwatapa ambunokang,
ikau réwatapa ambunoko”.
Kami, dewatalah yang membunuh kami
Kamu, dewatalah yang membunuhmu

Pasal 6
”Makkanamako kimammio;
naiya punna massongkang,
tammalémbarakang;
punna mallémbarakang,
tammassongkang”.

Bertitahlah, kami mengiyakan.
Bila kami menjunjung,
Kami tidak memikul,
Bila kami memikul,
Kami tidak menjunjung

Pasal 7
”Angimmako kilékokkayu;
naiasani madidiyaji nuiri”.

Anginlah kamu, kami daun kayu
Tetapi hanya yang kuning yang kau jatuhkan

Pasal 8
”Jéknékmako ki batang mammanyuk;
naiasani sompobbonampa nuanyuk”.

Airlah kamu, kami batang kayu yang hanyut
Tetapi hanya air pasang besar yang menghanyutkan

Pasal 9
”Namanna anammang,
manna bainémmang,
katanangaiyai buttaya,
takingaitongi”.

Walau anak kami,
Walau istri kami,
Bila tidak disukai oleh kerajaan,
Tak juga kami sukai

Pasal 10
”Anné niallénu kikaraéngang,
batang kalémmanji akkaraéngangko,
téyai pannganuammang”.

Dijadikanmu kami rajakan
Hanya batang tubuh kami merajakanmu,
Bukan harta benda milik kami

Pasal 11
”Tanualléi jangang rilérammang,
tanukoccinai bayao ribakampommang (Bakampommang);
tanualléi kaluku sibatummang,
rappo sipaémmang”.

Tidaklah kamu mengambil ayam kami di tenggerannya,
Tidaklah kamu mengambil telor ayam kami dari keranjangnya,
Tidak kamu mengambil kelapa sebiji kami,
Buah setangkai kami

Pasal 12
”Punna niya nukaéroki pannganuammang
nuballi sitaba nuballia;
nusambéi sitaba nusambéa,
nupalaki sitaba nupalaka
nakisaréangko;
tanutappakia pannganuammang”.

Bila ada yang kamu kehendaki harta benda milik kami,
Kamu beli yang layak kamu beli
Kamu ganti yang layak kamu ganti,
Kamu minta yang layak kamu minta,
Kami akan memberikanmu,
Kamu tidak boleh langsung mengambil milik kami.

Pasal 13
”Karaéng tammanappuk bicara ilalang
punna taénai gallaranga;
gallarannga tammannapuk bicara bunduk,
punna taénai karaénga”.

Raja tidak memutuskan perkara dalam negeri
Bila gallarang tidak hadir,
Gallarang tidak memutuskan perkara perang
Bila raja tidak hadir.

Tanggapan Baték Salapang tersebut dimulai dengan menegaskan kembali pengakuan dan legitimasi kekuasaan dan kewenangan tumanurung sebagai raja dan menempatkan diri mereka sebagai abdi. Dalam kedudukanj sebagai raja, tumanurung diibaratkan sebagai tangkai kayu tempat para abdi yang disimbolkan sebagai labu-labu bergantung atau menggantungkan diri. Antara raja tempat bergantung dengan abdi yang menggantungkan diri terjalin hubungan interdependensi. Gantungan patah, maka labu yang tergantung akan pecah. Abdi berkewajiban menjaga agar tangkai kayu tidak patah, dengan nyawanya sebagai taruhannya.

Namun pandangan Karaéng Bayo yang mengisyaratkan absolutisme kekuasaan raja, ditanggapi Baték Salapang dengan halus dan tegas, seperti terlihat pada pasal 4: Ikambé tanakaddok bassinu, ikau tanakaddo bassimang dan pasal 5: Ikambé réwatapa ambunokang, ikau réwatapa ambunoko. Abdi tidak diserang dengan kekuatan bersenjata oleh raja, dan sebaliknya raja tidak diserang oleh abdinya. Kedua belah pihak tidak akan akan menyulut perang antara mereka. Kematian raja dan abdi adalah kematian yang wajar, sesuai kehendak dewata, bukan karena perang internal kerajaan. Dengan demikian kemungkinan absolutisme yang tersirat dalam pernyataan Karaéng Bayo ditepis dengan pasal-pasal tersebut.

