SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Monday, March 24, 2014

Yang Dirajakan di Demokrasi Pasar Malam*


 Alwy Rachman

Genderang kampanye pemilu sudah ditabuh. Partai-partai politik kini dan beberapa minggu ke depan akan sibuk menyediakan panggung politik di mana-mana. Di sana, berbagai aroma orasi  politik dituturkan. Di sana, aneka janji politik ditawarkan. Tujuannya, tentu saja, mengajak sang demos yang didalilkan sebagai representasi suara Tuhan,  untuk menjatuhkan pilihan kepada sang calon legislator dari partai yang bersangkutan.

Laku politik di paras awal kampanye seperti ini, sebagaimana pemilu-pemilu sebelumnya, seolah mengkonfirmasi pendakuan Joseph Schumpeter tentang performance democracy, yaitu demokrasi yang diselenggarakan mirip festival, atau serupa “demokrasi pasar malam”. Model, proses dan modus demokrasi pasar malam berfokus pada isu yang dibilangkan dan ditawarkan sebagai “common good” kepada pemilik suara, semacam laku politik yang memenuhi kebutuhan praktis dan pragmatis bagi para pemilik suara.

Itu sebabnya, sejak awal, rakyat sebagai pemilik suara digiring untuk berpikir instrumental. Serupa cara berpikir untuk bersedia menerima imbalan jangka pendek dari para politikus. Pun itu sebabnya, banyak di antara calon legislator yang kini sedang bertarung merasa tak penting mengedukasi segenap pemilik suara untuk berbagi kepentingan dengan warga lain atau komunitas lain untuk jangka panjang.

“Demokrasi pasar malam”, setidaknya begitu pendakuan Schumpeter, memperlakukan dan menjadikan politik sebagai “pasar raksasa”. Di arena pasar seperti ini, partai-partai melalui calon legislatornya menawarkan produk politik kompetitif. Dan sesuai dengan argumentasi Schumpeter, yang akan keluar sebagai pemenang adalah partai yang mampu menggerakkan sekaligus menarik perhatian koalisi di antara konsumen politik. Dalam bahasa lain yang lebih sederhana, “demokrasi pasar malam” mengandaikan kedudukan politikus sebagai produsen politik dan pemilih sebagai konsumen politik. 

***
Di cakrawala berpikir lain,  oleh para teoretikus politik, kedudukan legislator biasa juga disandingkan dengan “The kingly man”, yaitu “orang-orang yang dirajakan”. Julukan “the kingly man” dipakai untuk menyandingkan sekaligus membandingkan peran dan fungsi legislator di tatanan demokrasi dengan raja dan pangeran di tatanan monarki dan tatanan aristokrasi. Meskipun demikian, julukan “the kingly man” bukan dimaksudkan sebagai rujukan untuk kuasa  sang raja, “the king”. Pun bukan dimaksudkan sebagai kuasa sang pangeran, “the prince”.

“The kingly man”, di dunia demokrasi,  diandaikan lahir dan datang dari ibu kandung masyarakat politik. Laku politik legislator sebagai “orang-orang yang dirajakan” tak sama dengan laku “monarki” yang mewarisi kekuasaan kepada sang raja berdasarkan keturunan dan bersandar pada kehormatan. Pun tak serupa dengan para despotis yang mengelola kekuasaan berdasarkan perkawanan karena rasa takut terhadap orang lain yang akan merusak kekuasaanya. 

Di arena demokrasi, legislator menyatakan dirinya secara benderang di arena lingkar permainan kekuasaan, yaitu merebut kuasa, menjadi penguasa, melembaga kekuasaan, lalu kemudian lembaga-lembaga kekuasaan itu kembali melahirkan penguasa. Itu sebabnya, Montesquieu bilang bahwa siklus hidup kekuasaan dapat dicerna melalui cara  “penguasa membangun lembaga, dan kemudian cara lembaga itu mencetak dan menghadirkan penguasa.” 

***
Pemilu 2014 bisa saja didudukkan ke dalam kerangka filosofis Montesquieu tentang siklus hidup kekuasaan. Tapi pertanyaannya adalah, apakah lembaga-lembaga politik di negeri ini, kali ini, akan berhasil menghadirkan pemimpin yang pantas “dirajakan”? Kalau tak terjadi, sebagaimana sindiran Jaques Rancière,  demokrasi tak lebih dari cara mentranformasikan kekuasaan dengan memanfaatkan kedudukan rakyat atau posisi “sang demos” sebagai pihak “yang tak punya apa-apa” dan “tak punya properti untuk mempraktekkan kekuasaan”. 
  
Pesona “demokrasi pasar malam” lebih banyak menghadirkan suasana euforia. Pemilik suara lebih banyak lupa bahwa di sana-sini banyak masalah kebangsaan yang terabaikan: kemiskinan yang meningkat, kematian ibu melahirkan yang naik hampir tiga kali, kerusakan lingkungan hidup, bencana alam, dan kekerasan sosial yang meluas, punahnya peradaban-peradaban kecil, serta banyaknya aturan-aturan diskriminatif yang justru merupakan produk pemerintahan. 

Pada akhirnya, hasil demokrasi 2009 dipenuhi oleh sebagian legislator yang menjadikan parlemen sebagai tempat untuk mengekstraksi uang rakyat, untuk tidak mengatakan merampok uang rakyat atas nama kedudukan sebagai legislator di parlemen. Kalau tertangkap, petinggi-petinggi partai malah membuat metafor “partainya sedang ditimpa badai” sembari meyakinkan rakyat bahwa “badai pasti berlalu”. Metafor seperti ini seolah memanipulasi persepsi publik bahwa yang bersalah adalah “badai” yang datang dari luar. 

Mari kita jadikan pemilu 2014 kali ini sebagai “pengadilan rakyat” bagi segenap calon legislator. 

*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, di Rubrik Literasi, 18 Maret 2014, di halaman A15
 
Alwy Rachman.