SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Tuesday, January 27, 2015

Korupsi dan Kondor di Teater Legislatif

Alwy Rachman

“Setiap bentuk korupsi adalah
  suatu pengkhianatan”
               Syed Hussein Alatas



Ibarat panggung teater, Indonesia kini menggelar drama tentang dinamika korupsi seri kedua. Seri pertama dibilangkan sebagai drama tentang Cicak-Buaya, seri kedua belum bernama. Tapi, di panggung gelar teater mutakhir, aktor institusinya masih sama: KPK dan POLRI. Gelar teater pertama telah usai, sementara yang terakhir kini di puncak klimaks. Tema drama masih itu-itu juga: korupsi dengan segala macam dinamikanya.

Sebagaimana kisah-kisah literasi, konflik di panggung teater tak terhindarkan. Di sana, bermunculan dua peran: protagonis dan antagonis. Di antara dua peran, ada juga peran ketiga: auxiliary. Dalam bahasa drama, peran auxiliary dibilangkan sebagai peran pelengkap. Itu sebabnya, panggung teater menjadi sempurna, riuh. Sesekali menegangkan, sesekali menciptakan suspense.

Keriuhan dalam konflik kemudian menghadirkan suspense yang secara keseluruhan membuat kita mengerti tentang “dinamika korupsi yang menggambarkan secara benderang  keadaan moral dan intelektual para pemimpin masyarakat”, sebagaimana pendakuan yang pernah ditulis oleh Hussein Alatas. Perhadapan kedua institusi --- POLRI dan KPK --- bermula pada promosi sang jenderal sebagai aktor, yang direkomendasikan oleh Kompolnas, yang dicalonkan oleh Istana, lalu dikukuhkan di panggung parlemen. Jadi, lengkap sudah alur penokohan di panggung ini.

Tapi, sang jenderal ditolak, diatribusi sebagai tersangka, tentu saja, oleh aktor-aktor di panggung lain. Maka, kedua panggung saling merenggang, mengalirkan klimaks demi klimaks. Di antara klimaks, terasa bahwa soal korupsi bukan cuma soal hukum dan soal politik. Jika para sosiolog membilangkan korupsi sesungguhnya menyakiti kelompok-kelompok masyarakat, para teaterawan menyebut korupsi menyakiti moral dan melukai intelektual.

Banyak teaterawan meyakini teater sebagai media perlawanan dan sebagai wadah mengekskresikan nilai-nilai untuk mencegah pembinasaan moral dan etika. Panggung harus dilawan dengan panggung. Teater harus dihadapi dengan teater. Panggung tertutup harus dihadapi dengan panggung terbuka. Teater kekuasaan mesti diperhadapkan dengan teater rakyat. Teater parlemen mesti dipertemukan dengan teater transitif.

Malah, teaterawan sekelas Augusto Boal, misalnya, menegaskan perlunya teatrikalisasi parlemen. Boal menambahkan, "saya dan kawan-kawan sekali waktu menyelenggarakan teater transitif, dengan melakukan ritual bersih-bersih di tangga masuk gedung parlemen, sebagai simbol membersihkan korupsi." Modus teatrikal bersih-bersih di parlemen diimitasi dari ritual tahunan Gereja Shensor de Bonfim, yaitu pencucian tangga-tangga gereja sebagai pernyataan simbolik untuk membersihkan jiwa."

Bagi Boal, "teater adalah politik sebagaimana demokrasi adalah teater". Demokrasi yang dimaksud Boal di sini,  adalah demokrasi yang memampukan rakyat mengubah dirinya menjadi aktor demokrasi. Teater yang berdemokrasi disebutnya teater transitif, teater yang menyediakan panggung untuk rakyat guna mentranformasikan dirinya menjadi pelaku langsung demokrasi. Teater ini tak bisa dipenjara di gedung-gedung pertunjukan sebagaimana agama-agama tak pantas ditawan di gereja, masjid, vihara dan di tempat-tempat ibadah lain.

Demokrasi transitif hanya ada pada teater komunitas, teater masyarakat dan sekaligus teater rakyat. Di sini, rakyat berperan mengubah eksistensinya:  dari kedudukannya sebagai penonton menjadi aktor pelaku yang aktif. Jadi, panggung rakyat yang diselenggarakan di halaman KPK, juga di ruang-ruang publik di seantero Republik ini, diisi oleh peran ilmuan, aktivis, tokoh masyarakat, tokoh lintas agama, mahasiswa dan kelompok-kelompok sosial lain, menjadi teater auxiliary yang benderang. Beda dengan tuduhan Menteri Kordinator Politik, Hukum dan Keamanan bahwa rakyat yang berkumpul di sana tak lebih "rakyat yang tak jelas".

Parable "rakyat yang tak jelas", oleh masyarakat sipil, lalu dinilai sebagai properti elit di panggung kekuasaan. Parable Properti bahasa itu membawa pesan, “engkau rakyat, sebaiknya engkau tak ikut campur.” Tapi, soal partisipasi rakyat, penyair Brasil Castro Alves, malah menyindir kekuasaan dengan membilangkan, "The square is to the people as the sky is to the condor", " ruang rakyat untuk berkumpul sama harganya dengan langit luas bagi burung Kondor". Tanpa ruang rakyat, rakyat bukan demos. Tanpa langit, kondor bukan lagi burung.

Di negeri sendiri, di tahun 1973, W.S. Rendra menulis sajak burung-burung kondor untuk mengeritik kekuasaan orde baru. Di situ, Rendra bilang, “derita telah mengubah sukma rakyat menjadi burung kondor”. Di bagian akhir puisinya, Rendra bilang “Berjuta-juta burung kondor mencakar batu-batu, mematuki batu-batu, mematuki udara. Dan, di kota orang-orang siap menembaknya.”

Korupsi adalah pengkhianatan dan pengkhianatan memotivasi spirit burung kondor. Untungnya, “burung-burung kondor” hanya mematuk udara politik dan udara korupsi di panggung teater rakyat. Di sini, rakyat nyatanya masih percaya pada intelektualnya. Rakyat tampaknya menghidupkan sejarah Agora di Yunani Awal, tempat yang dianggap layak dijadikan lokus untuk menyatakan pendapat. Ruang Agora menggaung: “Saya KPK”, “Save KPK”. Kalau begitu, masih kah engkau tega membilangkan, “mereka adalah rakyat yang tak jelas"?

Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar,  27 Februari 2015, hal. A15
 
Alwy Rachman.