Dengan memenuhi penegasan dalam pasal 4 dan 5 itu, barulah Baték Salapang mengakui untuk mengiyakan titah tumanurung. Namun demikian, pengakuan itu disertai syarat: ”Bila kami menjunjung, kami tidak memikul, bila kami memikul, kami tidak menjunjung”, yang memberikan isyarat bahwa raja tidak akan memberikan beban yang berlebihan kepada abdinya. Dalam ungkapan lain disebutkan, ”raja tidak memberikan beban memegang dua alu kepada rakyatnya”. Abdi hanya diberikan beban sesuai kemampuannya. Bila raja memenuhi persyaratan itu, maka raja pun berhak menyebut diri sebagai ’angin’ dan abdi sebagai ’daun kayu’. Namun demikian, Baték Salapang masih memberi pembatasan agar raja tidak melakukan tindakan sewenang-wenang: ”tetapi hanya daun kuning yang kau terbangkan”. Tindakan ’sang angin’ adalah tindakan wajar, sehingga hanya menerbangkan daun yang memang secara alamiah wajar diterbangkan. Baték Salapang pun mengakui bahwa tumanurung adalah air, dan abdi adalah batang kayu yang siap dihanyutkan air. Namun demikian, tumanurung tidak seenaknya memobilisasi abdinya, bila tidak ada masalah besar yang dihadapi kerajaan.

Kemudian pada pasal 9 Baték Salapang menegaskan bahwa perilaku anak istri para abdi harus tetap sesuai dengan aturan pangadakkang. ”Walau anak kami, walau istri kami, bila tidak disukai oleh kerajaaan (negeri, buttaya), tak juga kami sukai”. Pilihan diksi ’buttaya’ dalam pasal ini lebih diplomatis dan menunjukkan kecerdasan Baték Salapang yang dijurubicarai oleh paccalaya dalam diplomasi. Baték Salapang tidak menggunakan diksi ’karaénga´ (raja) karena diksi itu dapat merujuk pada raja sebagai seorang pribadi yang dapat terganti pada waktu-waktu tertentu. Temperamen dan subjektivitas seorang raja mungkin saja akan lebih berpengaruh bila diksi karaénga yang digunakan. Penggunaan diksi ’buttaya’ merujuk pada negeri atau kerajaan yang memiliki hukum dan aturan. Dalam konteks budaya Makassar butta diatur oleh pangadakkang.

Baték Salapang menegaskan, hanya diri merekalah yang merajakan tumanurung. Harta benda para abdi tetap milik para abdi. Raja tidak berhak mengambil harta benda milik para abdi secara sewenang-wenang. Secara simbolis Baték Salapang mengemukakan contoh bahwa tumanurung tidak boleh mengambil ayam, telur, kelapa, dan buah-buahan milik para abdi, tanpa sepengetahuan dan persetujuan para abdi. Bilamana ada harta benda milik abdi yang dikehendaki oleh raja, maka raja boleh membeli, mengganti, atau memintanya. Pasal ini dengan jelas menunjukkan batas-batas hak-hak raja dan hak-hak kepemilikan harta benda milik rakyat.

Pasal 13 menunjukkan pengaturan pembagian kekuasaan, kewenangan, dan sifat otonomi dalam pengaturan kerajaan. Pengaturan perkara dalam negeri merupakan wewenang para gallarang. Raja tidak berhak membuat keputusan menyangkut perkara dalam negeri, tanpa kehadiran para gallarang. Akan tetapi urusan luar negeri, yang secara eksplisit disebut urusan perang (bicara bunduk), adalah wewenang raja. Para gallarang tidak berhak memutuskan perkara perang, tanpa kehadiran raja.

