SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Thursday, April 10, 2014

Suara Rakyat di Rezim Demokrasi*



Alwy Rachman

Hari-hari ini kampanye politik semakin sengit. Di hampir semua media, terutama media cetak, bacaan politik menjadi dominan. Ruang dan wacana publik seolah menjadi milik mutlak rezim demokrasi, milik partai-partai peserta pemilu, dan milik para politikus. Inilah contoh paling kasat mata jika regim demokrasi musiman sedang bekerja. Musim politik atau tahun politik, begitu kita membilangkannya.

Demokrasi di negeri ini nyatanya kita sebut sebagai pesta. Di “pesta demokrasi” ini, entah siapa pertama kali menggunakan analogi seperti ini, semua orang, terutama politikus, menyuarakan suara rakyat sebagai suara Tuhan, “vox populi vox dei.” Lalu, adagium ini menjadi komoditas yang bertujuan menciptakan efek transenden di pihak rakyat pemilih. Tak ada yang salah, memang, jika para politikus pun meyakini “vox populi vox dei” sebagai “adagium transenden demokrasi”.

***
Oleh ilmuan politik, suara rakyat telah diidealkan sedemikian rupa, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Robert Dhal, misalnya, mengurai bahwa suara rakyat terhubung dengan 10 dalil ideal. Pertama, suara rakyat adalah pernyataan kesetaraan dalam voting. Hasil voting dalam kotak-kotak suara bersifat mengikat. Hasil pilihan setiap warga, secara keseluruhan, sejatinya dianggap sebagai pernyataan kolektif demos.

Suara rakyat adalah wujud dari partisipasi efektif, begitu pendakuan kedua Robert Dhal. Soal pemilu adalah soal partisipasi, bukan soal pesta sebagaimana kita sering bilangkan. Partisipasi rakyat memerlukan jaminan yang setara dan memadai dalam memilih pemimpin. Jadi, bukan hanya soal ajakan  menggunakan hak pilih saja. Jaminan yang setara dan memadai akan memastikan rakyat dapat mempraktekkan kekuasaannya sebagai demos.

Ketiga, suara rakyat adalah bagian dari kesadaran politik yang tercerahkan. Sejatinya, rakyat pemilih dicerdaskan jauh sebelumnya. Semestinya, rakyat diberitahu bahwa pemilu adalah kesempatan mendaur-ulang para pemimpin. Seharusnya, rakyat diajarkan mengambil pilihan rasional sesuai tujuan demokrasi.

Suara rakyat adalah pernyataan demos untuk mengendalikan agenda pemerintahnya, demikian pendakuan keempat Robert Dhal. Agenda pemerintahan tak lain adalah agenda rakyat. Agenda pemerintahan, dengan demikian, bukan milik partai, apalagi milik politikus. Karenanya, agenda pemerintahan sejatinya diabdikan untuk keadilan dan kemakmuran bagi segenap rakyat. Sebagai demos, rakyat yang menentukan apa yang penting dan apa yang tak penting.

Kelima, suara rakyat adalah pernyataan orang dewasa untuk mengikatkan diri pada hukum. Rakyat yang memilih seharusnya didudukkan secara patut sebagai pribadi-pribadi yang menyediakan dirinya tunduk pada hukum. Karenanya, segenap rakyat pemilih sejatinya diperlakukan secara setara dengan hak hukum dan hak politik yang sama.  

Suara rakyat adalah pernyataan damai tanpa kekerasan dalam memilih pemimpin, begitu dalil keenam yang dibilangkan Robert Dhal. Menciptakan kekacauan dan melakukan kekerasan, apa pun bentuknya, terhadap pemilih setara dengan penolakan pernyataan damai di pihak rakyat.  

Ketujuh, suara rakyat adalah pernyataan bahwa jabatan publik adalah milik demos. Dengan dalil ini, para politikus pemenang sejak awal menyadari bahwa jabatan publik bukan milik pribadi yang dapat dibagi-bagi begitu saja kepada keluarga atau kelompok. Sebagai demos, setiap orang berhak dipilih untuk jabatan publik. Jabatan publik yang dikuasai oleh keluarga penguasa akan menghadirkan pemerintahan nepotis. Pun, sama buruknya, jabatan yang dibagi-bagi atas nama perkawanan akan memunculkan pemerintahan despotis. 

Suara rakyat adalah pernyataan kewargaan (citizenry) dalam mengekspresikan hak-haknya tanpa rasa takut, begitu tambahan Robert Dhal. Sejarah demokrasi memang tak bisa dilepaskan dari soal-soal kewargaan. Demokrasi menolak soal “para tiran“ yang gemar menebar rasa takut.  

Kesembilan, suara rakyat adalah pernyataan kewargaan untuk mencari informasi alternatif, yang dilindungi oleh hukum. Karenanya, rakyat berhak untuk tahu informasi apa saja yang menyangkut para politikus yang sedang bertarung dan apa-apa saja yang hendak diperjuangkan.

Dan, kesepuluh, suara rakyat adalah pernyataan kewargaan atas kebebasan berorganisasi. Dengan dalil ini, rakyat sebagai warga berhak untuk berhimpun melalui berbagai asosiasi dan organisasi, termasuk di dalamnya partai politik dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya.

***
Seminggu lagi, kita akan menjatuhkan pilihan. Mari kita jadikan pemilu bukan sebagai pesta, tetapi sebagai “pengambilan keputusan yang adil” bagi para politikus. Tolak yang jahat, pilih yang baik. Tolak yang bandit, pilih yang amanah. Tolak yang korup, pilih yang bermoral. Tolak yang menyuap rakyat, pilih yang jujur.

Mari kita jadikan pemilu kali ini sebagai “pengadilan rakyat”. Vox Populi vox dei.  

*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, di Rubrik Literasi, tanggal 2 April 2014, di halaman A15. 


 
Alwy Rachman.