Tanggapan Baték Salapang dengan tegas menyatakan bahwa ketaatan mereka (rakyat) kepada raja adalah ketaatan bersyarat. Rakyat patuh dan setia kepada raja, bahkan bersedia mengorbankan nyawa untuknya bilamana raja tidak berlaku sewenang-wenang, tidak memberikan beban yang tidak dapat ditanggung oleh rakyatnya, menghargai hak milik dan hak-hak asasi rakyatnya. Bilamana persyaratan itu tidak dipenuhi oleh raja, maka rakyat pun tidak perlu menaati raja, bahkan pangadakkang yang mengatur adat mengenai tata cara kenegaraan dan pengaturan pemerintahan atau yang disebut adak butta, memungkinkan seorang raja dihukum, diturunkan dari tahta, atau diusir dari negerinya..

Turunan ’Langit’
Di dalam lontarak, tidak disebutkan Tumanurunga ri Tamalaté sebagai seseorang yang ’turun dari langit’. Disebut sebagai tumanurung oleh karena tidak diketahui dari mana asal usulnya, dan siapa ayah bundanya. Dalam bahasa lontarak dinyatakan: ”nanikanamo tumanurung ka taéna niassénngi kabattuanna”, maka disebutlah tumanurung karena tidak diketahui dari mana asal kedatangannya. Ketika wilayah-wilayah yang dipimpin para gallarang di Gowa terus menerus berselisih, bahkan berperang satu dengan yang lain, dan ketika tiada aturan hukum yang ditaati oleh para gallarang dan rakyatnya, dan ketika berlaku hukum rimba ’yang kuat menelan yang lemah’ maka tumanurung ditemukan pada suatu bukit di Tamalaté. Ia ditemukan setelah terjadinya peristiwa alam yang dahsyat. Dalam lontarak diceritakan bahwa orang-orang melihat ada cahaya terang yang bersinar dari suatu bukit. Ketika para gallarang bersama paccallaya disertai penduduk mendekati bukit tersebut, ternyata di bukit itu dilihat seorang putri, dari mana cahaya itu bersumber. Paccalaya dengan sigap berseru: ”Sombai karaénnu tu Gowa”, ’sembahlah rajamu, wahai orang Gowa’. Putri itulah yang disebut tumanurung yang dirajakan di Gowa.

Meskipun dalam lontarak tidak disebutkan bahwa tumanurung berasal dari langit, tetapi secara lisan turun temurun diceritakan bahwa tumanurung berasal dari ’langit’. Riwayat tumanurung itupun menjadi suatu mitos, menjadi salah satu unsur dalam sistem kepercayaan orang Gowa, yang sekaligus menjadi unsur penting dalam pemberian legitimasi politik kekuasaan dan kewenangan tumanurung dan turunannya untuk menjadi penguasa yang disembah (sombaya) di Gowa. Atas dasar kepercayaan sebagai ’turunan langit’ itu pulalah terbangun suatu sistem pelapisan sosial yang menempatkan tumanurung dan turunannya pada lapisan teratas dari piramida pelapisan sosial itu.

Seperti dikemukakan Mattulada, kedatangan tumanurung dihajatkan guna mengakhiri konflik yang berkepanjangan, suatu rekayasa dan mitos politik penyelesaian konflik sekaligus membangun suatu dinasti, dengan pimpinan kekuasaan yang ’diciptakan dengan cara luar biasa dan cerdik’ (Mattulada, 1998a). Penyebaran kisah tumanurung secara lisan sebagai ‘turunan langit’, pelembagaan benda-benda tertentu sebagai benda sakral yang disebut kalompoang (tanda kebesaran), penentuan berbagai properti simbolik bagi lapisan raja, karaéng dan turunan raja, anak karaéng serta penyelenggaraan berbagai ritus yang disakralkan, menjadi bagian yang sangat penting untuk membangun kepercayaan dan kepatuhan rakyat kepada tumanurung dan turunannya.

Akan tetapi yang lebih penting diperhatikan adalah kontrak politik yang menyertai mitos itu. Sesungguhnya substansi utama mitos tumanurung terletak pada kontrak politik itu. Kontrak politik yang terjadi sekitar abad ke-13 atau kurang lebih 800 tahun yang lalu itu sendiri merupakan sesuatu yang luar biasa. Peristiwa kontrak politik itu terjadi mendahului teori-teori Thomas Hobbes dan Montesque abad ke-18 yang berbicara tentang kontrak sosial. ‘Ciptaan luar biasa dan cerdik’ yang berupa mitos tumanurung tersebut memungkinkan substansi utama yang hendak dikemukakan lebih dapat berterima oleh rakyat dan warga kerajaan Gowa. Metode penyampaian yang digunakan dan pemikiran yang terkandung dalam kontrak politik itu tetap merupakan suatu penanda tingkat kemampuan berpikir dan kecerdasan orang Gowa masa itu. Sesuatu peninggalan budaya yang membanggakan.

Dasar Konstitusional
Nilai-nilai dan semangat yang tertuang dalam kontrak politik di atas telah menjadi dasar konstitusional kerajaan Gowa. Kekuasaan tumanurung dan seluruh raja Gowa yang disebut Sombaya bukanlah kekuasaan mutlak. Raja Gowa niscaya harus menaati seluruh isi nilai-nilai yang mendasari kontrak politik tersebut. Kepatuhan rakyat kepada Raja Gowa adalah kepatuhan dan kesetiaan bersyarat. Ia dipatuhi bilamana raka tidak melakukan pelanggaran atas nilai-nilai kontrak politik tersebut.

Kontrak politik itupun telah meletakkan dasar konstitusional bagi penyelenggaraan kekuasaan, kewenangan dan pemerintahan daerah yang otonom, sesuatu yang tetap terpelihara hingga meleburnya kerajaan Gowa menjadi bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia. Bagaimana sistem otonomi itu berlangsung dan terwujudkan dalam praktik politik pemerintahan kerajaan Gowa merupakan masalah yang perlu diteliti lebih jauh.

Pandangan yang sangat menghargai hak milik rakyat yang menjadi topik penting dalam kontrak politik ini merupakan salah satu bagian penting yang memperlihatkan apresiasi dan penghargaan pada hak-hak asasi manusia. Pernyataan dalam pasal 10 ”Anné niallénu kikaraéngang, batang kalémmanji akkaraéngangko, téyai pannganuammang”, yang disertai pasal 11 dan 12 sebagai penegasan dari pemikiran terhadap hak kepemilikan rakyat dan hak-hak asasi manusia pada umumnya. Sebagai dasar konstitusional, kontrak politik itu, seperti dikemukakan Abu Hamid telah menunjukkan ciri-cirinya yang modern.

Penutup
Kontrak politik antara Tumanurunga ri Tamalaté yang dijurubicarai oleh Karaéng Bayo dengan Baté Salapang yang dijurubicarai oleh Paccalaya, dengan nilai-nilai budaya yang mendasarinya, merupakan salah satu warisan budaya yang penting. Pelestarian nilai-nilai yang terkandung di dalamnya selayaknya terwujudkan dalam perilaku politik, kepemimpinan dan perilaku dalam kehidupan sosial masyarakat Sulawesi Selatan khususnya. Dengan demikian, kita menghargai nilai-nilai budaya kita.

Tuesday, November 24, 2009

10 TAKTIK UNTUK PARA RADIKAL

Dalil-dalil Alinsky tentang Kekuatan dan Kekuasaan

Saul Alisnky

Taktik adalah pernyataan tindakan dari apa yang Anda miliki. Taktik merupakan tindakan sadar yang dirancang untuk menghadapi dunia sekitar. Taktik adalah seni tentang cara "mengambil" dan "memberi". Taktik dapat diibaratkan sebagai wajah yang terdiri atas mata, telinga dan hidung.

Mata bertugas memvisualisasi basis massa rakyat secara meluas. Pamerkan basis itu agar mata musuh dapat melihatnya. Pamerkan sebelum musuh mendahului dan secara terbuka menunjukkan kekuatannya. Telinga bertugas mempromosikan "kebisingan". Jika anggota organisasi anda berjumlah kecil, sembunyikan. Tingkatkan "kebisingan" agar telinga lawan mendengarnya dan kemudian percaya bahwa jumlah anggota organisasi anda jauh lebih besar dari yang ia perkirakan. Hidung berfungsi menyerap dan mencerap aroma. Jika anggota organisasi anda terlalu kecil dan tidak mampu menciptakan "kebisingan", sebarkan aroma ofensif (aroma menyerang) agar hidung lawan dapat mencerapnya.

Keampuhan taktik terletak pada 10 (sepuluh) dalil yang terhubung dengan cara "mengambil" kekuasaan, sebagai berikut:

Dalil 1
Kekuasaan tidak hanya terpatri pada apa yang anda miliki, tetapi terletak pada apa yang dibayangkan oleh musuh anda tentang anda dan tentang organisasi anda.

Dalil 2
Jangan meninggalkan pengalaman pengikut-pengikut (followers) anda. Membawa pengikut-pengikut anda keluar dari pengalamannya, akan menciptakan situasi kebingungan dan ketakutan.

Dalil 3
Upayakan agar musuh anda keluar dari pengalamannya. Jika anda berhasil membawanya keluar, anda telah menciptakan suasana kebingungan dan ketakutan di pihak lawan.

Dalil 4
Biarkan musuh merasa aman dengan aturan mereka sendiri. Anda dapat menaklukkannya dengan cara seperti ini. Membiarkan musuh hidup dengan aturannya sendiri sama artinya membuat mereka tidak mampu mematuhi aturan di luar dirinya.

Dalil 5
Hadapi lawan anda dengan cara mengejeknya secara komikal. Cara komikal akan membuat lawan anda menjadi bahan tertawaan (ridicule). Cara ini biasanya sulit dibalas. Kalau pada akhirnya, musuh mengimbanginya dan bereaksi terhadap ridicule, keuntungan biasanya ada di pihak anda. Ridicule sesungguhnya adalah senjata yang poten dan ampuh.

Dalil 6
Taktik yang baik adalah taktik yang dipahami dan dinikmati oleh para pengikut anda. Jika orang-orang anda tidak menikmatinya, pasti ada yang salah dengan taktik anda.

Dalil 7
Taktik yang dipakai terlalu lama pada dasarnya akan menjadi "beku". Sikap militan terhadap isu apa saja hanya akan berlangsung dalam dan untuk waktu yang terbatas. Setelah itu, sikap militan akan berubah menjadi sikap ritual.

Dalil 8
Tekan terus lawan anda melalui berbagai variasi taktik dan tindakan. Manfaatkan semua waktu yang ada untuk kepentingan dan tujuan anda. Ancaman biasanya terasa lebih "mengerikan" daripada dirinya sendiri.

Dalil 9
Premis utama untuk sebuah taktik adalah, kembangkan cara-cara menggunakannya sehingga akan menciptakan tekanan yang konstan terhadap lawan. Jaga irama tekanan terhadap lawan. Tekanan yang terlalu keras akan menciptakan sisi lain yang akan merugikan anda. Cara menekan didasarkan pada prinsip bahwa sisi positif pasti memiliki sisi negatif.

Dalil 10
Pilih sasaran anda. Jika sasasaran sudah jelas, bekukan, personalisasi, dan usahakan sasaran itu terpolarisasi.


Catatan:
Saul Alinsky lahir pada tahun 1909. Ia dikenal sebagai aktivis ternama dan sebagai community organizer (CO) terkemuka dalam sejarah Amerika. Ia dianggap kampiun dalam mengembangkan taktik berkonfrontasi. Alinsky adalah penulis buku-buku tentang taktik dan penulis biografi presiden Mineworker John L. Lewis.

Posting ini diturunkan dari tulisan Fred Ross, berjudul "Rules for Radicals, Alinsky's Rules for Power" di http://www.jasongooljar.com/AlinskyTactics.pdf, dialihbahasakan serta diringkas oleh Alwy Rachman.
 
Alwy Rachman.